1. The Influencer (part 1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Januari 2024

"Kalian jangan buang sampah sembarangan, ya," perintah Rav.

"""Iya, Bu!""" seru seluruh murid berseragam putih merah itu. Terkecuali Lofi, dia hanya diam.

"Kenapa Bu?" tanya Lofi penasaran.

"Soalnya itu enggak baik. Nanti bisa jadi banjir," jelasnya. Rav menggunakan nada yang ramah dan sederhana.

"Oh ..., berarti orang tua aku jahat, Bu?" anak itu menimpali.

Bell sekolah berbunyi memerintahkan pulang

"Sikap," komando ketua kelas seperti seorang kapten. Lalu bawahnya mengikuti perintah.

"Beri salam," katanya lagi bernada.

Setelah salam, Ibu Guru keluar kelas. Meninggalkan Lofi dan pertanyaannya yang belum terjawab.

"Tidak semua orang itu baik, apalagi orang dewasa," gumamnya pelan sampai tidak terdengar.

***

Kulit pisang basah membusuk di helm yang terbalik. Rav menatap jijik, hidungnya bahkan mati rasa, kemudian menoleh ke mobil kepala sekolah yang terparkir di dekatnya. Tidak ada manusia, hanya buah-buahan parcel yang terpajang di atas dashboard.

"Orang tuamu bukan satu-satunya, Lofi," gumamnya sambil menyindir.

Bunyi bell notifikasi terdengar. Rupanya itu pesan teks dari Baim. "Zu, cepat ke sini."

Dengan enggan tapi terpaksa, wanita itu mencapit sampah basah di helmnya dengan dua jari—jempol dan telunjuk. Sayangnya tidak ada tempat sampah di sana, dan dia terlalu terburu-buru untuk mencarinya.

Plastik atau wadah apa pun juga tidak punya. Jadi tidak bisa dibawa begitu saja. Matanya teralihkan ke satu-satunya pilihan—sungai samping parkiran.

Notifikasi dari Baim terdengar lagi. Seperti menyuruhnya untuk lakukan saja. Dengan terpaksa, Rav melemparkannya ke sungai, yang merupakan tempat sampah bagi para penjual depan sekolah.

***

Rav di atas kuda besinya yang semakin dekat dengan tujuan, semakin lambat rodanya berputar. Gadis itu bingung, orang-orang di sekitarnya sibuk membersihkan garam di jalanan dan halaman rumahnya masing-masing.

Tidak terkecuali Baim, yang bahkan menyemprotkan air ke pohonnya. Membersihkan dahan, daun, dan buah dari butiran garam.

Gadis itu menghentikan motornya, persis di samping Pria itu.

"Kenapa?" tanya Rav sembari memarkirkan motornya.

"Biasa, orang perusahaan. Tadi mereka mengirim santet," ketusnya Baim menyembunyikan geram.

"Pakai garam?"

"Iya, sisi positifnya, kita dapat dua stoples garam gratis, Zu." Ekspresi Baim berubah ceria.

Gadis itu hanya tersenyum dengan sayu. Adiknya itu sering sekali memberi kejutan. "Ngomong-ngomong gimana interview-nya?"

"Yah, biasalah. Kalah sama ordal. Santai, besok aku ada lagi, tapi perginya harus pagi buta banget," terangnya dengan mudah seolah bukan masalah.

Kaki Rav berjalan masuk ke rumah, ke kamar, dan melemparkan diri ke kasur. Bau busuk tetiba saja menyerang hidungnya. Rupanya sisa-sisa sampah pisang menempel pada rambut. Gadis itu menghela nafas agar tenang, dan merenungkan permasalahannya.

Dibenci kepala sekolah karena Rav memberi hukuman pada anaknya. Adiknya sendiri, pengangguran karena minimnya relasi, bukan keahlian. Ada perusahaan yang mengklaim kawasan tempat tinggal mereka, sudah dilaporkan tapi tidak ada tanggapan dari pemerintah, kerap mereka meneror warga supaya pindah. Belum lagi upahnya yang kecil, tidak akan bisa menghidupi dua manusia terus-menerus.

"Semua akar masalahnya adalah manusia, andai aku bisa merubah mereka," keluhnya.

Suara notifikasi terdengar. Ada email dari RZ, mengirimkan link youtube. Tanda tanya menghujan di kepalanya. "Siapa RZ? Orang random salam kirim? Video apa, nih?"

Rav membuka link-nya. Hanya sebuah video tanpa gambar yang bergerak. Memperlihatkan lukisan pohon yang besar dan sejuk, pasti siapa pun ingin tidur di bawahnya. Smartphone-nya bernyanyi bahasa yang ia 'tak mengerti, tapi Rav kenal itu bahasa daerah.

Bahasa apa pun itu, yang dia butuhkan sekarang adalah rutinitas. Mandi, masak, makan, dan tidur.

***

Alarm untuk membangunkannya belum berdering, masih 5 menit lagi. Namun tidur Rav sudah terganggu. Sebuah bau menyengat hidung, seperti aroma pasar yang tidak dirawat.

Berkat itu, dengan terpaksa dia bangun. Mencoba memeriksa. Rupanya ada banyak sampah di halaman rumah. Kaget, Rav melihat sekeliling, mungkin pelakunya bersembunyi.

Namun yang dia temukan adalah sampah di pohon, jalanan, dan dimana-mana. Pikirnya ini mungkin ulah orang perusahaan. Saat berniat membersihkan, alarm berbunyi. Saatnya mandi dan berangkat ke sekolah.

Ingin menyuruh Baim, tapi dia sudah pergi untuk wawancaranya. "Mau gimana lagi, nanti aja saat pulang."

***

Dengan helm yang sudah dibersihkan, Rav memacu kuda besinya. Namun belum sampai tujuan, dia berhenti karena melihat kerumunan yang jarang ada.

Lima truk sampah, membuang angkutannya ke sungai. Warga setempat mengerubungi pelaku.

Sayangnya, wanita itu berkejaran dengan waktu. Dia harus bekerja. Jadi motornya dijalankan lagi, menghiraukan apa yang tadi terjadi. Rav menjauh, bersamaan dengan bubarnya warga dan membiarkan truk itu terus membuang sampah.

Ketika sampai tujuan, rupanya gerbang sudah ditutup. Para murid yang telat, duduk di samping gerbang, menunggu kesiswaan menghukum mereka.

"Sial, aku telat," gumam Rav sembari mengumpat.

Satpam melihatnya. Dia kenal seragam guru yang dipakai Rav. Dengan sigap, membuka kembali gerbangnya. "Telat, bu?" tanyanya basa-basi dengan senyum.

"Hehe, iya. Makasih, ya, pak." Rav masuk melewati gerbang dengan sungkan. Murid yang duduk diam, hanya bisa melihat ketidak adilan.

"Sialan, silahkan masuk, bu." Suara satpam dari belakangnya, membuat kaget.

Dengan reflek melihat spion. Satpam yang ramah itu menutup gerbang dengan ekspresi ramah. Bahkan dia menemani dan menghibur para murid yang lelah menunggu. Yah, mungkin tadi Rav salah dengar.

Parkiran guru dan staf hanya terisi setengah. Padahal biasanya penuh, apalagi ini pagi. Setelah melihat-lihat, Rav menyadari sesuatu.

Ada selembar uang merah di lantai. Bersama dengan itu, perutnya berteriak. Tadi belum makan, biasanya dia makan siang di warteg dekat sekolah. Tetapi, gajinya terlalu kecil untuk itu sebenarnya.

Notifikasi berantai muncul. Grup guru, rupanya uang 100 ribu milik kepala sekolah hilang. Dia sampai spam dan berkata kasar. Perut Rav kembali berbunyi. Parkiran itu kosong dari manusia. Hanya Rav yang ada di sana. Dengan perasaan tidak tenang, wanita itu mengambilnya dan memasukkannya ke saku.

Terserahlah, si guru sudah telat. Rav langsung berlari ke kelas. Jam sudah menunjukkan dia telat 20 menit. Namun, hanya ada satu murid di kelas, sisanya hanya tas di kursi, itupun tidak semuanya terisi.

"Selamat pagi. Lofi, kemana teman-temanmu?" Rav bingung. Dia menaruh tasnya di kursi guru.

Lofi sedang makan kripik dengan lahap. "Lelakinya di lapangan lagi main bola, perempuannya jajan ke kantin, bu."

Dengan kesal, Rav berjalan cepat ke lapangan. Bersamaan dengan Lofi yang sembarang melempar bungkus makanannya. Setelahnya, perhatian anak itu tertuju pada kursi guru.

"Hey, stop main bolanya, masuk kelas sekarang!" Teriakan Rav menghentikan permainan. Bahkan tenggorokannya sakit seketika.

"Sialan Ibu, nanti aja belajarnya, kan, boleh telat," alasan salah satu muridnya.

"Iya a*j**g, kalo telat juga tetap dihitung masuk, kan, Bu Rav?" Temannya menambahkan.

"Asik! Looting!" seru Lofi. Dia keluar kelas dengan membawa dompet Rav, seharusnya itu ada di tasnya.

bersambung


Panjang juga ya ceritanya Rav, kirain 1 bab aja cukup Oh btw, aku mau ngasih lagu ending buat bab ini

https://www.youtube.com/watch?v=5E8Zvpla2e0

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro