EGO LELAKI

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

akun wp: veaaprilia

Judul :Ego Lelaki

Hadiah: Confes, Coleen hoover

                     
****

"Aku tidak akan lagi menuruti permintaan Papa," ucap Arman pada Papanya.

"Arman!" bentak laki-laki yang dipanggilnya Papa tersebut.

"Cukup Pa! Cukup Mas Firman yang menjadi korban ambisi Papa jangan Arman," balas Arman yang sudah tersulut emosi karena ambisi Papanya yang tidak pernah berubah. Selalu memaksakan kehendak pada kedua anak laki-lakinya.

"Papa hanya ingin kamu menjadi dokter bukan memasak di dapur," tegas Papanya geram.

Arman tertawa sumbang. "Bukankah sama Pa, Arman pegang pisau..., cuma bedanya pisau yang Arman pegang untuk mengiris cabai bukan membedah mayat."

"Arman!" Kali ini suara Papanya naik dua oktaf dari sebelumnya.

"Kenapa, Pa? Apa belum cukup Mas Firman yang menjadi korban ambisi, Papa? Haruskah Arman menjadi tumbal berikutnya?" Arman meringis setelah mengucapkan kalimatnya tersebut.

"Berani-beraninya kau!" Arman melihat amarah Papanya yang sudah mencapai puncak.

"Sampai kapan pun Arman akan tetap menolak bahkan jika Arman mati sekalipun," ucapnya sambil mengayunkan langkah meninggalkan ruang keluarga namun belum berapa langkah suara Papanya lagi-lagi menghentikan kakinya.

"Mau ke mana kau?" tanyanya dengan suara keras.

"Pergi, daripada mendengarkan permintaan Papa yang bisa membuat Arman menjadi gila," ucap Arman kembali melangkah.

"Sekali kau keluar dari rumah ini, kau bukan lagi menjadi bagian keluarga Wijaya."

Perkataan Papanya sontak membuat seluruh orang dalam ruangan tersebut kaget. Terlebih lagi Arman. Namun kemudian dia meringis, hal ini pasti akan terjadi cepat atau lambat walaupun Arman telah siap namun hatinya tetap saja sakit.

"Baiklah, kalau itu yang Papa mau."

Arman melangkahkan kakinya menuju kamar diikuti oleh sang Mama yang sejak tadi hanya bisa menangis melihat pertengkaran dua laki-laki yang dicintainya.

"Jangan pergi Man," cegah Mamanya ketika Arman telah kembali ke ruang keluarga dengan membawa tas yang berisi beberapa potong pakaiannya.

"Arman akan merindukan, Mama." Dipeluknya tubuh hangat sang Mama.

"Biarkan dia pergi." Kalimat itu mampu membuat pelukan ibu dan anak terlepas.

"Arman sayang, Mama." Diciumnya punggung tangan wanita yang telah melahirkan dan membesarkannya.

"Arman."

Arman tidak menoleh pada laki-laki yang telah mengusirnya bahkan ketika sang Mama memanggil namanya, kakinya tetap melangkah keluar meninggalkan rumah yang sudah dua puluh tahun ditempatinya.

****

"Hei bro, tumben lo ngajak gue ke sini."

Arman hanya tersenyum kecut menanggapi perkataan Vino, sahabatnya yang baru datang setelah dia menghubunginya.

"Ada masalah apa?" tanya Vino yang telah selesai memesan minuman pada bartender yang berada di hadapannya. Arman sekarang berada di sebuah Cafe langganan mereka.

"Gue mau nginap di apartemen lo sampai gue dapet tempat tinggal yang murah," jawabnya kemudian meneguk minumannya kembali.

"Lo diusir?" tanya Vino terkejut. Arman mengangguk.

"Lo nggak sedang becanda 'kan?" Vino menaikkan salah satu alisnya.

Arman mendengkus, "Emang gue kelihatan becanda?"

"Sorry... Sorry."

"Gue diusir bokap gara-gara nolak permintaannya buat sekolah kedokteran." Arman mulai bercerita.

"Serius lo nolak?" Vino menggeleng.

"Gue nggak bisa disamakan dengan Mas Firman yang rela melepaskan cita-citanya demi ambisi bokap." Arman meringis mengingat kakaknya yang begitu patuh pada Papanya.

"Sebenarnya apa sih alasan lo menolak mati-matian untuk jadi dokter? Bukannya satu tahun lalu lo pernah ikut tes masuk walaupun gagal?"  Vino tidak mengerti jalan pikiran sahabatnya.

Arman melirik sebentar ke arah Vino sebelum tersenyum miring.

"Jangan-jangan lo sengaja?" Selidik Vino menyipitkan matanya.

Arman tersenyum menanggapi pertanyaan Vino.

"Sialan lo." Vino terkejut kemudian terkekeh.

"Gue memang sengaja ngisi jawaban salah supaya nggak lulus tes." Vino menggeleng mendengar kenekatan Arman.

"Lo benar-benar nekat." Vino menyesap minuman yang telah tersaji.

Arman terkekeh. "Lo pikir kenapa gue masih bisa kerja di restoran."

"Tapi Man, bukannya lo dulu belajar mati-matian buat jadi dokter." Vino mengenal Arman sejak mereka masih duduk di bangku SMA, jadi dia tahu betul bagaimana Arman yang selalu membawa-bawa buku kedokteran ketika di sekolah.

"Gue emang dulu pengen memenuhi permintaan bokap buat jadi dokter, tapi setelah kejadian dua tahun yang lalu, gue udah berubah pikiran."

"Dua tahun yang lalu? Jangan bilang ini semua gara-gara Annisa." Vino tidak akan percaya kalau semua dugaannya benar.

"Lo emang berbakat jadi cenayang." Arman terkekeh.

"Sialan lo."

"Sejak Annisa meninggal, gue udah gak berminat lagi masuk kedokteran." Vino mulai serius mendengarkan cerita Arman. Memang mereka adalah sahabat tapi ada beberapa hal yang tidak perlu mereka ceritakan dan cukup menjadi sebuah rahasia. Seperti saat ini Vino baru tahu satu rahasia yang disimpan oleh Arman.

"Dan akhirnya lo mutusin untuk masak."
Vino tahu tentang keinginan Annisa untuk menjadi seorang cheef profesional. Annisa adalah kekasih Arman ketika mereka masih berada di SMA. Dia meninggal di kamar operasi karena penyakit leukimia.

Sebenarnya ada hal lain yang menyebabkan Arman menolak memenuhi permintaan Papanya. Kira-kira dua tahun yang lalu dia tanpa sengaja mendengar percakapan antara Mas Firman dan Papanya. Sebenarnya Arman tidak acuh namun dia tersentak ketika namanya disebut. Akhirnya dia tahu apa yang mereka bicarakan. Ternyata keinginan Papanya untuk dirinya menjadi dokter adalah karena kakeknya.

Dulu kakek menolak Papanya untuk melanjutkan sekolah kedokteran dan memaksanya untuk meneruskan bisnis keluarganya. Dan ternyata dia baru mengetahuinya sekarang. Semua alasannya hanya karena ego dan ambisi Papanya.

"Gimana gue boleh menginap di tempat lo?" tanya Arman setelah mereka terdiam untuk beberapa saat.

"Ayo, cabut!"

Arman tersenyum kemudian membawa tas yang berisi pakaiannya, berjalan mengikuti Vino. Kadang Arman iri dengan sahabatnya itu, karena orangtua Vino memberikan kepercayaan serta kebebasan penuh untuk memilih jalan hidup mereka sendiri. Seperti saat ini, orangtua Vino membebaskan untuk tinggal sendiri di apartemen.

****

Langit cerah dan cukup panas membuat sebagian warga Jakarta mengeluh karena cuaca yang bisa membakar tubuh. Arman keluar dari kampus kemudian bergegas menuju restoran yang sudah satu tahun ini mempekerjakannya sebagai cook helper. Dan karena pekerjaannya ini, beberapa hari yang lalu Papanya mengamuk dan mengusir Arman dari rumah.

Sepandai-pandainya dia menyimpan bangkai pasti akan tercium juga. Pepatah itu cocok untuk Arman. Ketika sore itu dia sedang memasak makanan, ada beberapa orang yang berpakaian rapi masuk ke dalam dapur dan salah satunya adalah Subandi Wijaya—papanya. Ternyata mereka adalah orang-orang yang ingin bekerjasama dengan restoran tempatnya bekerja. Namun yang disesalkan Arman adalah dari semua orang yang ingin bekerjasama dengan restorannya kenapa mesti Papanya.

Tentu saja Papanya tidak langsung marah-marah dan menyeret Arman pulang. Tapi tatapan Papanya yang tajam mampu membuat jantung Arman berdetak lebih cepat. Tamat sudah riwayatnya. Dan benar saja ketika dia baru melangkah masuk ke dalam rumah, Papanya telah menunggu dengan sorot mata penuh amarah. Lalu puncaknya Arman diusir dari rumah.

Arman baru menyelesaikan pekerjaannya sekitar pukul sepuluh malam. Dia kemudian bergegas untuk pulang ke apartemen Vino. Sisa-sisa air hujan sore tadi masih terlihat di sepanjang jalan. Taksi yang membawanya melaju mulus menerobos jalanan ibukota yang nampak lenggang malam ini. Tubuhnya lelah dan rasa kantuk sudah menghampiri ketika tiba-tiba taksi yang ditumpangi mendadak bannya meletus.

Hal itu menyebabkan taksi keluar jalur dan jalan yang licin membuat mobil susah untuk dikendalikan lalu naas ada sebuah truk besar bermuatan semen menghantam taksi tersebut, sesaat kemudian dia sudah tidak ingat apa-apa lagi.

***

Bau obat-obatan khas rumah sakit begitu menusuk hidung ketika memasuki ruangan dimana Arman dirawat saat ini. Kondisinya belum sadar setelah tiga hari yang lalu mengalami kecelakaan. Untunglah nyawa Arman masih dapat diselamatkan. Berbeda dengan sopir taksi yang meninggal di tempat kejadian karena mobilnya ringsek di bagian depan.

Tuhan rupanya masih sayang pada Arman. Namun demikian luka yang dialami Arman cukup serius. Dia harus menjalani operasi beberapa kali dan juga mengalami kritis. Tapi bersyukur dia telah melewati semua itu walaupun saat ini dirinya masih belum sadar. Namun dokter telah memastikan kalau Arman baik-baik saja setelah masa kritisnya berlalu.

Sudah tiga hari pula mamanya menunggu Arman sadar. Wanita itu dengan sabar selalu mendampingi anak laki-lakinya. Malam itu bagaikan disambar petir setelah mendapat telepon dari rumah sakit dan juga polisi yang mengabarkan tentang kecelakaan yang dialami Arman. Namun wanita itu mencoba tegar walaupun rasa takut kehilangan anak laki-lakinya begitu besar.

Arman menggerakkan jari-jarinya samar disusul kedua matanya yang pelan-pelan mulai terbuka. Mamanya yang sedari tadi berada di sampingnya terkesiap namun masih bisa mengendalikan diri segera memanggil dokter. Tak berapa lama dokter tiba dan memeriksa keadaan Arman. Dan saat ini ibunya bisa bernapas lega karena dokter mengatakan bahwa keadaan Arman jauh lebih baik.

Namun ada yang aneh ketika dokter memeriksanya. Arman merasa ada yang kurang pada anggota tubuhnya. Walaupun tidak bisa leluasa bergerak Arman merasa ada yang hilang.

"Maafkan Mama, Nak." Wanita itu terisak sambil memegangi salah satu tangan Arman setelah dokter keluar dari ruangan tersebut.

Arman masih terkejut dengan apa yang baru saja dikatakan oleh dokter.

"Maaf kami terpaksa mengamputasi tangan kanan Anda."

Satu kalimat yang mampu membuat dunia Arman hancur. Dia telah kehilangan tangan kanannya. Lalu setelah ini apa yang akan terjadi pada hidup dan juga mimpinya? Rasanya Tuhan tak adil padanya, tapi dia juga tidak berhak menyalahkan takdir yang diberikan Tuhan.

Arman sudah kehilangan harapannya. Dia menatap miris pada lengan kanannya yang hanya menyisakan bagian atas saja setelah diamputasi karena tulang bagian bawah remuk dan sudah tidak berbentuk lagi.

Laki-laki itu masuk ketika Arman sedang duduk termenung di atas ranjangnya. Dua hari yang lalu setelah dokter memberi tahu keadaannya, yang dilakukan Arman hanya termenung, entah meratapi nasib buruknya atau menyesali keadaan.

Arman melirik sesaat kemudian membuang wajahnya kembali. Rasanya saat ini dia tidak ingin bertemu dengan laki-laki yang satu bulan yang lalu telah mengusirnya. Papanya sadar dengan sikap Arman saat ini. Anak laki-lakinya masih belum ikhlas untuk menerima kenyataan yang menimpa dirinya.

"Bagaimana keadaanmu?" tanyanya setelah beberapa saat hanya diam.

Sebenarnya sudah sejak pertama kali Subandi mendapatkan kabar tentang anak laki-lakinya, dia tidak pernah absen untuk tidak datang ke rumah sakit namun hanya sebatas menunggunya di luar tidak berani untuk masuk. Bahkan dirinya pula yang menandatangani persetujuan untuk mengamputasi tangan Arman. Secara tidak langsung dirinya juga bersalah. Namun tidak ada yang bisa dilakukannya selain melakukan hal yang mungkin akan menyakiti hati anak laki-lakinya lagi. Dan dia tidak tahu bagaimana reaksi Arman ketika mengetahui hal tersebut.

"Tidak perlu berbasa-basi, Pak." Arman membalas ucapan Papanya sarkas bahkan dia tidak mau memanggil Papa.

"Arman." Suara Subandi tercekak, dia tidak menyangka anaknya akan semarah ini padanya. Dia sadar memang terlalu egois pada kedua putranya terutama Arman.

"Anda senang bukan melihat saya seperti ini, bahkan setelah tahu saya sudah tidak mempunyai tangan kanan lagi." Arman menatap lurus pada Subandi.

"Papa minta maaf, Arman." Subandi tahu putranya tidak akan begitu saja mau memaafkannya, namun dia sadar untuk tetap mengucapkan kalimat tersebut.

"Maaf?" Arman mengulangi kata yang diucapkan oleh Subandi seolah kata tersebut tidak ada artinya.

"Papa tahu kamu tidak akan pernah mau memaafkan papa, Arman." Subandi tertunduk.

Arman tertawa sumbang. "Sekarang kita impas, saya sudah tidak bisa lagi memegang pisau dapur atau pun pisau bedah, jadi tidak ada yang kalah atau menang di sini, anda puas sekarang."
Subandi tidak tahu harus berkata apa, dirinya benar-benar merasa bersalah juga menyesal.

"Tidak perlu berpura-pura untuk menyesal dan kasihan terhadap saya karena saya tidak butuh semua itu."

Lagi-lagi kalimat Arman membuat hati Subandi terasa sakit. Tapi bukankah dirinya yang juga mempunyai andil besar atas sikap Arman padanya saat ini.

"Maafkan Papa Arman," ucap Subandi lirih.

"Kalau Anda sudah tidak ada kepentingan lain silakan pergi, di sana pintu keluarnya."
Subandi terdiam sesaat mendengar kalimat pengusiran oleh Arman. Putranya benar-benar marah saat ini.

"Sekali lagi Papa minta maaf." Subandi keluar setelah mengucapkan kalimat tersebut meninggalkan Arman yang kali ini sudah terisak.

Tuhan aku hanya ingin sebuah kebebasan tapi ternyata harus ku bayar mahal dengan kehilangan salah satu anggota tubuhku saat ini.

Arman menangis.

Kebebasan yang diinginkannya telah hancur bersama tangan kanannya. Untuk apa jika kebebasan itu dia dapatkan namun tidak bisa mewujudkan mimpinya lagi. Bahkan dia menjadi manusia cacat sekarang. Ternyata benar tidak ada yang gratis di dunia ini bahkan untuk sebuah kebebasan.

Namun hidupnya masih terus berjalan bukan? Ah, bagaimana dia bisa menjalani kehidupannya setelah ini? Arman telah kehilangan harapannya dengan kebebasan yang ia miliki sekarang. Egonya telah memberikan kebebasan namun juga telah membelenggunya dalam penyesalan.

--END--

0nly_Reader Jagermaster bettaderogers fffttmh CantikaYukavers Tyaswuri JuliaRosyad9 brynamahestri SerAyue summerlove_12 NyayuSilviaArnaz Intanrsvln HeraUzuchii YuiKoyuri holladollam veaaprilia EnggarMawarni sicuteaabis Bae-nih MethaSaja RaihanaKSnowflake xxgyuu Nurr_Salma opicepaka AnjaniAjha destiianaa aizawa_yuki666 nurul_cahaya beingacid TiaraWales somenaa realAmeilyaM spoudyoo FairyGodmother3 iamtrhnf meoowii Icha_cutex Nona_Vannie NisaAtfiatmico irmaharyuni deanakhmad AndiAR22 c2_anin megaoktaviasd umaya_afs whiteghostwriter rachmahwahyu WindaZizty

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro