1. Ni Langgeng

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Halo, mari kita memulai perjalanan Danakitri dan Raden Sotor. Semoga pesona Danakitri bisa menembus jantung dedek sotor.

***

Biasanya saat bertemu dengan sang rembulan Wilwatikta, wajahnya tak pernah muram. Bagai matahari terbit, lengkungan bibirnya selalu indah dan tenang. Tak pernah sekalipun memalingkan muka. Sebab Sang Paduka Sori adalah sinar yang menyinari hatinya yang gelap bagai malam.

Raden Sotor mengepalkan kedua tangannya saat melintasi Sudewi begitu saja. Padahal Sudewi sudah hendak membuka bibir untuk menyapa. Hatinya mencelus melihat Sudewi tertegun dan menjadi canggung. Sotor hanya bisa tertunduk. Mengalah pada takdir bahwa sebagaimanapun melindungi sang permaisuri Wilwatikta, dia tidak akan pernah memilikinya.

Meski orang-orang di Tumapel tunduk dan segan padanya, nyatanya dia hanya seorang pangeran biasa. Putra Sang Bhatara Tumapel dari seorang selir. Jauh sekali bila dibandingkan dengan Sang Rajasanagara, kakaknya satu ayah beda ibu. Kakaknya adalah Sang Maharaja Wilwatikta.

Dia tidak tertarik akan takhta. Berburu adalah kesenangannya. Namun, semakin dewasa dia memahami bahwa kekuasaan dibutuhkan untuk meraih sesuatu. Tetapi kini apa gunanya semua itu, bila salah satu impiannya menjadi pelindung dari perempuan yang dicintainya saja tidak bisa direngkuh.

Raden Sotor menghentikan langkah, menoleh ke belakang, tatapannya nanar pada Sudewi yang berada di depan seorang Abdi Pasangguhan bernama Darya yang selama ini setia melayani Hayam Wuruk. Karena itu kini dia membulatkan tekad, pernikahan adalah jalan satu-satunya bila dia tidak ingin Sudewi dan dirinya terus mendapat kecurigaan dari Sang Rajasanagara.

Menikah dengan siapa pun tak ada bedanya, sebab Raden Sotor tak yakin akan bisa mencintai perempuan sama besarnya dengan Sudewi.

***

Tumapel, Tahun 1359

Rumah megah sang bangsawan tak pernah secerah dulu. Satu per satu kebahagiaan seakan terus dibilas oleh kemalangan. Setiap sang istri memiliki anak, maka tidak lebih dari usia 3 tahun, sang penerus trah akan meninggal. Hingga akirnya sang bangsawan yang merupakan Senopati di Tumapel mengangkat wanita lainnya menjadi selir, akan tetapi kemalangan pun masih terus terjadi.

Di usianya yang sudah senja, Senopati bernama Lembu Tawang itu hanya memiliki satu orang putri jelita yang bertahan dari malaikat maut. Namanya Danakitri.

Sayangnya, Danakitri adalah gadis bangsawan malang. Di usianya yang sudah 29 tahun tak kunjung menikah. Padahal para perempuan seusianya sudah bisa beranak tiga. Para laki-laki yang melamar, selalu tak ada kabar setelah upacara tukon berlangsung.

Alih-alih dipanggil dengan sebutan nama indahnya Danakitri yang bermakna kemashyuran, penduduk Dukuh Gandarwa menyebutnya dengan Ni Langgeng, sebab Danakitri adalah Si Wulanjar Abadi (janda abadi).

Rumah Senopati Lembu Tawang tak jauh berbeda dengan rumah bangsawan Tumapel lainnya. Beratap megah dengan pilar-pilar yang menjulang. Namun, yang membedakannya adalah pagar bata merah yang mengelilingi rumah layaknya benteng utama Kedaton di kotaraja Wilwatikta. Sengaja Senopati Lembu Tawang meninggikan pagar rumahnya, bukan karena khawatir datangnya pencuri, akan tetapi untuk menutupi kemalangan yang ada di dalam.

Bangunan utama beratap papan kayu yang kokoh berbentuk persegi panjang dengan dinding kayu. Di pintu utama tak hanya dihias sulur-sulur cantik, tapi juga terdapat kala sebagai penangkal kemalangan. Di samping kanan terdapat taman hias sedangkan di sisi kiri bangunan utama terdapat bangunan yang bentuknya sama dengan bangunan utama hanya berbeda ukuran lebih kecil dan dipisahkan dengan sebuah gapura yang menjadi penghubung jalan. Bangunan ini merupakan tempat tinggal untuk selir Senopati Lembu Tawang.

Sedangkan di bagian belakang bangunan utama, Senopati Lembu Tawang memanfaatkan luas halaman rumahnya untuk membuat bangunan khusus bagi Danakitri yang di mana tak hanya sebagai tempat tinggal tapi juga untuk meruwat sang putri. Sang Senopati membangun sebuah petirtaan di sebelah tempat pemujaan Dewa. Di sekeliling kolam tersebut ditumbuhi dengan pohon aren dan juga pohon randu yang dipercaya sebagai penangkal hal buruk. Sebab di waktu-waktu tertentu yang berdasarkan perhitungan pasar lahir, Danakitri akan diruwat oleh seorang pandita bernama Ki Yajna.

Seperti malam ini, proses ritual ruwat dilangsungkan. Danakitri duduk bersimpuh dengan tangan diikat pada pohon randu. Rambut panjangnya yang mencapai pinggang dibiarkan terurai berantakan. Tak terhitung berapa kali dia menjalani ruwatan seperti ini sejak kegagalan lamaran keduanya di usia dua puluh tahun.

Ki Yajna melantunkan doa setelah Danakitri disucikan oleh dua sisya-nya dengan air suci di petirtaan kecil yang dibangun sang senopati. Tangan Danakitri yang terikat bergetar hebat. Kepalanya tertunduk lemas. Namun, bibirnya bergumam tak jelas. Awalnya suara rintihan kecil lalu perlahan menjadi lolongan pilu.

Nyi Rari, sang ibu yang juga istri dari Senopati Lembu Tawang hanya bisa tergugu. Rasa bersalahnya begitu besar. Entah dosa apa yang telah dilakukannya, sehingga membuat nasib putra dan putrinya berakhir tragis dengan kematian. Meski terkesan beruntung karena satu-satunya yang bertahan hidup, akan tetapi Nyi Rari tak bisa menahan diri sebab buah hatinya menjadi gunjingan dari para bangsawan di Tumapel.

Hati ibu mana yang tega melihat putrinya terus-menerus dianggap bernasib buruk dan harus menjalani ruwatan bertahun-tahun. Putrinya begitu jelita. Tak ada kecatatan di wajah dan fisik, hanya saja Danakitri memiliki tanda lahir di tengah dahi yang bisa ditutupi dengan tilaka.

Nyi Rari tahu bahwa putrinya lelah menjalani ruwatan dan ingin menyerah untuk menikah. Sempat terucap dari bibir tipis Danakitri untuk menjadi seorang pandita saja. Namun, Senopati Lembu Rawang tegas menolak. Laki-laki tua itu tak menyerah untuk mencari jodoh untuk sang putri.

Di tengah lamunannya, suara gelak tawa menggema. Nyi Rari panik, sebab Danakitri tak pernah seperti ini saat menjalani ruwatan. Nyi Rari tergopoh-gopoh mendekat pada Ki Yajna dan Danakitri.

"Ki, putri saya kenapa? Biasanya tidak begini?" tanya Nyi Rari cemas.

"Mohon ampun, Nyai Senopati, saya juga tidak menduganya. Apakah Danakitri beberapa hari ini keluar saat malam hari? atau mengunjungi suatu tempat?" Ki Yajna balik bertanya dan hanya dijawab Nyi Rari dengan gelengan.

Ki Yajna berpikir keras. Sang pandita itu melangkah mendekati Danakitri yang masih terikat. Hidungnya mengendus-endus aroma bunga asoka yang menguar. "Nimas ..., Nimas mendengar aki?" tanya Ki Yajna ragu.

Beberapa detik Danakitri tak menyahut, Ki Yajna kembali memanggil. "Nimas ...."

Ki Yajna dan Nyi Rari mencondongkan tubuh lebih dekat. Keduanya tersentak mundur saat Danakitri tiba-tiba melirik dari ekor mata.

"Dana ...." Suara lembut Nyi Rari yang penuh kasih memanggil nama kecil putrinya. Namun, Danakitri hanya diam, membuat Nyi Rari mengatup bibirnya menahan tangis.

"Nyai Senopati, sepertinya malam ini diakhiri saja dulu proses ruwatnya. Saya akan menghitung kembali kapan hari yang tepat dan akan mengirim orang nantinya untuk memberi kabar. Saya rasa Nimas Danakitri sempat bepergian dan sebagian jiwanya tertinggal," ucap Ki Yajna.

Nyi Rari diam sembari mengingat-ingat ke mana Danakitri pergi akhir-akhir ini. "Ah, saya ingat Ki, kami sekeluarga sempat berkunjung ke kedaton Tumapel untuk menemui Sri Kertawardana. Hal yang tak kami duga-duga datang, Ki. Kakang Lembu Tawang berhasil menjodohkan Danakitri dengan putra Sri Kertawardhana."

Ki Yajna mengerutkan dahi lalu menebak begitu saja. "Dengan Gusti Prabu Sri Rajasanagara?!" tanyanya penasaran.

"Bukan, Ki, akan tetapi dengan putra Sri Kertawardhana dari Selir Gantari. Raden Sotor, Ki namanya," jawab Nyi Rari.

Ki Yajna manggut-manggut sembari melirik Danakitri dari ekor mata. "Raden Sotor," gumam Ki Yajna sembari mengangguk. "Saya pernah mendengar nama sang pangeran." Ki Yajna sempat menghela napas lalu menggeleng samar. Seperti memikirkan sesuatu.

"Ada apa, Ki?"

Ki Yajna lantas menggeleng. "Ah, tidak apa-apa, Nyai Senopati. Saya turut berbahagia bila akhirnya Nimas akan mendapat jodoh. Saya akan mencoba mencari tahu lebih banyak tentang Raden Sotor dan mencocokkan dengan hitungan lahir Nimas Danakitri. Saya berharap hasilnya akan baik."

Segaris senyum lega menghias wajah Nyi Rari. "Terima kasih, Ki. Nanti saya akan mencoba mencari tahu bila sudah menetapkan tukon. Saat ini kami baru hanya saling mengenalkan keduanya."

"Baik, Nyai Senopati."

Proses ruwat malam hari itu begitu panjang dan Ki Yajna tampak tidak bisa sepenuhnya berkonsentrasi. Lelaki tua itu merasa ada yang janggal dan salah dalam proses ruwatnya kali ini. Namun, sulit sekali untuk menemukan apa penyebabnya.

Ki Yajna akan mencari tahu. Bagaimanapun juga, Danakitri bagai putrinya sendiri, sehingga Ki Yajna harus memastikan laki-laki yang dipilih oleh Senopati Lembu Tawang adalah orang yang tepat.

***

Danakitri mengeringkan tubuh setelah menjalani penyucian. Cuaca dingin begitu menusuk hingga ke  tulang, membuatnya bergidik. Setelah memastikan bahwa tidak ada suara-suara penjaga di sekitar bangunan khusus yang menjadi tempat tinggalnya, Danakitri bersuara.

"Lika, Kalika!" panggil Danakitri lebih keras.

"Di sini," jawab Kalika yang tiba-tiba muncul di tempat tidurnya sembari melambaikan tangan. Abdi Sang Durga itu terkikik. "Bagaimana aku tadi? Berhasil, kan, mengelabui Aki tua itu," ucapnya sesumbar.

Danakitri menghampiri lalu ikut duduk di atas tempat tidur. Dia menghela napas. "Kita bisa mengelabui biyung, tapi Aki Yajna tetap terlihat curiga."

"Aku hanya menjalankan perintahmu, Sang Bhatari," balas Kalika.

Tatapan Danakitri sengit pada Kalika . "Seharusnya tadi kamu tidak perlu tertawa seperti itu, Lika," tegur Danakitri.

Kalika kembali tertawa. Kali ini bernada ejekan. "Aku mencoba hal baru, Dana. Jika hanya terus merintih dan menunduk, Ki Yajna akan berpikir bahwa ruwatan yang selama ini dilakukannya sia-sia. Apa kamu tidak bosan menipu semua orang? Apa kamu tidak kasihan pada biyungmu yang selalu cemas dan gelisah saat kamu selalu menjalani ritual terus-menerus selama sembilan tahun?" cecar Kalika.

Danakitri tertegun. Kalika benar adanya. Biyungnya adalah orang yang paling menderita sejak hari dia dilahirkan ke dunia. Danakitri tertunduk lesu. Selama 29 tahun, hidupnya ini tidak berguna, apalagi saat penduduk Gandarwa menyebutnya 'Ni Langgeng.'

Karena itulah rumah ini berpagar tinggi, agar penduduk Dukuh Gandarwa tidak mencibir dan menggunjingnya. Agar semua kemalangan dan kesialan dirinya tidak menjadi tontonan rakyat.

"Dana, tidakkah kamu lihat bagaimana senangnya biyungmu saat menceritakan tentang Pangeran Tumapel itu?" seloroh Kalika.

Danakitri sontak menatap Kalika tak setuju. "Apa kamu pikir laki-laki semuda dia, pangeran lagi, mau menikah denganku yang sudah tua ini," balas Danakitri.

"Rambutmu belum beruban, Dana. Kulitmu juga belum mengeriput. Masih bisa bersaing dengan para gadis belia," ucap Kalika menghibur. "Raden Sotor terlihat seperti laki-laki yang baik. Tubuhnya gagah. Lihat saja bahunya, tegap sekali. Sepertinya dia pandai berburu dan berkuda. Firasatku kali ini mengatakan dia laki-laki yang tepat. Hanya saja ...." Kalika menggantung ucapannya.

"Hanya saja ...?" tanya Danakitri sambil menaikkan sebelah alis dan menunggu penjelasan Kalika. Si hantu yang merupakan kepercayaan Bhatari Durga untuk menjaga daerah Gandra Mayit yang merupakan pusat segala energi negatif di dunia.

Namun, Kalika malah mengangkat bahu, kemudian menautkan kedua tangannya di belakang. Sembari berterbangan di langit-langit kamar Danakitri. Membuat Danakitri berdecak lidah sebab Kalika menggodanya dengan sang Pangeran Tumapel.

Danakitri merebahkan diri pasrah dan berniat tidur saja, daripada meladeni hantu Kalika. Namun, Kalika malah muncul tiba-tiba tepat di depan wajahnya, hingga membuat rambutnya menjuntai ke lantai.

Suara Kalika ini terdengar serius.
"Raden Sotor menguarkan aroma tanjung yang bukan berasal dari dirinya. Cahayanya seperti sinar rembulan yang begitu kuat. Meski terlihat tepat denganmu, aku hanya tidak yakin saat kalian menikah nanti, siapa yang akan menyerah lebih dulu. Kamu atau pangeran itu," ucap Kalika lantas menghilang begitu saja meninggalkan Danakitri yang termenung atas ucapannya.

Danakitri menautkan jemari di atas perut. Sembari berusaha memejamkan mata, Danakitri memikirkan ucapan Kalika. Siapa yang akan menyerah lebih dulu?

Suara Kalika yang cempreng dan melengking membuat Danakitri kembali membuka mata. Mengedarkan pandangannya dan mencari sosok Kalika, akan tetapi hantu itu masih tak menampakkan wujudnya. Hanya suaranya yang terdengar.

"Jangan terlalu cemas, Dana. Pangeran itu akan ke sini dalam waktu dekat dan membawa berita yang mengejutkan," bisik Kalika tepat di telinga kanan.

Danakitri menggerutu dalam hati. Kalika memang hantu kurang ajar. Sebab bukannya menjelaskan, malah semakin membuatnya harus terlelap dengan rasa penasaran.

***

Bandung, 24 August 2024

Bagaimana dengan bab pembuka ini? Lanjut?

Atau yaaaa kok kek gini sih.

Aku nggak bisa menjanjikan rajin update berapa hari sekali. Pokoknya kalau udah selesai ngetik aku bakal update.

Yok yang mau berteman di ig, boleh nih. @sidsaft
Follow ya

Terus aku juga bikin kumpulan cerpen fiksi sejarah yang bisa cerpen, cerbung atau flash fiction. Latarnya bisa macam2.

Boleh kalian incip-incip juga

Terima kasih banyak atas waktunya baca Raden Sotor ini. Semoga kalian sehat, mudah rezekinya dan bahagia.

Sayanghae.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro