Namjoon : Egoism

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Seberapa besarpun aku mencintaimu, aku tak akan pernah berkahir denganmu."

Helaan napas lelah terdengar dari ruangan di sebelahku, membuatku mengulum senyum. Dalam hati aku menghitung, kapan dia akan mengambil telepon dan menghubungiku.

Satu
Dua
Ti ..., 
Kriiiiiiiiing . . .


Belum sampai hitungan ketiga telepon di sampingku sudah berdering nyaring, tak ingin membuatnya menunggu secepat kilat aku mengangkat telepon intercom yang menghubungkan aku dengan dirinya.

"Yes, Sir?" sapaku sesopan mungkin. Lelaki diujung telepon itu mendengkus pelan.

"Keruanganku. Sekarang." Dua kata, dan aku tidak bisa menolak. Sebelum pergi sebisa mungkin aku merapikan penampilanku, bukankah tidak sopan jika akan menghadap seorang direktur utama dengan penampilan berantakan?

Sesampai di depan pintu yang menghubungkan antara ruanganku dengan ruangan direktur utama aku mengetuk pintu pelan, menunggu seseorang di dalam sana memperintahkan masuk.

"Masuk," suara bariton yang begitu sangat kurindukan itu terdengar lelah, aku membuka pintu dengan perlahan agar tak menimbulkan suara yang dapat mengganggunya.

Senyumku mengembang dengan sendirinya begitu melihatnya tengah bersandar pada kursi kebesarannya, dia terlihat sangat lelah akhir-akhir ini.

"Kim sajangnim, Anda memanggil saya?" tangannya terangkat memberi intruksi padaku untuk mendekat, tanpa ragu aku mendekat dan berdiri di sampingnya.

Aku tersentak kaget begitu kedua lengannya melingkar di pinggangku, diletakan kepalanya tepat di perutku, membuat seluruh sarafku berkerja lambat.

"Sajangnim, apa yang Anda lakukan?" tanyaku gugup, jantungku rasanya berkerja terlalu cepat membuat pipiku memanas. Ini terlalu dekat. Terlalu intens.

"Namjoon, panggil aku Namjoon," jawabanya sambil menelusupkan kepalanya semakin dalam di perutku, membuatku merasakan sensasi hangat disana.

"Tapi ini di kantor, bagaimana jika ada---"

"Ssssst ..., aku lelah, bisakah kau menemaniku tidur? Sebentar saja, sebelum jadwal pertemuanku," aku menghela napas berat, sebelum akhirnya menggiring tubuh jangkung Namjoon ke kursi yang memang tersedia di ruangannya.

Tak ingin membuang waktu, secepat kilat Namjoon meletakkan kepalanya di pangkuanku, sebelah tangannya menggenggam tanganku begitu erat, sementara satu tanganku yang terbebas aku gunakan untuk mengelus surai hitam miliknya.

Aku memperhatikan lamat-lamat wajah lelaki di pangkuanku, merekamnya sebaik mungkin di memori kepala, menyimpannya sebaik mungkin di dalam ingatan. Tanganku menelusuri setiap lekuk wajahnya yang indah, sempurna, nyaris tanpa cacat.

Kim Namjoon. Siapa yang tak mengenalnya. Seorang pembisnis muda yang tengah mencapai puncak kariernya. Lihatlah wajahnya yang tampak lelah karena bertumpuk-tumpuk berkas yang harus di periksanya, belum lagi jadwal pertemuan dengan para vendor dan pemegang saham yang tak terkira jumlahnya.

Wajahnya tampak lebih kurus dari terakhir kali aku menatapnya sedekat ini. Wajar saja, mungkin dia lebih senang menghabiskan waktunya untuk proyek baru yang tengah di gagasnya, dari pada memikirkan makanan yang masuk kedalam tubuhnya.

Aku menghela nafas dalam, seharusnya dia memperhatikan pola makannya. Dia menjadi workaholic akhir-akhir ini, sampai-sampai tidak memperhatikan kesehatannya.

Kim Namjoon, dia adalah seorang pria sempurna yang menjadi idaman para wanita di luar sana. Pria yang telah menemani hidupku selama kurun waktu 6 tahun terakhir. Pria yang aku cintai sepenuh jiwa dan ragaku.

Melihatnya tampak begitu kelelahan tak urung membuatku khawatir juga, sebagai sekertaris pribadinya jelas aku tahu betul bagaimana padatnya jadwal Namjoon.

Tak jarang aku harus menemaninya lembur semalaman di kantor hanya untuk menyelesaikan berkas-berkas yang kelewat penting. Tak jarang pula aku dan Namjoon harus pulang pergi ke luar negeri untuk mencari vendor yang akan menanam investasi mereka pada proyek yang digagas Namjoon.

Namun, aku tak pernah mengeluh lelah ataupun susah. Bagiku selagi bersama Namjoon-ku, keujung dunia sekalipun akan aku ikuti dia.

Terdengar gila memang bagi mereka yang belum pernah merasakan jatuh cinta. Tapi percayalah, kalian pun akan melakukan hal yang sama jika tengah dimabuk cinta, meski cintaku pada Namjoon mungkin salah. Dia adalah kesalahan terbesar yang entah mengapa terlalu indah untuk di lewatkan. Barangkali iblis tengah berteriak senang karena akan mendapatkan kawan di neraka nanti.

Elusan tangaku terhenti, ketika netraku tak sengaja menangkap benda berkilau di jari lelaki yang kini tengah tertidur pulas dalam pangkuanku. Secepat mungkin aku mengalihkan perhatianku dari cincin yang terbingkai sempurna di jari manis Namjoon. Kenapa rasanya masih sesakit ini? Bukankah sudah 5 tahun lamanya cincin itu melingkar di sana.

Tapi, kenapa rasanya masih sama seperti saat pertama kali melihatnya? Sesak, sakit, dan rasa kecewa tetiba saja menumpuk menjadi satu. Memukul rongga dadaku hingga ke akarnya, menyisakan perasaan pilu yang teramat sangat di sana.

Ada perasaan bersalah tiap kali melihatnya dengan cincin di jarinya. Seolah secara tidak langsung dunia meneriakiku jika lelakiku sudah ada pemiliknya.

Aku menatap jari-jariku, tak ada satupun cincin yang melingkar di sana, tanpa sadar air mataku sudah menggenang. Mengalir membentuk sungai di kedua pipiku, rasanya masih sesakit kemarin.

"Harusnya cincin itu melingkar di jari-jariku," gumamku pelan.

Mengingat kejadian 5 tahun lalu hanya akan membangkitkan rasa sakit di hatiku. Menikamku secara brutal dengan ingatan-ingatan yang bahkan tak bisa aku lupakan.

Air mataku mengalir deras, aku terisak hanya karena mengingat pernikahan Namjoon dengan wanita yang bahkan tak pernah kukenal, lebih gila lagi mereka kini telah di karuniai seorang anak laki-laki. Dan dengan bodohnya aku menerima Namjoon kembali dalam kehidupanku setelah begitu banyaknya rasa sakit yang dia berikan. Tapi aku bisa apa? Aku bahkan terlalu takut untuk kehilangannya.

Isakanku semakin menjadi-jadi, berkali-kali aku pukul rongga dadaku demi menghilangkan sesak yang menghimpit. Air mata mengalir semakin deras bersamaan dengan rasa sakit yang terus menghantam dada. Ini terlalu menyakitkan. Tapi tubuhku seolah terbiasa dengan berbagai macam rasa sakit. Ini gila.

Namjoon yang terusik dengan tangisku akhirnya bangun dari tidurnya. Matanya membelalak kaget melihatku bersimbah air mata, tangannya dengan cekatan menahan lenganku agar berhenti memukuli dadaku sendiri.

"Ada apa? Kenapa kau menangis?" tanyanya penuh dengan rasa khawatir, membuat tangisku semakin kencang.

"Sakit Namjoon. Rasanya sakit sekali," ucapku parau, sakit dan sesak itu tak kunjung hilang malah semakin menjadi. Oh, ini menyesakan.

Aku yakin Namjoon tengah kebingungan. Kedua tanganya menangkup pipiku, menghapus air mataku dengan lembut memberikan sepercik rasa nyaman.

"Jangan menangis, aku disini. Kau bisa membagi rasa sakitmu padaku hmm. Kau tahu itu 'kan?" direngkuhnya tubuh ringkihku dalam pelukannya, mengukungku dalam rasa hangat yang begitu memabukan. Air mataku rasanya masih enggan untuk berhenti mengalir, bahkan aku tak peduli jika baju Namjoon akan ikut basah.

Kaulah sumber dari rasa sakitku, Namjoon.

                               ***************

"Kau melamun," aku tersentak kaget saat Namjoon menyentuh tanganku. Namjoon tersenyum manis lalu bangkit dari duduknya, tangannya merogoh kantung celana dan mengeluarkan kotak beludru hitam, ia berdiri tepat di belakangku di pamerkannya sebuah liontin berbandul bunga sakura, bunga kesukaanku.

"Kau suka?" tanyanya, aku jawab dengan anggukan antusias. Di pasangkannya liontin itu dengan hati-hati. Lengan kekarnya melingkar di bahuku, di kecupnya pipiku lama.

"Terimakasih untuk 6 tahun yang berharga ini, (yn) saranghae," Aku tidak membalas ucapan cintanya, terlalu fokus dengan liontin di leherku.

Ya, aku dan Namjoon tengah merayakan 6 tahun hubungan kami. Hal yang tak pernah absen kami lakukan setiap tahunnya. Aku menjauhkan wajahku demi melihat wajah Namjoon, kukecup bibirnya singkat hingga sebuah senyum terbit disana.

"Terimakasih kembali, Namjoon. Aku suka hadiahnya," Namjoon mengecup keningku lama, mengantarkan rasa hangat yang mengaliri hatiku. Hingga dering telepon miliknya menginterupsi kegiatan romantis kami. Dia memberi isyarat untuk menunggu sebentar dan aku hanya menghela nafas dalam.

Namjoon kembali dengan wajah pucat, terlihat sangat cemas dan panik. Dia secepat kilat membereskan barang-barangnya.

"Ada apa? Apa ada masalah?" Namjoon menatapku dengan tatapan bersalah.

"(yn), maaf, aku harus pergi. Ra On jatuh dari tangga dan di bawa ke rumah sakit, aku akan mengantarmu pulang dulu. Bergegaslah." Tubuhku mematung. Ra On adalah Putra semata wayang Namjoon. Wajar jika dia begitu khawatir. Tapi, kenapa hatiku tetap sakit? Bukankah aku begity egois. Raut cemas dan khawatir tampak jelas di wajahnya membuatku tidak tega.

Aku cekal tangan Namjoon membuatnya mengalihkan perhatiannya padaku "Pergilah, aku bisa naik taksi nanti. Dia pasti membutuhkanmu."

"Aku akan mengantarmu," ujarnya, tetap ngotot pada keputusan awalnya.
"Tidak, dia pasti sedang kesakitan dan membutuhkanmu. Akan lebih baik jika kau cepat pergi ke sana. Jangan khawatirkan aku, aku baik-baik saja," Namjoon tampak berpikir, sebelum akhirnya mengangguk dan memutuskan pergi meninggalkan aku sendirian.

"Telepon aku jika sudah sampai di rumah," aku mengangguk pelan mematuhi perintahnya, Namjoon mengecup keningku kilat sebelum bergegas pergi.

Aku memandangi punggungnya yang perlahan hilang bersamaan dengan air mata yang berjatuhan satu persatu.

Aku terduduk lemas di kursi, dadaku rasanya sesak. Tangisku pecah seketika, rasanya teramat sangat sakit. Dia pergi untuk anaknya, kenapa aku tidak bisa mengerti? Kenapa aku serakah ingin memilikinya sendiri?

Harusnya aku sudah cukup bahagia karena dia tetap di sisiku. Aku tekan dadaku demi menghilangkan sesak yang menghimpit. Aku ingin dia seutuhnya, bukan seperti ini.

Teganya aku mengambil seorang suami sekaligus ayah dari keluarganya. Bagaimanapun juga Ra On adalah putranya, ayah mana yang tidak panik mendengar anaknya baru saja masuk rumah sakit.

Dan wanita mana yang tidak terluka melihat kekasihnya pergi meninggalkannya saat tengah merayakan hubungan mereka. Katakanlah aku bodoh, gila dan jalang, berani sekali aku berharap lebih diutamakan dari anak Namjoon. Ya, sudah seharusnya aku tahu diri dan posisiku. Aku tidak lebih dari wanita simpanannya. Tapi aku juga begitu mencintainya.

*****************

Ballroom hotel bintang lima itu tampak penuh sesak, di penuhi oleh kaum borjuis. Jika aku tafsirkan dari atas kepala hingga kaki apa yang mereka pakai, kurasa nominalnya cukup untuk membeli sebuah apartemen di kawasan elite semacam Gangnam.

Bukan inginku berada di sini, jika bukan karena tuntutan pekerjaan mana sudi aku terjebak di tempat ini. Tapi, karena posisiku sebagai sekertaris dari direktur utama mau tak mau aku harus menghadirinya.

Semua mata tertuju pada dua insan yang baru masuk ballroom, orang yang mengadakan pesta ini sebagai perayaan keberhasilan atas proyek yang digagasnya.

Kim Namjoon berjalan dengan santai, lengannya diampit dengan mesra oleh seorang wanita yang berstatus sebagai istrinya. Aku lebih memilih membuang muka, terlalu menyakitkan. Hanya akan menambah luka baru, sementara luka lama pun belum sempat aku obati. Melihatnya begitu bahagia hanya akan membuat lukanya semakin lebar dengan rasa sakit yang bahkan tidak bisa lagi jelaskan.

"Oh! Sekertaris Song, kau juga datang," baru juga aku berniat melangkah pergi, namaku di sebut. Aku mengulas senyum semanis dan sesopan mungkin pada wanita yang berdiri di hadapanku, tangannya masih setia mengampit lengan Namjoon membuatku jengah setengah mati. Lelakiku tampak bahagia sekali. Aku jadi penasaran, itu kebahagiaan sungguhan atau hanya topeng yang sengaja disematkan?

"Ah hallo Kim sajangnim dan Nyonya Kim," sapaku, mencoba sesopan mungkin. Namjoon hanya mengulas senyum tipis. "Senang rasanya bertemu denganmu sekertaris Song." Aku mengulum senyum, "Terimakasih nyonya. Suatu kehormatan bisa bertemu denganmu."

Dia memberikan senyum lebar, lalu setelahnya tidak menghiraukan keberadaanku. Beberapa kali kulihat ia berbisik mesra pada Namjoon dan membuat lelaki itu tersenyum. Bahkan seingatku, sejak tadi Namjoon tak sedikitpun menoleh padaku, tak sadarkah dirinya bahwa dia tengah menuang garam pada setiap luka di hatiku.

Memangnya kau siapa?  Hanya perempuan simpanan sang direktur.

Aku mendengar sebuah bisikan yang mirip suaraku, membuatku tersenyum kecut. Ya, aku lah si wanita simpanan.

Mimpi apa aku semalam harus terjebak satu meja dengan Namjoon dan istrinya. Rasanya selera makanku hilang, sedari tadi yang aku lakukan hanya mengaduk-aduk makananku.

"Aku punya pengumuman," ujar Ha Yeon, istri dari kekasihku itu berdiri membuat seluruh tamu undangan mengarahkan perhatian padanya.

Wanita cantik itu tersenyum manis "Mungkin ini akan menjadi kabar yang membahagiakan untukku dan Namjoon," diliriknya Namjoon, aku terlalu malas untuk sekedar mendengarkan apa yang akan di ucapkan wanita itu.

"Setelah 4 tahun aku melahirkan Ra On, saat ini aku sedang mengandung calon adik Ra On. Anak kedua kami."

Kalimat itu lolos masuk dalam telingaku, rasanya makanan yang baru saja masuk tenggorokanku mendesak ingin keluar. Aku tersenyum sinis.

Riuh tepuk tangan dan sorak sorai ucapan selamat menggema dalam ruangan, nafasku rasanya tercekat, sulit hanya untuk sekedar bernafas. Aku menatap lelaki di hadapanku, ekspresi wajah kaget bercampur ..... Bahagia.

Mata kami bertemu untuk sekian sekon lalu dia berdiri dan dengan gagahnya merengkuh Ha Yeon ke dalam pelukannya. Lagi dan lagi suara riuh tepuk tangan menggema, mencampakan aku yang masih belum sadar akan situasi. Kenapa hanya aku yang tidak bisa bereaksi atas apa yang terjadi? Kemana nyawaku pergi.

"Tarimakasih, babe." Samar namun masih bisa ku tangkap dengan jelas apa yang di ucapkan Namjoon. Susah payah aku mengumpulkan kepingan hatiku, dan dengan mudahnya ia menghancurkannya kembali. Aku bangkit memutuskan untuk pergi dari tempat terkutuk yang telah meluluhlantakkan hatiku, menjadi butiran yang tak mungkin aku sanggup susun kembali.

**********************

Sebuah tangan melingkar di pinggangku, menghantar kehangatan yang entah mengapa terasa sangat menyesakan, Namjoon meletakkan dagunya di bahuku dan menghirup nafas dalam.

"Kenapa disini? Nanti kedinginan," aku lebih baik kedinginan dari pada harus kepanasan karena melihatmu dengan istrimu.

"Aku hanya ingin mencari angin," dustaku, entahlah aku hanya merasa perlu menghargai hubungan Ha Yeon dengan Namjoon.

Namjoon semakin menyusupkan kepalanya di ceruk leherku, berkali-kali mengecupnya membuatku geli.

"Namjoon?" panggilku pelan, pria itu hanya menggumam menjawab panggilanku. Terlalu sibuk dengan aktivitasnya.

"Apa kau mencintaiku?" Namjoon menghentikan aktivitasnya, dapat kurasakan hembusan nafasnya di tengkukku.

"Tentu," jawabnya pendek, tanganku bergerak mengurai pelukan Namjoon. Aku berbalik untuk menatapnya. Ku kalungkan lenganku di lehernya, mengikis jarak yang tersisa.

"Kalau begitu, bolehkah aku meminta sesuatu Namjoon-ah?" kening lelaki ku berkerut bingung, namun tak urung juga dia mengangguk, bibirnya mengulas senyum manis.

Aku menatap tepat di manik mata Namjoon, sementara hatiku mencoba menguatkan diri. "Bisakah kau melepaskan aku? Bisakah kita mengakhiri hubungan ini, Namjoon?" tanyaku dalam satu tarikan nafas.

Senyum manis itu luntur seketika, aku benci menjadi penyebab hilangnya senyum di wajah Namjoon. Dia menatapku tak percaya, seperkian detik Namjoon hanya diam. Hingga akhirnya Namjoon menemukan suaranya kembali.

"Kau boleh meminta apapun. Tapi tidak dengan berpisah," ucapnya tegas, raut wajahnya terlihat tegang. Aku menunduk tak berani menatap mata nyalang milik Namjoon.

Hening beberapa saat, sebelum akhirnya aku bisa menemukan suaraku kembali.

"Aku yakin kau bahkan tak pernah menyadari sudah berapa banyak kau melukai ku. Kau juga tidak pernah tahu apa yang harus aku terima setiap harinya." Aku menggit bibir bawahku, lalu dengan sisa keberanian yang aku miliki, aku kembali menatap matanya,  "sadarlah Namjoon, hubungan kita tidak seharusnya ada, kita hanya akan saling menyakiti. Berapa bayak pihak yang akan terluka karena kita? Kumohon Namjoon, lepaskan aku kali ini saja." Aku menatapnya, memohon.

Namjoon bergeming di tempatnya. Tubuhnya menegang. Aku bahakn tidak bisa membaca raut wajahnya saat ini. Terkahir kali aku berbicara mengenai hal ini, berakhir dengan Namjoon yang menghancurkan setengah dari apartemenku. Dia punya sisi yang tidak bisa di deteksi. Namjoon masih tidak bereaksi,nafasnya terasa memburu menahan emosi.

"Kita sudah pernah membahas hal ini, dan keputusanku tetap sama seperti dulu," jawabnya bebal. Air mataku menggenang satu kedipan dan mereka berjatuhan. Aku terisak keras membuat Namjoon kelabakan, segera ditangkupnya kedua pipiku.

Aku tahu akan seperti ini, Namjoon tidak akan pernah melepaskan aku.

"Kumohon Namjoon ... biarkan aku pergi, semuanya telah berakhir Namjoon. Tak bisakah kau ... melepaskan aku? Aku juga ingin bahagia Namjoon," ucapku terbata-bata dengan tangisan yang masih berderai, Namjoon menggeleng kuat masih dengan keputusannya. Tangisku semakin menjadi, tanpa sepatah kata Namjoon memelukku erat seolah jika tidak dia akan kehilanganku.

"Kumohon, jangan tinggalkan aku. Kau tahu aku mencintaimu, (y/n). Hubungan kita akan terus berlanjut tak peduli apapun yang terjadi. Jadi, jangan berpikir untuk pergi dariku," dan tangisku semakin kencang bersamaan dengan luka baru yang aku terima.

"Kau akan bahagia bersamaku. Tidak perduli apa yang terjadi kau akan tetap bersamaku."

Namjoon adalah lelaki teregois yang aku cintai, tak peduli berapa banyak aku terluka selama masih bisa bersamanya, maka Namjoon akan tetap mempertahankan aku di sampingnya.

Aku tahu hubunganku dengan Namjoon memang salah, namun tak bisakah tuhan lihat bagaimana aku dan dia saling mencintai. Dan tak bisakah tuhan buat skenario menakjubkan, untukku dan Namjoon jika kami memang tak berjodoh.




Yess the first imagine. Semoga suka dan baper yah ^^ , ingat gunakanlah nama kalian saat membacanya. kritik dan saran sangat di butuhkan  😂 next Jin ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro