9. Teror

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Saat Dika merasa dunia kembali tenang, damai, dan tenteram, saat itulah plot twist menghampirinya.

Dia tengah asyik tenggelam dalam dunia khayalannya bersama buku-buku sebagai pengisi jam istirahat pertama. Lalu, tiada angin, hujan, apalagi tanda-tanda, "bencana" sudah siap menghampirinya.

Seorang cewek duduk manis di depannya. Dika awalnya cuek saja, toh mungkin cewek itu cuma numpang duduk. Tak lebih dari itu. Nyatanya, sepuluh menit berlalu, dia mulai merasakan aura-aura hitam yang mulai menyeruak.

Dika menurunkan novelnya yang sisa sepuluh lembaran untuk tuntas. Sementara Arabelle bernapas lega. Akhirnya, setelah parodi jadi patung selama sepuluh menit, dia terbebas dari kutukan.

"Hai." Dia menyapa sambil nyengir. Pada akhir, dia harus bersikap manis lagi pada cowok. Sikap yang menyebalkan.

Dika tak menjawab karena ingat betul siapa cewek di depannya.

"Gue boleh di sini, kan?" Karena tak dijawab, Arabelle kembali bicara.

Hasilnya sama. Dia dikacangin. Untung kacangnya jadi gulali, enak bisa dimakan. Lah ini? Gulalamalama jadi kacang beneran.

Dika memilih pindah. Itu jelas membuat Arabelle gemas sendiri. Waktu istirahat sisa sepuluh menitan lagi dan target dia harus sudah berhasil melakukan pendekatan dengan Dika. Sebab, selain Dika ini orangnya jauh dari jangkauan publik, dia menduga Dika adalah cowok yang mudah ditaklukkan.

Arabelle memilih mengikuti, jadi duduk berdampingan di kursi paling pojok. Khas orang pacaran.

Dika risi. Dia menutup novel dan berjalan ke salah satu rak untuk menyimpannya. Arabelle setia mengikuti. Dika pergi ke rak lain, Arabelle juga menguntit.

Cowok itu mendecih, lalu menghela napas. Dia meletakan kembali buku yang hendak diambil sebelum akhirnya berbalik menghadap Arabelle.

"Hai, gue bo---"

"Penguntit?" potong Dika.

Mulut Arabelle seketika terbungkam. Suasana hening sesaat. "Bukan, gu---"

"Apa Anda tidak bisa baca catatan di sana?" Dika menunjuk kertas yang tertempel tepat di rak samping Arabelle.

Arabelle menolehnya sekilas dan memilih cuek. "Lalu?"

Dika geleng-geleng pelan, memilih pergi saja daripada harus berhadapan dengan cewek satu itu, sekalipun dia ingin melakukan sesuatu untuk balas dendam yang belum tuntas.

Arabelle tak menyerah, tetap menguntit Dika ke mana pun cowok itu pergi, asal bukan ke tempat pribadi. Oh, ayolah! Otaknya masih terpasang rapi, kok.

Apa Dika perlu membacakan ayat kursi guna mengusir syaiton yang sekarang tengah mengekor di belakangnya? Hari ini dia tidak meminjam buku, mood bacanya saja sudah hancur gara-gara didatangi dedemit. Jadi, sekarang dia menuju kelas. Namun, langkahnya seketika terhenti. Arabelle nyaris menubruknya. Cewek itu mengumpat dalam hati.

Jika Dika pergi ke kelas, otomatis syaiton di belakangnya akan tahu posisi dan itu bahaya. Bisa saja, kan, cerita-cerita yang dia dengar dari Arka akan menimpa? Sungguh itu bukan kisah yang baik bukan?

Jadi, Dika memilih turun ke lantai bawah, mumpung masih ada sisa waktu istirahat. Tak lupa, kupluk jaketnya---yang tak pernah lepas kecuali di dalam kelas---dipasang sebaik mungkin. Setelah turun ke lantai dasar, Dika berjalan lurus menuju parkiran. Setelah dari sana, dia berbelok ke kanan, melewati belakang kelas sepuluh. Tentu saja dia berjalan cepat, membuat Arabelle kewalahan, dan usahanya sukses! Arabelle berhenti mengikuti. Dia bebas.

Arabelle sendiri tengah jongkok dengan napas nyaris habis di dekat parkiran. "Gila tuh cowok!" umpatnya dengan nada putus-putus.

***

Dika pikir gangguan syaiton hanya waktu istirahat, nyatanya tidak. Saat pulang sekolah, betapa terkejutnya dia saat tiba di parkiran, sudah ditunggu seseorang.

Arabelle. "Pulang bareng!" ajaknya.

Dika bergidik. Seberapa tahu cewek ini terhadap dirinya? Untuk menanggapi, dia memilih menggeleng, dan segera berlari. Sialnya, dia lupa bahwa selama ada Arka, mereka tak pernah berangkat atau pulang sekolah bareng---atas permintaannya. Dia juga tak sempat memesan ojol atau sejenisnya. Jadi alternatif sementara, dia memilih jalan kaki, menyusuri trotoar sambil berharap cewek tadi tidak mengejar.

Ternyata tidak. Arabelle tersenyum sinis sebelum menyalakan mesin mobilnya. Dia sudah seperti penculik yang siap memangsa.

Kaca mobil sebelah kiri dibuka sepenuhnya, mobil juga melaju pelan. Dika dengan cepat tersusul olehnya. Cowok itu menutup wajahnya sampai nyaris hanya terlihat bagian mulut. Selain itu, dia berjalan menunduk dan terburu.

"Lo tinggal naik aja!" teriak Arabelle sedikit gemas. Padahal, apa susahnya, sih naik mobil? Toh dia juga bukan sindikat penjual organ tubuh ilegal.

Tidak direspons, tentu bukan pertanda dia akan menyerah. Lihat saja, seberapa kuat keinginan mereka beradu.

Saat Dika menghentikan sebuah angkot atau becak, dengan cepat Arabelle akan berteriak, "Dia bohong, Pak!" Alhasil mereka kembali melaju.

Dika habis kesabaran, dadanya juga mulai sesak karena terus berjalan di tengah teriknya siang, sudah gitu tidak mendapat asupan cairan pula. Dia berjongkok sebentar untuk merehatkan tubuh yang mulai berontak diajak kerja sama. Padahal, jarak ke rumahnya masih jauh. Jika ditempuh jalan kaki masih sekitar 30 menitan lagi.

"Masuk!" pinta Arabelle. Nadanya sudah ketus karena terlalu bosan membujuk Dika.

Akhirnya, Dika menyerah. Daripada dia pingsan di tengah jalan, kan?

Arabelle tersenyum penuh kemenangan. Dia mulai menjalankan mobil. "Alamat rumah lo?"

Gerakan tangan Dika yang tengah menarik-narik jaketnya sendiri, terhenti seketika. Apa dia harus memberitahukan alamat rumah? Bukankah itu nantinya sebuah petaka? Melihat seberapa nekat cewek di sampingnya ini.

"Rumah lo di mana?" ulang Arabelle karena pertanyaan pertama tidak dijawab.

Dika tetap bungkam.

Ini cowok bisu apa gimana, sih? batin Arabelle yang sudah gregetan. Dia mengulang pertanyaan untuk ketiga kali, tetapi hasilnya sama. Bahkan Dika memilih menutup telinganya dengan earphone.

'Jangan buat seorang Arabelle Kiyoko kesal', mungkin itu kalimat yang harus diingat Dika seumur hidup. Sebab, lihatlah Arabelle yang sudah mendapatkan sebuah ide untuk balas dendam akibat dirinya dicuekin.

Arabelle tancap gas saat menemukan jalan lenggang. Kecepatan mobil bertambah dan terus dia tambah. Nahasnya, ternyata Dika trauma dibawa ngebut. Otomatis seluruh perhatiannya segera terkumpul pada pemandangan di depan. Meski jalanan lenggang, tetapi kecepatan mobil yang tidak main-main, ditambah dikemudikan seorang cewek, sukses membuatnya ngeri luar biasa. Jantungnya berdetak cepat, napasnya mulai kembali sesak.

"Berhenti! Bahaya!" Dia bahkan tidak bisa mengontrol teriakan. Kedua kakinya sudah gemetar kencang, tetapi Arabelle tak berhenti. Dia sudah berniat akan balas dendam.

"S-saya mohon ... berhenti!" Kilasan-kilasan kejadian belasan tahun silam, berputar jelas bak kaset rusak di kepalanya. Sesekali matanya terpejam, melotot, lalu berangsur buram.

Mobil belum berhenti juga atau minimal kecepatannya berkurang. Mungkin bagi Arabelle kebut-kebutan sudah biasa, apalagi dulu dia punya teman tongkrongan. Makannya tadi setelah menemukan tempat yang cocok, dia sudah tancap gas pada kecepatan 80 km/jam. Baginya juga itu tidaklah kencang, malah tergolong pemanasan. Tidak menakutkan sama sekali.

"Stop ... berhenti! Ba-ha-ya ...." Dika langsung tak sadarkan diri. Keringat dingin membasahi wajahnya yang kini terseok-seok.

Menyadari itu, Arabelle langsung mengurangi kecepatan dan meminggirkan mobilnya. "Woi? Kenapa lo?" Tangannya terulur untuk menyentuh wajah Dika.

Kepala Dika beralih ke kiri saat didorong telunjuknya pelan. Tampak matanya terpejam, sementara helai rambutnya bergulung-gulung karena terbasahi keringat, dan wajahnya pucat.

"Waduh, lo mati?" Arabelle mulai sedikit panik, tetapi tetap berusaha biasa saja karena mungkin Dika tengah berakting. "Jangan pura-pura deh. Gue gak ngapa-ngapain lo, ya."

Tidak ada jawaban. Hal itu membuat Arabelle benar-benar panik. Apalagi saat dia menepuk pipi Dika, tidak ada jawaban. Memanggil pun sama. Dika bergeming.

Gimana, nih? Arabelle kelewat panik. Masalahnya, dia belum pernah menangani orang pingsan secara langsung. Dia lalu berusaha berpikir keras untuk melakukan pertolongan pertama.

Hal yang terlintas adalah melepaskan safety belt, lalu membuka kaca mobil. Dia juga membuka ritsleting jaket Dika. Namun, dia belum yakin apa posisi itu sudah aman atau tidak. Dia hanya berharap bahwa namanya tidak akan masuk koran sebagai pembunuh orang padahal dia tidak melakukan serangan apa pun.

Mengingat kata pembuhuhan, Arabelle bertambah panik.

Tidak! Gue harus keluarin ini cowok dari mobil gue. Terus gue tinggal, batin Arabelle seraya membuka pintu mobil.

Dia keluar, lalu membuka pintu mobil bagian kiri. Susah payah mengeluarkan Dika yang belum sadar-sadar juga, bahkan membiarkan tubuh mungilnya tertindih Dika karena tersandung trotoar. Kebetulan, dia berhenti di tempat yang banyak pohon---walau jauh ke permukiman---jadi selain teduh, hawanya juga sejuk.

Arabelle hanya berlogika, orang pingsan itu minim oksigen, jika di sekitarnya ada udara segar, mungkin bakal mempercepat penyembuhan.

Dia mungkin terlalu awam untuk mengerti hal seperti itu, tetapi dia pernah mengalami sesak luar biasa dan nyaris tak sadarkan diri setelah menangis sepanjang malam ketika Daffin meninggal. Dia tidak meminta pertolongan orang dan menyembuhkan sendiri dengan cara melakukan peregangan pernafasan di balkon. Kejadian itu sudah lama berlalu.

Baiklah, baiklah. Bukan sekarang waktunya untuk bernostalgia. Justru dia sedang dalam keadaan genting. Dika belum sadar. Sepertinya dia harus pergi sekarang juga! Namun, terdengar suara batuk yang membuat langkahnya terhenti.

Arabelle berbalik dan mendapati Dika sudah bergerak-gerak. Cowok itu bahkan sudah akan bangun.

"Eh, lo ... lo gak apa-apa?" Arabelle langsung mendekat dan menopang tubuh Dika yang masih lemah.

"Lo perlu minum?" tawar Arabelle.

Dika mengangguk lemah. Kebetulan tadi Arabelle membeli teh botol dingin yang baru diminum sebagian. Setelah memastikan Dika bisa duduk dengan benar, Arabelle segera mengambilnya.

"Gue perlu bantu?" Karena pikiran kacau, Arabelle tidak tahu dirinya bicara apa saat memberikan teh botol pada Dika.

Dika segera meminum teh tersebut. Dia hampir kembali terjengkang jika Arabelle tidak sigap menopang tubuhnya. Saat itu, entah kenapa Arabelle sangat takut dan panik. Dia bahkan tak sadar sampai menitikan air mata, apalagi saat wajah Daffin begitu terbayang jelas, melintas di benaknya.

"Hei, ... lo gak bakal mati, kan?" tanya Arabelle yang sudah kalut. Dia bicara dengan nada pelan dan gemetar.

Setelah lima belas menitan, kesadaran Dika sudah pulih sepenuhnya. Dia tersadar jika ada cewek yang berusaha jadi pahlawan, tengah menopang tubuhnya. "Saya gak mati," ujarnya.

Arabelle segera tersadar dan menghapus air matanya segera. Dia juga menetralisir wajah agar kembali ke semula.

"Lo gak bakal lapor gue ke polisi, kan?" Arabelle beralih duduk di sebelah Dika.

Dika menoleh pelan, lalu baru sadar kejadian sebelum dia pingsan. "Bisa. Asal kamu jangan ganggu saya lagi." Dia bangkit meski masih terasa pusing, pandangannya juga sedikit berkunang.

"Gue anter lo pulang. Tadi, kan gue juga udah nanyain alamat lo," kata Arabelle sambil membukakan pintu mobil.

Dika menatap datar, dia mencopot jaketnya karena gerah sebelum kembali masuk mobil. Tak ada pilihan lain memang, saat ini dia sudah lelah dan lemas.

"Jalan Cigadung Raya Barat, nanti belok ke Jalan Rancakendal. Terus nanti stop di Bubur Ayam Talaga Manggung. Bangunin saya kalau sudah sampai sesuai alamat," kata Dika. Dia mulai memejamkan mata guna menghilangkan rasa pusing.

Sementara, Arabelle menyetir mobil lebih pelan. Tiba-tiba dia takut setelah kejadian tadi.

***

"Nda, lo kenapa nih? Kok merem melek gitu. Gue jadi penasaran," kata Arka sambil melirik Amanda di sampingnya. Saat ini, mereka tengah melakukan take video untuk konten di Youtube Arka.

"Oh, ini, Kak. Aku, kan orangnya suka pelor. Nah, kemarin aku nemu bantal imut ini di situs online, terus aku beli deh. Aku kira, enggak bisa request karakter, ternyata bisa loh. Aku kemarin pesen empat, buat aku sama temen-temen, dan mereka suka. Karena selain imut, bantalnya juga nyaman banget. Empuk gitu pas dipake. Bikin nyaman bobok," sahut Amanda seraya memainkan bantal imut karakter pandanya.

"Wih. Gue mau coba dong." Arka menarik salah satu balmut dari samping Arabelle. Dia mendapat balmut karakter Keroppi.

Setelah melakukan beberapa dialog promo dan mempromosikan bantal imut, akhirnya take video dinyatakan lulus. Arka lega luar biasa. Pun Amanda yang masih belum percaya bisa satu video sama idola.

"Thanks, Nda atas semua kerja keras lo," kata Arka seraya tersenyum.

Senyuman manisnya nyaris membuat jantung Amanda kena kutukan.

Cerita Arabelle dan Dika sendiri masih berlanjut. Di mana mereka kini sudah sampai di depan Bubur Ayam Talaga Manggung, tetapi Dika belum bangun. Arabelle jadi bimbang, antara harus membangunkan atau membiarkan. Melihat Dika yang tetap terlelap, dia jadi takut hal mengerikan kembali terulang.

"Arka! Bawa sepedanya jangan kenceng-kenceng!" teriak Dika tiba-tiba saat Arabelle hendak membangunkannya. Sontak cewek itu berjengit dan mengumpat. Jantungnya serasa mau copot.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro