Malaikat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Matahari baru saja memunculkan pesonanya saat seorang anak laki-laki dengan kemeja bergaris berjalan menyusuri trotoar salah satu universitas ternama di kota itu. Ia membawa tas lusuh yang memiliki beberapa jahitan dan tambalan pada setiap sisinya. Anak lelaki itu bernama Ahmad. Seorang anak yang lahir dari sebuah keluarga yang memiliki delapan anak. Ahmad lahir sebagai anak bungsu dari delapan bersaudara, ketujuh kakaknya adalah perempuan. Ahmad beruntung karena keluarganya mendukung penuh niatnya melanjutkan pendidikan ke universitas. Latar belakang keluarganya sempat membuat Ahmad hampir menyerah karena menurutnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja orang tuanya sudah kesulitan apalagi harus ditambah dengan biaya kebutuhannya kos di kota. Namun takdir berkata lain, salah satu guru di sekolah Ahmad memberikan informasi dan membantu Ahmad untuk mendapatkan beasiswa.

Begitu tiba di depan bangunan rektorat universitas tersebut, Ahmad sempat takjub dan terkagum-kagum melihat  kemegahan gedung itu. Ahmad melangkah masuk ke lobi kemudian memandang langit-langit yang tingginya mungkin mencapai 10 meter dan lantainya sangat mengkilap sehingga Ahmad dapat melihat pantulan wajahnya di lantai. Ahmad tersenyum, dalam hati ia menertawakan dirinya sendiri kemudian ia menghampiri satpam yang berdiri di dekat pintu masuk.

"Permisi, saya mau ke ruangan 3A untuk wawancara beasiswa. Ruangannya dimana ya, Pak?"

"Oh, mahasiswa baru ya?"

"Iya, Pak." Ahmad mengangguk dengan semangat. Baru kali ini ia mendengar pengakuan dari orang asing bahwa kini ia adalah mahasiswa.

"Silahkan naik lift ke lantai 3, ruangan 3A ada di sebelah kanan lift. Semangat, semoga lancar." Satpam tersebut tersenyum ramah.

Senyum Ahmad mengembang, "Terima kasih, Pak."

Setelah tiba di lantai 3, Ahmad sempat dibuat bingung karena pintu ruangan 3A tertutup rapat. Kemudian ia duduk di lantai di dekat pintu masuk. Seseorang berseragam biru dengan sebuah pel di tangannya menyapa Ahmad, "Mahasiswa ya, Mas?"

Ahmad merasa tidak enak karena mungkin lelaki yang berdiri di depannya ini hendak melakukan pekerjaannya, "Iya, Mas. Apa saya mengganggu?"

Lelaki berseragam biru tersebut tersenyum ramah kemudian menggelengkan kepalanya.  ia bergerak membuka pintu. "Pintunya gak terkunci, duduk di dalam aja. Masa mahasiswa ngemper di lantai." 

Ahmad tersenyum malu kemudian memandang sepatunya yang penuh tambalan dan ia berniat untuk melepaskan sepatunya. Lelaki tadi tersenyum geli kemudian menepuk pundak Ahmad. "Dipakai saja. Karpetnya boleh diinjak sepatu kok." Lelaki itu pergi dengan senyuman mengembang.

Ragu-ragu Ahmad melangkahkan kakinya ke tepi karpet dan hendak duduk diatasnya, namun gerakannya terhenti ketika seorang lelaki paruh baya dengan seragam batik memasuki ruangan dan menatap Ahmad dengan tatapan penuh tanya. Ahmad kebingungan dan segera berdiri tegak, "Saya Ahmad, Pak. Mahasiswa baru yang akan mengikuti wawancara beasiswa."

Pria paruh baya itu tersenyum, "Ini ada kursi, kenapa duduk di bawah?"

Ahmad menggaruk tengkuknya yang tidak gatal kemudian ia tersenyum canggung, "Kursinya kelihatan mahal, saya takut merusaknya Pak."

Pria itu kembali tersenyum, "Saya yang tanggung jawab kalau kursinya rusak. Kamu boleh duduk di kursi itu."

Ahmad tidak beranjak dari tempatnya berdiri namun tatapan pria tadi yang juga turut tidak berajak darinya membuat Ahmad menyerah dan akhirnya menduduki kursi yang ada di sisi ruangan tersebut. Setelah melihat Ahmad duduk, pria tadi bergerak memasuki ruangan lain.

Setelah 30 menit duduk dan menikmati pemandangan dari lantai 3 gedung rektorat, akhirnya peserta tes memenuhi ruangan tersebut. Ahmad mulai merasa gugup saat salah satu staff dengan seragam batik mulai memanggil nama peserta. Ahmad memasuki ruangan dengan tangan yang mulai gemetar, namun senyumnya mengembang begitu melihat seseorang yang duduk di bangku pewawancara. Ternyata pria yang sebelumnya meminta Ahmad untuk duduk di kursi yang menurut Ahmad mewah. 

"Selamat pagi, Ahmad."

"Selamat pagi, Pak."

"Perkenalkan nama saya Kus Heriyanto, saya adalah penanggung jawab untuk penerimaan beasiswa kali ini. Sekarang saya minta kamu jelaskan tentang keluargamu."

"Saya anak bungsu dari 8 bersaudara, ibu saya bekerja sebagai petani dan ayah saya sudah alm."

"Kenapa kamu mau kuliah?"

"Saya mau menaikkan derajat keluarga saya karena saya adalah satu-satunya laki-laki di keluarga. Saya harus bertanggung jawab atas 8 wanita dalam keluarga. Meskipun 5 dari kakak saya telah menikah, saya punya mimpi untuk menyekolahkan keponakan saya nantinya. Karena itu saya harus jadi contoh untuk mereka."

"Jika kamu tidak diterima, apa yang akan kamu lakukan?"

"Saya akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan saya sendiri. saya sudah berencana untuk menjual gorengan di kampus dan berjualan koran pada malam hari. Salah satu kakak tingkat saya di sekolah dulu sudah mengenalkan saya pada bos koran."

"Untuk tempat tinggal selama kuliah bagaimana?"

Ahmad terdiam dan menunduk dalam, ia seperti kehilangan kemampuan berbicara. Ia tiba-tiba teringat dengan selembar uang berwarna merah yang diserahkan ibunya tadi pagi. Uang tersebut cukup untuk ongkosnya pulang pergi hari ini namun tidak ada sisa untuk sekedar makan siang.

"Kamu akan tinggal dimana nanti?"

Ahmad masih tertunduk, kemudian ia mulai meneteskan air mata. Bayangan ibunya yang melangkah membelah kabut memenuhi kepalanya. Sebelum memberikan selembar uang berwarna merah tersebut Ahmad melihat ibunya pergi keluar rumah. Ahmad sudah dapat memastikan bahwa ibunya pasti meminjam uang dari tetangga mereka.

"Ahmad, kamu dengar saya?"

Ahmad terisak kemudian mengangkat kepalanya pelan. "Mungkin saya harus tinggal di jalanan, Pak."

Pak Kus terdiam mendengar jawaban Ahmad. Tak lama setelahnya, Pak Kus menghampiri Ahmad dan merangkul bahunya. "Kamu anak hebat, laki-laki gak boleh cengeng loh. Sudah-sudah nangisnya."

Suara tangis Ahmad mengecil kemudian bahu yang sebelumnya bergerak naik turun berubah bergerak pelan dan napasnya mulai normal. "Maaf, Pak. Tidak seharusnya saya menangis saat wawancara, sekali lagi saya minta maaf."

Pak Kus tersenyum, "Saya dulunya anak jalanan. Pagi hari saya jual gorengan di sekolah dan malam harinya saya berjualan koran di lampu merah. Saya seperti bertemu diri saya sendiri saat ini. Bedanya saya gak cengeng seperti kamu." 

Ahmad jadi malu sendiri karena kesalahan yang ia buat. Entah mengapa tatapan Pak Kus mengingatkan Ahmad pada sosok ayahnya. Ahmad mengenal ayahnya hingga usianya 7 tahun. tak ada banyak kenangan yang ia ingat dengan jelas namun saat melihat tatapan Pak Kus ia dapat merasakan kehangatan seorang ayah.

"Kamu mau tinggal di rumah saya?"

Ahmad sempat tercengang dan tak percaya dengan pendengarannya sendiri.

Pak Kus yang melihat Ahmad tak kunjung menjawab pertanyaannya akhirnya ia mengajukan pertanyaan yang sama untuk kedua kalinya. "Kamu mau tinggal di rumah saya?"

Ahmad masih tidak percaya kata-kata Pak Kus, sehingga ia mengajukan pertanyaan yang kemudian ia sesali, "Kosannya berapa sebulan, Pak?"

"Kamu saya ajak tinggal di rumah saya sebagai anak bukan sebagai penyewa. Saya punya anak angkat yang tinggal di rumah. Mereka juga mahasiswa di sini, kalau kamu mau berarti kamu akan menambah daftar kakakmu. Jangan khawatir, kamu tetap bisa menjual gorengan dan koran untuk menunjang biaya perkuliahanmu. Tapi ada syaratnya."

"Apa itu, Pak?"

"IPmu tidak boleh kurang dari 3.00, jika kurang dari 3.00 maka kamu harus angkat kaki dari rumah saya. Anak-anak saya harus jadi anak yang bertanggung jawab."

Ahmad tersenyum, kemudian tanpa ia sadari air mata menetes dari sudut matanya. Air mata yang berasal dari kebahagiaan bukan kesedihan. Hari ini Tuhan mengirimkan seseorang sebagai malaikat penolong untuk Ahmad. Malaikat penolong yang siap menopangnya hingga ia menyelesaikan kuliahnya. Malaikat yang terasa seperti ayah yang kembali bersamanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro