IBU

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Author : c2_anin

Judul : IBU.

Gift yang dipilih : Negeri para Roh.

***

Kalian tahu arti kata dari ibu? Wanita yang melahirkan, membesarkan, merawat, mengasihi, menyayangi setulus hati, rela berkorban untuk kebahagiaan, dan juga apa pun akan ia lakukan hanya untuk dirimu. Seperti itu, kan, arti seorang ibu?

Ah, kalian beruntung sekali mempunyai ibu dengan deskripsi seperti itu. Sungguh! Bahkan aku sangat iri dengan kalian. Bayangan ibu seperti itu hanyalah kembang tidur setiap malam yang ku lalui. Aku mengiris pedih jika berkaitan dengan ibu. Bersyukurlah kalian memiliki ibu yang menyayangi sepenuh hati.

Aku bukan tidak memiliki ibu, walau sosok wanita yang aku panggil dengan sebutan Ibu sudah tiada. Ia tetaplah Ibuku. Bagaimanapun perlakuan Ibu terhadapku, aku harus memaafkannya.

Iya, harus. Itu lebih baik bagi hidupku sekarang. Toh, percuma aku menyimpan dendam dan amarah, hanya akan menambah pedih dan luka hati ini.

Ah, kalian penasaran dengan kisahku? Mengapa aku sangat iri dengan sosok Ibu yang kalian miliki? Dan mengapa aku memilih memaafkan?

Baiklah, inilah kisahku. Kisah seorang anak bernama Jeannita Kuncoro.

*****

"Di mana sepatuku, sih?" Aku celingukan ke sana kemari. Melirik jam dinding di ruang tamu, sudah hampir pukul tujuh pagi. Aku bisa terlambat, jadwal ujianku pagi ini Matematika. Semoga masih sempat aku tiba di sekolah.

Rasanya aku ingin bertanya pada Ibu, tapi aku tidak punya nyali. Sama saja aku membangunkan macan tidur. Ibu bisa mengamuk jika diganggu jam tidurnya. Ah, aku baru ingat. Semalam Ibu mengetuk pintu tepat pukul empat dini hari, entah apa yang Ibu lakukan aku enggan bertanya. Dari pada gagang sapu melayang ke kakiku, lebih baik aku bungkam.

"Mau kemana kamu?"

Ya, Tuhan ... aku berlonjak saking kagetnya. Tunggu, Ibu sudah bangun? Tumben, tak seperti kebiasaannya yang bangun menjelang sore.

"Sekolah, Bu."

"Hari ini enggak usah ke sekolah."

"Tapi, Bu ... hari ini Jean uji--"

"Ibu bilang apa, Jean? Enggak usah sekolah, kamu harus ikut Ibu. Paham kata-kata Ibu, Jean?"

Aku mengatupkan mulut, tidak lagi membantah ucapan Ibu. Wajahnya mendekat ke arahku. Ugh! Bau alkohol langsung menusuk hidung. Aku memang sudah terbiasa mencium alkohol sedari kecil, tapi pagi ini bau alkoholnya terlalu kuat. Ibu mabuk minuman jenis apa lagi, entahlah. Ibu memang penggemar minuman beralkohol itu. Bahkan aku tahu beberapa merk minuman itu, Jack Daniels, Tequilla, Chivas Regal, dan apa lagi? Beer? Ah, entahlah. Itu masuk ke dalam kategori minuman keras atau bukan, aku tidak peduli.

"Bu, hari in--" Aku memberanikan diri menjelaskan sesuatu, bahwa pagi ini aku ujian. Setidaknya aku harus mencoba, kan? Belum habis kata-kataku terucap, suara pecahan kaca bergaung di ruang tamu. Aku tersentak kaget.

PRANG!

Ah, aku lupa satu hal, ada satu botol Jack Daniels digenggamannya. Aku menahan napas, bergidik ngeri ketika ujung pecahan kaca itu tepat mengarah kepadaku. Sedangkan sisa pecahannya berhambur ke mana-mana. Dalam hati aku hanya mampu berdoa, semoga Ibu masih memiliki sisa kesadaran dari mabuknya.

"Mulai bantah Ibu, Jeannita Kuncoro?"

Aku menggeleng keras dengan gegas. Mana berani aku mengabaikan sabdanya. Aku sungguh berharap Ibu segera ke kamar melanjutkan tidurnya. Bergetar tubuh ini menatap potongan kaca yang masih setia di depan wajah.

"Bagus."

Ibu berlalu, meninggalkanku yang langsung merosot di lantai. Di antara kepingan beling yang terserak, aku menangis. Sekali lagi aku tergugu larut dalam kesedihan.

Memang, kali ini Ibu tidak melukai tubuhku. Tapi melukai hati ini semakin dalam. Aku hanya berharap bisa mengikuti ujian dengan baik, karena aku sangat menanti hari ini. Hari yang akan menentukan kelulusanku selama tiga tahun bersekolah. Bagiku ujian sangatlah berharga, harapanku melambung tinggi akan hari kelulusanku nanti. Entah nantinya aku akan lulus atau tidak, setidaknya aku sudah berjuang mengikuti ujian. Tapi semua dipatahkan begitu saja. Berjuang saja belum, apa pantas aku mengharap lulus? Atau aku mengikuti ujian susulan saja, ya?

Air mata ini masih menetes ketika aku membersihkan sisa pecahan kaca itu. Hati-hati agar tidak mengenai jemariku. Hatiku masih gundah mengenai ujian itu. Pikiranku terbagi dengan bagaimana suasana ujian hari ini. Aku mengembus napas kecewa.

"Ganti baju!"

Aku mendongak, mata ibu sudah nyalang di sana. Aku mengkerut tiba-tiba. Auranya mengintimidasiku dengan segera. Segala pikiran akan ujian sekolah pergi melayang entah kemana, berganti  dengan seribu tanya, kali ini aku salah apa?

Dengan sigap aku menangkap sebuah paper bag yang dilempar Ibu seketika itu. Sebuah dress berwarna biru terang terlihat jelas dalam pelukan tanganku. Aku mengerutkan kening semakin penuh heran. Perasaanku dibawa antara  bingung dan juga senang.

"Cepat, Jean!" Ibu menghardikku, lagi.

Lamunanku buyar. Aku mengangguk patuh, dengan sedikit takut aku pergi menjauh. Membiarkan sisa-sisa pecahan itu terkumpul di sudut, lebih cepat melaksanakan titah Ibu, lebih baik. Jika tidak, entah benda apa lagi yang Ibu pergunakan untuk kembali menggertakku.

Buru-buru aku mengganti seragam sekolah dengan dress itu. Aku mematung di depan cermin yang ada di sudut kamar. Aku terlihat berbeda kali ini. Begitu pas potongan baju ini melekat di tubuhku. Aku menyunggingkan garis di sudut bibir. Setidaknya, mungkin hari ini Ibu mengajakku ke suatu tempat. Karena bagiku, menerima hadiah dari Ibu bagai mimpi yang menjadi kenyataan. Aku senang Ibu memberikan dress ini. Aku menyukainya. Sangat suka.

Jika mengingat perlakuan Ibu kepadaku, aku hanya mampu meringis perih. Bukan hanya cacian, makian, bahkan hardikan yang aku terima. Aku bisa mengatakan kejadian tadi masih belum seberapa, walau sebenarnya itu pun sangat menakutkan untukku. Aku sering menerima pukulan dari gagang sapu, mistar besi, gesper, cambuk bahkan rotan. Sekujur tubuhku membiru dan legam di mana-mana jika Ibu sudah mengamuk.

Terlebih aku tidak tahu apa salahku mengapa Ibu sampai harus menghajarku seperti itu. Seperti orang kesetanan jika sudah melayangkan pukulan ke padaku. Hanya sedikit kesalahan kecil saja mampu membuat Ibu memuntahkan segara lahar amarahnya.

Tangis, lolongan ampun, permohonan maaf, bahkan jeritan sakitku semua diabaikan Ibu. Mungkin baginya menyiksaku seperti ini merupakan kepuasan tersendiri. Setelah senyum bertengger di sudut bibirnya, barulah Ibu berhenti dengan kegiatan itu. Setelah itu, Ibu meninggalkanku begitu saja. Seolah tidak terjadi apa pun sebelumnya.

Meninggalkan tubuh rapuhku dengan luka lebam dan juga goresan di beberapa bagian. Mengacuhkan tangisanku yang aku rasa tidak mampu menyentuh hatinya. Jika memang Ibu tersentuh dengan suara tangisku, pastilah segera ia hentikan kegiatan itu. Tapi sekali lagi aku tegaskan, Ibu tidak terpengaruh.

Hatiku terus saja bertanya, apa salahku. Pikirku selalu berputar, mencari segala salah yang aku lakukan sebelum Ibu marah. Biarpun jiwaku seraya ditikam belati tajam, namun aku tetap mencoba menerima segala sikap Ibu ini. Aku menganggap, ini hukuman atas lalaiku mengacuhkan titah Ibu.

Setelahnya, Ibu pergi entah kemana berhari-hari. Bahkan aku harus menahan lapar karena Ibu tak jua kembali. Aku hanya mampu menggigit jari menunggu Ibu yang tidak dapat aku tebak kapan pulang. Dua hari kah, empat hari kah atau seminggu. Aku bersabar saja jika sudah seperti itu.

Aku ingat, guru agamaku di sekolah bilang, orang sabar di sayang Tuhan. Aku masih yakin Tuhan menyayangiku walau jalan hidup yang aku lalui seperti ini.

Kasih ibu kepada beta.

Tak terhingga sepanjang masa.

Hanya memberi, tak harap kembali.

Bagai sang Surya menyinari dunia.

Ah, jika lagu itu berkumandang di gendang telingaku, rasa hatiku bagai mengiris sembilu.

Masih segar dalam ingatanku, saat aku berusia tujuh tahun. Temanku yang lain asyik bermain boneka dan juga permainan kitchen set beragam jenis. Aku iri. Aku hanya mampu memandang dari kejauhan. Bukan aku tidak diajak bermain, namun aku tidak punya boneka sendiri. Sedangkan teman-teman yang lain membawa boneka masing-masing untuk dimainkan.

Aku menggigit bibir bawahku menahan gelojak cemburu. Akhirnya aku beranikan diri meminta pada Ibu, tapi apa yang ku dapat? Piring di dapur beterbangan ke arahku. Bahkan pecahan itu ada yang menggores pipi serta telapak kakiku kala itu. Kata Ibu, aku tidak membutuhkan mainan seperti itu. Lebih baik membersihkan rumah atau mencuci. Bermain hanya menghabiskan waktu tanpa guna.

"Jean!"

Pikiranku buyar seketika, aku kaget luar biasa.

"Iya, Bu." Terburu-buru aku melangkah ke pintu, membukakan untuk Ibu. Berharap kali ini tidak ada kemarahan dalam suaranya.

"Pakai ini."

Ibu menyorongkan sepasang sepatu berhak runcing berwarna merah ke arahku. Aku melongo, mataku bergantian menatap Ibu dan juga sepatu. Ini bagus banget! Batinku girang.

"Juga ini."

Ini Ibu tidak dalam keadaan mabuk, kan? Ibu menyerahkan sebuah paper bag yang berisi kalung berbandul batu-batuan imitasi, senada dengan sepatu itu. Bolehkah aku tersenyum riang hari ini? Ibu sungguh baik sekali.

***

"Bu, kita mau ke mana?" Aku memberanikan diri, setelah hampir dua puluh menit berada di taksi yang entah ke mana tujuannya. Ibu duduk tepat di sampingku, matanya lurus ke depan. Sebenarnya aku takut bertanya pada Ibu, karena Ibu tidak menyukai gangguan dengan banyak pertanyaan. Tapi aku penasaran, ini baru jam sepuluh siang. Sepanjang aku tahu, Ibu jarang keluar rumah sebelum jam makan siang. Ibu selalu pergi setelah aku pulang sekolah.

"Diamlah!"

Hanya itu yang keluar dari bibir tipis Ibu. Kalian tahu, Ibu sebenarnya cantik. Wajah putihnya selalu pas bersanding dengan pulasan lipstik warna merah menyala. Apalagi sekarang paduan blouse motif blue flower dengan bawahan rok hitam selutut, menambah kesan elegan dalam tampilan Ibu siang ini. Wangi Victoria Secret--parfum kegemaran Ibu--menguar di dalam taksi. Aku suka aroma ini, nanti jika sudah bekerja aku akan membelinya juga. Mana berani aku meminta pada Ibu.

Lalu, keheningan kembali tercipta. Membuat tanya dalam hatiku berkuasa. Jika aku kembali melontar kata, aku tahu apa yang akan ku dapat. Jadi lebih baik aku menjadi penikmat perjalanan asing yang entah akan tiba di suatu tempat yang mana juga akan asing bagiku.

Taksi berhenti di sebuah lobby gedung yang menjulang tinggi. Aku belum pernah ke kawasan ini. Ah, iya. Aku sadar, mana pernah aku pergi sampai sejauh ini. Aku keluar rumah hanya untuk sekolah dan membeli kebutuhan dapur. Lebih dari itu tidak pernah, sama sekali. Jika Ibu tahu aku pernah bepergian tanpa ijin darinya, aku tidak mampu membayangkan apa yang akan Ibu lakukan terhadapku.

Ibu turun dari taksi dan aku hanya bisa mengikuti langkah kakinya. Berjalan bersisian dengan Ibu sungguh tidak ku bayangkan sebelumnya. Tepat di pintu lift, bayanganku dan Ibu terlihat jelas. Kami nampak seperti Ibu dan anak yang bahagia.

Bagaimana tidak, Ibu menyuruhku mengenakan dress sebatas lutut walau tanpa lengan. Rambutku yang panjang di gerai dan hanya mengenakan jepit kecil di bagian poni. Warna dress itu pun senada dengan blouse Ibu. Aku tersenyum kecil menatap pantulan diri dan Ibu.

Ah, memori otak ini aku kais segera. Mencari kepingan masa indah antara aku dan Ibu. Berharap ada sedikit yang bisa aku kenang seperti hari ini. Tapi aku tidak berhasil menemukan kenangan itu. Semua tentang Ibu dalam benakku, hanyalah irisan keping pedih, juga kesakitan dan ketakutan.

Jadi, bolehkah hari ini menjadi kenangan indah untuk pertama kali antara aku dan Ibu? Akan ku letakkan dalam potongan tersendiri sebagai kenangan terindah yang tak mungkin aku lupa. Aku harusnya bersyukur, kan? Terima kasih, Tuhan. Terima kasih.

"Jean, dengar Ibu. Mulai hari ini kamu bekerja di sini."

Tunggu, apa Ibu bilang? Aku tidak salah mendengar, kan? Bekerja? Aku kan masih sekolah. Nanti jika ada yang bertanya tentang ijazah terakhir, bagaimana? Yang aku tahu, saat melamar pekerjaan itu membawa fotocopy ijazah juga. Aku diberitahu kakaknya temanku seperti itu. Tapi hari ini aku tidak membawa berkas apapun. Atau Ibu yang membawa?

Pintu lift terbuka.

"Kamu harus sopan dan ramah. Turuti apa perintah dari orang itu. Mengerti, Jean?"

Aku menoleh, Ibu menghadirkan sebuah senyuman terindah yang pernah ada. Deretan gigi putihnya hadir di senyuman itu. Aku bahkan sampai mengerjapkan mata berulang kali. Tuhan benar-benar melukiskan keindahan dalam memoriku kali ini.

Aku sungguh tidak mempercayai hal ini. Ibu tersenyum padaku. Lihat, Ibu tersenyum padaku. Sungguh, aku tidak bohong! Aku benar-benar bahagia hari ini. Sepanjang hidup tujuh belas tahunku, Ibu tidak pernah menyinggung senyuman padaku. Ibu hanya memberikan senyum itu kepada teman-temannya yang datang berkunjung.

Jika ini ganjaran yang aku dapat atas perlakuan Ibu, aku rela. Tak mengapa Ibu memukulku, mungkin memang aku salah, lambat mengerjakan pintanya. Aku bersedia menerima segala yang Ibu lakukan, sungguh! Asalkan Ibu selalu tersenyum padaku seperti ini.

Bahkan saat ini, Ibu menggenggam tanganku erat-erat. Aku takjub dengan apa yang terjadi hari ini. Tangan ini sungguh lembut ku rasakan. Sangat berbeda saat tangan ini dengan entengnya menghajarku. Tuhan, doaku hanya satu. Aku mohon kenyataan ini janganlah cepat berakhir. Biarlah genggaman tangan ini aku jaga. Aku sungguh rindu kelembutan dan kasih seorang Ibu. Kabulkanlah Tuhan, amin.

Kami berhenti di lantai sebelas. Aku memperhatikan Ibu menekan angka yang tertera di sudut kotak besi itu. Ibu melangkah mantap, masih terus menggenggam tanganku. Aku mengekor senang penuh girang.

Langkah kami berhenti tepat di ujung koridor. Persis di pintu berwarna broken white, Ibu mengetuk segera. Aku enyahkan segala pikiran aneh yang menggerogoti, karena bagiku masih ingin aku nikmati perasaan bahagia ini.

"Loh, sudah datang? Saya pikir nanti sorean."

Seorang pria sedikit tambun keluar dari balik pintu yang sudah diketuk Ibu.

"Iya, sore ada janji. Jadi sekarang aja, Jhon. Mumpung Jean juga enggak ada kegiatan. Iya, kan, Jean?" Ibu menoleh kepadaku, masih dengan senyum di sudut bibirnya. Aku mengangguk patuh mengiyakan ucapan Ibu.

"Ini?"

"Ah, ini Jeanita. Jean, kenalkan Om Jhon ini yang nanti jadi bos kamu."

"Memang aku sudah bisa bekerja? Kan, aku belum lulus." Walaupun pikiran senang merajaiku, aku harus tetap berpikir kritis, kan? Aku belum lulus dan itulah kenyataannya. Memang ada tempat kerja yang mau menerima karyawan yang bahkan ijazah saja belum di tangan?

"Enggak perlu sudah lulus pun bisa, Jean."

Aku menepis kasar tangan gemuk yang menyentuh pipiku. Mataku segera mendelik marah menatapnya. Seenaknya saja dia berlaku seperti itu. Sungguh, aku kesal! Aku malah mendengar pria itu tertawa keras. Semakin membuatku jengkel dengan pria ini. Berani sekali dia, ibu!

"Jean, ingat kata Ibu tadi? Sopan dan ramah. Jangan buat Ibu malu. Mengerti, Jean?"

Aku meringis kesakitan. Merasakan tangan yang sedari tadi ku jaga dalam genggaman ini terlepas begitu saja. Berganti dengan rasa sakit di sekitar pinggang akibat cubitan kecil dari Ibu. Aku bahkan sampai menggigit bibir bawah untuk menahan sakitnya. Aku salah apa, Ibu?

"Iya, Bu."

"Good girl."

Hening sesaat.

"Nah, Jhon. Selamat bersenang-senang dengan Jean, ya. Ingat, she's a virgin. Pelan-pelan, jangan kasar."

Aku membelalakkan mata bulat-bulat saat apa yang Ibu ucapkan, tercerna di otakku. Maksud ini semua apa? Ibu tidak serius, kan? Aku menoleh ke arah Ibu. Mencari penjelasan atas apa yang barusan ia katakan. Hatiku langsung bergelung dalam selimut takut yang teramat. Rasanya aku seperti diterjunkan dari ketinggian tanpa pengaman apa pun.

Belum sempat mendapatkan apa yang ku butuh, tiba-tiba tangan gemuk itu mencengkeram erat lenganku. Menarik dengan sekali sentak dan aku masih dapat melihat serangai tipis di sudut bibirnya.

"Ibu, ini maksudnya apa?" Aku panik seketika. Ibu hanya mengulum senyuman tipis dan menghilang begitu saja karena pintu segera di tutup.

******

Aku menengadah langit. Kumpulan awan hitam terus menghias di sana. Rintik hujan sudah turun membasahi tubuhku. Tapi aku abaikan. Pikiranku masih terpusat pada gundukan tanah yang masih bertabur bunga berikut dengan ukiran nama yang tertera di nisan itu.

AMALIA RENATA binti ATMADJA SYAHN.

Aku masih tidak mempercayai apa yang terjadi, semuanya terjadi begitu cepat. Duniaku berpijak berotasi dengan tergesa-gesa. Rentetan keping kenangan kembali berputar di kepalaku. Mengantarkan berjuta kesakitan yang kini menyatu dalam darah. Mengeluarkan aroma kenistaan dari tubuhku, namun apa yang terjadi ini tidaklah membuat sesal keluar dari bibir.

Aku meyakini Tuhan, seyakin aku melangkah di atas takdirku. Tuhan mengharuskanku menjalani ini semua, kan? Aku dengan kerelaan menapaki walau penuh duri dan genangan lumpur di mana-mana, aku tetap tegar melangkah.

Aku yakin ada kebahagian di ujung jalanku. Seyakin aku menggenggam sepucuk surat yang datang tepat dua hari setelah kematian Ibuku. Surat dari sosok laki-laki yang sama sekali tidak pernah aku kenal. Figur yang hampir semua anak di belahan dunia memanggilnya dengan sebutan, ayah.

Jeanita anakku,

Mungkin permintaan maaf tidaklah cukup mengawali pertemuan ini. Tapi sungguh, Ayah ingin mengucapkan hal ini. Mungkin bagimu, Ayah adalah orang yang tidak ingin kau temui sepanjang hidup. Ayah mengerti, Jean.

Tapi Ayah punya alasan yang harus diungkap atas segala tindakan Ayah. Ini berkaitan dengan masa depanmu, Jean. Ayah harap sekali, kamu mau mendengarkan sekali saja alasan ini. Segala keputusan ada pada dirimu, Jean.

Temui Ayah di Starbuck Senayan City, hari minggu. Dan juga Ayah harap, kamu menghubungi Ayah di nomor 08xxxxxxxxx.

Stefan Kuncoro.
Ayahmu.

Berulang kali aku baca surat itu pun, isinya masih sama. Tidak ada yang berubah di sana. Aku belum mencoba menghubungi nomor yang ada tertera. Aku masih menerka-nerka kebenaran surat ini, karena sungguh sepanjang dua puluh tahunku ini, aku tidak mengenal sosok ayah.

Aku masih ingat, saat pertanyaan tentang ayah aku tuturkan, Ibu dengan segala amarahnya membuatku ketakutan luar biasa. Semua yang ada di ruang tamu porak poranda. Meja kaca pecah berkeping-keping, TV layar datar di bantingnya, juga lemari berisikan pajangan keramik habis ia keluarkan. Setelahnya tubuh rapuhku menjadi sasarannya.

"Ayahmu mati, Jean! Mati! Jangan pernah tanyakan itu di depanku lagi, Jean! Atau kau mati! Mengerti, Jeannita Kuncoro?"

Aku memicing. Mengembuskan napas perlahan, masih kurasakan rintikan air dari langit ini terus membasahi tubuh. Kemudian aku menyunggingkan tawa, entah apa maksudku kali ini. Aku pun tak mengerti. Mungkin aku menertawakan segala takdir yang ku jalani. Atau kenyataan yang sekarang hadir di depanku ini? Bahwa sekarang aku tahu, ayahku masih ada? Entahlah.

Tuhan, kali ini takdir apa lagi yang Kau suguhkan untukku? Kepedihan atau kebahagiaan? Bolehkan aku mempertanyakan itu, Tuhan?

Aku bersimpuh di samping nisan satu-satunya wanita yang ku panggil dengan sebutan Ibu. Mengusap nisan dari ukiran keramik itu dengan perlahan. Berjuta tanya sebenarnya ingin aku haturkan. Sedari dulu aku hanya mengikuti segala perkataannya. Bagiku sabdanya adalah perintah. Ibu adalah raja di kehidupanku. Raja segala kebebasan atas diriku.

Di antara jutaan tanya, hal pertama yang ingin aku ketahui hanyalah satu hal. Mengapa Ibu tega menjualku tiga tahun lalu? Menyebabkan diri ini serasa di neraka, merasakan perih menyayat di antara desahan para penikmat seks.

Menjadikan keringat yang aku teteskan sebagai hasil atas kesenanganmu. Kesakitanku seperti menjadi kegembiraan untuk hidup mewahmu. Ya, aku bonekamu, Ibu. Boneka yang bisa seenaknya kau atur tanpa memedulikan bagaimana remuknya kepingan jiwaku, Ibu.

Aku terus saja menguatkan hati, Ibu pasti memiliki alasan yang mendasari tindakannya. Apa pun itu, aku sangat ingin mengetahuinya. Setidaknya, jika berakhir seperti ini aku bisa berdamai dengan masa kelam yang dibuat oleh Ibu. Tapi bagaimana cara aku berdamai, jika kenyataannya Ibu sudah lebih dahulu berpindah dunia dariku. Kepada siapa lagi aku harus bertanya apa alasan Ibu? Tidak ada yang bisa menjawab, kan?

Apa aku harus terus menyimpan bara dendam dan gelojak murka di dalam dada? Mau sampai kapan? Hingga tubuhku menua? Berkeriput di mana-mana? Atau sampai akhirnya aku menyusul Ibu? Begitu?

Haruskah?

Sungguh ingin rasanya aku berjabat tangan dengan masa lalu. Masa penuh kegetiran yang ku alami mengajarkan satu hal yang penting bagiku. Begitu berharga pelajaran yang ku dapat, namun tetap saja aku masih belum bisa mengabaikan apa yang telah terjadi. Segala perlakuan Ibu meresap dalam tiap sudut tubuhku, bertumbuh seiring usiaku bertambah. Setiap kali usahaku untuk melunturkan sisa kesakitan ini, hatiku mengiris pedih. Mana bisa segala yang terjadi akan hilang dari diriku?

Tidak akan mungkin!

Air mataku pada akhirnya tumpah juga. Bersatu di antara segala sakit, sedih, pedih, kotor, dan tetap saja aku merasakan satu rasa kehilangan. Aku harus apa sekarang, Ibu? Sekali lagi aku bertanya, apa salahku? Ibu membuat begitu banyak tinta hitam dalam putihnya hidupku dulu. Tolong jawab aku, Ibu.

Aku mendongak langit, membiarkan air mataku campur aduk dengan tetesan hujan. Lancangkah aku bertanya, Tuhan? Masih adakah sisa adil untukku? Ah, bukan adil, tapi bebas. Aku ingin bebas dan bahagia. Aku sungguh ingin berdamai sekarang. Agar aku bisa merengkuh dua hal yang belum aku rasakan. Bebas dan bahagia.

Entah aku ini harus bahagia atau sedih sekarang, Ibu. Kehilangan dirimu membebaskan diriku dalam belenggu kelam yang kau jerat di kakiku. Namun begitu banyak tanya kau buat di sekitar hidupku sekarang. Kau bawa pertanyaan itu masuk ke liang kuburmu saat ini. Aku harus apa? Jawab Ibu!

Ah, Jean! Jangan kau hakimi dirimu sendiri. Kau sudah bebas, kan? Rasanya ingin sekali aku dengar kata-kata itu meluncur darimu, Ibu.

Aku bangkit. Percuma aku bertanya pada orang yang tidak akan pernah menjawab segala tanyaku. Sebelum ku langkahkan kaki ini untuk berlalu, aku berkata, "Ibu, bahagialah Ibu di sana? Gelap enggak? Ibu takut? Sempitkah di sana, Bu? Ada alkohol enggak, Bu? Bu, Jean salah apa kepada Ibu? Ibu enggak sayang Jean, ya? Kali ini Jean boleh bahagia dengan jalan Jean, kan? Boleh ya, Bu. Jean ingin sekali bahagia dan juga bebas."

Masa lalu, biarlah menjadi masa lalu. Sekelam apapun hidupku, aku berserah dengan takdir. Aku tetap meyakini Tuhan akan memberikan bahagia di kehidupanku.

Aku merogoh ponsel di saku, dengan sedikit ragu aku menekan nomor yang ada di surat itu.

"Hallo."

"..."

"Benarkah ini ... Ini Bapak Stefan Kuncoro?"

"..."

"Saya, Jeanita Kuncoro."

-END-

Ayo ramaikan kumpulan cerpen kita!  Bebaskan ekspresimu, ungkapkan rasamu!

deanakhmad irmaharyuni 0nly_Reader bettaderogers Vielnade28 spoudyoo c2_anin NisaAtfiatmico meoowii rachmahwahyu WindaZizty umaya_afs megaoktaviasd AndiAR22 Nona_Vannie whiteghostwriter  Icha_cutex glbyvyn Riaa_Raiye

umenosekai beingacid aizawa_yuki666 destiianaa TiaraWales somenaa iamtrhnf realAmeilyaM summerlove_12 RaihanaKSnowflake FairyGodmother3 nurul_cahaya

Jagermaster fffttmh CantikaYukavers Tyaswuri JuliaRosyad9 brynamahestri SerAyue NyayuSilviaArnaz EnggarMawarni veaaprilia sicuteaabis xxgyuu holladollam Nurr_Salma Intanrsvln YuiKoyuri HeraUzuchii Bae-nih MethaSaja AnjaniAjha

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro