Hikmah cinta

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Author : JuliaRosyad9

Judul : Hikmah Cinta.

Gift yang di pilih :  Negeri Para Roh.

****

Asmara

Terlahir sebagai wanita memiliki saudara kembar tidaklah selalu menyenangkan. Terlebih ketika kasih sayang orang tua tak sama. Selalu ada yang lebih diutamakan. Seperti itulah yang dipikirkan Shafa. Mamanya tak pernah menyayanginya, seperti Papa dan Mamanya menyayangi Adiknya-Marwah.

Mungkin orang mengira dia bahagia. Hidup terlahir dari keluarga kaya raya dan kemewahan yang serba ada. Tapi tidak dengan Shafa, dia merasa hidup bukanlah miliknya. Melainkan Papanya. Papa yang selalu otoriter dalam mengatur kehidupannya.

Andai Shafa sudah bisa hidup sendiri, ingin dia pergi dan memilih hidupnya sendiri. Setidaknya Itulah yang terlintas agar ia bisa bebas memilih tujuan hidupnya sendiri.

Shafa yang baru berusia 18 tahun. Baru mengenal cinta di seusianya. Cinta yang tak pernah dia rasakan sebelumnya. Shafa jatuh cinta pada Akmal. Pemuda yang taat memegang agamanya. Seorang pemuda berasal dari keluarga bersahaja. Semenjak lulus dan meraih gelar sarjana pasca menyelesaikan study-nya, waktunya lebih banyak di habiskan membantu orang tuanya. Mengelola bengkel motor milik Ayah dan Bundanya yang terdapat di beberapa cabang di kota-kota terdekat. Kadang Akmal juga mengisi pengajian rutinan para ibu-ibu jama'ah majelis taklim sebagai mubaligh. Berbeda dengan Shafa yang berasal dari pengusaha minyak dan batu bara. Namun karena sejarah kenakalannya di masa sekolah, Shafa harus rela untuk tidak melanjutkan ke sekolahnya ke akademi kebidanan sebagaimana minatnya.

Sore ini Shafa merasa bahagia. Bisa menghadiri majlis taklim di masjid di dekat rumahnya. Dia begitu semangat saat menghadiri pengajian yang diadakan di kampungnya. Bukan tanpa sebab, tapi karena adanya Akmal sebagai mubaligh di majelis siang ini. Sudah hampir satu tahun Shafa mengenal Ustadz muda yang satu ini. Dan rupanya, itu membuat jentik-jentik asmara hadir di hati keduanya.

Walau bagaimana pun Akmal adalah manusia biasa, normal, dan bisa jatuh cinta. Dan Akmal mengakui bahwa Shafa adalah salah satu gadis yang ada dalam kriterianya.

"Afwan, Ukhti. Pulanglah bersama jama'ah yang lain. Tidak enak jika kita berjalan hanya berdua." Akmal mempersilahkan Shafa berjalan di depannya menyusul teman-teman sebayanya.

"Tapi... Aku ingin bicara Ustadz. Eeeh ... Bo-boleh saya minta nomer yang bisa di hubungi Ustadz?"tanya Shafa lirih. Wajahnya tertunduk, dan tangannya memainkan ujung jilbabnya. Berusaha meredam rasa gugupnya.

Akmal tersenyum, "Ada." Akmal meraih ponsel yang berada di saku celananya.

Shafa tersenyum. Binar mata itu bagai gemintang, berkelip bahagia. Tangannya bersiap mengetik nomor sang Ustadz ganteng di depannya.

Akmal menyebutkan nomor ponsel dan Shafa mengetiknya.

"Ah, sudah Ustadz. Apa boleh jika nanti saya menghubungi Ustadz?" tanya Shafa malu-malu.

Akmal mengangguk. "Tafadhol Ukhti.
Nanti ana yang akan menghubungi. Kirimkan saja nanti nomor Ukhti pada ana. Tidak enak jika kita bicarakan hal pribadi di jalanan," papar Akmal mencoba memberi pengertian pada gadis yang masih menundukan wajahnya.

"Benarkah?" Shafa mendongak menatapnya dengan mata yang berbinar.

"Insya Allah." Akmal mengangguk.

"Baiklah, Ustadz. Aku akan menunggu teleponmu." Shafa menekankan agar Akmal tidak lupa dan tahu bahwa ia menunggu teleponnya.

Akmal mengangguk. Shafa tersenyum mengatupkan telapak tangannya di depan dadanya, menundukan wajahnya, "Aku pulang Ustadz. Assalamu'aikum," pamitnya.

"Wa'alaikumussalam warohmatullahi wabarokaatuh," jawab Akmal lirih.

Dia tatap kepergian Shafa yang meninggalkannya. Masih nampak punggung gadis itu yang tertutup jilban yang menjuntai. Ada senyum terukir di wajah Akmal saat melihat kepergian gadis itu. Gadis berwajah putih, mata sipit seperti mata yang dimiliki orang korea. Bibirnya tipis merah alami. Bagi Akmal, Shafa adalah gadis yang baik. Dia gadis yang mau bergaul dengan siapa saja. Tanpa memandang rendah orang-orang, yang strata ekonominya jauh di bawahnya.

Setibanya di depan rumah. Shafa melihat beberapa mobil SUV silver terparkir di depan rumahnya. Siapa yang bertamu sore-sore begini? Gumam hatinya.

Shafa meniti langkahnya hingga masuk perlahan ke pintu rumahnya.

"Assalamu'alaikum ... " Shafa mengucap salam.

Shafa tersipu. Semua mata tertuju padanya. Tampak di sana ada Papa dan Mamanya. Juga ada seorang pria seusia Papanya dan juga seorang Ibu yang seusia Mamanya.

"Wa'alaikumussalam ..." Dijawab serempak oleh seisi penghuni ruang tamu.

"Ah, sini Shafa! Kenalkan, ini om Danu sama tante Mia, dari Cirebon." Papa memperkenalkan dua orang tamunya.

Shafa tersenyum ramah menghampiri tamu Papanya, "Hai Om, Tante ..." Dia mencium kedua punggung tangan tamu Papanya.

"Cantik sekali putrimu, Yas." Komentar Tante Mia memandang Shafa penuh kekaguman. Shafa hanya tersenyum.

"Kamu bisa saja, Mia. Pasti sama anakmu juga tampan. Iya kan, Ma?" Papanya memuji.

"Ah, kamu bisa aja. Nanti akan aku ajak dia ke sini, biar bisa kenal dengan Shafa juga," timpal Tante Mia.

Shafa tak mau terlibat lebih jauh. Dia harus segera menghindar. Lebih baik dia ke kamarnya. "Pah, Mah, Om, Tante, Shafa ke kamar dulu, ya," pamitnya.

"Oooh, iya, Sayang. Silahkan." Tante Mia mepersilahkan dengan ramah.

Shafa melangkah perlahan menapaki satu demi satu anak tangga menuju kamarnya. Shafa melepas jilbabnya dan dibiarkan saja tergeletak di tepian tempat tidur. Di hempaskan tubuhnya. Matanya menerawang jauh ke langit-langit. Angannya berkelana. Senyum itu terus saja menghiasi bibirnya. Hatinya berdebar kencang. "Akhirnya, aku bisa juga dekat dengan Ustadz gantengku," gumamnya bahagia.

Orang-orang di kampung sudah memanggilnya Ustadz Akmal. Shafa terkikik sendiri menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Cinta memang ajaib, cinta mampu membuat hati penikmatnya bahagia, bahkan cinta juga bisa membuat menangis dan tertawa. Semua karena cinta. Itulah yang kini dirasakan Shafa.

"Ehm ... !" sebuah suara mengagetkan Shafa dari lamunannya.

"Kamu?!!" Shafa seketika terduduk saat dia melihat adiknya tiba-tiba sudah berada di tepi tempat tidurnya.

"Kaya hantu aja, tau-tau udah di depan mata," gerutunya.

Marwah tertawa melihat wajah Shafa yang merona. "Ciyeeee ... , sepertinya ada yang sedang kasmaran, nih." Godanya.

"Ish ... Kamu, sok tau!" Shafa merona

"Kalau boleh tau ... , Siapa dia?" Marwah menaikan kedua alisnya.

"Apanya ... ?"Shafa berusaha mengelak.

"Udaaah, gak usah kura-kura dalam perahu. Bilang, siapa dia?"

"Gak ah, malu." Shafa tersipu

Marwah tersenyum. Shafa ingat dia harus memberikan nomornya pada Ustadz ganteng pujaannya. Agar dia bisa segera mendengar suara merdunya. Shafa meraih teleponnya. Lalu di kirimnya nomor kontaknya. Tak sampai sepuluh menit.

Kriiiiing ...

Kriiiiing ...

Shafa meraih ponselnya yang berada di samping bantalnya. Marwah tersenyum menatap Kakaknya. "panjang umur, diomongin eeeh si doi telepon." celetuk Marwah menggoda. Lalu beranjak pergi dari duduknya. Meninggalkannya sendiri di kamarnya. "Adik pengertian ...belum di minta pergi, udah pergi sendiri, " gumamnya. Di dekatkan ponsel itu ke telinganya.

"Assalamu'alaikum." Menjawab teleponnya cepat.

"Wa'alaikumussalam, afwan ukhti ... Ana baru bisa menghubungi." Suara itu seakan menjadi terasa merdu di telinganya.

"Ah ya, Akhi ... Tak apa." Ups! Sejak kapan dia panggil Akhi sama Ustadz? Shafa heran sendiri.

Keduanya lebih banyak diam, dibiarkan telepon menempel di telinga tanpa saling bicara. Canggung itu yang Shafa rasakan.

"Ukhti, katanya Ukhti mau berbicara sesuatu,"

"Ah i-iya Akhi, ta-tapi ... Apa Akhi tidak akan membenci saya jika saya terus terang?" Keringat dingin membasahi telapak tangannya. Diremasnya selimut yang terlipat di sampingnya.
Masa bodoh dengan rasa malunya. Keinginan hati tak lagi bisa di bendungnya. Biarlah andai dia harus mengatakan perasaannya lebih dulu. Shafa ingin Akmal tau Shafa mencintainya.

"Mengapa harus benci, silahkan mau tanya apa?Insya Allah ...jika bisa saya jawab, saya akan jawab." Akmal pun merasakan tubuhnya seakan hawa panas di sekujur tubuhnya. Gugup melandanya. Andai saja dia harus saling berhadapan dan bertatap saat bicara, mungkin dia tak akan bisa mengendalikan semua rasa gugup yang dia rasa. Akmal tak pernah merasakan hal aneh seperti ini. Walau usianya sudah menginjak dua puluh lima tahun. Tapi berdebar seperti ini barulah dia alami.

"Afwan Akhi, dosakah saya jika saya menyukai Akhi Akmal, saya tau saya mungkin dikatakan tak tau malu, saya hanya tak bisa saya memendam terlalu lama, saya tidak meminta Akhi membalas cinta saya, tapi saya berharap Akhi mengetahuinya. Bahwa saya ... Mencintai Akhi karena Allah," papar Shafa tulus.

Perasaannya bergemuruh, saat Akmal tak juga menjawab apa yang dia ucapkan barusan. Matanya terpejam. Takut jika Akmal akan membencinya. Rasanya akan menyesal seumur hidup, andai Akmal membencinya.

"Akhi ...??"

"Ah ya, Ukhti ..., terimakasih atas perasaan istimewa yang kini mengisi hatimu untuk ana. Ana tersanjung, jika memang demikian adanya. Perasaan Ukhti pada ana sungguh tidak salah, karena perasaan ana pada Ukhti pun demikian. Jika begitu ana akan bicarakan dengan orangtua ana, dan berniat untuk ta'aruf bahkan juga mengkhitbah," papar Akmal bahagia.

"Benarkah Akhi? Akhi pun mencintai saya? Saya akan bicara dengan Papa dengan maksud Akhi selanjutnya. Terima kasih Akhi." Shafa gembira.

"Yess! Yess!" hatinya melompat girang. Tapi dia sadar dia masih terhubung dengan Akmal.

"Maaf Akhi, kalau begitu saya tutup yaa teleponnya?"

"Ah ya, wassalamu'alaikum." pamit Akmal mengucap salam.

"Wa'alaikumussalam" jawab Shafa.

"Yuhuuuuuu ... Yes! Berhasil!!" Shafa berguling-guling di kasur.

Shafa bahagia, akhirnya cinta itu bersambut, walau dengan sebatas bertegur sapa seadanya, tanpa harus ada kencan atau apa lah, Shafa bahagia jika suatu saat hubungannya akan membawanya menjadi istri seorang ustadz juga seorang Qori terbaik seasia tenggara.

***

Hati yang terpenjara

Enam bulan jalinan asmara antara Shafa dan Akmal itu berjalan.  Keduanya hanya bisa bertemu sesaat setelah ada pengajian atau ketika sama-sama berada di majelis taklim yang sama. Sebenarnya bukan hanya para gadis yang menyukai Akmal. Tapi para ibu-ibu pun demikian. Hanya saja ibu-ibu kadang terang-terangan mengeluarkan apa yang jadi isi hatinya. Seperti sore ini. Sepulang dari majelis seorang Ibu yang berada di salah satu kelompok Ibu-ibu lainnya berceloteh, entah itu serius atau tidak, tetap saja Shafa tidak suka.

"Pak Ustadz, Pak Ustadz teh sudah punya pacar belum?" seorang Ibu bertanya dengan logat sundanya.

"Kenapa memangnya Ibu-ibu?" Akmal balik bertanya seraya tersenyum.

Shafa melihat apa yang ada di depannya. "Aduh udah deh Akhi jangan tersenyum terus, senyum mu itu menghipnotis jama'ahmu," gerutu Shafa dalam hati.

Akmal bisa melihat wajah Shafa yang tepat di belakang Ibu-ibu yang bergerombol mengerubunginya. Akmal melihat wajah itu tampak menyiratkan ketidak sukaan atas apa yang jadi pertanyaan Ibu-ibu kepadanya. Akmal tersenyum melihat wajah cemberut kekasihnya. Lalu dia tersadar saat Ibu-ibu yang lain ikut menimpalinya. Hingga pandangannya kembali pada Jamaah Ibu-ibu di depannya.

"Jadi mantu saya aja, ya. Saya punya anak gadis, saya pingin anak saya punya suami yang shalih seperti Pak Ustadz Akmal ini." timpal Ibu-ibu ganjen itu lagi. Akmal tersenyum, dia sendiri bingung mengapa harus sebegitu ngefansnya Ibu-ibu itu ingin menjadikan dia menantunya. Tapi tetap saja di hatinya sudah terisi satu nama.

Akmal mencoba melirik lagi ke arah Shafa. Dia memalingkan wajahnya dengan bibirnya yang cemberut. Akmal tersenyum. Mengalihkan pandangannya kembali pada Ibu-ibu di depannya."Saya sudah ada seseorang yang mengisi hati saya Ibu ..., dan saya baru saja ingin mengkhitbahnya. Doakan ya Bu ... Semoga dia jodoh saya," jawab Akmal ramah. Pandangannya terarah kembali pada Shafa yang tersipu malu, bibirnya mengucap 'Aamiin'. Dia juga tau,  jika Akmal secara tidak langsung ingin membasuh panas dihatinya dari kecemburuan. Akmal tersenyum menatapnya. Shafa tertunduk mengulum senyum di wajahnya, diam-diam tanpa ada yang tau.

"Waaah ... Terlambat rupanya kita semua Ibu-ibu," jawabnya dengan nada pura-pura kecewa, dan akhirnya semua kembali tertawa.

Akmal tersenyum dan saling bersitatap dengan Shafa yang kemudian lebih memilih tertunduk menghindari pandangannya.

***

Malam ini di kediaman Shafa kembali ramai. Ada Om Danu dan Tante Mia kembali berkunjung ke rumah. Tapi kali ini mereka membawa turut serta putra tunggalnya.

Makan malam sengaja diadakan mereka berdua, tapi Shafa tak pernah tau kesepakatan yang di buat antara Papanya dan Om Danu. Shafa tak merasakan firasat apa pun malam ini.
Semua berjalan normal. Di meja makan sudah tersedia berbagai macam hidangan. Untuk dinikmati malam ini.

"Ah ya, Shafa, kenalkan ini anak Om, Abimanyu ..."

"Hai, Abi, panggil saja Abi." Abimanyu berdiri mengulurkan tangannya.

Shafa tersenyum, merapatkan tangan di depan dadanya, "Maaf," ucap Shafa lirih." Shafa." sambungnya lagi memperkenalkan.

Abimanyu tampak sedikit tersinggung. Dia tersenyum getir saat Shafa tak mau membalas uluran tangannya. Dan menghempaskan bokongnya pada kursi makan. Bagaimanapun dia harus tetap bisa mengendalikan emosinya, agar bisa memikat hati orang yang akan menjadi calon istrinya. Tapi tidak begitu dengan Shafa. Dia justru melihat ada wajah yang tak dia sukai dari Abimanyu. Perawakannya pun sungguh jauh berbeda dengan Akmal. Abimanyu itu cenderung kerempeng, giginya rusak seperti pecandu obat-obatan terlarang. Ada tato yang tanpa sengaja dia lihat di dekat lehernya saat kerah kemejanya tersingkap sedikit.

Makan malam berjalan lancar. Shafa sudah mohon pamit untuk beranjak ke kamarnya. Begitu pula dengan Marwah. Shafa tak tau perbincangan kedua orangtuanya dengan Om Danu dan Tante Mia. Dia memilih tidak berdiam diri bersama mereka, Shafa merasa melihat Abimanyu itu sama saja merusak moodnya. Abimanyu yang menurutnya seperti sedikit sombong dan arogan sudah terbaca dari mimik wajahnya. Juga bahasa tubuhnya.

***

"Apa?!! Shafa gak mau Pa!" teriaknya histeris

Plaaakkk!!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Shafa tersungkur mendarat di tempat tidurnya. Panas dan perih terasa menjalar di wajahnya. Shafa menangis memegangi pipinya.

"Sejak kapan kamu diajarkan menentang orangtua?!" Papanya geram.

"Ampun Pa ..." ucapnya dalam tangisnya.

"Tapi aku sudah mencintai orang lain Pa ..., aku gak mau main  dijodoh-jodohkan semau Papa!"

Papanya sudah mengepalkan kembali tangannya, tangan itu sudah melayang kembali di udara dan hampir saya mendarat kembali di pipi kanannya, Shafa terpejam dan menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Melindungi dan menghindari dari tamparan berikutnya.

"Berhenti! Sudah, Pa! Jangan kau sakiti Shafa, Pa. Bagaimanapun dia adalah anak kita." Mama berhambur memeluk Shafa yang terbaring meringkuk di atas tempat tidurnya.

Bruuuughh!!!

Bantingan suara pintu berdentam hingga terdengar menggoyahkan dinding-dinding rumahnya. Papanya berlalu meninggalkannya bersama Mamanya.

"Sabar sayang ... , biar Mama obati."

Mamanya mengobati bekas tamparan keras dipipinya. Di kompresnya dengan es batu yang di bungkus sapu tangan.

"Sssttt... Sakit Ma," rintihnya.

"Di tahan sebentar, Sayang." Mamanya masih terus menempelkan bungkusan es batu di dalam sapu tangannya ke pipinya.

"Katakan sama Mama, siapa yang kamu cintai Shafa?"

Shafa menatap Mamanya, air matanya luruh membasahi kedua pipinya,"dia ... Ee ..."Shafa ragu untuk mengatakannya.

"Katakanlah, mungkin Mama dan Papa bisa mempertimbangkannya." Mamanya membujuknya.

Shafa menatap wajah Mamanya dengan saksama, Mamanya mengangguk meyakinkan.

"Dia ... Ustadz Akmal, Ma ... " Shafa tertunduk tak berani menatap.

Mamanya membulatkan kedua matanya. Menghembuskan nafas perlahan, "Sepertinya akan sulit Shafa. Papamu bukan seorang yang mudah di bujuk. Terlebih pilihanmu jatuh pada Akmal." Mamanya putus asa.

Shafa tak lagi bisa membendung air matanya. Hujan mata itu kian detas mengaliri kedua pipinya. Tangisnya semakin kencang. Hingga Mamanya tak bisa menenangkannya.

"Tinggalkan Shafa sendiri, Ma. Shafa ingin sendiri."pintanya dalam tangisnya.

"Tapi ... " Mamanya ragu

"Ma ... Aku mohon."

"Baiklah, panggil Mama jika kamu butuh apa-apa."

***

Shafa merasa perlu menghubungi Akmal, dia ingin menceritakan semua yang terjadi padanya saat ini. Dia ingin Akmal bisa meyakinkan Papanya. Dan tanpa menunggu lama, ponselnya sudah terhubung pada Akmal di seberang sana. Tanpa panjang lebar, Shafa menceritakan semua secara detail tanpa di kurangi sedikitpun.

Setelah mendengar semua yang terjadi, Akmal merasa seakan Allah tengah mengujinya.

"Dengar Ukhti ..., jika kita berjodoh yakinlah, apapun yang terjadi Allah pasti akan mempertemukan kita pada akhirnya. Tapi jika kita tak berjodoh, mungkin Allah akan tuliskan rencana terindah untuk kita di depan, hari ini juga, ana akan mencoba untuk bisa menemui kedua orang tuamu, doakan apapun yang terjadi akhirnya, di akhir ikhtiar kita berdua, maka itulah yang terbaik untuk kita," papar Akmal di balik teleponnya.

"Ya, Akhi ... Semoga Allah meridhoi. Wassalamu'alaikum"

"Aamiin. Wa'alaikumussalam." Akmal menutup teleponnya.

***

Setelah berbincang dengan Ayah dan Ibunya Akmal memantapkan hati untuk berkunjung menemui orangtua Shafa, apapun keputusannya nanti, Akmal ingin itu yang akan menjawab semua yang menjadi keputusannya. Setidaknya Akmal sudah berusaha. Dan itu akan membuat Shafa lebih kuat dan ikhlas menerima hasilnya nanti.

Bersama keluarga dan beberapa orang kerabat dekat, Akmal datang menemui Ayah dari gadis yang ingin dia jadikan pendamping hidupnya.
Dan kini berada di ruang tamu yang cukup luas, dengan penataan mewah nan modern menjadi pemandangan yang menyambutnya. Dari sana saja Akmal merasa betapa perbedaan begitu luas terbentang.

Shafa yang mondar-mandir tak menentu, mencemaskan segala yang akan terjadi. Dia tak di perbolehkan keluar kamarnya, bersama Marwah Shafa bisa sedikit merasa tenang.
Entah apa yang terjadi saat ini di bawah, di ruang tamu. Shafa sungguh dibuatnya gelisah.

***

Hikmah Cinta

"Apa?!! Apa anda sedang tidak bermimpi anak muda?!" gertak lelaki tua yang tak lain adalah Papa dari Shafa.

Akmal tampak tak gentar, dia masih menyimpan rasa hormat pada lelaki tua seusia Ayahnya. Walau bagaimanapun dia tetap orangtua yang harus tetap dihormati.

"Ya, saya serius, Pak. Jika diperkenankan saya ingin meminang putri Bapak, Shafa," jawab Akmal santai. Walau sebenarnya hatinya tak karuan.

"Dalam tradisi saya, perjodohan itu sudah menjadi keharusan, saya sudah menentukan siapa calon suami untuk anak saya. Dan asal kamu tau, Shafa akan menikah dua minggu ke depan. Jadi percuma jika kamu datang untuk melamar anak muda, saya akan tetap pada pendirian saya, menikahkan putri saya dengan orang yang sederajat dengan keluarga saya."

Akmal terpejam, wajahnya tertunduk. Hatinya perih merasa terhina. Hatinya tetap berucap dzikir. Dia tak ingin kemarahan memuncak atas semua penghinaan yang di lemparkan pada keluarganya.

Ada sedikit ketegangan dalam pertemuan antara Akmal dan orangtua Shafa. Tapi itu cukup bisa Akmal kendalikan. "Baiklah, Pak. Terima kasih atas kesediaan Bapak menerima Kami di rumah Bapak. Atas segala keputusan saya akan terima dengan Kapang dada, sampaikan kata maaf saya pada Shafa. Kalau begitu ... Saya mohon pamit." Akmal berdiri bersama beberapa keluarga yang lainnya.

"Baiklah, datanglah pada pernikahan Shafa dua minggu kedepan." Papanya tanpa menatapnya.

Baru saja Akmal hendak mengulurkan tangan untuk menjabatnya. Papanya sudah pergi meninggalkan semua tamunya.

Akmal kembali dengan hati yang remuk redam. Dia tau tak boleh  dia mencintai sesuatu itu berlebihan, karena akan sakit di saat kita kehilangan. Cukup Allah sebagai tempat mencurahkan segala kegundahan. Dan Akmal juga yakin, saat Allah mengambil sesuatu yang dia cintai, maka Allah telah merangkai suatu rencana indah untuk mengganti semua yang telah pergi.

Shafa histeris, berhari-hari hanya ada kabut di wajahnya. Tapi apa dikata. Takdir tak berpihak kepadanya. Dia hidup tapi bukan dia yang memiliki hidupnya, melainkan Papanya. Papanya yang hubuddunya. Hingga dia di butakan oleh harta dan kekayaan dunia. Padahal semua kemewahan bukan jaminan kebahagiaan dan kemuliaan.

Akmal beberapa hari terserang sakit. Walau dia merasa dia tegar, tapi tetap saja Ustadz juga manusia. Akan tetap patah hati ketika di tinggal kekasih.

Hatinya sama seperti layaknya manusia lainnya. Tapi berangsurnya waktu dia merasa bahwa seharusnya dia bersyukur. Dan menyadari semua sudah tertuliskan di dalam takdirnya.

"La Tahzan ... La takhaof, innallah ma ana." bisiknya lirih memberi suport pada dirinya sendiri.

Pernikahan pun terlaksana, walau tampak meriah, tapi raut kesedihan di pernikahan Shafa dan Abimanyu tak sedikitpun tampak wajah bahagia layaknya pasangan pengantin pada umumnya.

Akmal sebisa mungkin datang mengucapkan selamat dan berdoa untuk kebahagiaan mereka. Walau rasa sakit itu masih ada, tapi ketegaran dan kesabarannya jauh lebih besar dari apapun.

Shafa sempat menitikan air mata saat Akmal datang mendoakannya. Banyak kenangan manis terukir bersama Akmal. Walau hanya sebatas cara bertatap pertemuan yang hanya sesaat. Yang mereka rangkai diantara dzikir dan tholabul'ilmi, tapi Shafa merasa itulah kisah cinta terindah  mereka yang berbalut iman.

***

Satu tahun kemudian

Shafa merasa Papa tidak adil, di saat Shafa gagal membina rumah tangganya. Justru kini Papanya meminta Akmal menjadi suami dari Marwah-Adiknya.

"Aku gak habis pikir, kenapa dulu Papa tega memisahkan aku dengan Kak Akmal. Papa menghinanya dan membanding-bandingkan dia dengan Abi. Lalu apa? Apa yang terjadi pada Abi, orang yang Papa banggakan kekayaannya? Ternyata dia hanya seorang pecandu narkoba, yang akhirnya harus meregang nyawa dan membuat aku jadi janda! Dan sekarang Papa datang meminta Kak Akmal menjadi suami Marwah? Itu sama saja Papa menjilat ludah Papa sendiri! Dan menyakitiku Pa!" teriak Shafa tak terima.

"Papa sadar Shafa, bahwa harta dan kekayaan bukan jaminan seseorang untuk bahagia, dan Papa menyesal, dan sekarang Papa ingin Akmal bisa menjadi suami Marwah," ujar Papanya memberi alasan.

"Lakukan! Lakukan apa yang Papa mau!" Shafa meninggalkan Papanya terpekur sendiri.

Mamanya sudah tak lagi berpihak kepadanya. Dia menyesal tak bisa memberontak atas keegoisan suaminya dulu saat Shafa dipinang Akmal.

Akmal terkejut saat melihat Pak Baskoro, Papa Shafa berada di ruang tamunya. Sudah ada Ayah dan Ibunya duduk menemaninya. Akmal bingung dengan kedatangan lelaki tua yang dulu pernah menghinanya. Akmal duduk berhadapan.
Dan akhirnya Pak Baskoro mengutarakan niatannya untuk meminta Akmal menjadi suami dari putri bungsunya, saudara kembar Shafa. Akmal terkejut. Apa yang telah membuatnya berubah? Apakah dia tak ingat bagaimana dia menolaknya dulu saat meminang Shafa?

Akmal menarik nafasnya dalam. Jemarinya menggaruk pelipisnya. Lalu menatap wajah tua itu. Masih dengan rasa hormat.

"Maafkan saya sebelumnya Pak, bukan maksud saya menghina, saya sangat menghormati Bapak yang rela untuk singgah di kediaman kami. Dengan rasa hormat saya, mohon maaf, jika saya menolak permintaan Bapak." Akmal tersenyum tenang.

"Kenapa Nak Akmal? Apa kamu masih sakit hati karena perlakuan saya dulu?" cecarnya.

"Ooh tidak, tidak demikian, tapi saya sudah memiliki pendamping hidup, saya sudah menikah satu bulan lalu di Bandung. Kebetulan setelah pernikahan Shafa, saya mencari keberuntungan di sana, dan ternyata alhamdulillah saya bekerja sebagai dosen. Sayang, jika ilmu saya selama kuliah dan mondok tidak  bisa saya  manfaatkan dan di kembangkan. Dan disanalah, saya bisa dipertemukan Allah dengan jodoh saya." Kenangnya seraya tersenyum.

"Rupanya begitu, baiklah kalau begitu Nak Akmal, sebelumnya saya mohon maaf atas segala kesalahan saya di masa lalu. Saya baru sadar bahwa segala sesuatu yang baik untuk kita bukanlah dunia semata. Andai sesuatu itu tak bisa membuat kita menjadi lebih mendekatkan kita pada Allah. Dan semoga semua tidak terlambat untuk saya memperbaiki diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik, lebih bijak dalam segala keputusan dan memandang hidup," papar Baskoro dengan raut penuh penyesalan.

"Tidak ada yang terlambat, Pak. Semua segala sesuatu yang terjadi, nafas hidup, cinta dan segalanya, semua tergerak atas izin-Nya, Allah sangat menyukai orang-orang yang senantiasa memperbaiki diri. Innallaha ghofurur-rohiim. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha pengasih. Jadi kita tidak boleh berputus asa atas rahmat Allah,"papar Akmal tenang dan tetap berwibawa.

Pak Baskoro tersenyum, kagum dia melihat sosok pemuda tampan lagi shalih di depannya, hanya satu kecewa yang harus dia bawa sore ini. Semua akibat kebutaannya pada dunia. Dunia yang telah membutakan mata hatinya, hingga dia harus mengorbankan masa depan putrinya.
Nasi sudah menjadi bubur, segala penyesalan memang selalu datang terlambat.

"Ya sudah, kalau begitu saya pamit. Pak Idris, Bu Idris maafkan saya." Pak Baskoro berdiri menyalami kedua orangtua Akmal.

"Sama-sama Pak, maafkan kami juga," ucap Pak Idris tersenyum menjabat tangan Pak Baskoro.

Bu Idris tersenyum menganggukan kepalanya seraya kedua tangannya di depan dada. "Terimakasih sudah kemari, mohon maaf, jika jamuan kami hanya alakadarnya, Pak,"ucap Bu ibunda Akmal.

"Ya sudah, saya pamit Bu, Pak, Nak Akmal. Wassalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam," jawab Akmal serempak bersama Ayah dan Ibunya.

Akmal tersenyum jika mengingat semua peristiwa sejarah yang telah dia toreh di hidupnya. Semua peristiwa akan bisa mendatangkan hikmah, dan akan menyentuh hati yang lembut untuk bisa mengerti hikmah yang tertinggal dari setiap peristiwa yang terpenggal.

--END--

rachmahwahyu WindaZizty Vielnade28 spoudyoo bettaderogers 0nly_Reader meoowii Nona_Vannie Icha_cutex deanakhmad irmaharyuni AndiAR22 umaya_afs megaoktaviasd NisaAtfiatmico c2_anin Riaa_Raiye whiteghostwriter glbyvyn

umenosekai TriyaRin beingacid TiaraWales nurul_cahaya opicepaka realAmeilyaM iamtrhnf RaihanaKSnowflake FairyGodmother3 destiianaa somenaa aizawa_yuki666 summerlove_12

Jagermaster fffttmh CantikaYukavers Tyaswuri JuliaRosyad9 brynamahestri JuliaRosyad9 SerAyue NyayuSilviaArnaz Intanrsvln HeraUzuchii YuiKoyuri EnggarMawarni holladollam veaaprilia sicuteaabis Bae-nih MethaSaja xxgyuu Nurr_Salma AnjaniAjha

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro