Chapter 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ini salah satu jawaban pembaca yang bikin saya jatuh cinta :) This chapter is dedicated for you :*

Maaf sebelumnya kalau terkesan sksd ya Mbak ^^

Tapi pengen ikutan jawab kenapa Al-Kalila wajib direpost.

1. Kangen Mbak sama mereka, kangen sama interaksi awal mereka.....

2. Itu cerita Mbak yang bikin saya jatuh cinta sama tulisannya Mbak.

Itu aja sih, maaf ya Mbak dengan tidak tahu dirinya langsung kirim pesan padahal gak pernah berinteraksi sebelumnya. Dan terima kasih untuk semua cerita yang Mbak tulis, terima kasih karena sudah menulis cerita yang banyak banget bisa diambil pelajaran.

Sekali lagi maaf dan terima kasih banyak ^^

"Mbak Lila, pokoknya saya nggak mau tau. Bayar sekarang juga!"

"Astaga...Bapak pikir saya bendaharanya gitu? Kuitansi baru masuk udah nagih. Cemane Pak...Pak!" jawabku, lengkap dengan nada kesal terselip di dalamnya.

"Loh! Kan perusahaan wajib membayar biaya pengobatan karyawan, Mbak." Masih dengan ngototnya.

"Iya, tapi kan perlu proses, Pak. Kuitansi ini saya cek dulu, baru bikini PPD ke keuangan. Nanti baru dibayar," tegasku lagi.

"Kok ribet sih, Mbak!"

"Lah, sapa suruh berobat di dokter praktik yang non kerjasama," sindirku. "Tinggal di sini-sini juga."

"Dokter yang anu itu nggak sip banget, Mbak. Meriksa sambil main henpon."

"Gitu? Oke, nanti saya komplain sama dokter anu tadi. Tapi, kuitansi Bapak tetep cair pada waktunya," tegasku.

"Yah, Mbak Lila. Nggak kesian apa sama saya?"

"Nggak."

"Hah...saya perlu tu duit, Mbak."

"Buat apa? Paling buat beli rokok. Nggak mau!"

"Kok tau sih, Mbak?" kini ganti suaranya menahan geli.

"Udah ke-cap di jidat Bapak noh," jawabku.

Kemudian beliau tertawa,"Mbak Lila mah susah dimodusin."

"Bweeeh...tau darimana kosakata modus, Pak?" tanyaku ikut tertawa.

"Dari anak-anak di rumah, Mbak. Ya udah deh, kalo gitu saya balik nyupir aja."

"Nah, gitu dong. Kerja baik-baik ya, Pak! Selamat selalu."

"Nggih, Mbak. Makasih," ujarnya. Kemudian beranjak keluar dari pintu ruanganku. Sesaat kemudian berbalik,"Mbak, ntar kalo uangnya cair nggak usah ditransfer ya. Cash aja."

"Kenapa emang?"

"Biar yang di rumah nggak tau, ATM dipegang Nyonya soalnya."

"Beuh...dah...udah sana. Hush...hush," usirku sambil tertawa. "Tiati, Pak!"

Begitulah, salah satu dari sekian banyak tipe karyawan yang harus aku hadapi sehari-harinya. Benar-benar deh! Dan gimanapun kelakuan karyawanku, tetep aja aku bisa ngadepin dengan gaya seenak udelku. Aku disayang sih...wkwkwk.

Minggu pagi ceria, PT. Bachtiar Roelan Optima. Dengan huruf 'O' pada kata Roelan dilukis dengan bulatan-bulatan membentuk angka delapan. Bulatan-bulatan ini dijadikan sebagai pelambang rezeki yang nggak putus-putus. Untung saja Optima, aku nggak bisa membayangkan seandainya terakhirnya huruf 'A', maka akan di singkat PT. BRA, gak oke banget kedengerannya untuk perusahaan tambang sebesar ini kan?

Minggu, tidak...kalian tidak salah baca, memang minggu. Tidak aneh memang jika jika hari minggu dihabiskan di tempat kerja untuk orang-orang seperti kami.

Karena minggu dan bekerja adalah paduan kata yang sangat cocok bagi karyawan tambang pemburu rupiah seperti kami-termasuk aku juga. Pengen tau sebabnya? Karena pada hari minggu, aku di bayar dobel namun bisa bekerja dengan lebih santai. Dan aku tidak munafik untuk itu, aku menyukai minggu dan bekerja. Nggak ada alasan untuk malas kerja di hari Minggu. Yeah!

"NRP...1721, diagnosa...common cold, yang berobat istrinya...biaya seratus dua puluh tujuh ribu tiga ratus rupiah...tempatnya Klinik Asfia Husada...done!" Aku bergumam di depan komputer sambil memasukkan data pengobatan bulanan karyawan dan keluarga ke dalam sistem Pagu Kesehatan Karyawan di perusahaanku.

"NRP...1325, diagnosa...observasi febris, yang berobat...anaknya, biaya tujuh puluh lima ribu rupiah, tempatnya dokter Handoko...done!"

"NRP...0025, diagnosa...acne, yang berobat istrinya...eits...apa nih? Namanya kok beda?" gumamku lagi. "Biaya tujuh ratus tiga puluh tiga ribu rupiah. Kampret!"

"Ngumur apa maki-maki, La?" tanya atasanku, Revan-yang memintaku memanggilnya A' revan dibanding Dokter Revan-sekaligus makhluk yang sudah kuanggap kakak sendiri akhirnya tertarik mengusik kerjaanku. Biasanya karyawan tambang yang jabatannya tinggi sekelas A' Revan nggak pernah masuk hari Minggu, karena sistem pembayaran mereka adalah dolar dan all in. Masuk gak masuk tetap gaji segitu. Beda sama aku yang cuma cungpret, dibayar berdasarkan jumlah hari masuk dan jam lemburan. Ah...ngenes amat!

Tapi, A' Revan beda, meskipun kadang di kantor nggak ngerjain apa-apa dia tetap siaga. Siaga jika terjadi kecelakaan kerja tiba-tiba atau hanya karena ingin menemaniku di kantor sambil melakukan hobinya pasti.

"Lagi senam mulut, A' Revan," jawabku sambil meneliti sekali lagi tulisan yang tertera. Tidak aku tidak salah.

Sedari tadi A' Revan mendiamkanku karena tak ingin merusak konsentrasiku. Mungkin karena mendengar makianku akhirnya dia menyela seperti tadi. Walaupun matanya masih tetap terfokus ke layar laptopnya, entah apa yang sedang dilakukannya. Paling juga browsing soal game yang bakal rilis di Indonesia. Ya, A' Revan adalah dokter perusahaan tempat aku bekerja yang hobinya main game apa saja. Terutama game jenis RPG yang ceweknya seksi-seksi. Beuh! Bukan, bukan main. A' Revan lebih kepada menaklukan game daripada sekedar memainkannya aja. Dan A' Revan bos paling baik sedunia yang pernah aku dapatkan. Jangan sampai dia tau kalo aku ngomong ini. Bisa besar pala dia. Didukung dengan perbedaan usia lima tahun di antara kami, A' Revan bilang kalo dia nganggep aku kayak adiknya sendiri, apalagi pas tau latar belakangku.

Aku dan Gilang sebatang kara di sini. Hanya ada aku dan dia saling memiliki.

Ya, aku Kalila. Biasa dipanggil Lila, merupakan anak yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan kota kecil ini. Kota kecil yang ternyata menyimpan stok timah hitam alias tambang batubara yang cukup besar dan mampu menunjang perekonomian kota ini. Di kota inilah, aku dan adikku Gilang--yang hanya terpaut 4 tahun denganku--mencoba untuk menyambung hidup kami. Beruntungnya, aku di anugerahi seperangkat otak pentium akhir yang memudahkanku menamatkan kuliah dan dapat pekerjaan di perusahaan tambang batubara besar di umurku yang belum lagi dua puluh satu tahun. Meski sempet ada riwayat pindah kampus, tapi tetap nggak menghambatku buat lulus tepat waktu. Cukup beruntung karena di kota kecil ini terdapat site office perusahaan tambang batubara dengan jumlah karyawan mencapai 1200 orang lebih. Sementara head office terdapat di pusat ibukota negara ini. Selama dua tahun lebih aku bekerja, posisi Health Officer merupakan pencapaian yang fantastis sejauh ini.

Aku bekerja sebagai pengurus kesehatan karyawan, begitu sederhananya. Berbagai macam tugas yang harus aku jalani diantaranya adalah bernegosiasi mengenai kerjasama dengan rumah sakit-rumah sakit agar pelayanan kesehatan untuk karyawanku terpenuhi, mengontrol biaya pengobatan agar tidak melonjak melebihi ketentuan sampai dengan mengunjungi karyawan-karyawanku yang sedang sakit dan memberikan mereka beberapa tips dan trik pola hidup sehat yang lucunya aku sendiri kadang melanggarnya. Itulah, untuk ngasi tau orang dan nyuruh-nyuruh mah aku emang jagonya. Soal ngelakuin, nanti dulu. Hahahaha...

Intinya adalah memastikan bahwa kesehatan karyawan terpantau dan setiap keluhan terlayani dengan baik oleh tenaga medis yang terbatas jumlahnya di daerah ini. Jangan samakan dengan kota besar yang dokter spesialisnya praktek bahkan di setiap tikungan jalan. Oke, ini lebay. Abaikan. Tapi yang jelas, jumlah dokter spesialis di kota kecil yang kaya ini tidak pernah lebih dari lima. Dan itu pun mungkin hanya terdiri dari dokter spesialis kandungan, dokter spesialis mata dan dokter spesialis penyakit dalam. Sisanya, dokter terbang. Terbang-terbang nggak datang.

"Ini, A' Revan. Pak Djehan, make pagu pengobatan buat istri yang kayaknya sih istri entah keberapanya. Berobatnya jerawat pulak. Mihil minta ampun! Tujuh ratus ribu lebih, A' Revan!" aduku. "Estetik gak di tanggung kan?"

"Hahaha...Gak kapok ya itu orang, La. Hubungi Feriska, suruh buatkan surat panggilan," sahutnya menyuruhku menghubungi Feriska, salah satu staf Health and Benefits yang berurusan dengan segala macam perjanjian kerjasama dan ketentuan hak dan kewajiban karyawan perusahaan.

"Okeh, A'," sahutku. "Kadang orang begitu perlu dibawain golok emang ya, A?"

"Hahaha. Tapi berani gak gorok dia sendiri?" tanyanya sambil tersenyum geli.

"Kok sendiri? Kan ada A' Revan?"

"Iyalah sendiri, A' Revan kan sepuluh hari lagi bakal cuti, Kalila," gerutunya sambil mengobrak-ngabrik isi tas kerjanya. "Kalo Pak Djehan nyamperinnya baru minggu-minggu depan berarti kamu yang ngadepin sendiri. Berani kan?"

Apes deh aku! Yang ada malah duluan Pak Djehan ngegorok aku.

"Yah, kalo gitu gak jadi aja deh manggilnya. Kita potong gaji aja langsung," tawarku.

"Habis kamu potong gaji, gak bawa golok lagi dia, La. Bawanya bazooka," sahut A' Revan yang masih sibuk mencari sesuatu dalam tasnya.

"Hahaha...mati syahid kan A'Revan?"

"Mati konyol. Udah, telepon Feriska dulu," suruhnya lagi.

Aku mengangkat telepon internal, men-dial nomer ruangan Feriska.

"Health and Benefits, selamat pagi," sahut Feriska.

"Ris...," panggilku.

"Iya, Kak?"

"Buatin surat panggilan buat Pak Djehan, NRP 0025."

"Kenapa?
"Make hak pagu pengobatan buat obatin jerawat entah istrinya yang keberapa," sahutku. "Tekankan dia harus ngadep minggu ini yah."

Feriska terkikik geli, "Ya ampyuuuun...okeh deh, Kak."

"A' Revan... aku kasi tau Riska kalo Pak Djehan minta minggu ini aja deh ngadepnya."

A' Revan tak menanggapi ocehanku karena jelas dia sudah berada di dalam dunianya. Dunia game-nya yang gila. Lagi nge-install software terbaru yang dikirimkan salah satu perusahaan game terkemuka di Jepang kayaknya. Makanya rada bego, diajak ngobrol nggak nyaut-nyaut.

Setiap karyawan yang bekerja diperusahaan mendapatkan hak pagu pengobatan setiap tahunnya. Bisa digunakan selama memenuhi ketentuan. Diantaranya pengguna adalah karyawan sendiri atau keluarga yang telah didaftarkan terdiri dari istri atau suami sah dan tiga orang anak. Diluar itu sih bisa aja berobat, tapi bayar sendiri. Atau potong gaji. Atau...surat peringatan diikuti oleh surat PHK jika nggak ngembaliin sesuatu yang bukan haknya.

"Iya kalo dia taat. Kamu kayak gak tau Pak Djehan aja," sahut A' Revan. "Tapi kalo dia datengnya minggu depan awal sih gakpapa. Kan masi ada aku. Oh, iya La, minggu depan kamu dinas ya," tambahnya sambil nyodorin amplop.

"Minggu depan? Kan A' Revan cuti? Kosong dong kantor?" tanyaku sambil membongkar amplop darinya yang sudah pasti berisi invoice tagihan rumah sakit bulanan.

"Nanti di back up sama dokter dan paramedik pengganti sementara kok, La," katanya sambil menyebutkan pihak ketiga yang biasa bekerjasama dengan perusahaan kami jika memang departemen kami sedang kosong untuk dinas. Karena karyawan departemen ini hanya dua orang, aku dan A' Revan. Betapa miskinnya ruangan kami ini...

"Kemane A' Revan?"

"Kamu dinas ke Head office, La. Big boss pengen kamu bikin MOU sama RS AlMedika Jaya buat karyawan yang ngantor di sana."

"Hmm...harus Lila ya A' Revan. Kenapa bukan A' Revan aja sih sekalian cuti? Aku males ninggalin Gilang di rumah sendiri. Gak ada yang ngurusin dia, A' Revan."

"Yah Kalila, waktu cuti A' Revan tuh nggak bisa buat ngapa-ngapain kelayapan lagi," katanya. "Kalo bukan kamu ya si Bejo aja."

"Bejo saha A' Revan?"

"Ayam tetangga."

"A' Revan gak nyambung amat sih."

"Lagian kamu sih, ya jelas...kalo A' revan gak bisa siapa lagi yang di suruh? Masa iya, Pak Gani?" Pak Gani merupakan supir setia departemen kami dan sesekali terlibat dalam kegiatan kami.

"Nah, tu ide bagus. Bejo ama Pak Gani aja gimana?"

"Bisa...MOUnya berubah dari kerjasama sama rumah sakit jadi kerja sama antara Pak Gani ama pemanggangan buat ngeeksekusi si Bejo."

"Hahaha...Tapi A' Revan, Gilang...," kataku menggantung pernyataan. Hal paling tidak kuinginkan adalah meninggalkan anak manja itu seorang diri.

"Dia udah besar kali, La. Kalo kamu gak nyoba ngajarin, kapan dia bisa mandiri? Trus kalo kamu khawatir suruh aja tinggal di rumah dinasku, kan ada asisten mess yang ngurusin segala keperluannya," sambung A' Revan. "Lagian, kamu lebay. Biasa juga Gilang bisa-bisa aja tuh kamu tinggal. Idup aja. Cuman karena ada kamu aja dia manja berlebihan gitu."

"Yee...A' Revan sama Agnia juga gitu?" balasku menyebutkan nama adik perempuannya.

"Agnia kan cewek, La. Wajar kalo dia manja. Lah...Gilang? Yang ada bukannya imut malahan..."

"Unyu," balasku yang membuat A' Revan terbahak.

"Unyu darimananya. Kalo unyu mah namanya bukan Gilang, La. Tapi Melani," sahut A'Revan dengan suara yang diimut-imutkan.

"Daripada dia manjanya ama perempuan-perempuan di luaran sana?"

"Huh...nyari penyakit namanya kalo Gilang berani. A' Revan sendiri yang bakal motong burungnya," gertaknya. Aku bergidik ngeri.

"Iyaaa...sebelum dipotong, Gilang ngajakin A' Revan main game. Selesai deh. Lupa akan semua janji manis dan janji hukuman," sindirku melihatnya yang mulai mengeluarkan seperangkat alat sholat-bukan seperangkat alat main game.

"Hahaha...sayangnya aku sudah menularkan hobi yang baik itu sama Gilang. Jadi inget, susah nyari saingan kayak dia di muka bumi ini gak jadi deh motong burungnya," sambungnya akhirnya.

Begitu semua perangkat game terkoneksi dengan baik, bahkan seorang Kalila yang menari striptease pun nggak akan mampu membuat A' Revan memalingkan muka. Yah, mungkin yang berhasil cuman Teh Alina, pacarnya. Entahlah...kalo Teh Alina yang striptease-an.

Seingatku cuman Teh Alin yang bisa menghentikan keseriusan A' Revan bermain game dengan rengekan maut plus ancamannya yang kadang tak berperikemanusian. Seringnya, A' Revan main game sampe bego, Teh Alina nelpon, nggak disahutin, perang dunia plus perang Badar berkibar. Itu biasa. Kayak tiap pagi makan nasi kuning aja gimana. Saking biasanya.

"Tentang tawaran A' Revan yang tadi serius lho, La," katanya sambil tetap menatap layar dan membelakangiku. Kulihat bar nyawa di sudut kanan televisi tinggal sepuluh persen. Pantesan aja ngomong, bentaran lagi juga koit.

Ah...bosku saja main game. Mending kita tadarus deh. Tadarus komik Conan maksudnya.

Langsung kuambil setumpuk komik yang terletak berdampingan dengan buku-buku kedokteran A' Revan.

"Kesenengan kalian, bakal main COC ampe kiamat kan kalo Gilang nginap di mess?" gerutuku. "Kenapa bukan A' Revan sih yang dinas? Biasa juga gitu!" tuh liat, mungkin cuman aku bawahan yang berani ngeyel gini sama atasannya. Ha...ha... "Masi ada waktu seminggu kan baru cuti, berangkat aja besok ke Head Office. Langsung deh cuti setelahnya."

A' Revan melepaskan stick gamenya karena tertulis di layar televisi 'You lose'. Dia berdiri dari kursinya dan menimpuk kepalaku dengan kertas bekas yang digulungnya dalam bulatan besar, "Ngajarin kamu, La!"

"Oho, emangnya A' Revan guru?" sungutku.

"A' Revan dipingit tauk! Gak boleh kemana-mana dan pergi jauh-jauh sama Bunda," katanya sambil garuk-garuk kepala menyebut calon ibu mertuanya. Karena setahuku, A' Revan memanggil Mamah kepada ibunya. "Sebelum cuti, A' Revan bahkan nggak boleh ke Jepang, La," curhatnya sambil menerawang. Terlihat merana.

"Lagian suka amat ke Jepang. Nyari Geisha kali nih?"

"Hee...kalo cari gadis si mending ke Bandung, La. Cepet-cepet setor burung, eh...cepet deh di suruh kawin. Nggak jadi dua minggu lagi, besok bisa dikawinin kali, La."

"Ahahahaa....otak A'Revan...," meledaklah tawaku. "Ternyata gitu, cieee...yang mau nikah bentar lagi...suit...suit," godaku. "Udah gak sabar buat mendaratkan burung yak?" Yak, bosku semata wayang ini memang akan melangsungkan akad nikahnya 2 minggu lagi dengan wanita pujaan hatinya, Teh Alina. Wanita yang dipacarinya sejak SMA.

"Iya dong, kelamaan di luar sangkar sih, La."

"Haaa...lagian, udah pacaran dari zaman nenek moyang kita masi naik kapal Pinisi juga, kenapa baru sadar mau nikah. Untung Teh Alin mau nungguin, " kataku lagi. "Terus emang A' Revan yakin tu burungnya belum expired, " bisikku sambil nahan tawa."Saking lamanya dikurung?"

"Eh, semena-mena ya kamu, La. Ini asetku yang paling berharga selain otak. Dijagain dari kapan tadi katanya? Nenek moyang naik Pinisi?" balas A' Revan sambil melempar kalender mejanya ke kepalaku.

"Dooh.. .Belum nikah juga KDRT nih, kubilangin ama Teh Alin lho," sahutku.

Oh iya, La. Aku lupa ngasi tau. Kamu dinasnya dua bulan lho, La," kata A' Revan dengan ekspresi kayak ngomongin cuaca. "Nanti kamu bisa hadir di nikahan A' Revan di Bandung, La. Segala akomodasi dan transportasi gak usah dipikirin deh."

"Astaganaga kampret...." Aku tersedak dengan sukses. " Itu namanya bukan dinas, A' Revan. Itu sih mutasi," sahutku ngedumel. "Beneran dua bulan?"

"Tergantung, La."

"Tergantung apa?"

"Tergantung seberapa cepet kamu negosiasi sama rumah sakit itu."

"Oh, tapi kalo gagal tetep boleh pulang kan?"

"Gak. Di deportase ke Ajerbaizan."

"Dimana tuh?"

"Lah, Geografi dapet berapa sih, La? Gitu aja gak tau?"

"Emang A' Revan tau?"

"Taulah."

"Dimana?"

"Jauh ama Jonggol."

"Heleh...sama aja kalo nggak tau."

"Kan enak, La. Di Jakarta ampe dua bulan?"

"Enak sih...kalo dua bulan sekalian aja ikut A' Revan bulan madu kan?" sambungku lagi sambil tersenyum usil. "Mastiin yang katanya burungnya masih berfungsi," senyumku sambil menatap matanya kayak mafia, "Siapa tau, senjatanya expired kan. Jadi daripada Teh Alin meratap sedih mending kugandeng biar cari cowok baru."

"Tsah...nyari satu aja kagak beres kamu, La!"

"Enak aja, kita kan punya harga diri, A' Revan."

"Harga diri seharga nasi kuning yang cuma sepuluh ribu aja dibangga-banggain."

"Yee..itu mah karena aku suka aja nebeng makan nasi kuning ama operator."

"Iya, nasi kuning sepuluh ribu doang kan?"

"Sebelas A' Revan sekarang."

"Ih, naik seribu yak? Nanggung amat? Besok pesenin ya, La."

"Tuh yang tadi ngehina, malah mau."

"Menikmati makan nasi kuning di luar sebelum dimasakin istri."

"Yakin A' Revan?" balasku. "Bukannya tadi kubilang kalo Teh Alin mau kuculik buat nyari cowok baru. Ngapain juga nungguin cowok yang nganggep main game lebih penting daripada istri sendiri," sindirku kepada A' Revan yang jarang mau mengangkat telepon Teh Alin kalo lagi main game. Akibatnya aku yang harus menerima setiap teleponnya.

Ini staf kerja apa sekretaris sih? Belum lagi kalo A' Revan tereak nyuruh loudspeaker. Yang ada omongan gak lulus sensor bisa nyangkut di kuping. Habis Teh Alin teriak-teriak, iya juga kalo di sahutin. Malah di anggurin.

"Wah...kalo yang itu jangan, La. Bunuh aja deh A' Revan... Bunuh," sambungnya sambil memutar bola matanya. "Ngeganggu malahan kalo ada kamu ngintilin bulan madu kami."

"Preeeeeet..."

"A' Revan mau cuti tiga bulan, " serunya lagi.

"Kok bisa?" tanyaku sambil menyipitkan mata. Setahuku cuti menikah cuma dua puluh hari.

"Boleh ngancem resign donk," katanya sambil terkikik geli. "Kan, A' Revan menantu kesayangan Big Boss," sahutnya lagi sambil ngeluarin suara ketawa kayak kuntilanak melahirkan aja gimana." Kata Pamer, mau cuti 6 bulan juga gak papa yang penting anaknya cepet mlendung."

"Terus aku single fighter nih selama A' Revan cuti," jeritku tak terima. Yang bener aja ngadepin satu karyawan tambang yang kelakuannya aneh-aneh seorang diri itu emang menyenangkan, tapi efek sampingnya bisa gila seketika.

"Tar dicariin pengganti sementara, La."

"Oh, siapa A'?"

"Belum tau. Emang kamu maunya siapa?"

"Dokter Dipta dari Asfia aja, A' Revan!"

"Beuh...itu namanya ngebongkar rahasia dapur ama provider kita. Tar ketauan kalo kita banyak tuntutan itu sebenernya cuman ngegertak aja," balasnya. "Mau kualitas mereka turun juga kita tetep aja harus make dia, La."

"Huh...Iya sih, tapi semoga aja penggantinya seasyik A' Revan."

"Aku asik nih?"

"Gaaaaaak....," sahutku yang sudah berlari menghindari kejarannya.

Dan akhirnya aku pun semaput dibawah serangan bekepen ketek ala A' Revan. Kecekik saking kencangnya.

"Ampuuun..."

"Ngomong A' Revan asik, gagah, bijaksana, gak pelit!"

"A' Revan gak asik, letoy, otoriter, tapi gak pelit," teriakku kencang saat Feriska tiba-tiba mengetuk dan membuka pintu tanpa menunggu jawaban.

"Whoaaa...putus! Putus deh leher anak orang Dokter Revan!"

"Kagak! Ni anak kadang emang perlu diputusin urat lehernya, Ris! Kenapa?" tanya A' Revan masih sambil membekap leherku dengan lengannya.

"Nganterin surat pemanggilan nih!" kata Feriska sambil meletakkan surat di meja dan berjalan menuju ranjang pasien. Menarik tenda periksa sampai tertutup, "Jangan berisik. Nebeng bobok yah!"

"Eh...pelanggaran, ini belum jam istirahat lho, Ris," kataku sambil berkelit dari bekepan A' Revan.

"Ngantuk, Kak."

"Emang tadi malem kamu ngapain hayo?"

"Movie marathon drama korea, Kak."

"Wow...apa judulnya, Ris?" tanyaku antusias. Kepalaku malah di jitak A' Revan, "Aduh!"

"Kill Me Heal Me, Kak. Bagus banget!"

"Bawa file-nya, Ris?"

"Ada di external hardisk di ruangan, Kak."

"Ngopi yak?" tanyaku sambil keluar dari ruangan untuk merampok external hardisk punya Feriska.

"Hayuuuk...," kata Feriska malah melotot semangat dan turun dari tempat tidur pasien. "Kita tonton di ruangan ajah, mumpung sepi. Kerjaan dah beres semua." Dasar ni anak, tadi ngantuk. Begitu ada yang mulai nyenggol aja soal drakor, matanya langsung seratus watt lagi saking semangatnya.

"Kalila...Feriska...," kata A' Revan meneriaki kami yang menjauh dan berencana menghabiskan hari dengan memelototi pemeran cowok di drama korea yang mampu membuat Feriska bergadang. Pasti cakep hanya itu kesimpulannya! "Yang di ruangan ini kurang cake papa dibanding cowok-cowok Koreaaaaa?"

"Situ mah udah taken, ilang cakepnya," jawabku balas teriak. "Daaaah...A' Revan, kerja yang baik ya," tambahku sebelum menghilang dari pandangan.

"Anak buah kurang ajar!"

FootNote:

PPD: Permintaan Pengeluaran Dana, sejenis form untuk pengajuan pembayaran begitu-begitu lah.

Health and Benefits: salah satu section di departemen Personalia.

Note:

Owkay...ini chapter 1 ya...versi revisi. Aslik!

Btw, jangan bayangin BME bakal di-update cepet, meskipun statusnya repost. Tapi tetep aja, aku perlu ngedit sono-sini biar agak bisa diterima akal #eh

Pokoknya akan di-update secepat yang aku bisa, trus kalo aku lagi mood ngerjain si 'Mangkuk Bakso' ya berarti yang itu bakal update. Kan...kan nulis buat seneng-seneng, jd seseneng yang nyoba belajar nulis ini lah.

BME adalah karya perdana, jangan mengharap mengharu biru bikin baper cem AIYC atau LM, disini mah murni buat melepas kepenatan belaka. Murni buat senang-senang ringan, makanya bahasanya ringan dan nggak baku cem di LM tapi InsyaAllah tetap ada pelajaran yang bisa diambil. Gitu deh...

Trus, biar nggak nanya-nanya lagi. Konsep BME itu dari dua pov. Akan diupdate bergiliran persis cem AIYC. Yah...kalo POV Al-nya berasa menye-menye cem cewek, maafin aja lah..Itu keterbatasan saya. Dan saya jelas akan melakukan yang terbaik yang saya bisa...Hehehe

Semoga tetep dapat dinikmati. Smooch you all...kiss...kiss...:*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro