Beautiful Destiny - chapter 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jalan-jalan ke keraton saat tengah hari sungguh bukan ide yang bagus. Berkali-kali Jenna menghapus keringat yang bercucuran di dahinya. Dia sudah mengantisipasi cuaca panas itu dengan memakai dress polos tanpa lengan selutut warna hijau mint dan memakai topi rajutan besar. Tapi tetap saja matahari menyorot jelas ke wajahnya.

Jenna duduk di salah satu undakan, matanya melihat ke arah Andrew yang sejak tadi berasa menemukan surga dengan kameranya. Ia tidak berhenti memotret. Sesekali ia memotret ke arah Jenna. Sementara yang di potret malah salah tingkah karena tidak terbiasa jadi objek kamera.

Andrew duduk di sampingnya. Meskipun cuaca panas dan membuatnya berkeringat namun tubuh Andrew tetap harum , aromanya terasa segar

"Kau dan mamamu sering kesini?"

"Tidak..kami jarang jalan-jalan. Tour dari sekolah yang pernah membawaku kemari.." Jenna mengelap keringatnya sekali lagi.

"Kau benar-benar tidak suka jalan-jalan?" Rupanya Andrew benar-benar penasaran.

"Yaa seperti itulah. Aku tidak suka keramaian. Aku tidak suka dengan suara yang terlalu berisik."

Wajah Jenna berubah suram. Ia memang tidak suka suara berisik. Suara berisik selalu membuat dadanya terasa sesak dan mengingatkannya akan keributan yang di buat ayah saat menyiksa mama.

"Jadi apa yang kamu lakukan dirumah?"

Sembari memotret, Andrew masih melontarkan pertanyaan pada Jenna.

"Banyak. Membaca, menulis.." Jenna terdiam, memang tidak banyak yang dilakukannya. Hanya hal-hal yang mungkin bagi sebagian orang membosankan.

Andrew menoleh ke arah Jenna, "kau suka menulis? Novel?"

"Tidak.." Jenna menggelengkan kepalanya, "hanya beberapa puisi pendek dan ah..tidak terlalu bagus. Aku hanya iseng menulisnya.."

"Boleh aku baca?"

Jenna menyipitkan matanya menatap Andrew, pria itu terlihat serius dan tidak berniat mengejeknya.

"Boleh, sebentar ya.." Jenna mencari sesuatu dalam tasnya dan menemukan sebuah buku berukuran postcard berwarna hijau muda.

Andrew menggantungkan kamera ke lehernya dan menerima buku dari Jenna. Di bukanya halaman per halaman, membaca kata demi kata yang berusaha di rangkai Jenna. Puisinya sederhana, dan kata-katanya mudah di mengerti. Andrew berhenti di satu halaman dan mulai membacanya baik-baik.

Sabtu, 12-10-2013

Aku ingin menjadi seperti embun..

Yang menyegarkan setiap helai rumput dan tanaman..

Aku ingin menjadi seperti matahari..

Yang menghangatkan setiap makhluk di muka bumi..

Aku ingin seperti bulan..

Yang menerangi setiap sudut gelapnya malam..

Namun sayang..aku hanyalah sepotong awan gelap..

yang sedang menggelayut manja pada langit dan sebentar lagi akan meneteskan hujan..

Andrew mengerutkan keningnya, ada semacam kesepian dalam tulisan Jenna. Beberapa puisinya menggambarkan soal cinta yang penuh kebencian. Apa yang mungkin ada di pikiran wanita ini? Andrew menoleh dan menatap mata Jenna yang bulat.

"Bagus.."

"Biasa saja..aku hanya ingin menuangkan isi hatiku saja. Sejujurnya kau orang pertama yang melihat buku itu. Sahabatku tidak pernah kuijinkan.."

Andrew tersenyum lebar, seperti anak kecil.

"Thank you Miss Jenna.."

Jenna terkekeh melihat gaya Andrew.

"Aku lapar..ayo kita cari makan.." Andrew mengajak Jenna berdiri. Mereka meninggalkan kawasan keraton dan mulai berjalan menuju parkiran mobil.

"Lagi-lagi aku harus jujur, bahwa aku tidak mengetahui makanan enak daerah sini." Jenna tersenyum masam. Udara di luar sangat panas. Dinginnya ac mobil bagaikan hawa surga yang berhembus di depan wajahnya.

"Tidak apa..aku ingin coba nasi pecel. Tadi saat perjalanan menuju kesini, aku lihat ada warung nasi pecel, kita makan disana ya.."

Jenna mengangguk. Ini pertama kali baginya bisa jalan dan dekat dengan seorang pria. Dan pria itu sama sekali tidak mempermasalahkan Jenna yang tidak mengetahui apa-apa. Justru dia menenangkan dan memberi solusinya.

***

Warung nasi pecel ini tidak terlalu ramai, mungkin karena ini sudah lewat jam makan siang. Jenna dan Andrew memesan nasi pecel dan es teh manis. Pelayan warung itu berusia sekitar 17 tahun dan dia tidak bisa melepaskan pandangannya dari Andrew.

Andrew sendiri sepertinya tidak peduli. Dia sudah biasa jadi pusat perhatian tampaknya.

"Jadi ternyata kau suka makanan tradisional? Mengingat wajahmu yang agak bule.." Jenna memulai pembicaraan.

"Aku suka segala jenis makanan. Nenekku tukang masak yang hebat. Meskipun berdarah belanda, tapi dia bisa memasak segala macam masakan tradisional.."

"Kau tinggal dengan nenekmu?" Jenna menyesap es teh manisnya.

"Sejak mama meninggal, aku bergantian di asuh nenek dan papa, rumahku dan nenek tidak jauh hanya sekitar seratus meter..kau sendiri mengapa tidak tinggal disini?"

"Aku? Ada sedikit perbedaan pendapat dengan mama. Jadi aku memutuskan untuk pergi. Bukan kabur, hanya menjauh dari segala kenangan yang buruk.." Jenna merasa aneh, biasanya tidak segamblang itu ia bercerita masa lalunya dengan orang lain.

"Kenangan buruk?" Andrew mengerutkan keningnya.

"Ya kenangan buruk..ayahku..dulu dia suka menyiksa mama. Dan aku menyaksikannya dengan mata kepalaku sendiri. Membuatku trauma berdekatan dengan pria dan takut tinggal di rumahku sendiri.." Mata jenna menerawang. "Kata mama, aku harus memaafkannya jika ingin terbebas dari segala trauma itu..tapi mana bisa aku melupakannya, bahkan setiap detiknya aku ingat.." Jenna tersenyum getir.

"Itulah kenapa kau tidak pernah pacaran?"

"Kau tahu dari mana?"

"Mamamu..dia banyak bercerita tentangmu kepada papa, dan papa cerita padaku. Kupikir saat itu, mana ada wanita berusia 23 tahun tak pernah pacaran seumur hidupnya."

Jenna tertawa. Lihat betapa nyamannya dia dengan Andrew. Pria ini tidak mengasihani dirinya seperti apa yang pria lain lakukan.

"Kau sendiri? Pacarmu?" jenna menyuapkan nasi pecel ke mulutnya.

"Sudah menikah dengan pria lain..dia di jodohkan dan setuju.." Lidah Andrew terasa pahit saat mengatakannya.

"Woo..jadi ada yang sedang patah hati?"

"Tidak juga..dia tidak mencintaiku sebesar aku mencintainya. Jika itu diriku, aku akan mati-matian memperjuangkannya, bukannya setuju dengan pilihan orangtuaku. Itu membuatku yakin, dia bukan orang yang tepat.."

Pelayan tadi membersihkan meja, dan sekali lagi melemparkan tatapan genit pada Andrew yang bahkan tidak menoleh kepadanya.

"kau sendiri apa tidak pernah jatuh cinta?"

Jenna mengangkat kepalanya dan tatapannya bertemu dengan mata Andrew.

"Beberapa kali pernah menyukai seorang pria. Namun alarm dalam pikiranku berbunyi begitu keras, bahkan sampai memberikan mimpi buruk yang bertubi-tubi. Aku menyerah. Jatuh cinta mungkin mudah bagi orang normal, tapi bagiku tidak.."

Andrew dan Jenna sama-sama terdiam. Mereka sendiri tidak mengerti mengapa arah omongan mereka jadi begitu dalam. Seperti mereka sudah saling mengenal begitu lama..

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro