d u a p u l u h

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Eliza membuka matanya perlahan. Sinar matahari seolah menusuk netranya, sangat silau. Ia mengerjap beberapa kali, sampai iris safirnya bisa beradaptasi dengan cahaya. Eliza terpaku melihat pohon yang menjulang tinggi di atasnya. Dia dapat melihat jelas daun yang menempel di setiap sudut pohon itu berwarna merah muda.

"Warnanya ... merah muda?" gumam Eliza bingung.

Gadis berjubah merah itu buru-buru mengubah posisinya menjadi duduk saat menyadari sesuatu. Seingatnya, hutan di dunia aneh ini tidak disinari cahaya matahari. Hanya ada awan kelabu yang selalu menghiasi langit. Tapi kenapa tiba-tiba sinar matahari muncul?

Eliza melihat daun besar yang dijadikan tempat tidurnya. Daun itu disambung dengan serat batang pohon sebagai tali, lalu diikat di antara dua pohon lainnya. Daun itu tampak kokoh. Tak lupa setumpuk jerami di masukkan agar semakin nyaman sebagai tempat tidur.

"Syukurlah kau selamat."

Suara familier itu membuat Eliza menoleh ke arah kiri. Netranya membulat saat mengetahui siapa yang berbicara. Itu Leerios. Wajah pemuda itu agak pucat, tapi dia baik-baik saja.

"Kau tidak apa-apa? Apa kau terluka?"

Leerios tertawa. "Tenanglah, aku tidak apa-apa. Jangan khawatir."

Eliza menghela napas. "Syukurlah. Maaf aku sudah merepotkanmu. Kau bahkan melindungiku saat terjatuh dari jurang."

Pemuda berambut legam di sebelahnya tersenyum. "Sebagai seorang Pangeran, itu hal dasar yang tentu harus kulakukan."

Eliza menyeka keringat dingin yang mengucur dari dahinya. Sontak gadis itu terdiam, dia baru menyadari sesuatu. Eliza memegang kepalanya lebih lama, melompat ke bagian satu ke bagian lain.

"Tidak sakit. Apa sudah sembuh? Tidak mungkin secepat itu. Kepalaku kan bocor," racaunya.

"Lalu kenapa kita harus bersantai seperti ini? Bagaimana jika monster-monster jelek itu datang dan menyerang kita? Dan yang lebih penting ... di mana pedangku? Aku tidak bisa melakukan apa pun tanpa pedangku." Eliza buru-buru turun dari daun berisi tumpukan jerami yang menjelma sebagai tempat tidur itu dan mulai mencari pedang kesayangannya. Dia berlari ke sana kemari, menyibak semak dan dedaunan kering yang menumpuk. Raut wajah cemasnya membuat Leerios mengubah posisinya menjadi duduk.

"Tenang, Eliza," ujar Leerios.

"Tenang katamu? Kita berada di hutan berisi monster dan kau ingin aku tetap tidur? Bersantai sepertimu? Aku tidak akan tenang sampai bisa memegang pedangku kembali! Aku akan mencari—"

"Kau mencari ini?"

Perkataan seseorang membuat Eliza langsung menoleh. Sein bersender di pohon dan mengangkat pedang milik Eliza. Tak mau basa-basi, Eliza langsung berlari menuju Sein untuk merebut kembali pedangnya. Tetapi hal itu digagalkan Sein dengan mengangkat pedang Eliza lebih tinggi, hingga gadis di depannya itu tak dapat meraihnya.

"Mau apa lagi kau sekarang?" desis Eliza kesal. "Kembalikan pedangku!"

Sein menatap Eliza datar, lalu hendak memegang kepala gadis itu. Eliza refleks menghindari tangan Sein yang dalam hitungan detik akan mendarat di kepalanya.

"Jangan menyentuhku!"

"Pfft!" Sein menutup mulutnya untuk menahan tawa. "Ya, tidak ada yang boleh menyentuhmu, kecuali Leerios."

"Get of my back! Dia menolongku, tidak sepertimu!"

"Benarkah? Kurasa aku sudah memenggal dua kepala monster untuk menyelamatkanmu."

Skakmat. Eliza terdiam dan melempar pandangannya ke arah lain. Tak tahan, gadis itu kembali mengamuk.

"Tutup mulutmu dan kembalikan pedangku!"

Sein memberikan pedang Eliza. "Kenapa kau marah? Aku pasti mengembalikan pedangmu. Aku hanya ingin memeriksa apakah luka di kepalamu sudah tertutup sempurna atau belum, lalu melaporkannya pada Tuan Zelphar. "

"Tunggu. Siapa Tuan Zelphar?"

"Tanyakan saja pada Leerios," ketus Sein lalu berbalik pergi.

"Setidaknya jelaskan padaku tempat apa ini!" teriak Eliza kesal.

"Itu tanyakan juga pada Leerios."

"Oh damn! Why should Leerios?"

Sein menghentikan langkahnya dan berbalik. "Bukankah dia selalu menolongmu? Maka tanyakan saja padanya."

"Aku tidak tahan dengan makhluk sepertinya!" Eliza menendang daun-daun kering yang berserakan di sekitar guna melampiaskan kekesalannya.

Eliza mendengkus, lalu melirik Leerios. "Oke. Kau, jelaskan padaku."

Leerios tersenyum tipis dan melompat turun dari tempat tidur. Wajahnya yang agak pucat menunjukkan bahwa pangeran dari Shovoris Kingdom itu belum pulih sepenuhnya.

"D' Aurberlin Forest. Itu nama hutan ini. Tidak ada monster yang akan menyerang kita. Kita aman selama berada di sini. Fyi, kita sudah tiga hari di sini."

Eliza membulatkan matanya. "Apa katamu? Tiga hari? Lalu bagaimana kau yakin kalau tempat ini aman?"

"Ikutlah denganku."

Walau ragu, Eliza mengekori Leerios dari belakang. Selama berjalan, Eliza memperhatikan keadaan sekeliling. Tak dapat dipungkiri bahwa dedaunan berwarna merah muda membuat tempat ini terasa tenang. Perpaduan warna hijau dari tumbuhan merambat dengan daun pohon berwarna merah muda sangat enak dipandang.

Sayup-sayup suara tawa dan obrolan beberapa orang terdengar. Semakin lama, suara itu semakin nyaring dan jelas. Eliza kembali menatap lurus ke depan, dan sialnya dia malah bertatapan dengan Sein. Segera Eliza mengalihkan pandangannya.

Eliza terpaku melihat orang-orang di sekitar. Berparas cantik, tampan, tinggi, dan bertubuh ideal. Para wanita memakai gaun hijau bermotif kuning di bagian pinggang, serta memakai hiasan kepala berupa bunga mungil yang cantik. Rambut mereka berwarna cokelat gelap, begitu lurus, mengkilap, dan terawat dengan baik. Bibir tipis, hidung mancung, dan mata yang indah. Sedangkan para pria bertubuh tinggi dan tegap. Mereka mengenakan baju zirah ringan berwarna hijau dan sepatu bot bermotif khas. Rambut mereka berwarna perak. Tetapi ada satu hal yang aneh menurut Eliza, yaitu bentuk telinga mereka yang runcing.

Melihat wanita di sekitarnya sangat cantik dan manis membuat Eliza merasa seperti kerikil di antara berlian. Oh astaga, ini kali kedua Eliza merasa iri pada penampilan orang lain setelah Sein.

Seorang gadis yang asik berbincang langsung terdiam saat melihat kehadiran Eliza. Dia beranjak dari batu besar yang dijadikan tempat duduk dan berteriak kencang dengan mata berkaca-kaca. "Eliza!"

Semoga orang di sana sontak menoleh ke arah Eliza. Sang pemilik nama langsung tersentak kaget dan menatap ke sana kemari, mencoba mencari tahu siapa yang memanggilnya. Mendadak gadis berambut pirang berlari dan mendekapnya erat.

"Aku sangat merindukanmu, Eliza! Aku senang kau baik-baik saja."

Tanpa disadari, mata Eliza berkaca-kaca. "Suara ini .... Apa itu kau, Bella?"

Gadis berambut pirang itu melepas pelukannya dan menatap Eliza lekat. "Ya, ini aku! Arabella, kakakmu."

Air mata Eliza seketika tumpah. Tangannya bergetar dan memegang pundak Arabella. "Benar. Ini kau, Bella. Akhirnya aku menemukanmu. Aku menemukanmu!"

Arabella kembali memeluk adik kesayangannya dengan begitu erat. Kini mereka menjadi pusat perhatian. Tidak ada yang bersuara, semua turut merasakan emosi keduanya.

Arabella melepas pelukannya dan beralih memegang pipi Eliza. "Jangan pernah jauh dariku lagi, Eliza. Saat mereka membawamu kemari dengan kondisi kritis, matamu terpejam dan darah membasahi wajahmu, hatiku sangat sakit. Rasanya seluruh tenagaku luntur saat itu juga. Berdiri pun aku tak sanggup. Aku tidak akan bisa hidup sendirian tanpamu. Kumohon jangan lakukan itu lagi padaku, Eliza. Berjanjilah kau tidak akan sekarat seperti itu lagi di hadapanku."

Eliza tidak bisa mengatakan apa pun. Bisa selamat dan bertemu dengan kakaknya adalah hal terindah dalam hidupnya. Eliza hanya bisa mengangguk seraya sesenggukan.

"Di mana Ibu, Bella? Di mana dia? Apa kau bertemu dengannya?"

Arabella menunduk sejenak. "Awalnya Ibu bersamaku. Tapi saat kawanan Ogre dan Centaur mengejar kami, aku terpisah dengannya. Aku terjatuh ke jurang dan prajurit Erlin menyelamatkanku dan membawaku ke sini. Aku tidak tau Ibu berada di mana, tapi Tuan Zelphar memperkirakan kalau kini Ibu berada di d' Oisenx Tropics."

Eliza mengernyit. "Tuan Zelphar?"

"Halo, Eliza."

Suara bariton seseorang membuat Eliza mengalihkan atensinya. Seorang pria yang tampak berusia empat puluhan memandanginya seraya tersenyum ramah. Semua orang langsung menyingkir dan memberi jalan untuknya, seolah dia adalah orang yang paling disegani.

"Aku adalah Zelphar Elfaren. Sebut saja Tuan Zelphar. Aku pemimpin di sini. Kuucapkan selamat datang di d' Aurberlin Forest, hutan yang menjadi kediaman kami para Elf, Nymph, Pixie, dan Griffin."



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro