Beautiful Destiny - chapter 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jenna duduk di bawah pohon menghindari teriknya matahari yang membakar siang itu. Wajahnya di tekuk karena kesal. Harusnya ia sudah menyelesaikan membaca novel yang dibawanya dari Jakarta. Tapi lagi-lagi Andrew berhasil menyeretnya ke Candi Borobudur untuk menemaninya menghabiskan waktu dengan kamera.

Di sesap lagi teh botol yang sudah tidak dingin. Matanya menatap Andrew yang berdiri tidak jauh darinya, mengenakan jeans hitam dan tshirt putih . Seperti biasa, para wanita yang berpapasan dengannya akan menengok dua kali dan Andrew akan melemparkan senyuman ratusan megawattnya yang akan membuat wanita-wanita itu cekikikan.

"kau masih kesal?"

Pria itu duduk di sebelahnya dan memesan teh botol dingin kepada ibu-ibu di belakang mereka. Wajahnya berkebalikan dengan wajah Jenna. Andrew tampak puas dengan apa yang di dapatkannya hari ini.

"Ya..tentu saja. Hanya kau orang yang tidak menghormati hak orang lain.."

Jenna melemparkan tatapan kesalnya.

Andrew terkekeh geli, "Harusnya kau bersyukur..aku mengajakmu keluar supaya kau bisa menghirup udara segar. Memangnya kau bisa dapat pacar kalau hanya diam dikamar.."

Jenna mengangkat bahunya, "Bisa saja..atasanku di kantor yang cukup tampan menyukaiku. Dan mungkin dialah orang yang tepat menjadi pacarku.." Jenna sendiri tidak mengerti mengapa dia merasa harus bicara seperti itu kepada Andrew. Dia hanya merasa kesal karena Andrew terus-terusan menyindir kebiasaan Jenna mengurung diri dalam kamarnya.

"Siapa tahu kau akan di jadikan istri kedua?"

"Bosku masih single dan hanya berbeda usia 3 tahun dariku. Selama ini aku menutup diri darinya, tapi kurasa saat pulang nanti aku bisa lebih dekat dengannya."

Jenna berdiri dan membayar minuman yang mereka pesan. Andrew mengikuti di belakangnya, raut wajahnya tampak berubah.

"Kau harus berhati-hati. Tidak semua pria itu baik, sebelum dekat dengannya, kau harus teliti benar bagaimana latar belakangnya."

Jenna membalikkan badannya, dan mengernyitkan dahinya.

"Kemarin kau bilang tidak semua pria bajingan, hari ini kau berkata sebaliknya. Sebenarnya kau ingin aku bagaimana? Ah..lagipula untuk apa aku peduli dengan pendapatmu, kau toh bukan siapa-siapaku."

Jenna berjalan dengan santai melewati Andrew, namun tangan pria itu menahan lengannya membuat langkahnya terhenti.

Tatapan tajam Andrew menembus matanya.

"Aku adalah calon kakakmu. Jadi dengan siapa kau berteman dan pacaran. Aku harus mengenalnya."

Jenna menyentakkan tangannya dan berjalan menjauh dari pria itu. Sebenarnya apa yang ada dalam pikiran pria itu. Sebentar dia terlihat acuh dan cuek, kemudian tiba-tiba berubah jadi pemarah. Memangnya kenapa kalau Jenna punya pacar? Mereka bukan saudara sekandung, dan Jenna bersumpah apapun yang terjadi dengan dirinya, dia tidak akan menyusahkan Andrew. Tidak sekalipun.

***

Jenna memandang takjub kepada hujan yang tiba-tiba turun di tengah-tengah musim kemarau. Bau hujan yang bercampur dengan rumput dan tanah memenuhi rongga paru-parunya. Malam ini Jenna hanya ingin menikmati waktu sendirian, dengan memakai sweater favoritnya yang kebesaran dan celana piyama, dia duduk memandang hujan sambil menggenggam mug berisi kopi susu.

Kesendirian seperti inilah yang selalu Jenna sukai. Beberapa hari ini dia sudah menyeberang dari aturan yang di buatnya. Bukan kebiasaannya membiarkan orang lain berada terlalu dekat dengannya, apalagi laki-laki. Namun ada yang berbeda dengan Andrew, pria itu membuat Jenna tidak bisa menolaknya. Andrew berhasil membuatnya keluar kamar dan mengajaknya berkeliling kota Jogja yang bahkan Jenna belum pernah mendatangi tempat itu. Sejujurnya, kebersamaannya dengan Andrew tidaklah semenyebalkan itu sampai membuatnya naik darah seperti tadi siang. Di luar sikap menyebalkannya, Andrew adalah pria lucu, baik hati dan tampan.

Jenna menggeleng-gelengkan kepalanya, dasar bodoh! Kau boleh menyukai ratusan pria yang ada di luar sana, tapi Andrew tidak. Untuk yang satu ini Jenna tidak mau bertindak bodoh dengan jatuh cinta kepada calon kakaknya. Meskipun Andrew memang cukup menggiurkan untuk di cintai, selintas senyum misterius Andrew lewat di pikirannya membuat Jenna berteriak kesal. Dia duduk manis di sini bukan untuk memikirkan si menyebalkan itu.

"Kenapa kau teriak-teriak begitu?"

Jenna tersentak mendengar suara berat dan dalam milik Andrew. Si empunya suara sedang berdiri dengan santai, bersandar di pintu dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Andrew dan gayanya yang santai memang mempesona. Pria itu tidak pernah terlihat kikuk, berbeda dengan Jenna yang bisa jatuh karena kakinya sendiri.

Jenna menyipitkan matanya. "Apa yang kau lakukan disitu? mengintipku?"

Andrew hanya mengangkat alisnya tanpa ekspresi.

"cih! pede sekali dirimu. aku tadi sedang di ruang makan dan mendengar teriakanmu.."

Andrew berjalan mendekatinya dan duduk di sampingnya, matanya memandang Jenna menyelidik.

"Maukah kau memberitahuku, pikiran apa yang membuatmu begitu frustasi seperti tadi?"

Tanpa di komando wajah Jenna langsung merah padam. Dia menundukkan kepalanya sambil terus meminum kopi susu yang sudah mulai dingin. Andrew hanya terkekeh dan bersandar di sofa.

Sofa kulit berwarna cokelat ini memang di letakkan mama di teras belakang rumah. Jenna tersenyum getir ketika mengingat dulu mama papanya sering duduk berdua di sofa ini, tertawa bersama dan saling bercerita. Terkadang Jenna melompat ke pangkuan mereka dan memandang hujan bersama. Itu semua terjadi sebelum perangai ayahnya berubah menjadi monster.

"Kapan kau balik ke Jakarta?"

Pertanyaan Andrew membuyarkan lamunannya. Tanpa sadar Jenna sudah cukup lama berada di kota ini, bahkan dia tidak ingat berapa hari. Kalau Andrew tidak menanyakan hal ini bisa dipastikan Jenna akan lupa kembali ke Jakarta.

"Masih ada sekitar 4 hari lagi. Pekerjaanku pasti sudah menumpuk. Bahkan aku tidak sempat membuka email selama disini."

"Aku melihat tidak ada masalah kau tinggal di kota ini..apakah kau harus kembali kesana?"

Jenna merasa kulitnya meremang ketika lengannya bersentuhan dengan lengan Andrew. Sekilas Jenna melirik Andrew, pria itu memiliki janggut tipis di sekitar rahangnya, hidungnya yang mancung dan bagaimana bisa seorang pria mempunyai bibir setipis itu.

Pura-pura membetulkan letak kacamatanya, Jenna membuang pandangannya ke depan. Dia merasa dirinya sudah separuh gila jika terus berada di dekat Andrew.

"Sebenarnya terkadang aku masih merasa takut.."

Andrew menatap Jenna, "Apa yang kau takutkan? Masa lalu hanya sejarah, tidak akan terulang."

Mata pria itu menatapnya tajam, kali ini Andrew benar-benar serius.

"Kau tidak pernah merasakan..."

Ucapan Jenna terhenti ketika Andrew memotongnya.

"Merasakan apa? Melihat papamu memukuli mamamu dan kau tidak bisa berbuat apa-apa?" Andrew memiringkan badannya dan memegang bahu Jenna, mereka berhadapan sekarang.

"Kau selalu marah jika seseorang mengungkit tentang masa lalumu, itu tidak membantu. Dengarkan aku, aku akan menjadi kakakmu, dan aku tidak akan mengijinkan adikku jadi wanita lemah. Aku tidak ingin mengguruimu Jenna, tapi jika kau ingin bangkit, maafkanlah papamu. Dengan begitu kau bisa memandang kehidupan dengan cara yang berbeda."

Andrew bangkit dari sofa dan meninggalkan Jenna yang terdiam terpaku. Begitu seringnya mamanya mengucapkan hal itu, sampai-sampai jika mama bicara tentang hal ini, Jenna akan pura-pura tidak mendengarnya. Namun sekarang, kata-kata itu keluar dari mulut Andrew.

Dan itu membuatnya berpikir dua kali bahkan tiga kali untuk mulai memaafkan papanya. Hidup berkubang dalam dendam membuatnya tidak bisa bergerak dan sulit bernafas.

Untuk pertama kalinya setelah belasan tahun, malam itu Jenna bisa tidur dengan nyenyak. Dia tidak lagi bermimpi tentang suara teriakan ayahnya atau bunyi tamparan. Malam ini dia memimpikan kedamaian dimana dirinya dan Andrew duduk di padang rumput yang luas, dengan ilalang yang tumbuh hampir setinggi badan mereka, lalu mereka bercerita, dan saling tertawa. Indah. Sangat indah.

-----------------------------------------

haaai,

trimikisi yaa yang udah mampir dan baca

Beautiful Destiny.

minta vote dan comment ya, buat booster semangat saya ngelanjutin chapter berikutnya ;)

Love,

Vy

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro