19. Peluang Emas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Maxi menoleh ke arah pintu ketika mendengar benda itu diketuk. Dia kira itu Anto. Selama dia tinggal di sini, hanya dia yang pernah mengetuk pintu kamarnya. Beruntung Maxi tidak mengunci pintunya setelah ke kamar mandi tadi. Dia hanya tinggal menyuruh tamunya masuk tanpa harus beranjak dari kasur.

Keadaan Maxi terhitung sejak dia bangun tidur beberapa jam yang lalu sudah lebih baik daripada semalam. Dia langsung dibolehkan pulang setelah dokter memeriksanya dan memberi tahunya beberapa hal yang harus dia lakukan agar segera sembuh, serta menebus obat. Meskipun dia sudah lebih baik, dia masih susah bergerak. Tubuhnya masih lemas rasanya. Dia sampai meraba-raba dinding saat berjalan menuju kamar mandi tadi. Begitu juga dengan sekarang. Dia menggerakkan badannya pelan-pelan, berpindah dari posisi tiduran ke duduk.

Ternyata bukan Anto yang datang, melainkan Bu Tiwi dan ... Yuri? Kenapa dia datang ke kosnya pagi-pagi seperti ini? Maxi melihat jam dinding lagi. Saat ini waktu betul-betul masih menunjukkan pukul tujuh kurang. Semalam dia yakin bertemu Yuri di rumah sakit. Dia berkata ibunya entah kenapa harus dibawa ke rumah sakit. Maxi yakin dia mendengarnya. Dia baru ingin bertanya padanya, tapi Bu Tiwi lebih cepat menanyainya. Wanita itu melihat wajah Maxi masih agak pucat. Tubuh remaja itu juga terlihat lesu. Berarti dia belum sembuh sepenuhnya.

"Kamu kenapa kok bisa masuk ke rumah sakit? Kenapa kata dokter?" Bu Tiwi duduk di pinggir ranjang Maxi. Raut prihatin dan cemas berkumpul di wajah wanita itu. Seketika Maxi melihat ibunya di tubuh orang lain.

"Aku keracunan makanan, tapi tidak parah. Bu Tiwi tidak perlu cemas. Sekarang aku sudah lebih baik," jawab Maxi.

"Ya gimana nggak cemas, Sep. Penghuni kos ini nggak ada yang pernah masuk runah sakit. Kamu yang belum ada sebulan di sini bikin rekor baru tahu! Rekor nggak baik gitu." Raut Bu Tiwi berubah agak kesal.

Maxi terkekeh. Dia sendiri tidak mau masuk rumah sakit. Seandainya ada puskesmas buka di malam hari, Maxi memilih masuk ke sana.

"Emangnya kamu makan apa aja kemarin?" Bu Tiwi berniat menjadikan musibah ini sebagai acuannya. Setelah ini dia tidak mau memakan makanan dari tempat yang dibeli Maxi kemarin.

Dia hanya memakan roti, nasi padang, dan martabak dari Yuri. Yang dia minum adalah air galon milik penghuni kos Bu Tiwi. Maxi jadi berpikir makanan mana yang kira-kira membuatnya keracunan. Dia rasa tidak mungkin karena roti. Tanggal kadaluarsanya masih lama. Kalau Maxi tidak salah ingat masih enam bulan lagi. Roti itu juga salah satu merek baik di Indonesia menurut Google. Tidak ada catatan buruk tentang pengonsumsian roti itu. Nasi padang yang dia beli pun tidak terletak di pinggir jalan. Maxi melihat dengan matanya sendiri betapa bersihnya rumah makan tempatnya membeli nasi itu. Semuanya mengkilap. Pelayannya juga sangat menjaga kebersihan.

Apa karena martabak dari Yuri? Maxi menatapnya yang masih berdiri. Bu Tiwi ikut melihatnya. Maxi lega karena Yuri tidak terlihat tersinggung. "Nggak mungkin juga gara-gara itu. Anto sama gue juga makan martabak itu. Dan lihat, kami nggak papa. Tempat itu juga jadi incaran orang-orang, bersih," ujar Yuri.

Maxi menyugar rambutnya. Air galon kos juga tidak mungkin. Dia keracunan makanan, bukan minuman. Penghuni kos lainnya juga baik-baik saja. Maxi menyimpulkan ini memang ujian baginya, lagi.

Bu Tiwi menepuk-nepuk pundaknya dengan tatapan menyuruhnya sabar. Maxi tersenyum singkat. "Kamu makan di rumah saya aja hari ini. Saya takut kamu kenapa-napa. Jangan nolak! Saya juga bertanggung jawab atas keselamatan penghuni kos saya. Ibu pergi dulu mau masak. Nanti saya anterin ke kamar kamu." Wanita itu berdiri. Dia juga berpamitan pada Yuri. Maxi sangat berterima kasih padanya.

Sekarang dia ingin tahu kenapa Yuri datang ke sini. Dia menggantikan Bu Tiwi duduk di pinggir kasurnya. "Gue tadi ada urusan dikit sama Anto. Sekalian aja gue jenguk lo." Sekali lagi Yuri mendengar kata terima kasih. Di dalam hati dia tertawa karena sudah membuat orang percaya dengan ucapan bohongnya.

"Katanya lo nggak punya banyak uang, tapi kok bisa periksa ke rumah sakit?" Tujuan Yuri ke sini yang sebenarnya adalah bertanya.

"Emm, aku memang tidak punya banyak uang, tapi uangku cukup untuk berobat. Tapi sekarang tidak begitu banyak jumlahny. Untuk makan dan naik ojek saja membutuhkan uang yang lumayan banyak. Aku juga perlu membeli sabun dan pasta gigi dan kebutuhan lainnya." Ada makna tersirat yang Yuri tangkap dari ucapan itu dan membuatnya geram.

"Hari ini lo kerja, nggak?" Maxi menatap Yuri. Pertanyaannya mengapa acak sekali? Meski begitu dia tetap menjawab. Dia sudah memikirkan itu sejak dia bangun tidur. Dia tidak yakin dia bisa bekerja, tapi dia baru masuk sekali kemarin. Pengurus toko itu sudah baik sekali dengan langsung menjadikannya kasir. Pekerjaan itu mungkin akan hilang kalau dia tidak masuk hari ini. Maxi pun meyakinkan diri kalau dia pasti bisa, terlebih lagi Bu Tiwi memberi kemudahan untuknya soal mengisi perut.

Maxi penasan lagi. "Kenapa kamu menanyakan itu?"

Yuri diam sebentar meneguk ludahnya sendiri. Telinganya terasa geli mendengar ucapan Maxi. "Gaya bicara lo seformal itu, ya. Perasaan Kakak lo nggak," selidik Yuri.

"Kamu pernah bicara dengan Kakakku? Kapan?"

Yuri menepuk jidatnya. "Ya logikanya aja, Josh. Gue bilang gitu ya jelas gara-gara gue pernah ngobrol sama dia. Mana mungkin gue ngomong gaya bicara lo formal kalau gue nggak pernah bicara sama lo." Maxi menggaruk tengkuknya malu-malu karena ucapan Yuri yang secara tidak langsung mengatakan kalau dia tidak berpikir sebelum bicara. Ya, Maxi terlalu kaget mendengar Yuri berbicara dengan kakaknya—yang aslinya adalah kakak Joseph. Maxi takut Yuri tiba-tiba mengatakan keberadaannya.

"Jadi nanti lo tetep kerja?" Yuri memastikan dan Maxi mengangguk. Dia berpendapat lagi, "Lo nggak selamanya mau jadi kasir toko, kan, Josh? Apa yang bakal lo lakuin andai ortu lo bukan koruptor? Apa lo udah punya cita-cita, tapi terpaksa nggak lo kejar gara-gara nggak punya uang? Kalau iya, terus lo mau apa?"

"Jawab pertanyaanku lebih dulu. Kenapa kamu menanyakan ini? Aku curiga kamu bertemu Kakakku dan dia menyuruhmu memata-mataiku." Raut wajah Maxi tegas. Dia merasa aneh sekali. Yuri, perempuan tidak tahu diri di awal pertemuan mereka, perempuan yang tidak pernah bicara dengannya tiba-tiba ingin tahu semuanya.

"Gue nggak ketemu dia, kok. Beneran. Kenapa lo takut banget ketemu Kakak lo sendiri? Dia apaain lo emangnya kalau sampek ketemu?"

"Aku sudah mengatakannya saat di kamar Anto hari itu. Satu hari setelah kita saling kenal. Kamu juga ada. Dia bukan orang baik. Hidupku sudah cukup buruk. Aku tidak mau bertemu dia karena itu akan menambah buruknya hidupku."

What? Lo pikir lo orang baik? Yuri mendapatkan peluang emas dari pengakuan Joseph. Dia menenangkan lawan bicaranya dengan mengatakan tidak akan memberi tahu keberadaannya andai dia bertemu George. Mungkin dia akan menyuruh George menggaji para karyawannya dulu. Jujur Yuri khawatir dengan nasib perasaan mereka. Mereka mungkin sangat sakit hati.

Yuri dan Maxi kembali ke topik awal. Maxi mengatakan impiannya sendiri, bukan impian Joseph. Yuri agak terkejut mendengar apa yang Maxi mau. Dia pikir, sebagai anak yang kurang kasih sayang orang tua, keinginan Maxi hanyalah berfoya-foya. Ternyata Maxi ingin menjadi penulis skenario. Yuri sama sekali tidak terpikirkan anak dari keluarga buruk itu memiliki cita-cita seperti itu. Yang dia lakukan sekarang adalah mengikuti pelatihan menulis skenario gratis. Namun dia masih akan mendaftar nanti siang.

Mata Yuri menatap Maxi selama dia berbicara. Dia memang tidak terlihat jahat, tapi Yuri tetap menganggapnya jahat. Sudah jelas buktinya! Dia sama sekali tidak berniat menggaji para pembantunya. Paling tidak sekedar membicarakan itu dengan orang tuanya di penjara atau mungkin dengan saudaranya. Dia hanya memikirkan diri sendiri. Sedangkan Maxi tidak mungkin mengatakan kalau dia melakukannya untuk membanggakan keluarga aslinya. Yang Yuri tahu, keluarganya sudah terpecah sekarang.

Yuri memberinya semangat setelah termenung sebentar memikirkan peluang emas apa lagi yang ada di dalam pengakuannya. Hasilnya lebih memuaskan daripada peluang emas yang tadi. Tunggu, ya, Josh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro