Kembang Desa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kembang Desa
Oleh: alka_lekha

Mereka dimabuk cinta. Cinta telah meluruhkan setiap logika. Hingga, mereka ditemukan tewas bersama. Orang bilang, mereka mati sia-sia. Namun, itu hanyalah kata orang di luar sana. Jadi, perkenankanlah saya untuk menceritakan kisah yang sebenarnya.

Seorang lelaki disuruh pergi ke sungai untuk memancing. Dia heran, dia yakin persediaan makanan di rumah lebih dari cukup untuk seminggu ke depan. Kenapa dia harus memancing? Tidak ingin ambil pusing, dia putuskan menjalankan perintah dari ayahnya itu. Tadinya dia ingin pergi ke tempat biasanya memancing, tetapi rupanya tempat itu telah penuh. Jadilah dia memilih tempat yang agak terpencil, agak tertutup dengan bambu-bambu rapat dan semak rimbun. Kendati demikian, fakta tempat itu cukup bersih dari sampah daun kering membuat dia bisa duduk dengan nyaman.

Baru saja dia lemparkan kail ke sungai yang jernih saat seorang perempuan muncul hanya dengan mengenakan kemban basah dari semak rimbun. Surai hitam legam sepinggul si perempuan meneteskan air sisa berbilas, semerbak bau harum menguar—dari tubuh molek si perempuan—memasuki liang hidung si lelaki.

Rona kemerahan segera muncul dari wajah keduanya.

Dalam keadaan canggung tersebut, si lelaki bertindak cepat dengan berdiri, menangkupkan kedua tangan, menunduk lantas meminta maaf. “Maaf. Saya akan pergi.” Tanpa menunggu balasan dari si perempuan, dia melangkah pergi.

Satu hal yang keduanya ketahui pada pertemuan pertama itu. Mereka telah jatuh cinta pada pandangan pertama.

Si lelaki mencari tahu tentang perempuan yang dia temui dan mengetahui bahwa perempuan itu adalah biduan desa seberang. Pantas saja wajahnya begitu jelita dan tubuhnya begitu indah, begitulah pikir si lelaki. Tidak kuat menahan hasrat untuk berjumpa, dia akhirnya pergi kembali pada tempat dan waktu yang sama. Benar dugaannya, dia bertemu lagi dengan si perempuan. Namun, perempuan itu tidak mengenakan kemban basah lagi, sepertinya tidak datang untuk mandi.

“Tuan datang kembali?” tanya si perempuan yang dijawab anggukan. “Tidakkah ini aneh jika disebut kebetulan? Untuk apa Tuan kemari? Dan lagi, tanpa alat pancing?”

Pertanyaan sederhana si perempuan rupanya mengantarkan keduanya pada percakapan lebih lanjut. Mereka duduk di tepi sungai berbatu, kaki dua manusia itu menyentuh aliran sungai. Angin semilir membuai. Mereka bercakap. Intens dan tampak nyaman satu sama lain.

Hari-hari berikutnya, mereka bertemu lagi, mengobrol lagi, dan lagi. Sehari tidaklah cukup hingga menjadi minggu. Belum puas, sebulan pun berlalu. Kemudian, tanpa mereka sadari telah menjalin hubungan dalam kurung waktu setahun. Puncaknya, saat si lelaki hendak pergi ke tempat biasanya mereka bertemu dengan membawa tekad untuk melamar. Si lelaki sempat berpikir ini terlalu cepat, mereka baru berkenalan setahun dan—sejujurnya—dia tidak mengenal perempuan mana pun selain si biduan desa seberang.

“Nak, bisakah kamu ke desa seberang untuk mengantarkan surat ini? Tanyakan saja ‘di mana rumah si kembang desa?’ maka mereka akan mengantarkanmu segera.” Begitulah titah si kepala desa, ayah dia.

Sebelum melaksanakan amanah, dia sempatkan untuk mampir ke tempat biasanya dia menemui si pujaan hati, tetapi perempuan itu tidak ada di sana. Maka berangkatlah dia ke desa seberang untuk mengantar surat. Sepanjang perjalanan dia menerka maksud si ayah mengirim surat tersebut. Mungkin Ayah ingin menikah lagi, meminang si kembang desa? terkanya.

Setelah bertanya dengan beberapa orang, si lelaki akhirnya sampai di tempat tujuan. Di teras sebuah rumah berukuran sedang serta berbahan kayu, dia temukan seorang perempuan. Bersurai panjang hitam legam sepinggul. “Kamu?” tanyanya pada perempuan itu, si pujaan hati.

Belum sempat si perempuan menanggapi, seorang perempuan lainnya keluar dari dalam rumah. Perempuan itu tidak kalah cantik dari si pujaan hati, lebih cantik malahan. “Ada tujuan apa Tuan kemari?” tanyanya.

Teringat tugas yang diemban, si lelaki pun bertanya, “Saya kemari mengantar surat untuk Kembang Desa yang dikirimkan oleh Ayah saya.”

“Ah, itu saya.” Si perempuan yang keluar dari rumah menunjuk dirinya sendiri. Lantas, dia pun membaca surat pemberian sis lelaki. “Tuan, apakah benar ayah Anda yang mengirim surat ini?”

Si lelaki menatap bingung. Memang apa isi surat itu hingga si kembang desa bertanya demikian?

“Di surat ini mengatakan bahwa ayah Anda meminang saya untuk putranya.”

Selepas mengantar surat dan mengetahui isinya, si lelaki langsung kembali ke rumah guna menemui si ayah. Dia tidak serta-merta menerima keputusan perjodohan itu. “Ayah, saya tidak bisa menikahi Kembang Desa itu! Saya mencintai perempuan lain!”

“Seperti apa perempuan yang kamu cintai hingga menolak Kembang Desa?”

Si lelaki terdiam. Sebuah rasa mengganjal di tenggorokannya saat ingin menjawab. Bukan tanpa alasan, perempuan yang dia cintai adalah seorang biduan. Di desanya atau pun desa seberang, biduan acap kali dipandang buruk. Bagi siapa pun yang berkenan membayar mahal, sang biduan akan bernyanyi di atas ranjangnya. Begitulah pandangan umum tentang biduan yang membuat si lelaki tidak bisa menjawab. Bisa jadi, perempuan yang dia cintai justru diasingkan karena dianggap telah menggodanya, padahal tidaklah demikian.

“Siapa, Nak?”

Di pengulangan pertanyaan si ayah, dia putuskan untuk menggeleng. “Tidak ada. Boleh saya tahu alasan Ayah melamar Kembang Desa untuk saya?”

“Kenapa, Nak? Bukankah dia cantik? Dia juga anak kepala desa, begitu juga denganmu. Ini akan baik untuk kedua desa.”

“Jadi, ini untuk desa kita?” Pertanyaan si lelaki dijawab anggukan. Bila demikian keadaannya, dia tidak bisa menolak. Dia didik untuk patuh dan mencintai desanya. Kendati desa seberang tidak sebaik desanya, bila pernikahannya dengan kembang desa bisa berdapat positif, dia akan menerima pernikahan itu.

Maka sibuklah dua desa mempersiapkan sebuah pernikahan. Hasil bumi disiapkan menjadi sebelas gunungan. Dua puluh dua sapi dan kambing sebagai persembahan kepada Yang Maha Kuasa. Delapan belas gadis sebagai pembawa mas kawin. Sebuah pernikahan paling megah dalam sejarah kedua desa.

Si Kembang Desa tampil dengan kebaya hitam bersulam benang keemasan. Surai sepunggungnya disanggul. Bibirnya yang telah ranum tampil menawan dengan polesan gincu merah. Senyum tipis manis membius setiap hadirin. Hanya ada dua orang yang tampak tidak terbius oleh kecantikan si Kembang Desa : si lelaki dan si biduan—mari panggil si perempuan begitu agar lebih mudah—yang tengah memenuhi panggilan menyanyi.

Pernikahan itu tidak hanya digelar selama sehari. Kemeriahannya bertahan hingga seminggu ke depan. Ratusan kilo beras telah dinanak. Puluhan sapi telah disembelih. Kado-kado diterima kedua mempelai dari seluruh warga desa.

Sebulan berlalu dari pernikahan maha megah tersebut. Si lelaki rupanya belum bisa berpaling dari si biduan. Tiap malam tanpa jeda dia terus memikirkan perempuan yang dia cintai. Begitu memikirkan sampai-sampai istrinya hanya pernah disentuh sekali—itu pun karena si istri yang meminta. Namun, dari satu malam itu, si Kembang Desa telah mengandung anak.
Seharusnya dia bahagia.
Seharusnya dia senang mendapati istrinya—si kembang desa yang jelita—sedang mengandung. Namun dia tidak. Lelaki itu masih memikirkan si biduan.

Sungguh cinta dapat merenggut seluruh pelajaran hidup, mengubah seseorang menjadi bodoh dalam sekejap.

Tidak tahan dengan rasa merindu yang menggebu, pada malam bulan purnama si lelaki kabur dari rumah demi menemui cintanya. Dia berkeliling desa seberang, memanggil si biduan hingga menimbulkan makian marah dari warga sekitar. Setelah berkeliling cukup lama, dia akhirnya temukan perempuan yang dia cari di gubuk sudut desa.

“Saya merindukanmu,” ungkap lelaki itu sembari memeluk erat. “Saya tidak tahan merindu padamu.”

“Maukah Tuan mati bersama saya? Mati dalam cinta kita?”

Entah setan mana yang merasuki si lelaki, tanpa keraguan dia mengangguk.

Di dalam gubuk itu, mereka berdiri berhadapan. Masing-masing memegang sebuah gelas berisi racun, sedang tangan lainnya saling genggam. Hanya sebuah lampu petromaks kecil yang menjadi penerangan mereka. Namun itu cukup. Mereka tidak butuh lebih, karena mereka akan segera bersatu dalam keabadian.

Dalam hitungan ketiga dari si biduan, mereka teguk racun itu bersama-sama, lalu keduanya berciuman. Ciuman pertama dan terakhir.

Si lelaki mengejang. Wajah dan tubuhnya berubah merah dengan bintik-bintik hitam. Pandangan dia menguning sebelum akhirnya menggelap. Lelaki itu jatuh, mati bunuh diri.

Si biduan terduduk di lantai tanah. Isaknya yang hendak keluar ditahan dengan menggigit bibir bawah. Namun, air mata itu tidak dapat dibendung lebih jauh. “Maafkan saya, Tuan. Maafkan sa—”

Napas si biduan tersengal seperti tercekik. Dia gapai udara ke mulut untuk bernapas, tetapi percuma. Tubuh molek itu memerah berbintik-bintik. Ciri yang ditunjukkan biduan itu persis seperti dengan si lelaki. Dia pun ikut ambruk di samping si lelaki. Keduanya mati seperti rencana awal. Mati bersama dalam keadaan saling mencintai, bukankah itu akhir yang membahagiakan bagi keduanya?

Dan, di sanalah saya. Masuk ke dalam gubuk itu dengan penerangan obor ditemani seorang pembantu. Air mata saya keluar deras begitu menemukan jasad mereka. Pembantu itu segera berlari memanggil kepala desa, mengabarkan anaknya telah mati bunuh diri.

Keramaian segera terbentuk dalam sekejap. Mayat si lelaki dibawa ke rumah kepala desa. Sementara mayat si biduan yang tadinya hendak dibuang begitu saja ke sungai akhirnya ikut dibawa ke rumah kepala desa saat saya melarang.

Orang-orang di sekitar ramai mengerubungi begitu saya kembali. Mengucapkan bela sungkawa. Banyak yang bersimpati bahwa saya telah menjanda di rumah tangga yang seumur jagung. “Padahal kamu tengah mengandung.” Begitulah ujar salah satu dari para simpatik.

Satu hal yang tidak orang-orang naif itu ketahui adalah semua kejadian merupakan rencana saya. Saya bayar si biduan untuk bertemu dengan si lelaki dan membuat dia jatuh cinta—namun tanpa disangka si biduan ikut jatuh cinta. Lamaran di depan si biduan. Bahkan aksi bunuh diri keduanya—saya tipu biduan itu dengan mengatakan bahwa hanya satu gelas berisi racun. Sayalah otak di balik drama malam ini, yang akhirnya mewarisi setiap kemewahan sebagai mantan istri anak kepala desa.

Saya, si Kembang Desa yang menawan—dan mematikan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro