Raden Ayu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Author : Vielnade28

Judul : Raden Ayu

Hadiah yang dipilih : confess by colleen hoover


*****

Ayu memutuskan bahwa kehidupannya menjadi seorang putri sudah terlewat membosankan dan tidak bisa ditolerir lagi. Segala kelas tata krama, dan panduan-menjadi-seorang-isteri-yang-baik-bagi-seorang-suami membuatnya muak setengah mati. Dia butuh istirahat, sebuah kebebasan kecil yang bisa menyembuhkan kepenatan yang sedang dialaminya ini.

Dan sekarang adalah saat yang tepat.

"Tolong gantikan aku ya, Siti," ujar Ayu pelan sambil tersenyum kecil. "Aku hanya akan pergi sebentar, melihat-lihat."

"Tapi, Raden Ayu ... saya sudah diperintah untuk mengawasi anda agar tidak keluar dari kamar...." Wajah pengasuh mudanya terlihat sangat cemas.

Pagi ini hanya ada dia yang mengawasi sang puteri, bukan Ibu Mirna yang merupakan kepala pengasuh, sehingga jika ada sesuatu hal yang buruk menimpa, maka perempuan muda itulah yang akan disalahkan.

Sang puteri menggelengkan kepalanya, menolak untuh dibantah. "Aku tidak akan apa-apa, sudah beberapa bulan aku merencanakan semua ini dengan sematang mungkin. Tidak akan ada masalah yang akan menimpaku. Siti, percayalah."

Raut wajah Siti tidak berubah, tetap terlihat cemas dengan mulut yang terkulum rapat karena bimbang antara perintah kepala pengasuh dan Raden Ayu.

"Sekarang aku akan pergi. Jam sepuluh nanti aku akan kembali ke kamar seperti tidak ada yang pernah terjadi. Ya, Siti?"  tanya Ayu memastikan sesudah memakai pakaian khas orang awam masa kini–sepasang sepatu kets, kemeja lengan panjang yang dibiarkan terbuka dan memperlihatkan t-shirt putih polos dengan rok lipit selutut berwarna krem.

"Baiklah ... Raden Ayu," Perempuan muda itu menghela napas pelan dan menatap sang puteri dengan tatapan memohon. "tolong tepati janji anda...."

Ayu mengangguk, kembali tersenyum dengan rasa syukur yang tulus. "Terima kasih, Siti."

---

Tidak seperti biasanya Ayah dan Ibunya pergi bersama untuk urusan ke luar provinsi, lebih tepatnya, kunjungan ke DKI Jakarta untuk menemui Presiden. Hal yang sangat jarang terjadi itu juga membuat kepala pengasuhnya terpaksa mengabaikan tugas hariannya dan menemani Ibunya bersama dengan para pengawal di dalam yang biasanya juga menjaganya.

Pengawal di luar ruangan tidak mengetahui keahliannya dalam menyusup keluar kamar tanpa diketahui siapa pun. Arsitektur rumahnya yang secara keseluruhan terdapat ruang terbuka tanpa pintu sehingga tidak bisa bersembunyi, tidak menghalangi keberhasilannya dalam menyusup keluar istana dengan lancar.

Dia berhasil.

Ayu rasanya ingin tersenyum lebar dan mendesah puas dengan keahlian yang baru kali ini berhasil dia laksanakan tanpa kendala apa pun. Matanya memandang ke sekeliling, meraup sebanyak mungkin pemandangan pertama yang dapat dilihatnya setelah keluar dari istana untuk pertama kalinya, meregangkan lengannya sambil menghentak kakinya pelan dan bergantian untuk menunjukkkan rasa senangnya.

"Apa yang sedang anda lakukan?" tanya suara tenang yang mengejutkannya dan menghentikan kelakuannya dengan satu tangan menahan lengan kirinya. Salah satu pengawal di luar pintu.

Sang puteri yang sedang menyamar itu membuka mulutnya, berusaha mengatakan sesuatu, tapi tidak dapat melakukannya karena pikirannya yang tiba-tiba terasa kosong karena hal yang tidak pernah diduga sebelumnya dari rencananya.

"Ayu?"

Suara lain yang tidak dikenalnya menyelamatkannya dari kebekuan kata-kata. Dia mengerjapkan matanya dan melihat seorang laki-laki yang tidak pernah dilihatnya menatapnya dengan raut wajah lega yang tidak terkesan pura-pura.

"Di sana kau rupanya...." lanjut laki-laki itu lagi dan berjalan mendekatinya dan meraih lengan kanannya. "Bisa kau lepaskan? Dia sepupuku," ujar laki-laki itu pada si pengawal.

Ayu tidak tahu ekspresi apa yang sedang menghiasi wajahnya, tapi dia dengan lega menerima tarikan lembut laki-laki itu yang membawanya dengan selamat menuju aliran pejalan kaki yang tiba-tiba saja sudah di antara mereka.

"Terima kasih."

Laki-laki itu mengangkat bahunya dan dengan halus melepas tangan Ayu. "Tidak masalah, untung saja aku datang tepat waktu."

"Kamu ... Rian?" tanya perempuan itu tidak yakin. "Kukira kamu akan lebih...."

"Tua dan membosankan?"

Ayu mengerjapkan matanya, tidak tahu harus membalas apa dengan perkataan laki-laki itu yang bisa dibilang blak-blakan. Dia  tidak bisa mengakui kalau ucapan laki-laki itu sebenarnya hampir mirip dengan apa yang ingin dia katakan sebelumnya.

Rian menghela napas lalu memaksakan senyum di wajahnya. "Maafkan aku, aku lupa kalau saat ini sedang menghadapi seorang–"

"–tolong jangan katakan hal itu di sini," potong Ayu dengan cepat, nyaris mengarahkan tangannya untuk membekap mulut laki-laki itu sebelum mengingat bahwa hal itu tabu bagi seseorang seperti dirinya.

"Oke, ayo ikut."

Dengan patuh Ayu mengikuti langkah Rian, pemandu wisata yang sudah dia pesan dari beberapa bulan lalu, kini berjalan sedikit di depannya. Sebuah web yang berhasil ditemukannya dari ponsel Siti yang 'dipinjamnya' itu menuntunnya untuk merencanakan segala rencana yang akhirnya dia jalankan hari ini.

Puteri itu berjalan sambil melihat orang-orang yang berjalan di sekitarnya tampak begitu berbeda dengan para pengawalnya juga orangtuanya, bahkan Siti sekalipun. Mereka tampak terbuka dan bebas. Tidak terkungkung oleh aturan-aturan yang selalu memberatkannya dan melarangnya melakukan hal-hal yang kemungkinan besar dilakukan orang lain tanpa perlu mengkhawatirkan pelanggaran.

Para wisatawan itu melihat berbagai pernak-pernik dan oleh-oleh yang dijajakan oleh penjaga toko yang tampak semangat memperdagangkan jualannya. Dilihat sekilas, Ayu dapat menyimpulkan bahwa semua dagangan itu terlihat hampir serupa satu sama lain walaupun berbeda harga. Tidak terlalu istimewa.

"Kita makan dulu, ya. Aku lapar," ujar Rian sambil membuka pintu sebuah kafe yang tampak modern. "Kamu juga bisa sekalian mendata ini untuk tugas keputrianmu itu atau apapun sebutannya."

Ayu kembali mengangguk secara refleks, kedua matanya terlalu sibuk memperhatikan desain kafe yang terkesan tradisional dan modern secara bersamaan. Lantai dari kayu jati pilihan dengan dinding yang sebagian besar semi permanen dan dihiasi lukisan alur kayu yang sama seperti di lantai, serta beberapa pohon palem di pot besar menghiasi beberapa sudut. Lampu yang dibuat sedikit redup dan kekuningan juga membuat kesan tersendiri. Hampir mirip dengan situasi rumahnya saat malam hari.

Seorang laki-laki dengan baju santai menghampiri dan menyodorkan sebuah buku menu. Rian menerimanya dan membuka-bukanya sebelum menyerahkannya buku itu kepada dirinya. "Pesan apapun yang kamu mau, asal jangan terlalu mahal."

Sang puteri mengangguk dan membaca menu sekilas untuk mencari menu yang dia suka kemudian mengembalikannya kepada laki-laki itu setelah menyebutkan pesanannya.

Beberapa menit kemudian pesanan mereka datang dan tersedia di hadapan. "Selamat makan."

Rian mengangguk menanggapi setelah menyuap satu sendok ke mulutnya dan mengunyahnya.

Ayu memilah makanannya selama beberapa saat sebelum menyendok. Tampilan makanan di depannya terlihat berbeda dengan yang biasa disajikan oleh para pengasuhnya. Makanan itu terlihat lebih berantakan dan mengeluarkan aroma yang lebih tajam, tapi membuat perutnya berbunyi hingga dia harus berdeham untuk menyamarkannya.

"Kau yakin aku saja yang menentukan tujuannya?"

"Ya, silahkan saja," jawab perempuan itu.

Rian mengangguk. "Kalau begitu yang dekat saja, hanya tinggal sejam lagi. Jam setengah sepuluh kan?"

"Iya."

"Sip."

---

Laki-laki itu mengajaknya kembali ke aliran pejalan kaki. Melihat jejeran toko yang menampilkan kerajinan tangan berupa lukisan, gelang, kalung, kaos, batik, blangkon, sandal sampai bakpia patok dan yangko yang merupakan jajanan khas daerahnya.

"Jalanan Malioboro," kata Rian singkat. "Kalau turis perempuan seumuranmu biasanya membeli banyak barang sekaligus, kamu tidak bawa uang, kan?"

Ayu mengangguk tanpa banyak kata. Dia sudah terbiasa tidak membawa uang karena kehidupannya yang hanya berada di dalam istana, belum sepenuhnya mengerti cara berbelanja tanpa bantuan Siti dan ponselnya.

Melewati jalanan itu, Rian mengajaknya ke Benteng Vredeburg, sebuah museum sekaligus tempat wisata yang di dalamnya terdapat koleksi berbagai benda peninggalan masa perjuangan juga ruang pemutaran film perjuangan serta diorama yang menggambarkan keadaan Indonesia pada zaman penjajahan.

Mereka memasuki museum dan melihat-lihat selama beberapa saat. Ayu berjalan dan mendengakan penjelasan laki-laki itu, mengangguk mengerti hingga mereka tiba di ruangan terakhir yang lebih sepi dibanding ruangan lain.

"Kamu kabur dari istana?" tanya laki-laki itu tanpa menatapnya.

Ayu terdiam, menatap Rian sebelum mengangguk. "Bisa dibilang begitu."

"Apa kamu tidak takut aku akan menculikmu dan membawamu pergi?"

Untuk pertama kalinya Ayu menggeleng. "Kalau kamu memang berniat menculikku, kamu tidak akan mengajakku ke tempat umum seperti ini."

"Benar juga."

Sang Puteri tersenyum kalem sebelum sedikit membungkuk dan mengangkat sedikit ujung roknya. "Terima kasih atas wisata yang menyenangkan ini. Semoga lain kali aku bisa meminjam jasamu lagi."

"Tentu," ujar Rian ikut sedikit membungkuk dengan tangan kanan di dadanya, menunjukkan sikap formal untuk pertama kalinya. "Terima kasih kembali, Raden Ayu."


-- END--

0nly_Reader bettaderogers rachmahwahyu WindaZizty AndiAR22 c2_anin umaya_afs megaoktaviasd deanakhmad irmaharyuni glbyvyn Nona_Vannie whiteghostwriter Icha_cutex Vielnade28 NisaAtfiatmico spoudyoo meoowii

umenosekai beingacid TiaraWales nurul_cahaya somenaa destiianaa aizawa_yuki666 iamtrhnf RaihanaKSnowflake FairyGodmother3 summerlove_12 TriyaRin opicepaka  realAmeilyaM

Jagermaster fffttmh CantikaYukavers Tyaswuri JuliaRosyad9 brynamahestri SerAyue NyayuSilviaArnaz Intanrsvln EnggarMawarni HeraUzuchii YuiKoyuri holladollam veaaprilia sicuteaabis Bae-nih MethaSaja AnjaniAjha xxgyuu Nurr_Salma

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro