t u j u h

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Perkataan Arabella membuat jantung Eliza seolah berhenti berdetak. Rasa panik, terkejut, dan cemas melahap gadis berambut cokelat itu dalam hitungan detik. Napasnya tercekat, saluran pernapasannya terasa menyempit saat itu juga.

"Hi-hilang? Mereka hilang katamu?" Eliza mengguncang bahu kakaknya lagi.

Arabella tak sanggup menjawab pertanyaan adiknya. Dia terlalu kaget untuk menghadapi semua ini. Suara lonceng istana yang menggema di seluruh wilayah kerajaan terus terngiang-ngiang di kepalanya.

Eliza menggeleng. "Ini tidak mungkin. Apa-apaan ini? Bella, katakan sesuatu!"

Eliza menghela napas frustrasi saat Arabella tak mengucapkan satu kata pun. Bagaimana ini? Ibu mereka tidak mungkin hilang begitu saja. Bukankah keamanan istana sangat ketat? Bagaimana jika terjadi sesuatu yang buruk dengan ibu?

Arabella tersentak saat tangannya ditarik Eliza. Adiknya itu berjalan dengan terburu-buru. Mungkin Eliza tak sadar, tapi dia memegang pergelangan tangan Arabella dengan sangat kuat.

"Kita mau ke mana?" tanya Arabella dengan suara serak karena menahan isak tangis.

"Ke istana menemui Ayah. Kita akan ikut mencari Ibu dengannya!"

Spontan Arabella menepis tangan Eliza, membuat langkah gadis di depannya itu terhenti.

"Apa kau tidak melihat betapa kacaunya situasi ini? Kita hanya akan menyulitkan Ayah!"

Eliza mengeraskan rahangnya. "Suasana hatiku lebih kacau dari ini, Bella! Aku tidak akan tinggal diam. Jika Ibu sampai terluka, pelakunya akan mati di tanganku. Aku bersumpah akan membunuhnya dengan tanganku sendiri! Aku Eliza Gordon, tidak akan pernah mengingkari sumpahku ini!"

Mendadak angin dingin berembus, seakan ikut serta memegang sumpah sang gadis Euphemia itu. Arabella juga merasakan sesuatu yang tak biasa saat adiknya mengatakan sumpah dengan begitu yakin.

"Jangan asal bersumpah, Eliza!" murka Arabella. "Kita tidak tau apa yang sebenarnya terjadi."

"Terserah. Aku akan ke istana sekarang. Kau ikut atau tidak, itu pilihanmu. Setidaknya aku tak akan menyesal jika sesuatu terjadi," tegas Eliza lalu berbalik meninggalkan kakaknya.

Arabella menggigit bibir bawahnya. Dia cemas kehadiran mereka akan menambah beban ayah. Tapi, apa yang dikatakan Eliza ada benarnya. Mereka tidak mungkin diam saja dan hanya mengandalkan ayah. Tugas utama ayah mereka sebagai panglima kerajaan pasti mencari keberadaan Raja dan Ratu Jesse. Ibu mereka tidak akan menjadi prioritas.

Arabella memejamkan mata sejenak guna meyakinkan diri. Setelahnya, dia melangkah cepat untuk menyusul Eliza yang sudah berjarak beberapa meter darinya.

Barisan prajurit berkuda memenuhi halaman istana. Para Navriel serta knight juga berkumpul, termasuk Sein dan Zavier. Suara Levi Gordon terdengar begitu lantang saat memberi arahan dan pesan untuk seluruh prajurit. Pria setinggi 185cm itu tampak gagah dengan baju zirah yang ia kenakan.

Desingan pedang yang terdengar begitu keras membuat Levi menghentikan ucapannya dan menoleh ke sumber suara, begitu juga dengan yang lain. Sontak pria berambut cokelat itu membulatkan matanya.

Eliza dengan tatapan elangnya tampak beradu pedang dengan salah satu prajurit yang menjaga gerbang istana. Ekspresinya begitu mengerikan, seolah akan membantai siapa pun yang berani menghalanginya.

"Biarkan aku masuk atau kupertemukan kau dengan ajalmu sekarang juga," ujar Eliza dingin.

Sein yang melihat itu memutar matanya malas seraya berdecih. "Dasar lalat pengganggu."

"Apa dia yang membuat kenang-kenangan di lehermu?"

Sein menoleh saat wanita tua di sebelahnya bersuara. Itu neneknya, Armour Stone. Dengan malas Sein berdeham mengiyakan.

"Apa si Euphemia itu tidak tau aturan?" cela Sein. "Dia terus saja membuat orang-orang kewalahan."

"Termasuk dirimu," sahut Armour seraya merapikan jubah putihnya.

Sein melengos. Kenapa neneknya malah menyudutkannya? Eliza itu memang merepotkan. Ke mana pun gadis itu pergi, pasti ada saja masalah.

"Dia pembawa sial. Tentu saja dia tidak boleh masuk," sewot Sein lagi.

"Siapa namanya?" tanya Armour.

"Aku tidak tau dan tidak mau tau."

"Kau ini sama seperti mendiang Ayahmu saat pertama kali bertemu mendiang Ibumu." Armour terkekeh. "Sekarang mereka sudah tiada. Setidaknya Ayahmu beruntung bisa menikah dengan wanita sekuat Ibumu."

Sein berdecak kesal. "Itu tidak ada hubungannya."

"Jangan meremehkan gadis itu, Sein. Dia Euphemia yang istimewa. Aku bisa melihat itu dari tatapan matanya," ujar Armour yakin.

Sein melirik neneknya lagi. "Maksud Nenek?"

"Untuk pertama kalinya Euphemia tidak membawa kesialan, tapi membawa keselamatan dan perlindungan. Atau mungkin, Euphemia sama sekali tidak pernah membawa kesialan?"

Sein memutar matanya malas. "Lagi-lagi Nenek membicarakan omong kosong."

Levi Gordon segera menghampiri kedua putrinya dengan tergesa-gesa. Dia memerintahkan Eliza dan prajurit itu untuk menurunkan pedang mereka bersamaan.

"Eliza! Apa-apaan ini? Apa yang membawa kalian kemari?"

"Kami akan ikut mencari Ibu," jawab Arabella.

Levi menautkan kedua alisnya. "Apa?"

"Ayah pasti memprioritaskan Raja dan Ratu Jesse, karena Ayah seorang panglima. Jadi aku dan Eliza yang akan mencari Ibu."

"Apa kalian sadar? Hah? Situasi seperti ini ... kalian tidak perlu ikut campur!"

"Lalu untuk apa Ayah melatihku menggunakan pedang?" sahut Eliza. "Kami bukan anak kecil lagi. Kami akan bergabung dalam pencarian ini."

Levi menggeram. "Eliza! Kalian hanya akan menyulitkanku! Jika terjadi sesuatu pada kalian—"

"Sekali lagi aku bertanya pada Ayah." Eliza mengangkat pedangnya. "Untuk apa Ayah mengajariku menggunakan ini?"

"Listen! Kau belum mahir sepenuhnya, Eliza!" murka Ayah. "Pulanglah! Jangan mengacau di sini!"

Eliza tertawa hambar. "Kami hanya ingin bergabung dan mencari Ibu. Ayah bilang kami mengacau? Lucu sekali."

Zavier yang melihat cekcok antara Ayah dan anak itu langsung menghampiri. Dia tidak ingin banyak waktu terbuang hanya karena masalah mereka. Semua prajurit harus segera dikerahkan untuk pencarian. Semakin cepat semakin baik, bukan?

"Maaf atas kelancangan saya, Panglima. Tapi bisakah pencariannya dimulai sekarang?" Zavier melirik Eliza dan Arabella. "Kalau Anda berkenan, biarkan kedua putri Anda bergabung. Yang dikatakannya memang benar. Kerajaan memprioritaskan Raja dan Ratu Jesse. Kalau ada mereka, istri Anda juga dapat dicari," lanjutnya.

Levi mendengkus kemudian berujar, "Menurutmu begitu?"

Zavier mengangguk. "Itu pendapat saya."

"Tapi—"

"Jika Anda ragu, saya bersedia untuk mendampingi mereka. Saya akan menjaga mereka sebagai knight. Saya menjamin itu, Panglima. Pencarian Raja dan Ratu Jesse harus disegerakan. Seluruh prajurit menunggu perintah Anda."

"Kau diperlukan dalam prajurit, Zavier," tolak Levi. "Kau adalah knight Yang Mulia Raja."

"Kalau begitu biar Sein yang—"

"Kami tidak butuh penjagaan dari siapa pun," potong Eliza cepat. "Kenapa Ayah harus meragukan kemampuanku? Apa aku harus membunuh dia di hadapan Ayah sekarang?"

Zavier terkejut saat Eliza meliriknya. Dia dapat merasakan aura Eliza yang begitu mengintimidasi. Bagaimana bisa Levi Gordon membesarkan anak perempuan seperti itu?

Ayah dua orang putri itu menghela napas pasrah. "Kalau Arabella terluka parah, aku tidak akan memaafkanmu."

Eliza tersenyum sinis seraya mengekori ayahnya dari belakang. "Itu tidak akan terjadi."

Baru saja Eliza dan Arabella hendak menaiki kuda masing-masing, suara seseorang yang begitu dihormati di kerajaan terdengar begitu nyaring.

"Siapa yang mengizinkan gadis Euphemia kotor itu memasuki wilayah istana?"

Sontak semua orang menoleh ke sumber suara, termasuk Eliza.

"Itu ... Yang Mulia Ratu Ophelia," lirih Arabella yang menatap Ratu Ophelia di balkon istana.

"I don’t have to take any shit from her! I just want to find my mom!" gerutu Eliza kesal.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro