1.Hari Yang Buruk

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selamat pagi semuanyaaa

Semoga suka dengan kisah Nina, yaaa

"Aarrgh!"

Nina menempelkan punggung dengan cepat di sandaran kursi. Kepalanya seperti mau pecah saja. Kedua tangannya pun mulai memegang kepala seraya memejamkan mata dengan kuat. Otak gadis dengan wajah oval itu sudah mendidih akibat pekerjaan yang masih menggunung.

Nina yang merupakan mahasiswi tingkat akhir, baru saja bergabung dengan tim kesekretariatan Pesantren Mahasiswa Baru (PMB) di Universitas Surya Gemilang. Tempat di mana kedua orang tuanya harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit setiap semester untuk diserahkan kepada bagian keuangan. Untung saja, pembayarannya per enam bulan sekali. Bayangkan jika per bulan?

Kuliah Nina memang belum selesai, tetapi ia mencoba untuk belajar mencari nafkah sendiri. Demi meringankan beban orang tua, begitulah niatan mulia Nina. Ia sadar, semenjak menjadi anak indekos, pengeluarannya menjadi meningkat karena semangat makannya sedang tinggi-tingginya. Warung-warung di kampus hingga ke indekos berjejer layaknya food court di mall. Nina tinggal memilih saja ingin makan menu apa. Belum lagi banyaknya camilan lezat. Beruntung, tubuh gadis itu tetap ramping walaupun nafsu makannya begitu besar. Ia tidak pernah mengalami penderitaan dalam diet seperti yang kebanyakan dilakukan teman-temannya. Permasalahannya, besar pasak daripada tiang. Uang saku yang tidak mengalami penambahan harus berbanding terbalik dengan nafsu makannya.

Jadi, karena alasan agar bisa makan sepuasnya, akhirnya Nina menerima tawaran dari Ridho—teman sekelas—untuk bergabung menjadi panitia dari tim mahasiswa di program unggulan kampus bagi para mahasiswa baru itu. Istilahnya, mereka itu adalah OC alias Organizing Committee. Bahasa keren dari panitia pelaksana. Sedangkan jajaran dosen dan karyawan masuk SC atau Steering Committee yang bertugas mengarahkan dari awal hingga akhir kegiatan.

Sebenarnya, tugas Nina hanya memasukkan data mahasiswa baru. Masalahnya itu, data yang harus dimasukkan bukan cuma ratusan, tetapi ribuan data. Kampus Nina memang universitas swasta, tetapi peminatnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan, menjadi kampus swasta terunggul di Kota Malang. Keren, bukan? Namun, hal yang sering membuat heran Nina adalah tentang semakin bertambahnya jumlah mahasiswa, tetapi SPP malah semakin mahal.

Sudah dua hari ini, Nina sibuk dengan kertas-kertas dan komputer. Namun, belum ada separuh yang berhasil di-entry. Mata yang sepertinya sudah berkurang kemampuan melihat jarak jauh itu, semakin parah saja kondisinya. Sedangkan Nina, enggan memakai kacamata. Ia tidak ingin terlihat seperti orang kutu buku jika bermata empat. Begitu juga dengan softlens, dirinya sudah menyerah saat mencoba pertama kali. Padahal, zaman sekarang kacamata malah menjadi penunjang penampilan sekalipun kondisi penglihatan baik-baik saja. Nina memang tidak mau ribet untuk masalah penampilan.

"Kalau capek istirahat dulu, Nin. Beli es teler apa kopi gitu," ujar Ridho yang juga tengah berkutat di depan layar komputer.

Nina menghela napas panjang. Punggung yang tadi menempel di sandaran kursi, kini ditegakkan. Kakinya lalu menggeser kursi yang mempunyai roda di bagian bawah untuk mendekat ke tempat Ridho.

"Dho, kamu itu sebenarnya salah orang ngajak aku ke sini. Sumpah, stress aku. Mana bab dua skripsiku belum di-acc Bu Dewi lagi."

"Nggak, aku nggak salah orang, Nin." Ridho masih saja kukuh dengan opininya tentang Nina. "Kamu tuh, udah sukses membawa tim volley fakultas menjadi juara Rector Cup."

Nina mulai berdecak kesal. Ia tidak terima jika tugas memanajeri tim volley disamakan dengan tugas administrasi yang super riweh itu.

"Aku mau mengundurkan diri pokoknya," ungkap Nina seraya melipat kedua tangan di depan dada.

"Enggak boleh!" seru Ridho sambil mengepalkan tangan lalu memukulkannya pada meja.

Nina tersentak. Wajah Ridho terlihat serius saat ini. Pemuda bertubuh tinggi dan kurus itu kini menatap gadis dengan kemeja lengan panjang berwarna marun tersebut dengan lekat.

"Karenina Aprilia sudah resmi menjadi tim kesekretariatan di PMB. Nggak bisa diubah lagi. Tunggu satu semester lagi kalau mau resign."

"Itu sih, udah akhir kontrak. Bukan mau resign lagi."

Nina kembali berdecak kesal. Memang, tawaran yang diberikan Ridho untuk bergabung di tim ini begitu menggiurkan. Bagaimana tidak, gaji perbulannya sudah mencapai tujuh digit angka. Bayangkan saja, mahasiswa mempunyai penghasilan sebanyak itu padahal belum lulus kuliah. Sungguh seperti menjadi mahasiswa keren karena bisa menghasilkan uang tanpa menunggu jatah bulanan dari orang tua. Apalagi kedua orang tua Nina mendukung penuh. Sebagai anak sulung, ada kebanggaan di hati Nina karena dapat melakukan hal tersebut. Namun, menurutnya gaji sebanyak itu sebanding dengan beban kerja. Tim sekretariat harus selalu stand by 24 jam melayani mahasiswa walaupun mereka berlima sudah memiliki jadwal piket jaga kantor.

"Ya udah, deh. Aku mau ngadem dulu di kantin. Jangan manggil sebelum aku balik lagi," ancam Nina dengan mata membulat seraya beranjak dari kursi.

Ridho mengacungkan kedua ibu jarinya. "Ngopi sepuasnya biar nggak stress lagi."

"Kembung!"

Ridho terkekeh melihat raut ketus dari Nina. Gadis itu pun segera berlalu dari ruang sekretariat yang ada di pojok lantai bawah rumah susun mahasiswa (Rusunawa) milik kampus. Kaki Nina melangkah menuju gedung sebelah tempat kantin berada. Letak Rusunawa itu tepat di belakang kampus. Area tersebut memiliki dua gedung dengan masing-masing terdiri dari empat lantai. Tidak semua gedung digunakan untuk PMB. Hanya yang sebelah timur saja. Bagian barat yang sedang Nina tuju, disewakan untuk mahasisiwa dan umum.

Sesampainya di kantin, Nina segera memesan. "Mas, kopi gula aren satu, ya. Es batunya banyakin aja."

"Mendung-mendung gini nggak kedinginan, Mbak?" tanya penjaga kantin seraya mencatat pesanan Nina.

"Otakku lagi mendidih, nih. Butuh pemadam kehausan."

Pemuda yang usianya sebaya dengan Nina itu terkikik. Ia tidak berbicara lagi karena ngeri melihat wajah Nina yang super suntuk itu.

Nina meraih ponsel di saku rok. Menjadi panitia PMB, membawa perubahan besar pada Nina diawal kerja. Namun, ia lebih suka menyebutnya pengorbanan. Salah satunya tentang penampilan. Nina harus rela mengistirahatkan celana denim ketat dengan berbagai warna dan beralih mengenakan rok kain. Sungguh, baginya itu bukanlah seorang Karenina yang terbiasa berpenampilan sporty. Beruntung saja, kerudung model pashmina andalan yang sedang menjadi tren tidak dipermasalahkan. Tidak harus mengenakan kerudung lebar seperti penampilan para pendamping mahasiswa.

Nina mengecek aplikasi WhatsApp. Chat yang dikirim ke Nino belum juga berbalas. Laki-laki yang menjadi gebetan Nina selama tiga bulan terakhir itu, status di WhatsApp terlihat sedang online.

"Ck, beneran nggak dianggap ini."

Nina menggeser chat sampai ke bawah. Obrolan rata-rata dimulai oleh gadis penyuka drama Korea itu. Sudah jelas jika Nina yang lebih dulu naksir Nino. Keningnya berkerut mendapati chat dua hari terakhir. Biasanya, Nina tiap jam mengirim pesan kepada pemuda good looking tersebut. Entah itu pertanyaan, basa-basi, atau sekadar kata-kata motivasi. Untuk yang terakhir, Nina menyalinnya dari Google. Lebih praktis dan tidak pakai mikir.

Namun, sejak Nina aktif menjadi panitia, sehari hanya dua kali saja dirinya mengirim pesan. Pagi dan malam saat kegiatan sudah berakhir.

"Ini kopinya, Mbak."

"Terima kasih."

Segera diraihnya gelas plastik itu, lalu Nina menusukkan sedotan ke bagian atas. Tanpa menunggu lama, ia pun segera menyesap es kopi kegemarannya itu hingga tersisa separuh saja. Kepala yang penat tadi, sedikit terasa dingin. Padahal yang minum mulut dan turun ke lambung. Namun, Nina bisa merasakan sensasi dingin es hingga ke kepala.

Ponsel Nina berdering. Tertera nama teman indekosnya, Megan.

"Iya, Meg, Kenapa?"

"Kamu lagi ngapain? Masih sibuk, nggak?" tanya Megan dari seberang telepon.

"Nggak, lagi ngopi aja di kantin. Ada apa?"

"Gini, Nin. Aku tuh, udah sering ngingetin kamu, 'kan? Nggak perlu berharap lagi sama Mas Nino. Iya, 'kan?" Nada suara Megan terdengar berucap dengan hati-hati.

Nina menautkan kedua alis mendengar ucapan di seberang telepon. "Ada apa, nih?"

"Em, kamu ingat temenku yang namanya Tatiana?"

Nina manggut-manggut. "Iya, cewek selebgram itu, 'kan?"

Nina langsung teringat gadis bertubuh tinggi semampai. Wajahnya bersih dan glowing menurut istilah zaman sekarang. Tidak membutuhkan filter untuk terlihat cantik di kamera. Kata Megan, perawatan wajah Tatiana tiap bulan itu mencapai juta-an. Belum tentang out fit of the day-nya setiap datang ke kampus. Penampilan Tatiana selalu membuat mata yang melihat terpesona.

"Nah, tepat."

"Jadi, dia tadi cerita ke aku, Nin."

Megan tidak bersuara lagi. Nina semakin yakin ada hal serius yang ingin disampaikan sahabatnya itu.

"Udah ngomong aja langsung," kata Nina tidak sabar. Ia kembali menyesap es kopi yang hampir habis.

"Tatiana sama Mas Nino baru jadian."

Kalimat terakhir yang baru diucapkan Megan sontak membuat Nina tersedak. Ia pun terbatuk-batuk.

"Nin, kamu nggak pa-pa?"

"Aku hampir mati kesedak, nih. Jangan bikin prank kayak gitu, Meg."

Nina mencoba menganggap berita itu bohong belaka. Jika hal tersebut sampai terjadi, ia bakal kembali patah hati. Lalu, impian Nina saat wisuda nanti didampingi pendamping wisuda sirna sudah.

"Beneran. Coba cek Instagram Tatiana. Dia upload foto sama Mas Nino yang baru ujian skripsi sambil bawa buket uang."

Nina terdiam. Megan tidak mungkin membohonginya. Mereka sudah lebih dari tiga tahun berteman baik.

"Maaf, ya, Nin. Kamu pasti kecewa. Tapi, lebih baik cepat tahu daripada berharap terus."

Nina mendesah pasrah. Kejadian seperti itu memang sudah ia prediksi. Nino sama sekali tidak meresponnya sejak tiga bulan yang lalu saat mereka berkenalan. Tepatnya, Nina yang memaksa ingin dikenalkan ke Nino pada Megan.

"Padahal nama kami sudah kembar, loh. Nina dan Nino, berasa jodoh."

Gelak tawa Megan terdengar sangat keras di seberang telepon saat mendengar ucapan konyol Nina. "Astagfirullah, Karenina! Cocoklogi menyesatkan macam apa itu?"

"Cocoklogi versiku, dong. Duh, kandidat pendamping wisudaku hilang, deh, Meg."

Megan kembali terbahak. "Masih mikirin pendampin wisuda? Tuh, temenmu KKN diterima aja."

"Siapa?" Nina bingung sendiri. Selama ini belum ada yang terang-terangan mendekatinya. Nasib jomlo akut katanya, always ngenes begitu.

"Itu, yang Fakultas Agama Islam." Megan lebih memperjelas sosok yang dimaksud.

"Aktivis dakwah itu? Amit-amit, nggak mau!"

Nina teringat Danial, teman KKN yang tengah diisukan menyukainya oleh teman-teman di sana. Ia kesal dengan adanya berita itu. Memang, selama satu bulan tidak ada interaksi berarti di antara mereka. Namun, Nina pernah beberapa kali memergoki pemuda itu tengah memperhatikannya.

Seandainya saja Danial mirip Nino yang penampilannya hampir mirip dengan Oppa Korea kesayangannya, Nina dengan senang hati akan menanggapi isu tersebut. Namun, penampilan Danial yang terlihat culun di mata Nina, membuatnya ilfeel duluan. Pemuda itu tidak pernah terlihat memakai celana denim, selalu saja yang berbahan kain. Warnanya pun sama, hitam semua. Seperti, tidak punya celana ganti.

Nina memang memiliki cerita lama yang kemudian membuatnya menjadi antipati dengan sosok aktivis dakwah. Mau seganteng Lee Min Ho atau Ji Chang Wook sekalipun, jika labelnya sudah mahasiswa yang bergerak di organisasi dakwah, akan dianggap biasa saja oleh Nina.

Saat itu, ia dibuat malu karena mengajak bersalaman seniornya yang menjadi panitia ospek, lalu ditanggapi hanya dengan menangkupkan tangan. Tentu saja menjadi awkward moment baginya karena dilihat banyak orang. Dari situ, Nina malas berurusan dengan aktivis dakwah. Padahal, itu kesalahannya sendiri yang tidak paham. Sekarang, Nina malah harus berinteraksi dengan kelompok mereka setiap hari. Jika bukan karena mencari penghasilan, ia tidak akan mau bergabung.

"Biar tobat dikitlah, Nin."

"Ogah. Aku nyarinya yang kayak Mas Nino. Aktivis kampus yang gaul. Mirip Yoo Yeon Seok pula. Idaman banget."

"Haduh, ini anak. Kambuh Korea-nya." Megan masih saja terdengar tertawa. Ia tahu bagaimana sahabatnya itu menggilai pemeran dalam drama Mr. Sunshine dan Hospital Playlist tersebut. "Ya, udah. Aku mau keluar dulu. Yang betah ya, di PMB. Siapa tahu kecantol aktivis dakwah."

"Ish, ogah!" Nina memukulkan kepalan tangan ke meja. "Amit-amit, deh."

"Hati-hati kemakan omongan sendiri entar." Megan dengan nada yang lembut memperingatkan Nina.

Obrolan mereka pun berakhir. Nina kembali memikirkan berita tentang Nino. Hatinya seperti patah. Mau gimana lagi? Nina sadar dirinya tidak secantik Tatiana si selebgram itu. Penampilannya malah terkesan tomboy, tidak ada kesan anggun sama sekali. Apalagi masalah make up? Jangan tanya hal itu pada Karenina. Ia hanya mengandalkan facial wash dan sunscreen saja untuk skincare. Berbeda dengan teman-temannya yang produk perawatan wajahnya super lengkap hingga kulit wajahnya kelihatan tipis begitu. Terkadang ngeri juga melihat tangan dan wajah mereka berbeda warna.

Nina segera beranjak dari kursi kantin. Setelah membayar, ia pun kembali ke ruang sekretariat. Baginya, tidak perlu juga melihat Instagram Tatiana. Hal itu akan membuatnya semakin patah hati.

"Cepet amat baliknya?" tanya Ridho begitu Nina menampakkan diri kembali.

"Tambah ruwet pikiranku," sahut Nina seraya berjalan menuju meja komputer. Namun, belum sampai duduk, ia sudah mendapat kejutan. "Ya Allah, tolong!"

Suka nggak sama cerita terbaruku ini?

Klik tanda bintang di pojok kiri, terus kasih komentar yaa

Buat yang belum follow akun Renihujan17, yukkk follow dulu. Gratissss

thank you 🧡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro