4.Belum Pernah Jatuh Cinta?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



Suasana di kantor sekretariat cukup lengang selepas zuhur. Di sana ada Nina, Ridho, dan tiga panitia yang lain. Mereka sedang mengecek jumlah buku materi untuk PMB. Suasana di luar pun cukup kondusif. Para mahasiswa sudah masuk ke kelas untuk mendapatkan materi.

"Kerjaan udah pada beres. Kamu kalau mau keluar refreshing, silakan aja, Nin. Biar kami berempat yang jaga kantor," tutur Ridho begitu pengecekan buku selesai.

Mendengar tawaran menggiurkan itu, tentu saja Nina menanggapinya dengan penuh semangat. Satu hal yang tidak boleh disia-siakan setelah satu minggu resmi bekerja di sini.

"Serius boleh izin?"

"Ya, bolehlah." Ridho menjawab dengan mantap.

"Yes! Makasih, Teman-teman."

Nina segera beranjak meninggalkan ruangan. Tujuan utamanya adalah pulang ke indekos. Sekalipun tidak bisa menginap, tetapi hal itu pasti bisa mengobati kerinduanku pada Megan. Nina sudah tidak sabar untuk berburu kuliner dan nonton drama Korea bersama Megan.

"Nina!"

Panggilan untuk nama Nina terdengar dari seberang ketika ia akan menaiki tangga menuju kamar. Saat menoleh, ternyata Arkan yang memanggil.

"Iya, Mas. Kenapa?"

Nina tidak mengubah posisi berdiri. Ia membiarkan saja Arkan yang menghampirinya. Laki-laki itu yang memanggil, tidak mungkin dirinya yang menghampiri lebuh dulu. Bagi Nina, gengsi is number one!

"Minta nomor ponselnya."

"Nomor siapa?" tanya Nina memastikan. Ia tidak mau ke-pede-an memberi nomornya sendiri. Jika nanti bukan miliknya yang diminta, alamat tengsin!

"Nomornya Karenina," jawab Arkan seraya menyerahkan ponsel miliknya. "Anak-anak sekret udah ada semua nomornya. Kamu yang belum."

"Oh," ucap Nina seraya terkikik. Ia pun mengetik nomor pada benda pintar itu. "Ini, Mas."

"Oke. Makasih, ya." Arkan menerima ponsel. Ia berucap tanpa melihat Nina. Dengan tatapan fokus pada layar ponsel, ia pun memutar tubuh lalu berjalan menuju kantor sekretariat.

Nina manggut-manggut saja, kemudian berlari menuju kamar. Ia sudah tidak tahan untuk segera menikmati bakso di sebelah indekos. Makanan di PMB memang enak-enak dan mewah baginya yang berstatus mahasiswa. Namun, rasa rindu akan one of her comfort foods itu selalu saja muncul.

Setelah berganti pakaian, Nina menuju kantor untuk berpamitan. Di sana ternyata hanya ada Rusdi dan Arkan.

"Rus, aku keluar dulu, ya. Kalau nyari data mahasiswa dan nggak nemu, telepon aja," ucap Nina di pintu kantor.

"Siap, selamat having fun. Puas-puasin di luar, Nin."

Nina mengacungkan ibu jari. Tiba-tiba saja muncul kecurigaaan dalam pikiran Nina atas izin yang diberikan untukku meninggalkan rusunawa pada jam kerja. Semua ini pasti ada hubungan dengan rengekannya yang minta resign.

Whatever-lah! pikir Nina. Terpenting, ia bisa healing sebentar dari kepenatan tugas kantor.

"Emang Nina mau ke mana?" tanya Arkan saat Nina baru mengucap salam.

"Menghirup udara kebebasan," jawab Nina asal. Rusdi sampai tertawa mendengarnya.

"Sampai jam berapa?"

Arkan masih saja menahan langkah Nina dengan pertanyaan. Gadis yang mengenakan tunik polos berwarna hijau tua dan celana kain itu menjawab dengan mengangkat bahu saja. Segera, Nina mempercepat langkah sebelum laki-laki yang akan menyandang gelar sarjana Ekonomi Syariah itu membuang waktunya yang berharga tersebut.

Waktu yang dibutuhkan untuk sampai di indekos hanya lima belas menit saja dengan jalan kaki. Megan sudah diperingatkan untuk tidak pergi.

"Woi! Kangen banget aku sama kamu, Nin."

Megan langsung menyambut Nina dengan pelukan begitu pintu kamar terbuka dari luar. Setelah berpelukan layaknya Teletubies, Nina pun merebahkan tubuh di kasur yang juga dirindukannya. Nina dan Megan memang menyewa satu kamar berdua. Jadi, bisa dibayangkan kedekatan mereka selama hampir tiga setengah tahun ini.

"Katanya mau ngebakso?" tanya Megan saat melihat Nina memeluk bantal kesayangannya.

"Bentar, lagi kangen-kangenan sama bau ilerku."

"Idih, mesti jorok banget anak ini." Megan berucap dengan raut jijik. "Itu sarung bantal iler udah di-laundry, tau."

"Pantesan, kok ilerku wangi," sahut Nina sambil tergelak.

Megan menggelengkan kepalanya beberapa kali. Ia lalu menyusul Nina ke kasur.

"Jadi resign kapan?"

Nina mengacungkan jari telunjuk, tengah, dan manis ke dekat wajah Megan.

"Nggak nyesel nanti?" tanya Megan lagi.

Nina menggelengkan kepala. Biarlah dirinya kehilangan penghasilan dan fasilitas yang istimewa. Terpenting, ia tidak mengalami stress.

"Apalagi ada Danial di sana. Makin bulat keinginanku buat resign."

"Oh, ya?" Megan terlihat terkejut. "Kamu itu jangan sentimen banget sama aktivis dakwah. Tiba-tiba jadi jodoh, tau rasa kamu."

Nina menggoyangkan kedua tangan dengan cepat. "Nggak bakalan. Kamu tahu, 'kan. Kriteria laki-laki idamanku?"

Megan menghela napas, lalu manggut-manggut. "Danial itu kalau penampilannya di dandanin agak gaul, cakep tau, Nin."

Nina menoleh seraya mengangkat satu sudut bibir ke atas. "Mau didandanin atau dipermak, tetap aja standar ketampanan laki-laki itu bagiku adalah Mas Nino."

"Haduh, move on, Sayang. Pacar orang itu."

Nina pun terbahak. Tidak ada rasa sesak saat Megan mengingatkannya tentang status Nino saat ini.

"Eh, kok, aku nggak ngerasa patah hati banget, ya?"

"Soalnya kamu cuma naksir bukan cinta."

"Masa, sih?" Nina penasaran juga dengan analisis Megan. "Kalu lihat dia, aku gugup, loh."

"Kamu itu gampang kagum sama laki-laki, Nin. Ingat udah berapa mahasiswa yang jadi gebetanmu? Itu pun cepat banget ganti."

Nina menatap langit-langit kamar, memahami yang diutarakan Megan. Benar juga, Nina memang gampang jatuh hati. Dan, nyeseknya, tidak ada yang berakhir menjadi kekasihnya.

"Menurutku, kamu itu belum pernah jatuh cinta."

Nina mengerutkan kening mendengar analisis Megan. Ia sendiri tidak yakin jika dirinya belum pernah jatuh cinta. Saat awal kuliah saja, Nina pernah memiliki pacar meskipun hubungan hanya bertahan dua bulan. Putusnya hubungan tersebut terbilang cukup unik dan tidak menimbulkan luka batin yang berarti bagi mahasiswi penyuka sneakers itu. Hanya rasa kesal saja. Penyebabnya pun sepele, karena mantannya itu menghina para aktor Korea dengan sebutan wajah plastik. Sebagai Korean drama's lover, Nina tidak terima dan langsung minta putus. Sungguh bukan hubungan yang dewasa.

"Terus, selama ini aku hanya suka aja?" tanya Nina memastikan.

Megan manggut-manggut. "Aku pernah baca artikel. Menurut psikolog, naksir seseorang itu hanya sampai empat bulan. Lebih dari itu berarti kamu bener-bener mencintainya."

Nina membeliak terkejut. "Valid nggak opini itu?"

Megan mengangkat bahunya. Ia lalu memberikan contoh seperti hubungannya dengan sang kekasih yang sudah berlangsung selama dua tahun. Rasa yang dimiliknya sudah pasti cinta. Tujuan mereka berpacaran pun ke jenjang pernikahan.

"Aku juga, kok, pingin nikah sama orang yang kusuka." Nina masih terus membela diri. Ia masih tidak terima dibilang belum pernah jatuh cinta.

"Coba kamu ingat, apa ada rasa suka yang pernah kamu rasakan itu lebih dari empat bulan?" tanya Megan dengan wajah serius.

Nina langsung menggeleng. Kepada Nino saja, ia juga baru tiga bulan mengagumi. Mengetahui pemuda itu akhirnya punya pacar, hilang lagi rasa ingin memiliki. Sesantai itu Nina menanggapi perasaannya.

"Kalu gitu aku beneran belum pernah jatuh cinta, dong," keluh Nina tidak bersemangat. "Kenalin sama temenmu ya, Meg."

Megan sontak memelototi Nina. Ia lalu menggeleng dengan cepat. "Temukan cintamu dengan proses alami."

Nina mencebik kesal. Bersamaan dengan itu, ponselnya bergetar. Ada notifikasi pesan masuk di WhatsApp. Nina pun membukanya. Nomor yang belum tersimpan.

+628567098**

Assalmmualaikum. Balik ke rusunawa jam berapa?

Nina mengerutkan kening. Jemari langsung berselancar ke info pemilik nomor. Foto yang tertera hanya gambar Ka'bah, sedangkan nama pun hanya tertulis ~Young Entepreneur~

"Siapa, sih, ini?"

Nina yakin bukan anak-anak sekretariat karena nomornya sudah tersimpan semua. Ia lalu menepuk kening, khawatir jika nomor itu milik panitia SC. Bisa-bisa dirinya mendapat teguran jika keluar kantor di jam kerja.

Nina terus menatap pesan tersebut dengan gelisah. Terlihat di bawah nomor pengirim sedang mengetik pesan.

+628567098**

Jangan sampai lewat dari Maghrib

Arkan

Nina menghela napas penuh kelegaan. Masalah tidak jadi datang padanya. Namun, sepertinya ada yang aneh. Ridho yang memberinya izin saja tidak meminta dirinya untuk segera pulang. Malah dibebaskan sampai jam berapa pun. Memang, Arkan itu jabatan di atas sekretariat. Namun, masih ada empat panitia lagi di sana. Pun, kalau kondisi sedang hectic juga masih bisa teratasi.

"Siapa? Kayak serius gitu." Megan sedari tadi memperhatikan Nina yang terlihat cemas.

"Orang ngeselin di PMB," jawab Nina dengan malas.

"Dih, udah punya enemy aja di sana?"

Nina mengangkat bahu. Ia malas menceritakan tentang Arkan.

"Awas jadi cinta kalau udah kesel."

"What? Jatuh cinta? Sama aktivis dakwah itu?" Nina membuka matanya dengan lebar. Ia bisa memastikan tidak akan pernah jatuh cinta dengan mahasiswa yang bergelut di organisasi dakwah kampus tersebut.

"Jangan gitu. Nothing is impossible." Megan memngingatkan sahabatnya. Ia paham kebencian Nina yang menurutnya itu terlalu berlebihan. Hanya karena tidak paham jika tidak boleh bersalaman. Alasan yang sangat tidak bijak.

"Enggak bakalan. Pegang, deh, ucapanku." Nina menyentuh bibirnya.

"Kalau sampai terjadi?" tanya Megan seraya mendekatkan kepalanya, bermaksud menggoda Nina. "Aku harus dapat sesuatu ini."

Nina menarik satu ujung bibirnya ke atas. "Dasar temen matre. Nggak akan terjadi!"

Megan tergelak. "Bukan gitu, Nin. Kamu itu loh, di sana 24 jam. Sering ketemu sesama panitia. Selama satu semester pula. Enggak yakin aku kalau nggak bakal cinlok. KKN yang satu bulan aja banyak yang cinlok."

Nina termenung memikirkan perkataan Megan. Apa yang disampaikan gadis dengan satu lesung pipi di sebelah kanan itu masuk akal juga. "Nggak! Nggak bakal cinlok. Nggak ada cowok keren di sana."

Megan memajukan bibir bawah, kemudian menyeringai jail. Ia tidak yakin dengan ucapan Nina. "Kamu tuh, gampang baper. Ati-ati aja, deh, kemakan omongan."

Baper?

Nina bergidik ngeri membayangkan dirinya bisa terbawa perasaan dengan salah satu laki-laki di PMB.

"Kecuali di PMB, no baper-baper time!" tegas Nina seraya mengepalkan kedua tangan. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro