Culinary Date - Eugeo [Sword Art Online]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nama Donatur : Aohana Mashiro
Akun Donatur : aomashi
Tipe : Oneshoot
Judul : Culinary Date
Character Pairing : Eugeo x Reader
Fandom : Sword Art Online

Kepingan-kepingan putih berjatuhan dari angkasa, mewarnai bentala dengan warna putih. Sang angin bertiup kencang, mengibarkan bendera-bendera berlambang ibukota para kaum lum― Centoria. Aroma harum menguar dari kedai dan restoran, seakan merayu para pejalan kaki untuk singgah. Aneka kue dan makanan ringan yang terpajang di etalase pun tampak lezat dan menggugah selera, menambah warna pada distrik surga makanan tersebut. Seperti yang diduga dari distrik enam, distrik restoran itu masih ramai seperti biasa di musim dingin.

Distrik enam bisa dibilang sebagai salah satu distrik tersibuk di Centoria. Distrik yang dijuluki sebagai surga kuliner ini tak pernah sepi dari pengunjung mengingat kawedanan tersebut didominasi oleh toko dan restauran yang biasa dijadikan tempat oleh bangsawan kelas atas untuk menghambur-hamburkan uang.

Sepasang muda-mudi menapaki trotoar berselimut salju, berjalan beriringan sembari mencuci mata dengan memandangi etalase setiap toko maupun jalanan yang ramai dengan kereta kuda yang lewat. Keduanya sama-sama mengenakan sebuah seragam dengan warna yang berbeda satu sama lain― bukti bahwa mereka adalah murid tahun kedua dari akademi pelatihan pedang terkenal di Centoria.

" Distrik ini sangat ramai. Saat aku berkunjung dengan Kirito kala itu pun juga seramai ini," celetuk seorang pemuda bersurai pirang― Eugeo. Ia mengenakan seragam berupa kemeja berwarna biru dongker dengan perpaduan warna putih dan celana berwarna senada, sepatu hitam yang baru disol menjadi alas kakinya. Sebuah syal dari bahan wol berwarna biru langit melilit lehernya, melindungi dari hawa dingin.

" Yah, bagaimana pun distrik ini menjadi satu dari dua pusat perdagangan Centoria. Tentu saja tempat ini tak akan pernah sepi," timpal gadis yang berjalan dengannya sembari mengulas senyum, sesekali menyentuh kerah jubah putih yang membalut tubuhnya.

Gadis itu bernama [Name] Austerlitz, putri bangsawan kelas atas dari distrik tiga yang saat ini menuntut ilmu di akademi yang sama dengan Eugeo. [Name] mengenakan seragam berupa kemeja berwarna [f/c] berpadu putih dan rok berwarna selaras sepanjang lutut. Ia mengenakan sepasang sepatu berwarna coklat gelap, kaus kaki putih polos membalut kaki panjangnya.

Eugeo dan [Name] saat ini sedang berjalan-jalan untuk berburu kuliner sebagai kegiatan menghabiskan hari istirahat. Sebenarnya, rencananya bukan hanya mereka berdua saja yang berniat cuci mata dan mulut hari itu, ada satu orang lagi. Dan orang tersebut melupakan agendanya dan masih mendengkur di tempat tidur asrama.

" Hei, [ Name]. Apa kau yakin kita meninggalkan Kirito dan berjalan-jalan tanpanya? Aku menjadi merasa tidak enak padanya," ucap Eugeo dengan raut wajah resah, tangannya mengeratkan syal yang melilit lehernya.

Ucapan Eugeo tersebut mengundang dengusan geli dari [ Name], sebuah senyum terbit di bibir plumnya tatkala melirik pemuda di sebelahnya. Lelaki muda bernetra hijau itu terlampau baik hingga membuatnya ( sering kali) terlalu percaya pada ucapan orang lain. Dengar, pemuda yang terlalu baik ini tak boleh dibiarkan berjalan-jalan sendirian di kota, atau ia akan mengikuti orang aneh yang memberinya permen seperti anak kecil polos nan gampang dibodohi ( ini hanya bentuk kekhawatiran berlebihan [Name] sebenarnya).

Sang adiratna menggelengkan kepalanya. " Tak perlu khawatirkan soal pemalas itu. Aku yakin saat ini dia masih terlelap di tempat tidur dengan air liur yang menetes dari ujung bibirnya."

Sindiran yang terlontar dari bibir [ Name] membuat Eugeo tertawa pelan. Ia mengangguk lalu berkata, " mungkin saja. Yah, Kirito bukanlah tipe orang yang bangun pagi."

" Bukan 'mungkin saja', tapi sudah pasti," timpal si wanita muda disusul tawa renyah.

[ Name] yakin Kirito saat ini sedang bersin berulang kali dalam tidurnya karena dibicarakan oleh dirinya dan Eugeo. Yah, biarlah tukang tidur itu bergelung dalam selimut. Ia akan menikmati liburan hari ini dengan orang yang dikaguminya saja. Kesempatan semacam ini tidak sering datang, dan [ Name] akan memanfaatkannya sebaik mungkin.

Terima kasih karena masih mendengkur, Kirito. Aku pinjam temanmu dulu, ya, batin gadis itu sembari terkekeh pelan.

Keduanya berhenti di depan etalase sebuah toko roti. Terdapat berbagai macam kue dan roti yang terpajang di sana. [ Name] melirik Eugeo, mendapati pemuda itu menelan ludah, netra hijaunya membulat menatap sebuah kue dengan lelehan coklat dan buah blueberry. Sang gadis berambut [h/c] terkekeh, ekspresi si pemuda benar-benar membuatnya gemas.

[ Name] mengarahkan jari telunjuknya ke arah kue yang terhalang oleh kaca bening, membuat Eugeo terkesiap dan menoleh ke arahnya. Perempuan muda bermarga Austerlitz itu tersenyum. " Kau mau ini?"

Eugeo mengerjap sebelum kembali memandang kue di balik etalase. Ia mengangguk pelan, senyum tipis menghias romannya. " Tapi, uangku tidak akan cukup. Harganya terlalu mahal. Yah, sebaiknya tidak usah saja."

Pemuda itu mulai melangkah pergi, namun terhenti tatkala merasakan cengkraman di pergelangan tangannya. Menolehkan kepala, ia mendapati sang adiratna yang tersenyum lebar. Lantas, Eugeo menelengkan kepala dengan pandangan bertanya-tanya. " [ Name]?"

" Jangan khawatir," kata [ Name] sembari menariknya ke arah pintu toko. Ia menoleh dan memberikan acungan ibu jari pada si pemuda bersurai pirang. " Aku akan mentraktirmu."

Tanpa menghiraukan kata-kata penolakan yang terus dilontarkan, [ Name] menarik tangan Eugeo ke dalam toko.

❖❖❖

Langit dengan sapuan warna jingga keunguan membentang luas di atas Kota Centoria, para bintang mulai muncul dan menghiasi ufuk barat. Lampu-lampu dinyalakan, memberikan iluminasi hangat pada sore hari yang dingin itu.

Walaupun hari telah senja, distrik kuliner masih saja ramai. Banyak orang yang berlalu-lalang di jalanan, suara bel kecil pun terdengar dari setiap toko dan restoran. Hawa dingin seakan tak dapat menghentikan keinginan orang-orang itu untuk mengisi perut dengan makanan lezat nan hangat. Dan, Eugeo serta [ Name] termasuk ke dalam jajaran orang-orang tersebut.

" Dan, ini tempat terakhir wisata kuliner kita! Jump Deer In, toko dengan pie madu unggulannya," seru sang adiratna berambut [h/c] dengan nada riang.

[ Name] dan Eugeo telah berkeliling seharian penuh untuk berkunjung ke setiap toko yang ada di distrik enam. Keduanya menenteng tas kertas kecil berisi roti dan manisan lainnya untuk Kirito dan ketiga juniornya. Eugeo hanya menggelengkan kepala atas sikap boros teman seangkatannya itu. Ia dapat memaklumi kebiasaan buruk dari gadis itu, bagaimanapun sang nona muda berasal dari keluarga bangsawan terpandang.

Eugeo menghela napas. " Baiklah. Tapi ini benar-benar yang terakhir, oke?"

[ Name] membalas ucapannya dengan anggukan. " Hmhm. Ini benar-benar yang terakhir."

" Setelah ini langsung pulang ke akademi?"

" Humu. Setelah ini langsung pulang ke akademi."

" Janji?"

" Iya, janji."

Mendengar pernyataan tersebut, Eugeo berdeham puas. Ia mulai melangkah, mengikuti [ Name] yang sudah membuka pintu toko― menimbulkan bunyi lonceng kecil. Mereka pun memesan pie madu terkenal yang merupakan menu andalan toko tersebut.

[ Name] memesan sepuluh pie madu ukuran besar― yang membuat mata Eugeo membulat sempurna. Pemuda itu hendak menyuarakan kekhawatirannya, namun sang adiratna hanya memberi tepukan ringan di lengan sembari tersenyum manis. Melihat gestur yang diberikan, Eugeo hanya bisa menghela napas, lagi.

Usai membayar bingkisan-bingkisan berisi pie madu, Eugeo dan [ Name] segera melangkah keluar dari toko. Peraturan akademi tempat mereka menimba ilmu sangatlah ketat. Para siswa diharuskan kembali sebelum pukul lima sore atau mereka harus menghabiskan malam di luar bangunan akademi. Dan tentu, mereka tak ingin hal tersebut terjadi.

Eugeo terus memandang langit jingga yang perlahan menggelap dengan air muka cemas, ia takut mereka akan terlambat sampai dan terkunci di luar gerbang. Itu akan menjadi skenario yang amat buruk.

" Eugeo... jalanmu terlalu... cepat...," kata [ Name] dengan napas terengah-engah. Mempunyai tubuh yang pendek terkadang merepotkan, seperti mudah lelah saat berjalan cepat seperti sekarang ini.

Eugeo yang berjalan beberapa langkah di depannya langsung berbalik dan menghampirinya, raut wajahnya khawatir. " [ Name], kau lelah? Jika lelah, kita bisa beristirahat sebentar--"

[ Name] langsung menggeleng. " Tidak bisa. Gerbang sudah ditutup begitu kita sampai di sana. Kita tak boleh mengulur waktu hanya untuk istirahat."

Pemuda bersurai pirang itu seketika diam. Ia berdeham panjang, memikirkan sebuah ide. Dan beberapa saat kemudian, sebuah ide muncul di kepalanya.

" [ Name], bisa kau pegang bingkisan-bingkisan ini sebentar?"

[ Name] yang tengah mengatur napasnya seketika memandang Eugeo dengan pandangan bertanya-tanya. Ia kemudian mengangguk. " Bisa. Kemarikan."

Eugeo pun menyerahkan bingkisan-bingkisan di tangannya kepada [ Name]. Ia kemudian berjongkok membelakangi si gadis, melirik ke belakang dengan senyum kecil terpatri di bibir. " Ayo, naik."

[ Name] mengerjapkan kedua netra [ e/c]nya. Tiga detik kemudian, sebuah pekikan lolos dari bibir plumnya. " HAH?!"

Gadis itu segera menutup mulutnya dengan kedua tangan tatkala menyadari pandangan dari orang-orang yang berlalu. Ia kemudian menunjukan senyum canggung sambil menggumamkan kata maaf, tubuhnya membungkuk beberapa kali. Perhatian yang datang tanpa diundang itu benar-benar merepotkan baginya.

[ Name] kembali mengalihkan pandangan ke arah Eugeo yang masih berjongkok di hadapannya. Pemuda itu memejamkan kedua matanya, masih tersenyum dengan polosnya. Sang gadis mengadah, sepasang mata [ e/c]nya menatap langit yang semakin gelap di atasnya. Pada akhirnya, ia menghela napas.

Oke, lupakan soal harga diri dan rasa malu. Prioritas utama adalah kembali ke akademi sebelum gerbangnya ditutup, batin [ Name] sembari mengeratkan genggaman pada tas-tas belanja di tangannya.

[ Name] berjalan ke arah Eugeo. Dengan canggung, ia merangkulkan kedua lengannya ke leher lelaki itu, disandarkannya tubuh ke raga berbalut seragam biru dongker tersebut. Aroma maskulin dari si pemuda bersurai pirang menyusup ke dalam penghidunya, membuat kehangatan menjalar memenuhi kedua pipinya. Sang adiratna yakin wajahnya semerah kepiting rebus saat ini.

Merasa si perempuan muda telah naik ke punggungnya, Eugeo pun berdiri. Ia melirik [ Name] dari ujung matanya dan berkata, " siap?"

Dehaman pelan dari sang gadis dianggapnya sebagai konfirmasi. Eugeo pun mulai berlari tanpa aba-aba, menimbulkan [ Name] terkesiap dan reflek mempererat rangkulannya. Kedua mata terpejam, suara di sekitarnya hirap tergantikan dengan detak jantungnya yang abnormal.

Tanpa sadar, kedua ujung bibirnya terangkat membentuk sebuah senyum. Untuk sebuah kencan kuliner, menurutnya ini bukan akhir yang buruk.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro