1 | Bencana Bawang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Apa sih, privilese sebagai orang Jawa?

Gendhis bisa sebutkan selusin lebih alasan, tapi yang paling utama untuk saat ini adalah dapat harga murah di Pasar Belimbing. Itu jelas efek dari fasihnya berbahasa Jawa sekaligus wajah eksotis berkulit sawo matang.

Tangan Gendhis cepat memasukkan dua kilo bawang merah dan bawang putih yang berhasil ditebus setengah murah. Dari harga dua puluh lima ribu untuk sekilo bamer turun jadi dua puluh ribu saja. Baput juga tak ketinggalan, sama-sama dapat korting lima ribu rupiah sekilonya.

“Sek ta lah. Kon ojo kesusu muleh. Gawananmu abot. Entenono anakku teko sek.”

Gendhis menyeringai, “Buat apa, Mak?”

“Ya nganter kon. Cik ora kabotan gowo barang. Anakku ganteng, Ndhis. Dijodokne karo kon a?”

Gendhis tak bisa menahan tawa. Bagaimana bisa tahan coba kalo sejak dari lorong utara hingga selatan, banyak pedagang kenalannya yang seolah bersekongkol untuk jadi mak comblang. Geleng-geleng kepala, Gendhis mengangkat kresek merah besar sarat barang belanjaan.

Duh, berat beneran ternyata. Tahu gitu aku iyain tawaran Mak Slamet. 

“Ndak usah, Mak. Bisa bawa sendiri, kok.” Gendhis berlagak sok Hercules dengan mengangkat dua kresek merah besar di tangan kanan dan kiri, tak peduli denyutan kencang yang mengiris telapak tangan.

“Yakin a?”

Gendhis mengangguk kuat-kuat. Kelar basa-basi manis, si mungil itu langsung terbirit-birit meninggalkan lapak Mak Slamet. Egolan badannya yang kepayahan membawa belanjaan berat menerbitkan rasa lucu, yang sialnya justru lebih dominan dibanding rasa kasihan, dari orang-orang yang melihat.

“Emang aku tontonan piye?” Gendhis bicara dengan logat Jawa yang medok.

Hidup seperempat abad di Kota Malang tak serta-merta membuatnya rajin berbahasa Malangan. Bukan karena tak bisa. Masalah klisenya adalah Gendhis dipaksa bicara bahasa kromo oleh almarhum Bapak yang memang asli Yogyakarta. Pria yang sudah wafat tiga tahun lalu itu berkali-kali mencela Gendhis jika kepergok bicara dengan logat Malangan yang jauh berbeda dengan bahasa khas Yogyakarta, meski masih sama-sama masuk bahasa Jawa.

“Kita orang Jawa, Nduk. Ora elok kalo sampai melupakan akar kita.”

Itulah petuah yang sudah khatam didengar Gendhis. Gadis itu terseok-seok berjalan keluar area pasar dan berhenti di trotoar. Kepalanya mendongak. Langit bermendung sangat pekat, siap menurunkan hujan kapan pun.

Gendhis malas menunggu angkot, yang harus nyeberang jalanlah, yang harus lumutan nunggulah. Tak worth it dengan tenaga dan waktu yang dikeluarkan. Jadi, dia mengeluarkan ponsel dan mulai memesan ojol. 

Sayangnya kecepatan aplikasi tak berbanding lurus dengan kehendak alam. Belum juga ojek berhasil dipesan, hujan turun bak dicurahkan dari langit.

“Wasem tenan!” Gendhis kerepotan menyeret belanjaannya.

Langkahnya tak bisa cepat karena beban belanjaan. Tak ada waktu pula untuk kembali ke pasar dan berteduh di sana. Jadi, Gendhis putar haluan dengan berjalan menuju ruko berjarak lima meter dari tempatnya berdiri.

Sayangnya saat itu alam seolah mengejeknya. Bukannya berkompromi dengan sedikit mengurangi intensitas air hujan, langit justru mengamuk. Air kian deras. Gendhis basah kuyup. Pandangannya sedikit mengabur, hingga dia tidak melihat retakan beton trotoar.

Bongkahan tajam mencuat menusuk ujung kakinya yang hanya beralas sandal jepit. Gendhis menjerit keras kesakitan. Genggamannya di kresek merah jadi goyah. Belum cukup kesialan menimpanya, tali kresek mendadak berkomplot dengan semesta untuk mengkhianatinya.

Gendhis memang merasa bebannya di tangan kanan jadi ringan. Saat menoleh perutnya langsung terpelintir ngeri. Butiran bawang merah sebesar kelereng jumbo menggelinding ke aspal. Segulung sawi putih terlontar ke tengah jalan setelah sempat terlindas roda mobil yang melintas.

Lalu suara decit keras terdengar, disusul derak memekakkan telinga. Gendhis terbeliak ngeri demi melihat dua sepeda motor ambruk ke bagian trotoar. Satu pengemudinya malah langsung kelojotan kejang-kejang dengan helm ojol yang terlepas dari kepala.

“Ya ampun! Ya ampun! Gusti Allah! Ada apa ini?” Gendhis memekik kaget dan lupa total pada belanjaan.

~~oOo~~

Nama perempuan itu Gendhis Arum Sari. Bulan Desember ini usianya genap dua puluh tahun. Bagi Gendhis, seharusnya sekarang dia sudah masuk masa quarter life crisis, salah satu alasan yang membuat perempuan bertubuh mungil itu akhirnya sering terdampar ke Pasar Belimbing Malang dibanding hang out cantik di mal elite. Dan seharusnya lagi dia menikahi seorang pria tampan dan kaya raya, koreksi: cukup kaya saja, demi bisa bertahan hidup di kerasnya Kota Malang.

Dan sekarang, tepat jam satu siang, di mana mendung sangat tebal menggantung di langit dan air hujan masih turun seperti alam yang tengah menangis, Gendhis duduk meringkuk kedinginan di sudut puskesmas Polowijen. Bajunya masih basah, meski tidak kuyup lagi. Matanya memerah terkena air sekaligus menahan tangis kepanikan yang beberapa saat lalu terjadi.

Suasana di sekitarnya tidak terlalu ramai. Hanya ada dua orang di ruang tunggu. Semuanya sibuk menunduk ke ponsel, tidak peduli pada keberadaan Gendhis. Perempuan itu hanya menghela napas berat sembari mengusap-usap lengan bajunya yang mulai lembab.

“Nih, handuk.”

Gendhis menoleh cepat. Bibirnya yang seputih kertas gemetar mengucap terima kasih. Dia bergeser, memberi tempat pada si jangkung yang mengambil tempat duduk di sebelahnya.

Kursi baja itu berkeriut keras menerima bobot tubuh pendatang baru. Gendhis melirik malu-malu bercampur penasaran. Kemeja putih pria itu sama basahnya dengan dirinya. Kaus singlet tercetak jelas di baliknya. 

Gendhis buru-buru berpaling saat memergoki otot-otot punggung yang liat. Badan pria itu jelas super atletis. Tingginya yang mencapai satu koma delapan meter lebih juga ramping tanpa tambahan lemak berarti.

Jangan mesum to, Ndis. Wong wadon harus punya sopan santun!

Gendhis mengumpati dirinya sendiri. Buru-buru dia menutupi panas di pipi dengan handuk. Meski begitu, ekor matanya tak bisa berhenti melirik pemotor yang beberapa waktu sebelumnya jatuh di jalan depan pasar.

“Driver ojolnya nggak apa-apa. Dia aman.”

Gendhis mendengar logat khas Suroboyoan keluar dari mulut pria di sampingnya. Alis Gendhis tanpa sadar terangkat tinggi.

“Dia kejang karena ayan kambuh, bukan karena gegar otak. Tadi dokter sudah ambil rontgen kepala.” Pria itu kembali menjelaskan.

Gendhis mengangguk-angguk. Dia masih terdiam. Curiganya bukan karena lega karena kondisi bapak ojol tidak separah dugaannya, tapi karena suara berat dan dalam dengan nada dingin itu membuat jantungnya mendadak disko.

“Kamu nggak usah khawatir. Kecelakaan tadi memang salahmu, tapi nggak perlu ganti rugi banyak.”

Gendhis refleks mendelik kesal. Dia tarik pujiannya pada si pria setelah mendengar tuduhan pedas tertuju padanya.

“Kok, salah aku? Jelas-jelas sampean yang tadi nubruk si bapak. Makanya punya motor mahal itu jangan dipake ngebut-ngebutan. Hormati juga pengguna jalan lain.”

“Kok, jadi aku yang salah?”

“Loh, ya iya toh. Sampean tadi di belakang motor bapaknya. Kalo ndak diseruduk sampean, si bapak ndak mungkin jatuh dari motor.”

Mata si pria menyipit.

“Mbak, dengar ya. Tadi bapaknya kaget karena belanjaan Mbak tiba-tiba nggelinding di jalan. Bannya jadi selip terus jatuh. Aku nggak ada nyeruduk bapaknya blas. Malah tadi aku jatuh karena kepeleset belanjaan Mbak.”

Gendhis membelalakkan mata. “Wooo ..., Mas e emang ada bukti kalo sayuranku yang jadi sumber malapetaka?”

Pria itu tanpa ragu mengangguk. “Motorku ada kameranya, Mbak. Bisa cek kalau nggak percaya.”

Mulut Gendhis terbuka lagi, kemudian menutup. Matanya yang masih memerah kembali membulat besar.

“Nggak berani ngomong?” Si pria mencibir.

Gendhis menelan ludah. Mendadak bayangan isi dompetnya yang hanya dipenuhi lembaran lima ribu dan sepuluh ribu melintas di kepala.

Mampus aku kalo diminta ganti rugi.

“Jadi, Mbak sudah rela kan, kalau harus ganti rugi?”

Nah, bener kan! Orang ini emang mata duitan! Matre!

“Sa—saya ndak punya uang, Mas.”

Si pria memiringkan kepala. “Tadi aku, sekarang saya?”

Gendhis mencibir dalam hati. Orang yang aneh. Memangnya apa pentingnya perubahan aku ke saya? 

“Kayake Mbak-nya nggak bohong. Asisten rumah tangga memang jarang pegang duit banyak.”

Gendhis melongo. Asisten ... rumah ... tangga?

“Tapi majikan Mbak tetap harus tahu soal ini. Gini aja, deh. Mbak-nya sudah pucet kayak gitu, entar pingsan malah runyam aku. Mbak nggak usah ganti rugi ke aku, tapi biaya berobat driver ojol Mbak yang tanggung.”

Bak kerbau dicocok hidung, kepala Gendhis bergerak sendiri mengangguk-angguk. Telinganya masih menangkap suara berat si pria memberikan sederet instruksi. Otak Gendhis blank total, susah diajak berpikir setelah mendengar kata ganti rugi dikombinasi melihat wajah pria tampan. 

Saat pria itu beranjak pergi, baru Gendhis sadar. Dia tersentak kaget. Buru-buru dia berdiri dan berlari ke arah luar puskesmas.

Hujan memang masih turun, tapi intensitasnya sudah berkurang drastis. Gendhis melihat si pria naik ke motor dan melesat keluar halaman puskesmas. Tanpa jas hujan, tanpa jaket, hanya berbekal helm semata.

“Siapa kamu?” tanya Gendhis lirih. “Kenapa kamu mengira aku pembantu rumah tangga?”

Pertanyaan Gendhis tak terjawab. Dia hanya berdiri sembari meremas handuk. Detik berikutnya perempuan itu membentangkan helaian tebal kain di tangannya. 

“Ini handuk puskesmas?” Gendhis bertanya pada diri sendiri. “Wangi.”

Belum juga hilang penasarannya, Gendhis merasakan colekan di bahu. Seorang petugas puskesmas menyodorkan dompet kartu ke arahnya.

“Ketinggalan Neng, dompetnya.”

Gendhis hanya termangu menerima benda mungil itu. Dia tergoda menarik resleting peraknya. Ada beberapa kartu dan uang receh di dalamnya. Gendhis menarik KTP.

“Banyu Airlangga Verga. Jadi, itu nama kamu?”

~~oOo~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro