5 | Unwilling

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku membuka mata perlahan. Rasanya seperti terbangun dari mabuk berat. Pusingnya luar biasa. Baru tersadar dari pingsan, mataku menangkap wajah-wajah baru selain hanya Jeonghye. Hal itu kembali mengguncang jantungku keras. Tekanan pikiran mulai menghampiriku dengan tidak sopan. Seseorang di depanku yang duduk di sebelah kursi pengemudi menampakkan siapa dirinya dengan menolehkan wajah mendengar seorang mengabarkan kalau sosok yang pingsan sudah sadar.

Dari semua orang di sekitarku hanya dia yang lebih menjatuhkan perasaanku tidak enak. Aku tidak mengerti. Hanya karena dia diam saja? Atau hanya karena dia yang tahu persis masalahku? Bola mataku beralih menatap beberapa peralatan medis di atas pangkuan Jaehwa di sebelahku.

"Ah aku sudah di Gwangju?" Kataku berusaha mengusir perasaan campur aduk dalam diri.

Haruskah manusia punya perasaan? Maaf Tuhan aku berpikir seperti ini. Tapi kalau saja manusia bisa menyingkirkan perasaan dari dalam tubuh dan mengisinya dengan hal-hal yang lebih penting. Manusia akan jauh lebih maju. Seandainya manusia tidak punya perasaan, manusia tidak akan merasa sedih. Tidak akan menderita. Tidak akan marah. Tidak akan lemah. Aku mau seperti itu sekarang Tuhan. Kenapa Kau ciptakan manusia seegois ini yang ingin membunuh perasaannya sendiri?

"Zee? ... Zee?" Suara seseorang mengeras. "Kamu dengar Seok Yoo-ssi bicara?" Kata manajer Joon.

"Maaf?" Bokongku membenahi posisi duduk dengan benar. Sengaja memejamkan mata paksa sambil runguku merekam manajer Joon mengulangi perkataan Seok Yoo, katanya, manajemen telah memberi izin Jaehwa selama sehari full tanpa syarat rumit. Hanya satu yang ditekankan: jangan berjalan beriringan, sebisa mungkin menjauh dari sorotan publik.

Perlahan setelah helaan napas salah seorang dari dalam mobil ini, aku bicara, "Maaf telah melakukan ini ... jadi merepotkan beberapa pihak, tumpang tindih dengan jadwal besok. Jaehwa, kalau kamu atau yang lain keberatan tolak saja, tolong tolak sajaㅡ"

"Sebaiknya kalian berangkat sekarang, waktunya mepet, kan? Aku juga mau lanjut latihan," potong Seok Yoo sopan. Aku merasa semakin sesak dengan Seok Yoo memotong seperti itu juga melihat Jaehwa mematung. Sangat terlihat bingung.

Pikiranku menelaah hal yang lain. Sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan Seokgyu sepertinya dia melakukannya kali ini. Aku tidak percaya bisa selancar ini. Seokgyu benar-benar siap untuk di musuhi.

**

"Zee-ya ... kalian berdua selalu berhati-hati ya terhadap apapun, aku dan Manajer Joon tidak bisa ikut kesana."

"Beberapa Bodyguard akan diikutkan bersama dalam satu pesawat, jadi jagalah diri kalian baik-baik," tambah manajer Joon.

Jeonghye menyimpuhkan tas jinjing di pundakku sambil memamerkan senyum ala kadarnya yang hampir tidak bisa disebut senyuman. Mata bengkaknya masih bersarang menghiasi wajahnya. Sembab. Mungkin tidak beda jauh dengan wajahku. Atau bahkan aku lebih parah.

"Untuk kamu, Zee-ssi, kondisimu sedang tidak stabil, jadwalmu terlalu padat dari kemarin, kurang istirahat, kamu juga memikirkan banyak hal, aku hanya tidak ingin kamu jatuh sakit, apalagi hari ini kamu baru makan sekali, kumohon jaga kesehatan Zee-ssi." Diam-diam aku menghela nafas dan menunduk sebagai respon tanpa bicara.

Udara panas kian menyengat, menambah rasa tidak nyaman berlama-lama di lapangan penerbangan. Tungkai kakiku sudah gemas ingin naik ke dalam. Setelah kami selesai, akhirnya aku berbalik untuk meninggalkan mereka

"Kami akan berhati-hati, terimakasih Manajer-nim dan Noona," suara Jaehwa menyusul penuturan mereka lanjut merangkulku erat.

Sensasi kejutku tiba-tiba berada di puncak, karna baru detik ini Jaehwa berani menyentuhku, sejak kebingungannya ditarik dari Agensi. Entah ini sandiwara atau perasaannya sudah lebih baik. Aku sendiri belum bisa memastikan apakah aku sudah lebih baik bagaimana aku bisa yakin kalau lelakiku merasa begitu.

Satu Pramugari cantik bukan orang Korea, dua Guard dan dua Pilot telah bersiap dengan tugasnya masing-masing setelah kami duduk nyaman. Tentu bukan hanya aku yang merasa asing di dalam kabin mewah dengan teknologi tinggi ini. Milik teman Seokgyu yang mana? aku bahkan tidak bertatapan dengan Pilot atau pemiliknya. Luas ruang yang cukup lebar ditempati empat kursi penumpang. Kebingunganku ini mungkin bisa mewakili salah satu rasa yang Jaehwa sedang alami.

Penuturan informasi dari wanita semampai dengan seragam biru dongker memeluk dirinya kurang kuperhatikan. Sampai-sampai dia menghampiriku untuk memasangkan seat belt dan memberi arahan dari jarak dekat.

"Ah maaf." Wanita itu tersenyum penuh perhatian lalu melirik penumpang kursi sebelah. Memastikannya mengikuti instruksi dengan benar.

Aku paham situasi kami sangat canggung sejak awal perjalanan namun sialnya aku tidak bisa bicara apa-apa dengan Jaehwa. Aku belum bisa memulai.

Beberapa saat setelah pesawat akhirnya lepas landas, Jaehwa berulang kali memanggilku dengan suara sangat kecil. Aku menoleh sedikit ke arah pria yang aroma tubuhnya sudah mendominasi kabin. Pada dasarnya area ini memiliki campuran material kulit dan kayu sehingga menimbulkan bau seperti Bentley baru. Namun sekarang aroma citrus, lautan dan sedikit floral yang muncul dari tubuh Jaehwa memenuhi indra penciumanku dengan tenang.

Aku bisa sebut Jaehwa habis mandi parfum BVLGARI Omnia Paraiba. Jenis parfum yang sebenarnya ditujukan untuk wanita. Pria seperti Jaehwa memang cocok memakai parfum dengan aroma soft karena sekali pakai seperti habis berendam.

Aku terlalu jauh memikirkan soal aromanya yang detik ini semakin menusuk. Tanpa kusadari pemuda Jeon sudah berada di depanku. Merendahkan tubuhnya di antara lututku.

"Kamu perlu minum." Tanganku segera meraih botol air mineral darinya tanpa berpikir akan meminumnya. Membuang napas singkat sambil menatap wajah lugu dengan sorot mata yang melembut.

Berusaha mengganti kecamuk dengan pengertian di sana. Tubuhku menarik diri dari sandaran dan menyarangkan kedua lengan di atas pundak kokoh lelakiku. Lebih dekat dan lekat tatapanku berujung. Aku sedang berusaha untuk melawan diriku sendiri. Bibirku masih enggan untuk membuka namun setidaknya aku bisa memberinya senyum meski tipis.

"Jangan seperti ini ...." Di detik kesekian Jaehwa menyerah untuk tetap memandangku. Menundukan pandangan sekilas lanjut menatap arah lain. "Kamu akan semakin haus kalau hanya menatapku," katanya tanpa melihatku, membujuk otot wajahku merangkai ekspresi kemudian meminum beberapa tengguk air.

Setelah itu dia menghela napas sambil merapatkan lututku dan menjatuhkan keningnya di sana. "Kamu membingungkan, Sayang," keluhnya dengan suara terpendam. Getarannya mengalir dari kakiku sehingga telingaku terbantu menerima suara kecilnya. "Aku serius menyuruhmu minum, pasti tenggorokanmu kering sekali dari tadi nggak bicara, aku sudah senang kamu bicara walau hanya maaf tapi ... ayolah Noona ... Jeon Zee ... " rengeknya beruntun.

Dengan sikapnya seperti itu, dia terlihat begitu menggelikan. Sudut bibirku bergerak ragu namun aku yakin aku gemas dengan orang merajuk. Tanganku berayun untuk membuka botol dan meneguk airnya lagi hingga setengah. Sambil jemariku melesap di dalam kerumunan rambut Jae, bibirku sudah sempurna merangkai senyum ketika pemuda Jeon mengangkat wajahnya.

"Jeon Zee?" Bisa dikatakan aku mulai berdamai dengan diriku setelah berhasil bicara dua kata itu. Rasanya aku akan mengutuki diriku sendiri bila aku masih memilih diam dan berbicara tiada akhir dengan pikiranku sendiri. Dengan sangat egois tidak mempedulikan seorang pemuda yang berusaha mencairkan diriku juga menepis kebingungannya.

Aku juga akan malu dengan usia kalau masih bersikap mementingkan diri sendiri. Kurasa aku mulai bangga punya kelemahan dengan orang merajuk, bisa membuatku seketika melembut. Entahlah, apa aku salah menyebutnya kelemahan. "Namaku akan tetap Kim Zee sampai punya anak," candaku di tengah ekspresi kagum dan haru yang dibuat-buat Jaehwa.

"Tunggu ...." Sedetik kemudian berubah melotot penuh penghakiman, "tapi dia harus anak sah dariku," komentarnya tidak mau kalah.

Guratan di kanan dan kiri mataku semakin tercetak jelas. Matanya membulat seolah tidak terima hal lain selain yang ia bicarakan. Kembangan senyum di wajahku memberi satu tanda bahwa perlahan aku bisa mengurai kekacauanku. "Kamu bisa membaca takdir?"

"Ah ... jadi kamu tidak ingin punya anak dariku?"

"Bukan begitu." Luar biasa pikirannya sudah menuju sejauh itu.

"Jangan bilang kamu ingin menikah dengan Ha Joon hyung?" Aku mencibir, "kami hanya tahu itu Sayang, sudah rahasia umum kalian saling mengagumi," suaranya berayun manja, membuka kotak tertawaku lebih lebar.

Lengannya menekan pahaku agak kencang, bentuk protesnya menghiburku. Membuatku tidak mau berhenti menggodanya, "Duniaku bukan hanya Ha Joon," alisnya bertaut hampir jadi satu.

"Duniaku juga bukan cuma kamu, tapi Noona itu sudah seperti rumahku ... kemanapun aku pergi, dengan siapapun aku bermain, aku pasti pulang ke rumah. Meski aku tidak ingin tapi aku akan butuh."

Seketika aku tercengang, seperti telinga mendengung karna udara tinggi. Hanya sebentar tapi perlu proses untuk menghilangkan itu. Aku tidak lagi tertawa melihat Jaehwa mencebik kesal. Apakah itu hanya sebuah perkataan? Atau syair orang yang dia kutip? Tapi dengan itu aku merasa seperti ditampar. Sebab aku tidak pernah berpikir sejauh itu sebelumnya. Jantungku sangat berdebar hingga mungkin dia dapat mendengar detakannya karena terlalu kencang. Maksudku, aku tidak percaya bisa membuatnya seperti ini.

"Noona ...." Jemariku di dalam rambut tebal Jaehwa akhirnya bergerak mengusap kepalanya. Bentuk terima kasih telah mengungkapkan isi hatinya. Terserah itu hanya syair atau benar-benar hal yang dia rasakan, yang pasti aku sangat senang. Jaehwa bangkit dan menakup rahangku lembut untuk mendongakkan wajahku melihatnya.

"Kamu berhutang penjelasan padaku soal semua hal yang terjadi di hari ini."

***

Ges ges kuuu.. gimana kalo kalian jadi Zee, kapan mau ngasih tau?

👇🏻Jeon Jaehwa👇🏻

Yuk mampir doeloe nih kita ngopi-ngopi bentaran sambil ngevoment☕️🥜

Terima kasihhh🤍🤍🤍🤍

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro