17. Hidung Mengembang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Maxi bekerja sampai pukul dua siang. Dia kira meskipun dia tidak harus membawa ijazah dan berkas-berkas lain untuk mendaftar, dia tetap akan diwawancarai dulu sebelum bekerja dan harus menunggu pengumuman dia diterima atau tidak. Ternyata dia langsung disuruh bekerja. Toko itu membutuhkan pekerja karena pekerja yang lama sudah mendapatkan pekerjaan yang lebih mapan. Hal yang sama akan terjadi begitu Maxi meraih cita-citanya.

Pekerjaan itu tidak sulit untuk Maxi. Dia hanya perlu mendekatkan barang yang dibeli pengunjung toko ke alat pendeteksi barcode. Komputer di depannya otomatis menunjukkan jumlah harga. Berapa banyak kembalian yang harus Maxi berikan pun sudah tertera di komputer setelah dia memasukkan jumlah uang yang diberikan pembeli. Di dunianya lebih canggih lagi, tapi tidak semua tempat menerapkannya. Di toko kecil seperti tempatnya bekerja benar-benar tidak ada orang selain pembeli. Pelayan di toko adalah robot-robot yang menyebar di beberapa titik toko. Tugas mereka mengawasi pembeli yang bergerak mencurigakan dan menghitung harga barang-barang yang dibeli pengunjung.

Perasaan Maxi begitu lega saat keluar dari toko. Dia sudah bisa menghasilkan uang sendiri di negara ini. Dia memesan ojek online lagi karena belum paham bagaimana caranya menaiki bus meski dia sudah mencari tahu sembari bekerja tadi. Bagaimana dia bisa menemukan halte? Itu tidak begitu masalah dibanding bagaimana dia bisa tahu ke mana jurusan perginya bus itu. Dia mencari aman saja meskipun naik bus ternyata lebih murah daripada naik ojek.

Jam tangannya bergetar saat dia menunggu driver datang. Benda itu masih dia bawa ke mana saja karena hanya dengan jam tangan itu dia bisa berkomunikasi dengan keluarganya. Teknologi dunianya dengan teknologi di dunia Minggu tidak bisa menyambung dengan mudah. Ada beberapa tahap yang harus dilakukan dan itu lumayan sulit.

Maxi menjawab telepon Cerl tanpa memunculkan layar hologram di depannya. Wajah Cerl terlihat begitu kecil.
"Max!" serunya. "Kau sudah meraih apa yang kau impikan belum?"

Astaga. Adiknya kenapa tidak tahu sopan santun sekali? Setidaknya dia menanyakan kabarnya dulu. Maxi menyuruhnya melakukan itu. Cerl menjawab, "Itu membuang-buang waktu saja, Max. Aku bisa melihat kau baik-baik saja dari sini. Kau pun pasti bisa melihat bagaimama kondisiku. Sekarang jawab pertanyaanku. Kau sudah melakukan apa saja di sana?"

"Aku sudah melakukan banyak hal," jawab Maxi.

Seseorang membunyikan klakson di depan Maxi. Laki-laki berjaket hijau tersenyum padanya. "Benar dengan Mas Joseph?" tanyanya. Maxi langsung mengangguk. Cerl dia abaikan karena harus memakai helm.

Driver-nya kali ini tidak banyak bicara. Mungkin karena dia tahu Maxi sudah punya teman bicara.

"Kau bilang kau akan menuruti mauku, apa saja tanpa penolakan. Mana buktinya?" rengek Cerl setelah Maxi menolak untuk mengiriminya uang. Cerl bilang dia sangat membutuhkan uang untuk menonton film. Dia juga ingin membeli skateboard terbang terbaru di kotanya.

Maxi geleng-geleng kepala. Orang tuanya saja tidak pernah meminta ini itu. "Kau lupa detail ucapanku, Cerl. Aku akan memenuhinya kalau aku sudah sukses. Sekarang aku belum di titik itu. Masih kuusahakan dan kau harus tahu proses itu bisa jadi lama. Aku pergi belum ada dua bulan. Kau pikir aku ke sini untuk mencari pesugihan?" Maxi berusaha menyadarkan adiknya tanpa nada ataupun ekspresi marah.

"Kira-kira kapan, Max?" Maxi diam. Dia pun tidak tahu kapan. Dia masih baru akan memulainya. "Segerakan, ya, Max. Aku sudah bercerita ke teman-temanku kalau kau akan menjadi orang sukses. Aku bercerita ke mereka kalau nanti semua mauku akan kau kabulkan. Jangan jadikan ceritaku sebatas khayalan untuk teman-temanku."

Deg. Seketika Maxi merasa bebannya bertambah. Dia harus memenuhi ekspetasi orang, kan, kalau dilihat dari ucapan Cerl? Namun di satu sisi dia senang. Mungkin dengan menceritakan mimpi ke orang lain, orang itu akan membantu memintakan harapannya pada alam.

"Noov apa kabar?"

"Dia menjadi perempuan pemberani tanpa kau, Max. Semua orang menjadi lebih baik setelah kau pergi. Papi naik pangkat. Mami sekarang bekerja menjadi karyawan restoran. Mungkin hanya aku yang memburuk karena kau tidak ada. Aku terus-terusan disuruh bekerja oleh Mami dan Papi." Maxi mendengar dengkusan napas Cerl. Dia terkekeh. Lama sekali tidak mendengar keluh kesah seperti itu dan melihat wajah tertekuk Cerl.

"Kau akan mendapatkan hal baik dari kebaikan yang kau lakukan, Cerl. Ikhlaslah."

🛫🛫🛫

"Beneran itu Diva yang dulu rambutnya nggak tumbuh itu?" Anto menatap Yuri tidak percaya. Dia menoleh ke belakang, memastikan matanya tidak salah melihat. Namun apa yang dia lihat pertama kali dengan yang baru saja sama sekali tidak berbeda.

Dulu saat dia masih SMP, dia sering berkunjung ke rumah Yuri untuk memotong waktunya di rumah. Diva dulu anak usia SD yang sering mengejek Anto berwajah melas. Anto tidak sampai hati mengejek anak itu balik. Rambutnya di dekat telinga kanannya dulu benar-benar tidak tumbuh. Anto jelas takjub bagaimana bisa akhirnya rambut itu tumbuh.

"Denger-denger keluarga dia pergi ke dukun gitu. Minta ke dukun biar rambutnya tumbuh. Soalnya Diva kan makin gede, ya lihat penampilan, dong, mestinya. Tapi ada yang bilang dia pakek sampo penumbuh rambut, soalnya tumbuhnya juga nggak langsung. Dikit-dikit," ujar Yuri.

Anto membulatkan mulutnya setelah itu dia berpikir. "Tapi lebih masuk akal dia minta ke dukun. Emangnya ada to sampo yang bisa numbuhin rambut? Kandungannya apa?"

"Lo mulai, deh, mikir kunonya. Zaman sekarang nggak ada kayak begituan." Yuri memukul lengan Anto.

"Heh, ada, Ri! Kamu aja yang gak pernah coba."

"Lo aja, deh. Berhubung lo percaya dan lo belum juga dapetin apa yang lo mau." Wajah Yuri memelas.

"Ri, aku emang masih percaya yang kayak gitu, tapi aku gak mau jadi musyrik," balas Anto dengan sedikit kesal. Dia agak tersinggung dengan kenyataan yang Yuri ucapkan. Dia memang belum mendapatkan apa yang dia mau.

Masih ada puluhan langkah yang harus mereka tempuh agar sampai di rumah Yuri. Anto menatap sisi kirinya. Ada remaja perempuan yang duduk di depan pintu sambil makan. Dia geleng-geleng kepala. "Kamu percaya gak kalau perawan atau jaka makan di depan pintu, dia bakal awet jomblo?" tanya Anto setelah mereka diam agak lama.

Yuri menggeleng. "Tapi gue tetep patuhin aturan itu. Bukan gara-gara gue percaya, tapi emang nggak sopan aja dilihat. Lagian, masa artis makannya di depan pintu? Sama kayak orang-orang, dong? Bisa-bisa gue masuk berita kayak Prilly Latuconsina yang makan di piring." Mereka tertawa keras di jalan. Berita itu belum lama beredar di televisi.

"Kurang ajar banget berita itu, Ri. Aku gak habis pikir. Emangnya dulu dia makan di mana? Di bak mandi?" Anto masih berusaha meredakan tawanya.

"Udah-udah. Gue yang sesama artis, meskipun gue masih baru, tersinggung, nih."

Mereka masih tertawa sedikit-sedikit. Rumah Yuri berada di daerah pedesaan yang dekat dengan kota. Jalannya masih berupa jalan setapak sempit yang hanya bisa dilalui sepeda dan motor. Dia tadi pulang naik ojek mobil. Sopir menurunkannya di jalan beraspal yang masih menjadi bagian desanya yang berpenduduk lebih mapan. Mereka lantas masuk ke gang kecil di antara dua rumah warga kemudian melewati jalan setapak di depannya.

Mereka telah sampai di tempat tujuan. "Wow, rumahmu jadi lumayan begini, ya, Ri!" Anto menatap takjub rumah di depannya. Beberapa tahun yang lalu saat dia dan Yuri masih sekolah di tempat yang sama, rumah di depannya banyak yang berlubang. Warnanya dulu pun masih putih polos dengan beberapa noda di titik tertentu. Sekarang warna kuningnya menyilaukan mata.

"Hasil kerja keras emang bikin puas, To. Gue seneng banget bisa benerin rumah gue di usia gue yang masih muda gini." Yuri tersenyum bangga. Anto menatapnya sekilas. Dia tidak mau mengatainya terlalu membanggakan diri di saat dirinya belum bisa menghasilkan apa-apa. "Tapi ini sebagian dananya juga dibantu bansos dari pemerintah, kok." Anto bersyukur tidak mengatai Yuri.

"Eh, kok jadinya malah melototin rumah gue. Yuk, masuk!" Yuri menarik tangan Anto. Sambil berjalan, Anto menatap detail rumah itu. Perbandingannya dulu dan sekarang tidak main-main.

Sebenarnya tidak ada niat khusus Anto datang ke sini. Dia hanya ingin melihat ibu dan adik Yuri. Bocah kecil itu mengalami pertumbuhan yang baik. Tubuhnya tidak sedekil dulu. Giginya juga memutih. Badannya lumayan tertimpa daging. Anto tidak sadar bibirnya tertarik ke atas saat melihatnya tertawa menonton Upin dan Ipin. Dia kini duduk di ruang tamu, menunggu Yuri datang membawa martabak yang mereka beli sebelum pulang.

"To, menurut lo, Joseph kayak gimana orangnya?" tanya Yuri.

Anto mengernyitkan dahi. Kenapa tiba-tiba dia menanyakan Joseph padahal mereka sama sekali tidak membicarakan orang itu dari mereka bertemu di bank tadi. "Bukannya kamu to yang kenal dia dulu?"

Peristiwa sebelum di toko elektronik pun Yuri putar dengan mulutnya. Anto mendengarkan dengan seksama. Dia mengedikkan bahu setelah cerita itu selesai. "Aku gak tahu banget, tapi kalau dilihat, dia orangnya kalem, polos, dan anak baik-baiklah meski ternyata keluarga dia kayak gitu. Koruptor."

Biasanya ada alasan kenapa seseorang bertanya. Anto menanyakan rasa ingin tahunya. Sayangnya, jawaban Yuri yang hanya 'nggak papa. Cuma mau tahu aja' tidak menuntaskan rasa penasarannya. Dia menatap Yuri sedikit menyilidik. Hidungnya mengembang saat menjawab tanyanya. Dulu, dia tanpa sengaja melakukannya saat berbohong. Kebiasaan itu mungkin belum berubah. Mau menduga Yuri menyukai Joseph, Anto merasa tidak mungkin mengingat pertemuan mereka belum ada seminggu. Meskipun dia baru lulus SMA, masa iya dia masih menyukai orang semudah itu? Anto memutuskan tidak menarik kesimpulan sepihak.

"Ntar ingetin gue buat bawain dia martabak, ya," ujar Yuri.

🛫🛫🛫

Yang diomongin Yuri sama Anto

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro