Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Emil merasa celana dalam barunya terasa pas saat dipakai malam ini. Ah, pantatnya  memang semakin menggemaskan saja saat kedipan Pikachu menatap genit dari cermin, yang ia gunakan untuk mematut diri.

Kemarin, ia dan Iko sedang jalan-jalan ke salah satu pusat perbelanjaan. Begitu melihat celana dalam itu, Emil langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Gila kan! Ini benar-benar ajaib. Emil bisa jatuh cinta juga pada akhirnya. Setelah penolakan dan cinta bertepuk sebelah tangan dari Bang Ridho Rhoma yang berbulu dada menggelikan, Emil susah sekali jatuh cinta pada lelaki mana pun.

Ok, lupakan sejenak tentang laki-laki yang hanya membuat pikiran cewek-cewek emesh seperti Emil galau berkepanjangan. Kembali pada celana dalam imut, lucu dan membuat pantat gadis itu semakin bohay. Celdam yang akan ia kenakan untuk tidur malam ini. Selesai mematut diri, Emil kembali mengenakan baju kemudian segera menerjang gerbang mimpi. Berharap Bang Ridho Rhoma datang dengan sejumput bulu yang menggelitiki pantat Pikachu-nya.

***

"Mil, dicariin Lucky tuh!"

Suara Ais membuat Emil menoleh ke arah yang ditunjuk dagu. Benar saja, saat asyik makan di kantin, terlihat 'Bejo' datang menghampiri. Lucky alias si Bejo (dalam bahasa Jawa berarti, untung) ini sejak SMA sudah berkali-kali menyatakan perasaannya pada Emil, namun ditolak mentah-mentah. Bukan karena Emil buta atau hilang selera pada makhluk berbelalai depan. Hanya saja, Emil suka pada kaum yang matang, bukan yang mentah begitu. Dulu saat SD ia pernah kagum pada guru olahraga. Matanya berbinar tiap melihat sang guru mulai menggerakkan anggota tubuh, kala pemanasan sebelum pelajaran dimulai. Terlihat menawan, gagah, berkharisma, dan mengayomi. Matang-able sekali.

Lucky juga rupanya susah move on dari Emil yang begitu menyentak kewarasannya. Padahal gadis itu sudah menolak berulang kali, dari bahasa halus sampai sadis. Menggunakan bahasa bumi, hingga bahasa luar angkasa. Sudah lengkap semua yang Emil lakukan pada Bejo.

Populasi perempuan juga masih banyak di luaran sana. Dari yang model manis sampai beringas sekalipun, juga banyak. Terlebih lagi, Bejo tidak jelek. Bisa dibilang ... tampan juga. Meskipun bagi Emil lebih tampan Rey, yang lusuh sekali pun wajahnya. Entah susuk apa yang nyasar di tubuh Emil, hingga menghilangkan kewarasan Lucky begitu saja.

"Hai, Mil. Nggak ada kelas?" Bejo basa-basi. Ais mempersilakan Bejo duduk di kursi dekat Emil. Sedangkan Ais, memilih pindah di sisi lainnya. Karena satu meja hanya terdiri dari tiga kursi saja di kantin tersebut.

"Kalau nongkrong di sini, artinya nggak ada kelas, Jo." Emil menjawabnya sewot. Bejo hanya mengulas senyum sambil menggaruk kepalanya tak berketombe.

"Cabut yuk, Ais. Udah kenyang juga perutku." Lucky hanya bisa mengembuskan napas pasrah saat lagi- lagi, Emil tak menanggapi apa pun yang berusaha ia lakukan untuk berdekatan dengannya.

Kelas memang belum mulai. Emil dan Ais tetap masuk ke dalam kelas, bergabung dengan teman-teman lain yang sudah memaku pantatnya di kursi deretan belakang. Biasanya, orang datang dulu ke kelas hanya untuk mencari posisi. Deretan tengah serta semi ke belakang, adalah tempat favorit. Bagian depan, malah dihuni yang datang terlambat.

"Mil, kenapa sih Lucky nggak kamu terima aja cintanya? Kasihan, dari masih bocah sampai sekarang dada kita makin kenceng, tetep aja kamu tolak. Dia kurang apa sih,Mil?" penasaran Ais pada Emil.

"Nggak ada yang kurang sih. Cuma ... aku nggak srek aja sama dia yang kelewat populer. Cari yang biasa-biasa aja. Aku nggak siap kalau ikutan jadi artis dadakan."

Siapa sih yang tidak kenal Bejo di kampus ini? Seorang aktivis dengan nilai akademis yang mumpuni. Wajah yang rupawan dan segala atribut sebagai mahasiswa baik, melekat di dirinya. Banyak cewek-cewek kece rebutan buat dapetin dia, seperti ibu-ibu pemburu diskon minyak goreng di Suka Mart. Kalau kayak begini, Emil harusnya bangga atau gimana sih?

Perbincangan Bejo mendadak berakhir karena teman-teman Emil yang lain sudah terlihat datang. Emil pun sibuk mengobrol dengan teman satu kelompok yang akan presentasi esok pagi, melupakan sejenak masalah Bejo.

***

"Iko, kamu jahat sama aku!" teriak Emil kesal pada Iko dari ponsel yang dibelikan Rey tahun lalu.

Sore menjelang magrib, motor yang Emil kendarai untuk pulang ternyata kehabisan bensin. Hujan deras pun melanda. Harusnya memang Emil sudah pulang sejak tadi. Tapi, karena esok pagi ia ada presentasi dan butuh beberapa buku yang dipelajari, terjebaklah di kampus lebih lama. Sial lagi, teman-teman Emil juga sudah pulang sejak siang.

Meminta Iko menjemput, anak itu malah sedang mengikuti diklat di luar kota. Risiko punya saudara ipar yang terlalu menyukai kesibukan sebagai aktifis.
Rey? Kakak Emil itu malah sedang asyik memadu kasih dengan istrinya. Dengan alasan hujan yang dingin, ia ingin menghangatkan badan berdua saja dengan istrinya.
Apa perlu, buang saja Emil ke rawa-rawa kalau tak dipedulikan lagi.

Emil masih mendekam di depan kelas. Terlihat beberapa orang juga melakukan hal yang sama, berteduh karena hujan. Mungkin karena tidak membawa mantel atau menunggu jemputan, sehingga menunda untuk segera pulang. Baju Emil basah sebagian, karena sempat berlari ke parkiran untuk mengambil motor yang ternyata malah tidak mau menyala akibat kehabisan bensin. Tolol sekali ia tidak memperhatikan bensinnya.

"Emil?"

Emil menoleh mendapati suara yang memanggil namanya. Lagi lagi si Bejo datang. Emil hanya memutar bola matanya jengah.

"Hem." Emil menjawab sekenanya. Bejo tampak mendekat sembari melepas jaket yang ia kenakan.

"Kamu kedinginan kan? Pakai jaketku saja," tawar Bejo. Sayangnya Emil memang sedang butuh penghangat, jadi ia menerima jaket yang Bejo berikan.

"Kenapa masih belum pulang, Mil? Ada kuliah sore?" tanyanya. Emil menggeleng.

"Tadi masih ada perlu di perpus. Motorku juga lagi macet." Harusnya Emil tidak bilang kesialan nasibnya, karena justru memancing reaksi Bejo untuk menawari bantuan lebih. Kalau begini, Emil sangsi jika Bejo malah mengganggap bahwa ia mulai membalas perasaannya.

"Pulang sama aku saja bagaimana, Mil?" tawar Bejo mendapat angin segar.

"Nggak usah. Aku bareng sama Iko saja." Emil menolaknya dengan membawa nama Iko. Biasanya selalu berhasil. Cara ini Emil lakukan sejak SMA. Dulu Emil pernah ngibulin Bejo dengan mengatakan kalau Iko pacarnya, agar laki-laki yang bapaknya punya toko bangunan itu menjauh. Sekarang, Emil sudah diketahui bersaudara ipar dengan Iko, tidak mungkin berbohong lagi.

"Iko? Bukannya dia ada diklat?"

Sialan! Bejo dan Iko sama-sama aktifis, Emil lupa akan kenyataan itu. Sudah tentu tahu kegiatan apa saja yang sedang dilangsungkan. Kalau begini, Emil cari alasan apa lagi?

Tolongin dedek dong Bang Rey.... jangan anget-angetan sama mbak Sila aja kerjaannya, raung Emil dalam batin.

Oke, putar otak. Putar mata dan aha!

Ada makhluk KW yang sedang berlari menembus hujan menuju parkiran, dengan jaket yang ia gunakan sebagai payung. Ide tokcer melintas segera di kepala Emil. Ia melepas jaket milik Bejo yang ia kenakan, dan menyerahkan pada pemiliknya. Membuat laki-laki itu mengernyit bingung.

"Aku bareng sama kakaknya kakak iparku. Orangnya udah nunggu di parkiran ternyata. Aku capcus duluan ya." Belum sempat Bejo menyambar dengan pertanyaan siapa orang yang dimaksud--karena gadis di hadapannya amat belibet mengatakannya--Emil sudah lebih dulu mengambil langkah seribu menembus hujan.

Mengabaikan rasa dingin dan tetesan hujan yang mengguyur, Emil berlari menuju seorang laki-laki yang sibuk mengeluarkan mantel dari jok motornya. "Bang!"

Laki-laki itu menoleh. Emil sudah siap memasang senyum lima jari, berharap laki-laki bermata empat itu sedikit terpesona dan minimal, kedatangan Emil yang tiba-tiba di depannya dengan penampilan mirip curut kejebur got tidak merusak mood-nya. Kalau pendekatannya kurang, hancur sudah kesempatan Emil untuk pulang dan kabur dari Bejo.

"Kenapa?" Emil merubah senyum lima jari dengan wajah sendu setengah mengenaskan.

"Aku ikut pulang, ya? Motorku kehabisan bensin, nggak ada yang bisa jemput aku." Dipasangnya terus wajah memelas agar Dika luluh. Kalau tidak terjebak dalam situasi ini, Emil berteriak lantang ia ogah memohon macam pengemis kayak gini sama Dika.

"Nggak bisa." Penolakan. Anjir sekali kan? Padahal Emil sudah memasang wajah menyedihkan akut.

"Ayolah, Bang. Rumah kita kan sampingan. Nggak kasihan apa lihat saudara ipar merana begini?" Emil masih mencoba memohon.

"Motorku barusan dicuci," ucap Dika. Lah, apa hubungannya?

"Emang kenapa? Kena hujan juga kotor lagi."

"Aku nggak mau kamu mencret lagi, apalagi di motorku. Cukup sekali saja kamu menumpang."

Sialan! Mencret itu dibawa-bawa ke permukaan.

Kenapa malah diingatkan masalah mencret itu sih? Iya, iya. Emil akui kalau ia pernah bikin rusuh dengan Dika soal mencret itu. Tapi kan itu dulu ... sekali Sebelum Negara Api menyerang. "Aku nggak lagi mules kok, Bang. Cuma kebelet kentut aja efek masuk angin. Aku janji keluarin di rumah, nggak di jok motor. Tapi, please ... aku ikut pulang ya?" rengek Emil semakin frustrasi.

"Nggak. Pulang saja sendiri."

Tidak ada cara lain. Dengan sedikit kekuatan, Emil melompat naik ke boncengan Dika saat laki-laki itu sudah naik dan hendak men-starter motornya. Emil mengerat pada mantel berbentuk baju, agar tubuhnya tidak lepas saat Dika menggoyang, mengusir dari jok motor

"Turun!"

"Nggak mau!"

"Lepasin tanganmu, Mil!"

"Nggak!"

Emil bersikeras berpegangan pada Dika. Bahkan tubuhnya menempel di punggung Dika seperti kuman.  "Terserah kamu. Jangan salahkan kalau aku melemparmu di tengah jalan."

Dika mulai memasukkan gigi motor, dan melaju menembus hujan yang semakin membasahi badan Emil. Dika memakai mantel, sedangkan Emil dibiarkan hanya memeluk mantel, sembari menenggelamkan wajah di punggung Dika agar tidak semakin basah. Yang penting sampai rumah kan?

__________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro