11. 4q 9x p3rn4h nyak1t1n kmu, k3n4p4h kmue jh4t sm4 4q

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kejadian itu sudah berlalu lama, tapi masih segar dalam ingatanku. Berkirim pesan lewat surat sudah jarang terjadi di zaman serba canggih dan modern seperti saat ini, namun nyatanya cara itu pulalah yang membuatku mengenal Bang Radit.

Isi surat itu singkat, padat dan langsung menuju sasaran.

"Aku ingin mengenalmu lebih dekat, Pinky." Begitu isi suratnya, dikirimkan oleh Wahyu, seorang mahasiswa angkatan baru fakultas Hukum. Praktisnya, dia adalah junior Radit.

Hanya butuh waktu kurang dari dua detik untuk membaca keseluruhan isi pesan, sekaligus mengambil kesimpulan bahwa pengirim pesan merupakan sosok pria norak dan gaptek. Jadi kubalas saja kurang dari satu menit setelahnya. Di balik lembar surat yang dikirimkannya itu, kutuliskan nama profil akun facebook-ku, karena pada saat itu facebook-lah media sosial yang sedang hits. Dan, aku sangat cukup aktif menggunakan media sosial itu untuk menunjukkan kegilaanku.

Membuat status dengan tulisan-tulisan alay, misalnya: "DuCh, M@kAn C!y@n9 ap@ y En@nYa?"

Atau saat kesal pada salah satu sahabatku, aku akan menuliskan: "4q 9x p3rn4h nyak1t1n kmu, k3n4p4h kmue jh4t sm4 4q"

Tak jarang, aku juga mem-posting foto-foto norak bersama Jihan dan Sukma. Pernah ku-posting foto kami sedang meleseh di depan gerai Mc.D. Pernah juga kuposting foto wajah kami yang penuh dengan coretan gincu sehabis bermain domino. Pokoknya segala aib kutebar di sana.

Biar saja sang pengirim surat melihatnya dan kita lihat apakah setelah mengetahui semua aib itu dia masih ingin mengenalku lebih dekat.

Nyatanya, setengah jam kemudian permintaan pertemenan atas nama Radit Andika melalui notifikasi facebook masuk ke ponselku. Lalu satu jam setelahnya, sebuah pesan lanjutan masuk. Tanpa basa-basi Radit segera menjelaskan duduk perkara surat yang nyasar untukku.

Katanya, surat itu seharusnya bukan untukku, melainkan Pinkan Ashley, cewek populer yang menjadi incaran para pria di kampus. Teman-teman seangkatan Radit sedang gencar mencomblangkannya dengan cewek yang kebetulan mengambil program studi yang sama denganku itu.

"Anak-anak pada rese. Pake nyuruh mahasiswa baru ngirim surat ke kamu mengatas namakan aku segala. Maaf, ya," begitu akunya melalui pesan yang dikirimkan lewat facebook.

Aku memakluminya. Lagian, aku cukup tahu diri kalau aku bukanlah idaman para pria. Jadi aku menganggap ini hanya sebagai masalah sepele. Namun, yang nggak sepele adalah: Radit jadi rajin nge-like statusku dan ninggalin komen di foto-fotoku.

Kadang, kalau merasa statusku cukup menarik, dia bahkan membahasnya lewat chat-room. Lambat laun, kami malah jadi cocok. Hingga akhirnya Radit dengan sengaja menemuiku di kampus karena katanya senang berteman denganku. Kami jadi akrab.

Harus kuakui, aku yang nggak terbiasa berteman dengan lawan jenis ini dengan mudah jatuh hati padanya. Kupikir, dia nggak mungkin jatuh hati sama aku juga. Tapi ternyata, dia akhirnya nembak. Kami pacaran. Tapi nggak lama. Karena tiga bulan setelahnya, dia ngelanjutin kuliah di Bandung.

Sebagai salam perpisahan, Radit mencium bibirku. Ciuman pertama dan terakhir, sekaligus paling berkesan yang pernah kumiliki.

Semua kepingan ingatan yang tiba-tiba menyerbu itu membuatku tiba-tiba salah tingkah. Ditambah dengan picingan tajam dari mata Bang Domu yang seakan-akan ingin membakarku. Tanpa ditanya, aku segera meracau. "Bang Radit ini satu almamater sama aku dulu! Sama-sama alumni USU."

Lalu, Bang Radit dengan santainya menambahkan informasi. "Sekaligus mantan pacar. Kuharap kamu nggak malu mengakuinya."

Panik. Kulemparkan pandangan pada Bang Domu. Kalau tadinya matanya memicing, sekarang dia malah tertawa lebar. Kali ini tangannya yang terjulur ke puncak kepalaku, lalu mengacak-ngacaknya. "Kok kamu panik gitu, sih? Takut aku marah, ya? Tenang aja, Pinky, aku nggak marah kok. Semua orang punya masa lalu."

Bang Radit ikut tertawa kecil. "Kamu tetep aja selucu dulu, Pinky."

"Dari dulunya emang begitu ya?" Bang Domu malah ikut-ikutan bersemangat mengorek tentang masa laluku.

"Waduh, kalau Pinky, sih. Nggak ada jaim-jaimnya. Segala aib ditebar di media sosial." Bang Radit terkekeh. "Tapi itu juga yang bikin dia jadi berbeda. Dia selalu apa adanya, nggak pernah memasang topeng."

Mereka terus melanjutkan pembicaraan dengan membahas segala hal termasuk masa laluku. Aku nggak menyela. Memilih diam. Kubiarkan mereka menikmati pembicaraan itu, meski tak jarang terang-terangan menertawakan segala tingkahku di masa lalu.

Pembicaraan mereka terus berlanjut sampai kami berpindah tempat menuju sebuah coffee shop untuk menikmati kopi dan camilan ringan.

Bang Domu dan Bang Radit sangat cocok. Mereka mudah akrab.

Untuk membuatku ikut nge-blend, Bang Domu bercerita tentang kronologis hubungan mereka. "Radit ini salah satu anggota baru di law firm yang selalu jadi kepercayaan papa. Rekomendasi dari Bang Jorey juga karena mereka pernah kerjasama nanganin kasus buruh. Gitu kan, ya, Dit?" Bang Domu memastikan dengan menyebutkan serta nama abang iparnya.

"Iya bener. Waktu itu aku masih di Lembaga Bantuan Hukum punyanya Bang Jorey. Jadi beberapa kali pernah kerjasama nanganin kasus. Salah satu ya, itu kasus buruh yang nggak digaji perusahaan," Bang Radit membenarkan. "Gila sih, kerja bareng orang gila kerja kayak Bang Jorey. Mati-matian banget kalau udah megang kasus."

Mungkin, Bang Domu berpikir aku akan segera membuka kunci mulutku yang kututup rapat karena membahas sosok abang iparnya yang kisah hidupnya pernah kutuliskan menjadi sebuah novel. Memang harus kuakui, aku sangat mengidolakan Jorey Kalme Brahmana, nama lengkap abang ipar Bang Domu yang sejak tadi disebut-sebut. Bermodalkan cerita-cerita dari sesi ghibah ibu-ibu kompleks saja, rasanya aku tak kuasa menahan rasa kagumku, hingga merasa perlu menuliskan kisah tentangnya menjadi sebuah naskah novel.

Tapi sayangnya, kali ini aku tetap nggak bisa memberi respons selain senyum tipis dan seruan kekaguman yang dipaksakan semacam, "Oh, wow!" dan sejenisnya.

Jujur ... aku dongkol, kesal, nggak nyaman.

"Maaf kalau terkesan kepo, tapi ... kalian berdua ini ada hubungan apa ya?" Bang Radit membuat gestur kebingungan dengan kernyitan di keningnya. "Kalau abang-adik nggak mungkin, aku kenal baik anggota keluarga Pinkan. Kelihatannya juga bukan teman, karena kalian kelihatan sama-ama agak jaga image. Apa pedekate ... atau mungkin lebih dari itu?"

Emosi yang nggak karuan yang bercampur aduk di dalam dadaku akhirnya memuncak saat Bang Domu menjawab, "Nothing special ... kalau kata Pinkan, sih, hubungan nggak bernama."

***

"Kamu sendiri kan, yang bilang supaya hubungan kita nggak usah dikasi nama?"

"Hmm."

"Jadi kenapa kamu juga yang kelihatannya keberatan?"

"Aku nggak keberatan."

"Trus, kenapa dari tadi kamu diam aja?"

Pertanyaan itu sukses menyulut emosiku lagi. Serius, nih, Bang Domu beneran nggak paham? Jadi, dengan gaya sarkas, kutiru gaya Alif Cepmek yang sedang belakangan sempat viral. "Kamu nanyea'?"

Bang Domu tahu aku nggak sedang bercanda, jadi dia segera menepikan mobilnya ke badan jalan. Memutar tubuh gempalnya menghadap aku yang duduk di bangku sebelah supir. "Aku beneran nggak paham, Pinkan. Make it clear, please."

Oh, jadi serius dia nggak paham, Saudara-saudara. Kalau begitu biar aku kasih paham. Kuikuti gesturnya dengan memutar tubuh agar dapat saling berhadapan. "Menurut kamu, apa aku juga harus ngelakuin hal yang sama dengan kamu lakuin, kalau Zaana muncul nanti?"

"Maksudnya?"

"Apa aku juga harus ber-akrab-akrab ria sama mantan pacar kamu? Haha-hihi bareng? Trus dengan entengnya bernostalgia tentang masa lalu kalian? Membahas apa aja yang pernah kalian lakuin bareng?"

"Ya enggaklah! Aku bahkan nggak bakal ngizinin kamu deket sama Zaana?"

"Trus, kamu berharap aku bakal biasa aja gitu, kalau kamu deket sama Bang Radit?"

"Ya, kan, situasinya beda, Pinky. Kamu sendiri yang bilang kalau kamu nggak pernah pacaran serius."

"Oh, jadi itu yang ngebuat kamu ngerasa biasa aja?" Dia mulai berpikir. Maka kutambahkan beban pikirannya dengan mengaku, "Jadi gimana kalau aku membuat pengakuan kalau Bang Radit adalah satu-satunya cowok yang pernah nyium aku? Di bibir?"

Bang Domu tampak terkesiap. Tapi, aku rasanya terlalu lelah untuk melanjutkan pembicaraan ini. Maka kuputuskan untuk mengembalikan pandangan ke depan, lalu menurunkan sandaran bangku yang kududuki. "Aku ngantuk." Kurebahkan tubuhku.

Sebelum menutup mata, aku memberi pesan, "Kuharap ketika aku bangun nanti kita udah sampai di Medan."

💫💫

Nanya dong guys, untuk kepentingan lanjutan cerita nih...

Kalian nyaman nggak sih, kalau mantan kompak bingits sama pacar sekarang?

Akak Pinkan Seubeulll... 😏


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro