Chapter 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Menikmati pemandangan indah di sampingmu, Nona?

Aku membiarkan mata bulat miliknya berkeliaran tanpa interupsi. Mungkin menyimpan sudut demi sudut yang dijelajahinya dalam ingatan. Jujur saja, terlalu biasa bagiku untuk ditelanjangi melalui tatapan oleh kaum Hawa.

Membersitkan decak kagum yang terucap maupun yang hanya ada di benak mereka adalah sedikit dari hal yang kuanggap menyenangkan. Penghargaan atas karunia Tuhan. Menurutku lho ya...pria tampan nggak boleh memubazirkan anugerah. Sama sekali.

Aku memalingkan wajahku dengan tiba-tiba. Menatap tepat di manik matanya.

Kena kamu!

Ada binar kaget di mata. Diiringi rona sewarna peach di pipinya. Terlihat ... cantik dan menggemaskan dalam satu waktu. Dan kemudian aku terkekeh kecil saat pandangan kikuknya dia distraksi dengan hal lain. Secepat kilat meraih sebuah benda dan kemudian membentangkannya di depan wajah. Berpura-pura sibuk membaca ... komik? Komik?

How old are you?

Aku kembali memusatkan perhatian ke depan. Sengaja menjaga wajahku untuk membiarkan kelakuan selanjutnya yang jelas sudah dapat kuprediksi. Dia pasti akan mencuri pandang lagi ke arahku. Pasti. Pengalaman memang guru terbaik, dan boleh lah kukatakan kalo aku sangat piawai dalam hal ini. Mungkin setara dengan profesor atau guru besar dalam bidang ilmu menaklukkan wanita. Paling lama dalam waktu lima belas menit lagi, berani taruhan? Hahaha....

Dan kali ini aku akan menangkap basah kelakuan pasif-pasif agresif mengundangmu itu. Mungkin juga menawarkan sedikit kesenangan yang bakal kamu kenang sepanjang masa? Mungkin.

Meskipun secara fisik kamu sama sekali bukan tipeku, tapi ... menyenangkan gadis yang datang dari jauh sepertimu bukankah sebuah kebaikan? Hmm.... Lagipula, aku penasaran dengan 'rasa' bibir mungil yang sering digigitinya itu.

Satu menit ... dia membalik halaman demi halaman dengan cepat. Tapi ada beberapa halaman yang lain dibalik agak lambat. Mungkin menyesuaikan jumlah kata yang terdapat dalam setiap halamannya.

Lima menit ... Dia menggigiti kuku ibu jarinya perlahan. Aku mendengus dalam hati karena bibir mungilnya tertutupi tangannya.

Sepuluh menit ... Keningnya mulai berkerut dalam, kemudian kepalanya mendongak ke atas seperti berpikir serius. Itu komik apa sih? Cuma baca begituan aja sampe mikir banget.

Lima belas menit ... dia mengangguk-angguk kecil dan tersenyum seolah tahu sesuatu. Kemudian bergumam pelan, "Aku yakin yang ini nih pembunuhnya."

Hah?

Dan teori lima belas menit yang sudah kupatenkan patah begitu saja.

Gimana bisa gadis ini sama sekali tak terlihat akan memaku pandangan matanya di wajahku untuk kedua kalinya? Bahkan, aku yakin sekadar niat aja nggak ada. Sial! Aku dikacangin. Oleh kurcaci pula. Haaaah!

Secara refleks aku memukul setir dan dia menoleh ke arahku sejurus kemudian,"Kenapa?"

"Eh, nggak papa."

"Oh," Dia memajukan bibirnya, kemudian menggigitnya, dengan pandangan terpusat ke depan. "Kita masih jauh?"

Tergantung, kamu mau di bawa kemana. Kalau ke apartemen Doddy dan kita nakal-nakalan dulu deket ini mah.

"Setengah jam perjalanan lagi," sahutku. "Ke hotel?"

Dia melirik jam di dasbor,"Eh, iya. Ke hotel aja. Kupikir tadi masih sempet ngantor bentar, tapi besok aja deh."

Wow! Masih mikin ngantor?

"Oke."

Sejenak dia menegakkan tubuh, seperti mengusir pegal yang menghinggapi. Kemudian ... lagi-lagi menekuni komik di tangannya tanpa bicara. Komik itu bahkan diselipkan di antara ibu jari dan kelingkingnya, dipegang di pertengahan bawah buku. Dan satu tangannya menopang pipi. Menghadap ke jendela.

Dan Aldebaran Bachtiar pun merasakan gemas untuk pertama kalinya. Jujur aja, sikap gadis-gadis seperti ini lah yang membangkitkan hasrat kami untuk menaklukkan. Ketimbang gadis yang menye-menye menghamba cinta, sama sekali tidak ada serunya. Bahkan terkesan ... murah, karena bisa dibodohi cinta. Wahai perempuan di seantero negeri, kalian itu berharga. Bukankah sesuatu yang berharga itu mesti didapatkan melalui perjuangan dan pengorbanan? Jika kalian bisa diraih dengan mudah, maka percaya saja bahwa dengan gampang pula untuk kami mencari penggantinya.

Benakku melayang ke percakapan via ponsel dengan bosnya beberapa menit yang lewat.

"Al?"

"Yep?"

"Dimana lo?"

"Lagi di jalan mau balik ke apartemen, Van. Ngapa?"

"Eh, gue minta tolong bisa?"

"Apa?"

"Jemputin staf gue di bandara. Pesawatnya mendarat setengah jam lagi."

"Kok gue?"

"Tadi gue telpon ke kantor Jakarta. Katanya Pak Arief nganter Om Roery ke Bogor. Terus mobilnya pecah ban di jalan. Info dari Anggi. Staf gue ditelponin hapenya masih nggak aktif."

"Trus?"

"Ya ... gue tau dia bakal panik begitu tau Pak Arief nggak bisa jemput," ucap Revan terdengar buru-buru. "Gue minta tolong lo jemputin, bisa kan?"

"Manja banget. Suruh naik taksi aja."

"Nggak bisa, dia nggak kenal Jakarta sama sekali. Dan gue takut dia nyasar, Al!"

Aku terperangah dengan satu tangan masih memegang setir. Entah kenapa ada kali ini ada rasa nggak ingin membiarkan. Aku memutar balik kemudi menuju bandara,"Masih ada orang yang segitu kolotnya?"

"Bukan kolot! Tapi gue beneran nggak tenang kalo dia naik taksi atau apapun, Al. Tolong."

"Salah lo juga, kenapa nugasin yang cupu gitu."

"Kan staf gue cuma dia, Al." Revan kemudian tiba-tiba menahan tawa. "Lagian, dia cewek lo, Al."

Aku membersit hidung sebagai jawaban,"Terus? Emang kalo cewek, gue pasti bersedia jemput gitu? Siapa tau lo tipu. Nenek-nenek juga cewek kan?"

"Buset! Gue minta tolong sekali ini aja Al. Kalo semacam Alina gue nggak bakal panik begini. Di lepas ke Hongkong juga balik. Yang ini bisa nyasar sampai ke Kalijodo."

Aku memutar mata, "Untungnya apa buat gue?" tanyaku oportunis. "Cantik banget emang?"

"Yang jelas dia gadis baik-baik," jawab Revan menolak menjawab pertanyaanku. "Tolong ya, Al."

"Haaaaaaah."

Awas saja kalo ternyata yang kujemput adalah cewek bau minyak angin atau bertempel koyo di sisi kening!

"Oh iya, satu hal lagi. Lo jangan macem-macemin dia," ucap Revan terdengar protektif. "Anter langsung ke The Raikan's."

Dahiku langsut berkerut, "Kenapa? Simpenan lo?"

"Njing! Gue takut ego lo terluka karena dia nggak mempan dimodusin," jawabnya, kemudian terbahak di ujung sana.

"Kampret lo."

"Thanks, Al," Revan menutup ponselnya tanpa menunggu jawabanku.

Kembali ke masa kini, dan lagi-lagi aku yang mencuri lirik ke arahnya. Satu kesimpulan pun bisa kutarik akhirnya, gadis ini bukan hanya kebal dengan pesonaku, tapi lebih parah lagi ... dia tak menganggapku ada. Angin lalu. Bah! Kali ini aku tau bahwa Revan nggak main-main dengan ucapannya.

Setelah menanyakan lama perjalanan tadi, dia sama sekali tak mengajakku bicara. Bahkan sampai mobil memasuki pelataran hotel besar milik keluarga sepupuku yang satunya. The Raikan's Hotel Jakarta. Hotel megah yang dirintis oleh adik kandung ayahku dengan susah payah. Dan sekarang, beliau boleh berbangga karena The Raikan's hampir tersebar di seluruh penjuru nusantara.

Dia mendecakkan lidah melihat bangunan tinggi di depannya. Tanda mengagumi kemegahannya. Punya siapa dulu dong hotel ini? Jaringan keluarga Bachtiar jelas.

"Mas Al, selamat siang...," sapa Selena, resepsionis hotel ramah begitu kami masuk dan langsung berdiri di depan meja resepsionis.

"Sering nginep di hotel ini?" tanya si makhluk cebol dengan pandangan aku-tak-menyangka-situ-doyan-nginap-di sini.

Aku memilih mengacuhkan pertanyaannya dan kemudian melemparkan sekilas senyum pada Selena. Tentu saja Selena mengenal keluarga besar kami yang merupakan tamu VVIP di hotel ini.

Setelahnya, terpaksa aku menyamarkan tawa dalam batuk tertahan karena melihat Kalila yang hampir tenggelam di meja resepsionis hotel. Meja penerima tamu itu nyaris mencapai dagunya. Hahaha...Kasian amat.

Kalila menerima guest card dari Selena dan kemudian berbalik menghadapku,"Eh...Pak?"

Manggil siapa kurcaci ini tadi?

Mata bulatnya terarah lurus ke mukaku. Astaga ... demi apa aku dipanggil 'Pak'?

"Memangnya aku keliatan setua itu?" tanyaku, kemudian menyunggingkan senyum memikat padanya. Siapa tahu dia menawariku untuk ikut 'masuk' ke dalam kamar hotelnya. Ngomong-ngomong, aku belum pernah ngerasain meluk makhluk semungil ini. Hahaha...

"Terus apa? Eh, siapa namanya? Lupa nanya," lanjutnya datar. Nyaris tanpa ekspresi. Mengingatkanku pada sepupuku yang merupakan pewaris jaringan hotel ini.

"Al."

"Oh, Pak Al...anu...itu."

"No! Jangan panggil Pak," geramku. "Cukup Al aja."

"Nggak sopan banget manggil yang lebih tua dengan nama begitu," bibirnya mencebik mencela saranku barusan. "Mas Al aja gimana?"

Memangnya kita ini beda berapa tahun ya?

"Boleh."

"Mas Al. Mas Al lah buat lo," lanjutnya, kemudian tertawa mengejek. Seolah berhasil mempermainkan nama panggilanku.

"Al aja kalo gitu," tegasku.

"Um...oke deh. Makasih ya," ucapnya lembut.

Tadi ngehina, sekarang baik-baikin? Aku nggak bisa di sogok dengan begitu murah, Nona. Kecuali kamu mau menurunkan rok sebetismu itu.

"Besok yang jemput aku buat ngantor Mas Al lagi?" tanyanya.

Aku nyaris nyungsep ke bumi, "Eh...aku? Bukan. Kayaknya bukan. Supir kantor yang jemput mungkin."

"Lho, emangnya Mas Al bukan supir kantor?" tanyanya polos. Mataku hampir keluar dari tempatnya begitu mendengar pertanyaan terakhirnya. Menurut situ?

-oo0oo-

"A' Al," Satu suara yang takkan pernah kuabaikan seumur hidup memanggil namaku. "Nanti sore A' Al disuruh Teh Alin ke Bandung."

"Ngapain, Lief?" tanyaku singkat. Aku berkonsentrasi pada roti yang hampir selesai diolesi selai. Kemudian menyambarnya saat Aliefiya, adikku tercinta, lengah perhatiannya.

"A' Al! Ih! Oles sendiri napa."

"A' Al minta, Lief. Pelit amat!"

"Ye ... ini bukan soal pelit," Dia mulai merepet dengan kecepatan tinggi. "Tapi, itu namanya menjajah hasil bumi orang lain. Nggak mau usaha. Dasar kompeni!"

"Hahaha...," Aku memilih tertawa dan kemudian mulai mengigit roti yang jadi biang perkara kami.

"Pagi ini anterin Alief kuliah dulu, terus ntar sore jemput lagi. Kita ke Bandung bareng!"

"Siap, Nyah!"

"A' Al!"

"Lah? Kenapa lagi?"

"Siap...siap, tar lupa jemput tuh." Bibirnya manyun dan pandangannya menyipit. "Keasyikan main cewek."

Aku menelan potongan terakhir dari roti perkara dan kemudian mengucek kepalanya yang tengah duduk di sampingku, "Mana pernah A' Al lupa jemput kamu sih, Lief?"

Dia tersenyum manis. Kemudian menelan rotinya pelan.

"Ngapain sih Alinevil nyuruh kita ke Bandung, Lief?"

"Fitting baju, A' Al! Astaga demi Ludwig van Beethoven yang tiba-tiba idup lagi, pasti A' Al lupa minggu depan nikahan Teh Alin!"

Aku nyengir dan menyambar segelas susu milik Aliefiya. "Inget kok, A' Al udah mau ngambil ke Bandung tar sore." Menenggaknya cepat. Memanen delikan tajam darinya. "Udah diteror Alinevil juga," sambungku.

Aku tersenyum saat dia merebut gelas yang masih terisi separuh di tanganku. Kali ini gilirannya menghabiskan isinya dengan tandas. "Bener ya, jemput Alief tar sore. Nggak usah turun, tunggu di parkiran aja," katanya seraya mengelap bibirnya dengan tisu. "Ntar temen-temen Alief rusuh liat A' Al. Alief lagi nggak ada waktu buat ngelapin iler orang," sambungnya sebagai jawaban atas pertanyaan dalam diamku.

Tuh kan...bisa dengar berapa banyak cewek yang klepek-klepek sama Al Bachtiar?

"Oke, Cantik. A' Al nyari seperiuk emas dulu buat sangu ke Bandung," jawabku sambil mengecup kilat pipinya.

Dia sama sekali tak terusik dan malah mendecakkan lidah, "Nggak usah sok modus. Nggak mempan."

Aku terbahak sembari berjalan menuju mobil. Ya, Aliefiya adalah satu-satunya cewek yang takkan merona jika kugoda. Kebal banget. Mungkin karena kami dilahirkan dari rahim yang sama, sehingga tubuhnya imun terhadap godaan tingkat tinggi dariku.

Pikiranku melayang sesaat, kemudian napasku terembus menahan sebal. Mengingat seseorang yang lain, dengan kurang ajarnya juga tak bisa mengindera pesonaku. Makhluk satu setengah meter tak nyampe bernama Kalila. Ugh!

-oo0oo-

"Alasan apa lagi?" tanyanya dingin. Maleficent versi jahat sedang bersedekap di depanku. Ratu dari segala macam iblis yang menyeramkan. Aku jarang mengizinkan gadis-gadis untuk mengomeliku—jelas lebih baik mereka menggunakan mulutnya untuk menyenangkanku—tapi dia termasuk dalam pengecualian tentu saja.

"Gue sibuk, Alin!"

Perkenalkan, dia sepupuku—Alina Wulandani—yang bakal menikah seminggu lagi. Tanpa sindrom menjengkelkan yang menghinggapi seorang wanita menjelang menikah saja dia sudah sadis. Apalagi sekarang. Aku bahkan bisa membayangkan tanduk dan taring mencuat dari dirinya.

"Sibuk apa? Sibuk nggak jelas dan nggak bermasadepan, eh!" bentaknya. "Hidup itu harus terencana, Al. Punya planning yang jelas ke depannya. Nggak bisa suka-suka gitu aja. Lo udah nggak muda lagi kali."

Nah! Miss perfect bin insecure tukang ngatur kehidupanku dari zaman sekolah dulu kembali menjelma.

"Dua tujuh itu buat cowok masih muda. Jangan samain kek cewek, kita kan nggak ada masa expired-nya," jawabku ngeyel.

Alina langsung menerjang tulang keringku. "Ouch. Slow baby! Mau kewong masih suka main kungfu," keluhku mengusap tulang keringku yang barusan mendapat kehormatan tendangan berputarnya Alina. "Gua. Beneran. Sibuk. Suer."

"Praktik cuma tiga jam ngoceh sok sibuk. Sisanya lo ngapain coba?"

"Iye ... iye ... ini kan gue udah ada di sini. Ngapa masi ngomel!"

"Lo itu, Al. Seragam lo itu udah jadi dari kapan taun coba. Kalo nggak cukup ukurannya kan bisa dipermak, lah ... lo baru nongol sekarang. Kalo nggak cukup tanggung ndiri," omelnya.

"Udah ... udah gue coba tadi. Cukup kok," seruku akhirnya.

"Nah ... bagus kalo gitu," kali ini dia tersenyum manis. Dan senyum manis Alina itu tanda ada maunya. "Lo nggak mikirin ngasi apa gitu ke gue sebelum kawin?" tanyanya. Nah!

"Nggak," jawabku sambil ngeloyor ke dalam lagi.

"Al, ih!" jeritnya kencang, dan kemudian melemparkan dirinya ke punggungku. Merangkul leherku dari belakang dan kakinya memeluk pinggangku. Minta gendong.

"Astaga kampret! Berat ih," keluhku. Kemudian memperbaiki letak badannya di belakangku agar terasa agak nyaman. Hanya Alina dan Aliefiya yang kuizinkan melakukan hal sejenis ini padaku.

"Ih, gue udah diet ini," desisnya. "Nggak liat apa gue seksinya udah ngalahin Miss Universe?"

Aku mendengus sebal,"Kemana nih?" tanyaku. Curiga pasti dia tidak akan melepaskanku begitu gampang, seperti mengantarnya ke peraduannya di lantai dua.

"Pengen jalan-jalan muter Bandung, Al," jawabnya lirih. "Bunda nggak ngasih keluar, gue bosen."

Astaga!

"Hahaha ... calon pengantin kan emang harus gitu, Lin," jawabku meredam keinginannya.

Dia melonjak-lonjak di punggungku, menambah beban saja. "Aih ... masa lo juga sih, Al," lanjutnya seraya menjewer telingaku. "Kabur yuk! Bentar aja."

Aku mendesah pasrah, kemudian membalikkan badan menuju ke luar rumah. Selain membiarkan dia menganiayaku, Alina termasuk gadis yang permintaannya pun tak bisa kujawab dengan gelengan. Dan malam itu, akhirnya kami menghabiskan waktu mengitari kota penuh kenangan. Karena bentar versi Alina sama dengan aku memulangkannya ke rumah tepat pukul lima pagi.

-oo0oo-

"Hallo, Al?" Suara Doddy, sohib kentalku di AlMedika segera memenuhi indera pendengaranku.

"Ya?"
"Dimana lo?"

"Jalan balik dari Bandung. Napa?"

"Jangan lupa jam sembilan nongol di AlMedika, ya. Ada presentasi calon klien buat kerjasama, Al."

"Astaga ... mesti gitu jam sembilan?" tanyaku. "Gue baru setengah perjalanan dari Bandung ini. Belum sempet tidur," keluhku, kemudian melirik penunjuk waktu di dasbor yang menunjukkan pukul enam pagi.

"Bokap lo yang bikin janji soalnya, Al. Bukan gue," kilah Doddy.

"Lah...Bokap kemana pula?"

"Mana gue tau. Anaknya gue apa lo?" balas Doddy. "Tapi, kemarin sebelum pulang bokap lo pesen yang ini cuma formalitas. Udah pasti kerjasama."

"Kalo gitu nggak perlu gue lah," jawabku. "Lo aja deh."

"Terserah sih! Gue cuma disuruh hubungin lo," jawab Doddy. "Katanya ini tawaran kerjasama dari perusahaan Om lo."

"Eh?"

"Perusahaan Om lo yang di Kalimantan itu," lanjut Doddy. "Mereka ngirim staf klinik mereka ke sini."

Perusahaan Om Roery? Staf? Klinik?  

Otakku berputar cepat. Aha!

"Gue pasti datang," sahutku. "Jangan mulai meeting sebelum gue nongol," titahku pada Doddy.

"Weh...kenapa nih?"

Aku mematikan sambungan kemudian berdecak puas.

Tunggu balasanku, hai makhluk satu setengah meter!


Note :

Kesibukan mulai melanda. Dipastikan dari Senin depan aku mungkin nggak bakal bisa update lagi :(

Jadi...tolong dimaklumi ya :) Hehehe...

Mak nhessza kiriman dari Hongkong udah nyampe. Ih...dikau nggak kira-kira ngasi ukuran ya...Untung diriku punya laki. Haha...Daku mungil loh kek Kalila ini :p

Cast Kalila menurutku ya si Boram T-Ara ini. Kalo menurut kalian siapa yang cocok jadi Kalila?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro