Bab. 9 Persiapan Pernikahan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


 Pov Maysa.

Bulan purnama yang biasanya indah di atas langit, menjadi sendu. Bulan melihatku sedih, sudah berapa lama aku menangis, kecewa karena sikap ibu yang menolak lamaran Jono tanpa meminta pendapatku.

Terlintas fikiran buruk untuk kabur saja dari rumah dan menikah dengan Jono. Tapi apalah daya, bagaimana cara menghubunginya, sedangkan no telponnya aku tak punya.

Untuk mengalihkan rasa sedihku, aku keluar dari kamar dan duduk di teras depan rumah. Aku melihat mba Vita tetanggaku yang baru pulang kerja dari kota. Dia melihatku dan menyapa, "Assalamu alaikum Maysa."

"Wa alaikum salam, baru pulang mba?"

"Iya May, kamu sendiri saja?"

"Iya mba."

"Dari pada sendiri di rumah, ayo main ke rumah. Aku beli novel baru, nih," ajak mba Vita.

Betul juga fikirku, lebih baik main ke rumah mba Vita, dari pada duduk sendiri.

"Tunggu sebentar, mba. Aku pamit ibu dulu," aku berlari ke dalam rumah untuk memberitahu ibu.

Aku melihat ibu baru duduk di ruang tengah.

"Bu, di luar ada mba Vita, aku boleh main ke rumahnya?"

"Boleh May, tapi pulangnya jangan terlalu malam," jawab ibu.

Setelah memberi tahu ibu, aku segera menemui mba Vita yang masih menunggu di luar.

Kami berjalan beriringan. Rumah mba Vita hanya berjarak tiga rumah dari rumahku. Kami ngobrol sekedarnya sampai di depan rumah.Kemudian kami masuk ke dalam rumah.

"Duduk sini saja May,lebih santai," aku mengikutinya dan duduk di ruang tengah.

"Aku mandi dulu May, ini bukunya, bagus lho," mba Vita memberikan buku novel yang baru saja di beli.

Aku menerimanya dengan senang hati,"Santai aja mba, aku tunggu sambil baca buku."

Setelah mandi dan berganti pakaian mba Vita tampak lebih segar, dia membawakan makanan dan minuman dari dapur. "Buat teman ngobrol," katanya sambil tertawa.

Kami kemudian mulai berbicara,tentang pekerjaan, sampai akhirnya dia menanyakan pernah melihatku di bonceng laki-laki naik motor.

"Mba hanya menanyakan May, apa yang mba lihat itu kamu."

"Iya mba, itu aku," jawabku,"Dan laki-laki itu bernama Jono, kami sudah lama berhubungan."

Mba Vita menatapku,"Maaf ya May, aku memberitahu ibumu, kamu pasti dimarahi, iya kan?"

"Ya mba, tapi tidak apa-apa. Hari ini Jono datang ke rumah dan melamarku, dia datang bersama pamannya. Tapi ibu menolaknya."

"Sabar May, mungkin ibu tidak ingin kamu terburu-buru menikah. Apa kamu sudah mengenalnya?"

"Sudah mba, dia pernah mengajakku ke tempat kerjanya.dia memiliki usaha toko sembako yang besar dan lengkap."

"Apa kamu mengenal keluarganya?"

"Belum," jawab Maysa,"Tapi dia sudah mengajak pamannya ke rumah untuk melamarku aku rasa itu sudah menunjukkan itikad yang baik.

Mba Vita menatapku dengan prihatin.

"Kalau ibu tidak memberikan restu, aku kawin lari saja dengan Jono."

"Apa? kawin lari!" pekik mba Vita dengan keras," Apa maksudmu May?" Mba Vita mengguncang bahuku.

"Jangan nekat May, sudah tahu ibu tidak setuju kamu menikah dengan Jono." katanya,"Mba Vita  tidak setuju."

"Mungkin saja kalau aku menikah dan punya anak, ibu akan setuju."

"Nggak May, pernikahan tanpa restu ibu itu tidak baik, tidak berkah hidupmu."

Aku dan mba Vita diam sejenak.

"Penyesalan selalu datang belakangan May, jangan pernah menyakiti hati ibumu." nasehatnya.

***

Sejak perbincanganku dengan mba Vita, aku merasa lebih tertantang, bukannya sadar, aku malah membulatkan tekad untuk menikah dengan Jono meskipun tanpa restu dari ibu.

Aku ingin membuktikan kepada ibu dan mba Vita bahwa pernikahanku dengan Jono adalah pilihan yang benar. Kelak jika aku sudah mempunyai anak, ibu juga akan memaafkan dan menerimaku.

Hari ini, aku berencana menemui Jono di toko sembakonya. Aku berbohong pada ibu dengan mengatakan akan main ke rumah mba Vita. Ibu tidak mencurigaiku sama sekali, sehingga mengijinkanku keluar rumah.

Dengan naik angkutan umum aku pergi ke toko sembako Jono, perjalanan dari rumah ke sana sekitar satu jam, tentu saja lebih lama dari waktu kemarin di antar Jono naik motor sendiri. Begitu tiba, Aku tidak langsung masuk ke dalam toko. Pengunjung cukup banyak berdatangan, aku menjadi ragu. Aku juga merasa malu menemuinya, aku memutuskan untuk pulang saja.

Ketika hendak pergi aku merasa ada yang memanggil namaku.

"Maysa... tunggu."

Aku berhenti dan menoleh, aku melihat Jono keluar dari dalam toko.

"Ternyata benar, kamu Maysa. Awalnya ku kira aku sedang berhalusinasi, saking kangennya sama kamu." Jono sangat senang melihatku yang saat ini berada didepannya.

"Eh..." Aku menjadi gugup dan canggung.  Merasa bersalah karena datang ke toko di waktu yang tidak tepat. Tentu saja banyak orang yang melihatku.

"Kita duduk di sana saja May, di warung makan samping toko ini."

Jono segera menggandeng tanganku dan mengajak pergi.

Sekarang kami sudah duduk di dalam warung makan.

"Kita pesan makan dan minum ya May," ajak Jono.

"Tidak mas, aku minum saja."

"Kamu pasti lapar dan haus May."

Jono segera memesan makanan dan minuman untuk kami berdua.Dia sengaja tidak mengajakku bicara. Beberapa hari tidak bertemu dengannya tentu saja aku merasa kangen. Hari ini Jono tampak lebih kurus, tidak seperti biasanya.

Jono segera mengajakku makan setelah pesanan datang, sepatah katapun tidak keluar dari mulutnya, dia hanya menikmati makanan. Aku masih merasa tidak tenang, maknanan itu terasa sulit masuk ke dalam kerongkonganku.

"Habiskan makanannya May, baru kita bicara," kata Jono.

Dengan susah payah aku berusaha menghabiskan makanan itu, tapi tetap saja masih bersisa."Sudah aku menyerah,""kataku sambil meletakkan sendok di atas piring.

Jono sudah menyelesaikan makannya. Dia tidak memaksa lagi.

"Kamu tahu May, aku sangat mencintaimu, aku ingin menikahimu, tapi ibumu menolak lamaranku."

Jono menjeda kalimatnya sebentar, dia menarik nafas dalam," Kamu sendiri bagaimana May? Apakah kamu mencintaiku?"

Aku menatap Jono mencari kepastian dari ucapannya, kemudian mengangguk.

"Kita menikah ya..."

"Tapi bagaimana dengan ibuku?"

"Kita menikah di kota saja, kalo sudah menikah, ibu tidak mungkin mengusir kita.Lama-lama ibu juga akan memberikan restu," bujuknya.

Aku yang semula sudah punya tekad untuk kawin lari,sekarang menjadi ragu dan takut. Terbayang wajah sedih ibu, juga wajah kecewa  mba Vita yang sudah mengingatkanku.

Jono masih terus membujukku dengan janji bahwa dia akan terus menjaga dan mencintaiku.

"Sekarang aku antar kamu pulang May, kita siapkan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk menikah, kalo sudah lengkap kita langsung ke Kantor Urusan Agama untuk mendaftarkan pernikahan di sana."

Aku hanya mengangguk, aku merasa sangat ketakutan. Apakah keputusan yang aku ambil sudah tepat?

Keputusan untuk menikah dengan Jono, laki-laki yang aku cintai.

***

Mulai saat itu diam- diam aku dan Jono berhubungan, kami menyiapkan berkas- berkas yang akan digunakan untuk memenuhi syarat pernikahan.

Jono bahkan menyewa rumah untuk kami tinggal setelah menikah. Rumah itu kecil tapi bagus dan bersih. Perabot rumah dan perlengkapan dapur juga lengkap. Aku menjadi sangat senang. Aku juga membeli beberapa baju, tas dan sandal. Tak lupa peralatan berhias juga.  Kulkas juga diisi dengan bahan makanan. Entah bagaimana perasaanku saat ini, ada rasa senang, ragu, takut dan bersalah...

"Maafkan Maysa, bu.."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro