PROLOG

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dia adalah cinta pertamaku.

Bukan sekadar cinta monyet, meski kupikir awalnya begitu. Aku ingat jatuh cinta padanya ketika masih mengenakan seragam putih-biru. Kelas 7.

"Pakai ini," katanya saat menyodorkan jaketnya. Sebuah jaket denim berwarna biru muda.

Aku masih ingat peristiwa itu terjadi di waktu jam pulang sekolah, di dekat gerbang sekolah, tempat angkot (angkutan kota) berjejeran menunggui penumpang. Dia muncul ketika aku berdiri menunggu becak langganan di antara kerumunan orang-orang yang sibuk berbisik-bisik. Menunjuk-nunjuk ke arahku. Setengah menertawakan.

Oh iya, usia kami sebenarnya terpaut cukup jauh. Saat aku masuk SMP, dia sedang menjalani tahun terakhirnya di SMA. Tapi karena sekolah kami berada di satu gedung yang sama, aku dan dia kerap berpapasan di jam pulang sekolah.

Kali itu pun sebenarnya aku agak kaget dengan sapaannya. Meski saling mengenal, kami jarang bertegur sapa. Dia adalah penghuni baru di kompleks tempat tinggalku. Well, nggak baru-baru amat sih. Tepatnya, penghuni lama yang muncul kembali untuk menetap. Kalau meminjam istilah Mama, keluarga mereka selama ini menganut sistem "dua dapur" telah memutuskan untuk kembali menjadi "satu dapur".

Selama ini, ayahnya tinggal sendiri di Medan untuk mengurusi bisnis keluarga, sementara dia dan ibunya menetap di Jakarta untuk merawat sang nenek yang sedang sakit keras. Dari gosip yang kudengar, keluarga mereka sempat mengalami masalah. Sang ayah punya wanita idaman lain, sehingga membuat sang ibu memilih untuk pisah. Entah apa yang membuat mereka urung berpisah. Alih-alih bersatu kembali di usia senja. Rumah mereka terletak di blok A. Tepatnya, blok dengan jejeran rumah paling besar di kompleks.

Lebih tepatnya lagi, rumah mereka berada di area kompleks di dalam kompleks. Pokoknya sangat aman dan terjamin privacynya.

Berbeda dengan penghuni lain di blok A, sang ibu sangat ramah dan suka bergaul. Dia bahkan menjadi salah satu anggota geng ibu-ibu kompleks yang kerap menggosip di sore hari bersama Mama. Lokasi tetap area pergosipan adalah teras depan rumahku. Dan dia sudah mirip alarm yang muncul setiap jam enam sore untuk menjemput ibunya pulang. Itulah mengapa aku mulai familiar dengan wajahnya.

"Aku nggak kedinginan, Bang," sahutku.

Dia berdecak.

Lalu berinisiatif untuk merentangkan jaket yang disodorkannya untuk diikat di pinggangku. Tampang kebingunganku yang terlihat jelas saat itu hanya diresponsnya dengan berkata, "Ada noda di segaram kamu."

Kudengar-dengar dari gossip yang beredar di sekitar kompleks, dia memang si anak baru yang pendiam dan kaku. Yang mana kalau di sekolahan sikapnya itu malah dijuluki cool.

Sesampainya di rumah aku akhirnya paham alasan dari sikap absurd-nya hari itu. Noda yang dimaksudnya ternyata adalah noda darah dari menstruasi pertamaku. Pantas saja orang-orang di sekitarku bersikap aneh saat di depan sekolah tadi.

Detik di mana aku memahami alasan sikapnya saat itu, membuatku menjadikannya idola.

Tiba-tiba aku jadi penasaran dengan semua hal tentangnya.

Kata Jihan—sahabatku—aku sedang jatuh cinta.

Kalau kata Sukma—sahabatku yang lainnya—cintaku saat itu sekadar cinta monyet.

Sebenarnya nggak ada yang berubah dari hubungan kami sejak saat itu. Kami masih dua orang remaja yang saling mengenal namun jarang bertegur sapa. Kesibukannya di tahun terakhir SMA membuatnya jarang terlihat. Kata Bou Anggun—ibunya—dia sibuk belajar untuk masuk ke Universitas incarannya. Itu pun kucuri dengar dari sesi ghibah ibu-ibu-kompleks di teras rumahku.

((Bou: panggilan tante menurut adat Batak))

Dari sesi ghibah itu pula aku tahu segala perkembangan tentangnya. Bagaimana akhirnya dia berhasil diterima pada kampus yang diincarnya, kapan dia lulus Sarjana, di mana dia akhirnya bekerja. Bahkan, aku ikut mengucapkan selamat pada ibunya saat undangan pertunangannya sampai di tanganku tiga tahun silam.

Sekarang, usiaku sudah menginjak angka 25.

Tiga belas tahun sudah berlalu dari saat pertama kali aku menjadikannya sosok cinta pertama. Kupikir kami memang sudah ditakdirkan untuk menjalani hidup masing-masing. Dia sudah bertunangan. Sementara aku sudah gonta-ganti pacar sebanyak tiga kali seumur hidup.

Tapi hari ini, dengan mulutku yang lancang ini, sepertinya aku berhasil mengubah takdir kami.

Tepatnya saat di hadapan Bou Anggun, aku mengatakan. "Pinkan mau kok dijodohin sama Bang Domu." 


Bang Domunya Pinkan ❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro