Pilihan Reno

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Author : verbacrania

Judul : Pilihan Reno

Gift yang dipilih : Confess

*****

"Saya nyaris hilang akal menghadapi dia."

Aku menghela napas panjang sebelum mengaktifkan ponselku yang terkunci. Mengecek sekali lagi alamat yang dikirimkan lewat pesan singkat oleh wanita yang ucapannya baru saja terngiang di telinga. Mencocokannya dengan nomor rumah yang tertera di depan tiang pagar.

"Jalan Melati nomor dua belas," gumamku. Kulangkahkan kaki melewati jeruji hitam setinggi telinga yang kugeser perlahan. Seraya berharap penghuninya ada di dalamnya.

Kutekan bel yang terletak tepat di samping pintu. Sambil menunggu tanggapan, nada nyaris putus asa kembali berkumandang tatkala aku mengetukan jemari di kaca jendela. "Guru-gurunya sudah menyerah, saya sungguh tak tahu penyebab dia menjadi pemalas sekaligus pemberontak. Kakak-kakaknya dulu tidak ada yang seperti itu."

Pintu menguak lebar. Menampilkan pemuda tanggung dengan rambut cepak dan kaus putih lusuh di depanku. Pandangannya bergerak menilai, kentara dari penjelajahan matanya dari ujung kepala hingga ujung kakiku. Dahinya mengernyit ketika menumbukkan pandangan di atas kepalaku.

"Siapa? Adik cari siapa?" tanyanya langsung. Lengkap dengan nada curiga yang jelas tak repot untuk ia sembunyikan. Oh ... sial, gara-gara tinggi badan yang tidak berbanding lurus dengan usia membuatku dipanggil dengan apa tadi? Adik? Eum....

"Saya ada janji dengan Bu Mutia," jawabku. "Nama saya—"

"Guru baru lagi?" potongnya. Aku terperangah sendiri mendengar nada ketus mengudara di antara kami.

"Hm ... bisa dibilang guru, kalau kamu mau bekerjasama dengan saya."

Ia berdecak kesal. Tanpa menjawab, dibalikannya badan dan melangkah menjauhiku yang masih termangu di depan pintu. Kabar bagusnya, aku sudah mengira bahwa klien kali ini akan susah dihadapi. Namun, sama sekali tak menyangka bahwa aura peperangan akan langsung dikuarkan.

Tak perlu menunggu lama, Bu Mutia—aku menebak bahwa wanita bersetelan resmi yang tergopoh-gopoh menyambutku—menyilakan masuk sembari menggumamkan beberapa permohonan maaf.

"Saya benar-benar minta maaf untuk sikap Reno, Nak Lanti," Bu Mutia langsung membuka pembicaraan saat kami duduk nyaman di sofa. Matanya menyipit, mungkin berusaha menggali memori, "Seperti yang saya ceritakan di telepon—"

Mengalirlah cerita kenakalan-kenakalan Reno yang menurut Bu Mutia di luar batas. Tidak hanya suka merokok dan berkali-kali mendapat sanksi, Reno juga mencekoki anak-anak di sekitarnya untuk ikut merokok. Yang berani melawan, maka akan menjadi musuh abadinya. Dirundungi sampai anak tersebut angkat kaki dari sekolah karena tak bisa lagi menahan derita. Tiga minggu lalu, Reno bahkan menyerbu anak sekolah lain hanya karena persoalan pacar temannya direbut. Ia mengatasnamakan solidaritas, membuat lawannya terbaring di rumah sakit babak belur habis dihajar.

Sepuluh hari berikutnya, Bu Mutia mendapat peringatan keras karena Reno mengacau di jam pelajaran bimbingan konseling. Ia menuding guru BK hanyalah antek-antek orangtua dalam memaksakan cita-cita tak kesampaian mereka pada anak-anaknya. Puncaknya, Reno mengumandangkan keinginan untuk berhenti sekolah. Hal yang menampar keras pipi Bu Mutia, disalahkan oleh suaminya yang menganggap kelakuan Reno adalah buah kesibukan istrinya.

Aku mengangguk, berusaha memasang wajah penuh simpati. Sekali lagi, aku meyakinkan diri bahwa aku benar-benar membutuhkan uang dari mengajar les privat ini untuk bertahan hidup dan membayar biaya pengobatan orangtuaku.

Setengah jam kemudian, aku benar-benar mengutuki pilihan hatiku ketika menerima permintaan tolong dari dosenku di kampus. Beliau bercerita tentang anak sahabatnya yang memerlukan guru les di rumah. Kriterianya cuma tahan banting. Bayarannya tinggi, ditambah lagi dengan bonus menggiurkan jika berhasil mengantar si anak ke perguruan tinggi.

Kedengarannya mudah buatku yang sudah terbiasa berpeluh jelaga ketika bekerja. Informasi dari Bu Rhima hanya sebatas bahwa anak yang akan kuajar tidak bisa menyesuaikan diri di sekolah, sementara ujian akhir sekolah sudah semakin dekat. Cuma itu.

Kenyataannya, lima ratus kata yang meluncur dari mulutku hanya ditanggapinya dengan mengangkat alis. Sedikit pun, Reno tak tertarik memberikan perhatian padaku yang bersusah payah menyelidiki sebatas mana kemampuannya, sejauh apa ketertinggalannya terhadap materi ujian.

"Hentikan." Satu kata yang keluar dari mulutnya membuatku tergagap.

"Eh?"

"Udah gue bilang, gue nggak mau belajar. Bagian mananya yang nggak lo ngerti, Bocah?"

Aku terkesiap mendengar tutur katanya. Apa tadi? Bocah? Dia memanggilku apa?

"Siapa? Siapa yang bocah?" tukasku. Dagunya mengedik ke arahku. "Fisik saya memang tidak setinggi kamu, tapi saya yakin usia saya jauh di atas kamu."

"Kalau lo emang udah gede, lo pasti ngerti maksud gue 'kan?" tanyanya. "Gue. Enggak. Mau. Belajar. Lagi. Titik."

Aku membayangkan wajah ibuku yang menahan perih karena sakitnya. Sekali lagi menguatkan diri untuk menghadapi pemuda tanggung yang menurutku 'kurang mau' mendengarkan orang lain ini. Beberapa orang memang dilahirkan dengan karakter susah dikasih tau, batinku menghibur diri.

"Kenapa?"

Reno tersentak dari konsentrasinya bermain rubik. Matanya mengerjap sekali, seakan bingung dengan pertanyaanku.

"Kenapa gue ogah belajar?" Aku mengangguk.

"Karena gue enggak mau."

"Kenapa enggak mau?" kejarku lagi.

"Kenapa gue harus belajar?" balasnya. "Lo sebelum ngeiyain jadi guru gue enggak nanya-nanya dulu gitu? Nyokap gue udah tau banget kalau gue males. Jadi, jawabannya M-A-L-E-S. Dan gue ...," dia terdiam sejenak, "enggak sepintar Kakak gue."

"Kata siapa kamu enggak pintar?" tanyaku lagi. Sejujurnya, aku bingung harus memperbincangkan apa saat menghadapi Reno, maka kuputuskan untuk mengikuti arah obrolannya.

"Nyokap," jawabnya singkat. "Dan yang lain juga udah tau."

"Mama kamu bicara begitu?"

Reno berdeham seakan membersihkan kerongkongannya dari sumbatan. Matanya menyipit hingga nyaris segaris. "Reno, kenapa kamu jadi anak Mama yang paling malas, heh? Kenapa kamu enggak bisa meniru perangai kakak-kakak kamu? Mereka bisa belajar sendiri tanpa disuruh. Sekarang mereka udah jadi dokter, sedangkan kamu..."

Aku nyaris tersedak ludah sendiri ketika mendengar Reno menirukan gaya bicara ibunya dengan gestur yang persis sama.

****

"Lo masih datang?" Kata-kata yang menyambutku di rumahnya seminggu kemudian hanya kubalas dengan anggukan. Sekaligus ucapan yang sama persis setiap kali aku bertandang ke sini  hari-hari sebelumnya.

"Mau bagaimana lagi, saya sudah tanda tangan kontrak sama Bu Mutia," jawabku. "Bantu kamu belajar agar lulus sekolah dan bisa kuliah."

Reno mendengus kesal. "Lo ngelakuin sesuatu yang sia-sia, tau enggak?"

"Tidak ada sesuatu yang sia-sia. Usaha tidak pernah mengkhianati hasil," balasku.

"Itu kalau orang yang ada otaknya," gerutunya.

"Saya yakin kamu punya otak, sejak kamu langsung tahu kalau saya calon guru kamu," balasku seraya mengeluarkan buku yang sudah kurancang khusus untuk menghadapi Reno. Beberapa rangkuman pelajaran yang dirancang khusus untuk ujian, kutulis dengan sepenuh hati dengan tinta berwarna-warni. Bahkan disertai gambar-gambar yang kuharap bisa memerangkap perhatian Reno. "Hari ini kita belajar Biologi, ya?"

Aku menyisihkan beberapa materi mata pelajaran lain ke sisi meja. Menggelar kertas berukuran kuarto yang menunjukkan sistem organ manusia dan fungsinya. Sudah kuusahakan semirip mungkin disertai tulisan berwarna agar Reno lebih mudah mengingatnya.
"Gambar lo jelek banget," tukasnya, menghentikan tanganku yang aktif mencari penahan agar kertasnya tidak tergulung kembali. Reno geleng-geleng kepala prihatin.

"Yang penting kamu bisa paham," gumamku pelan.

"Gimana bisa paham, kalau cara lo ngegambar hati dan jantung jelek kayak gitu. Apalagi otak, gue yakin kalau enggak ada tulisannya, orang lain pasti nyangka itu usus," ledeknya.

Aku meringis malu, merutuki kemampuan menggambarku yang memang payah dari dulu. Entah kenapa, aku memilih menggambar sendiri untuk bahan belajar Reno dan bukannya mencetak hasil pencarian di internet. Kupikir Reno akan sedikit terkesan dengan usahaku dan mau mengerahkan usaha yang sama besarnya. Tapi ternyata...

Reno tertawa terbahak hingga keluar air mata. Dengan lincah tangannya menodai gambar-gambar yang susah payah kubuat. Menggores asal pada tepi-tepi organnya, namun ... aku seakan ditonjok di kening. Bentuk yang Reno buat dengan setengah hati lebih menyerupai otak dan jantung daripada buatanku. Aku menggeram kesal sampai Reno membubuhkan angka empat dan lingkaran besar dengan tinta merah di sudutnya. "Nilai gambar lo, bagusan juga punya anak TK," celetuknya tanpa perasaan, masih sesekali menyemburkan tawa.

Aku menghela napas kesal, menyandarkan tubuhku di tembok seraya memijit pelipis. Dalam seminggu ini, bukan hanya tidak berhasil menyempilkan sedikit pelajaran di benak Reno, tapi seringkali keadaan berbalik drastis, aku jadi bulan-bulanan ejekannya yang sepertinya sudah sangat profesional dalam menjatuhkan harga diri orang lain.

Ingatanku berlari pada suatu sore, ketika Reno melarikan diri lewat jendela kamarnya dan Bu Mutia terpaksa mengocehkan beribu permohonan maaf. Terbayang kembali obrolan kami waktu itu, ditemani secangkir teh buatan beliau.

"Susah ya, Nak Lanti, menghadapi Reno," Bu Mutia memulai dengan keluhan pembuka. "Entah kenapa, saya merasa dia sangat berbeda. Tidak seperti kakak-kakaknya. Dulu, Ersal dan Nia tidak perlu disuruh belajar. Sementara Reno..."

Aku menarik napas. "Bu Mutia, boleh saya bertanya sesuatu? Saya minta maaf sebelumnya kalau nanti ini akan menyinggung," ungkapku hati-hati. Salah-salah aku bisa kehilangan pekerjaan yang gajinya lumayan ini.

"Iya?"

"Hari pertama saya ke sini, Reno menirukan persis gaya bicara Bu Mutia yang menyebutnya ... malas," imbuhku. "Dan kedengarannya membandingkan dia dengan kakak-kakaknya," tambahku pelan. Suaraku makin tercekik aura tak nyaman.

"Maksudnya?"

"Saya yakin, Reno bukan malas, Bu. Hanya saja, mungkin selama ini dia sedikit tertekan karena disebut malas dan dibanding-bandingkan dengan kakaknya."

"Hmm...."

"Ibu pernah mendengar tentang labeling pada anak?" tanyaku. Sudah kepalang basah, mending menceburkan diri saja sekalian. "Seringkali, anak yang mendengar label negatif pada dirinya justru akan semakin terpuruk dan tak termotivasi."

"Maksud Nak Lanti, saya menyebut Reno malas itu..."

"Berdampak pada psikologisnya. Sedehananya begini, karena merasa sudah dicap malas, maka dia tidak mau susah-susah berusaha. Mungkin, ini hanya perkiraan saya. Karena pada dasarnya, saya tahu kalau Reno pandai. Dia cepat memahami pelajaran yang saya sampaikan," tuturku sedikit berdusta. Bagaimana bisa Reno memahami, melirik saja tidak.

"Oh, saya sama sekali tidak bermaksud seperti itu, Nak Lanti. Jujur saja, tujuan saya justru..." Bu Mutia tampak kehilangan kata-kata.

"Saya yakin, setiap anak punya minat masing-masing. Mungkin Reno tidak sama dengan Ersal dan Nia yang tertarik dengan kedokteran seperti ayahnya," tambahku pelan. "Selama ini ...  apa Reno diarahkan untuk mengikuti jejak kedua kakak dan ayahnya?" tanyaku lagi.

"Saya tidak secara langsung memintanya menjadi dokter, tapi ya ... saya mengakui bahwa saya sering membandingkannya dengan kedua kakaknya. Tujuan saya, agar dia bisa berprestasi seperti mereka, Nak Lanti. Apa saya salah?"

"Tidak, Bu. Hanya saja, menurut saya, anak-anak berhak dibebaskan dari labeling negatif seperti malas, bodoh, nakal, penakut, dan sejenisnya. Setiap anak berhak mendapat kebebasan untuk dihargai karakter-karakternya," imbuhku.

"Mungkin Ibu hanya belum menyadari saja, tapi menghilangkan labeling negatif pada Reno mungkin akan membantu," lanjutku, yang membuat Bu Mutia tercenung beberapa lama.

"Bengong aja, lo," suara Reno membuatku tergeragap, menarikku dari lamunan. "Lo ngambek ya?" tanyanya.

Aku menggeleng. Setelah melihat jawabanku, Reno kembali sibuk menekuri aktivitas yang tadi sempat kulewatkan karena larut dalam lamunan. Meski sedikit terkejut, aku menyadari bahwa untuk pertama kalinya Reno bersenandung pelan di depanku. Tangannya aktif menggores-gores kertas kuarto dengan pensil milikku.

Kubiarkan ia larut dalam kesibukannya, hingga menyadari objek yang terlukis di hadapannya.
"Itu saya, Ren?" tanyaku pelan, membuat Reno mengerjap.

"Eh?" Konsentrasinya seakan buyar. Seolah aku baru saja menarik dirinya dari dunianya.

"Hehe...." Untuk pertama kalinya Reno terkekeh.

"Iseng doang ini," jawabnya mengangsurkan lukisan wajahku yang belum selesai sepenuhnya.

Seolah bola lampu menyala di kepalaku, mengisyaratkan hal besar yang terjadi di depanku. "Ren, kamu suka gambar?" tebakku, seraya menyingkirkan kertas bernilai empat tadi ke dalam saku celanaku. Reno menghela napas, tidak menjawab langsung pertanyaanku.

"Saya tahu, kamu suka menggambar 'kan?" kejarku lagi.

"Yah ... gue suka iseng aja, sih."

"Kenapa enggak diseriusin?" Reno mendengak, seolah menyadari perubahan kata-kataku yang menjadi lebih santai.

"Buat apa? Nyokap gue bilang ini enggak ada manfaatnya," sahut Reno pelan. Membuat hatiku mencelus.

"Kenapa enggak ada manfaatnya?"

"Tidak bisa menghasilkan uang," jawab Reno lugas. "Beda kayak jadi dokter, pilot, atau apalah gitu."

"Kalau kata saya, diseriusin aja. Siapa tahu malah jadi nilai lebih kamu."

"Hng?"

"Ya ... kamu jangan amatiran begini. Masuk kuliah seni rupa misalnya, kamu akan diajari ilmunya," ujarku. "Bakat kamu sudah ada, tinggal bimbingan yang tepat saja lagi."

Reno ternganga mendengar kata-kataku, "Tapi, menurut nyokap gue, ngegambar gini..."

"Siapa tau nanti jadi pelukis terkenal, Ren," imbuhku, menyuntikkan semangat. "Setiap anak 'kan beda-beda bakatnya. Mungkin jalur kamu di seni."

"Enggak dibolehin nyokap. Itu udah jelas. Dia maunya anak-anaknya jadi dokter semua," keluh Reno. "Atau yang punya masa depan jelas. Bukan tukang gambar kayak gini."

"Kenapa enggak boleh, minat itu salah satu hak asasi. Kamu bebas memilih menekuni hal yang kamu sukai. Lagi pula, tak ada yang lebih menyenangkan selain hobi yang dibayar 'kan, Ren?"

"Tapi, nyokap—"

"Nanti saya bantu ngomong sama beliau, asal—"

"Asal?" Reno menyambar cepat, matanya berkilat seakan menunggu keajaiban yang bisa membuatnya meraih impiannya.

"Yah ... asal kamu tau, kalau mau masuk ke akademi seni rupa, kamu harus punya ijazah SMA dulu 'kan?" sentilku.

"Hmm ... hmm."

"Saya pernah bilang 'kan, tidak ada hasil yang mengkhianati usaha. Siapa tau, dengan kamu bersungguh-sungguh menghadapi ujian, dapat tiket ke akademi yang kamu minati," tuturku lagi, sedikit mempersuasi dirinya.

Reno tidak berkata apa-apa. Yang aku tahu, besok harinya, soal-soal yang dengan sengaja kutinggalkan di meja belajarnya terjawab hampir sepenuhnya.

--END--

0nly_Reader bettaderogers meoowii rachmahwahyu WindaZizty umaya_afs megaoktaviasd NisaAtfiatmico c2_anin whiteghostwriter deanakhmad irmaharyuni AndiAR22 Nona_Vannie Vielnade28 spoudyoo Riaa_Raiye Icha_cutex glbyvyn

umenosekai iamtrhnf destiianaa aizawa_yuki666 beingacid TiaraWales nurul_cahaya somenaa opicepaka RaihanaKSnowflake summerlove_12 FairyGodmother3 realAmeilyaM TriyaRin

Jagermaster fffttmh CantikaYukavers Tyaswuri JuliaRosyad9 brynamahestri SerAyue NyayuSilviaArnaz Intanrsvln EnggarMawarni HeraUzuchii YuiKoyuri holladollam veaaprilia sicuteaabis Bae-nih MethaSaja AnjaniAjha xxgyuu Nurr_Salma

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro