Bersamanya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Chapter: 5
Bersamanya

...

🌹🌹🌹

Menutup pintu mobil Dina dengan terburu-buru, Rifka memohon maaf dan berjanji akan menjelaskan semuanya nanti.

Lalu gadis itu segera berlari ke kelas Riski.

Sebaris kalimat yang tadi laki-laki itu kirim lewat aplikasi hijau membuat ia ingin menepuk jidat lebarnya berkali-kali. Bagaimana bisa ia lupa?

Padahal dirinya yang buat janji dan meminta tolong pada laki-laki itu.

Sampai di kelas, matanya menemukan Riski duduk sambil membolak-balik sebuah buku.

"Maaf, Ris. Gue lupa ada janji sama lo. Maaf," kata Rifka dengan wajah penuh penyesalan.

Laki-laki menyelesaikan membaca satu halaman untuk kemudian melihat Rifka, tidak ada kesal atau marah yang Rifka dapati, justru senyuman manis.

"Enggak apa-apa, baru pertama." Ia menutup buku yang tadi ia baca dan kini fokus menatap Rifka. "Bagaimana kalau untuk pertemuan pertama ini kita kenalan saja?"

"Ha?" Perempuan itu bingung, bukankah sesi perkenalan sudah mereka lakukan saat Rifka kemarin mengembalikan jati pelajar pemuda itu?

"Maksudku, kita akan bekerjasama, kalau lebih mengenal satu sama lain bukankah membuat setiap kali kita belajar jadi enak?"

Riski memikirkan kata-katanya yang mendadak terasa ganjil ketika ia pikirkan kembali. 'Euhm, maksudnya. Biar kita enggak canggung setiap ketemu."

Rifka mengangguk paham, lalu pembicaraan seputar keduanya mengalir, tidak ada kecanggungan bahkan Riski sendiri tidak sadar tertawa saat Rifka menceritakan kebobrokannya saat pelajaran biologi.

Dua jam berlalu singkat, Riski mengantarkan Rifka pulang. Sepanjang jalan perempuan itu tersenyum, bahkan tidak khawatir giginya kering kelamaan nyengir enggak jelas.

Namun, bagi perempuan itu, dekat dan dibonceng cowok yang ia sukai ada satu hal yang membahagiakan.

Sampai di rumahnya, Rifka turun dan mengucapkan terima kasih pada Riski.

"Iya, sama-sama."

Karena wajah Riski yang tampan dan perlakuan, Rifka salah tingkah sendiri lalu berjalan mundur sambil dadah-dadah pada cowok itu.

Di depan pintu ia akhirnya berbalik juga dan memutar kenop pintu cepat.

Suara gaduh membuat ia membeku di tempat.

Perlahan, kakinya berjalan mundur. Pulang jam segini adalah ide buruk. Bergegas menjauhi rumahnya sendiri Rifka berjalan kembali ke tempat ia datang beberapa menit lalu. Saat ia berbalik dan berjalan menjauh, ia menemukan Riski masih di atas motornya melihat Rifka yang raut wajahnya berubah seratus delapan puluh derajat dari terakhir kali ia melihatnya.

"Kenapa masih belum balik?" tanya Rifka berusaha menghilangkan raut sedihnya.

"Gara-gara itu." Si pemilik motor matic itu menunjuk kepala Rifka.

Refleks yang ditunjuk menyentuh kepalanya, helm masih berada di sana. Lalu ia nyengir, merasa bodoh tidak menyadari itu. Namun, alih-alih melepas, ia malah naik kembali ke boncengan laki-laki itu.

"Itu tandanya, kita harus jalan-jalan lagi." Dengan percaya diri Rifka malah mengajaknya untuk jalan-jalan.

"Ada apa?"

"Cuma pengen jalan-jalan, aja."

Mendengar suara si rambut ikal yang berubah parau, tanpa banyak tanya lagi, Riski menyalakan mesin motornya dan melaju pergi.

***

Tahu tidak? Saat anak-anak lain dengan bersemangat menceritakan tentang sosok pahlawan-ayah-meraka. Mengenai, ketika mereka tidur di depan TV, bangun-bangun di kamar, atau tentang uang jajan dari ayah yang lebih banyak dari pada yang diberikan oleh ibu. Saat perbicangan itu tercipta, Rifka selalu diam mendengarkan.

Rifka tidak punya cerita semacam itu. Sebagian besar hidupnya hanya diisi oleh sosok ibu yang cerewet layaknya ibu-ibu pada umumnya. Pembahasan tentang ibunya sudah terlalu sering ia ceritakan, sehingga stoknya sudah habis.

Wajah teman-temannya begitu bahagia dan sangat bersemangat selama bercerita, membuat Rifka penasaran bagaimana rasanya punya Ayah seperti itu?

Bukan. Ayah Rifka masih hidup, sehat malah. Hanya saja, pria itu jarang sekali Rifka temui. Mungkin efek samping dari pekerjaannya yang banyak di luar. Sebagai pelaut, saat Rifka bertanya apa lebih jelasnya pekerjaan sang ayah, tidak ada satu pun jawaban yang memuaskan yang ia terima.

Bukan juga Rifka tidak pernah bertemu dengan Ayahnya. Hanya saja, setiap bertemu dengan beliau tidak pernah ada percakapan yang tercipta. Sampai Rifka berada pada titik tidak merasakan perbedaan antara ada atau tidaknya sang ayah.

Tidak tidak masalah dengan itu, selagi ibunya mampu membuat ia tertawa, mampu mengisi ruang kosong yang diciptakan sang Ayah. Maka, Rifka tidak pernah mempermasalahkan itu.

Mau pria itu sebulan sekali pulang, dua bulan sekali, tiga bulan, atau setahun sekali, Rifka tidak peduli. Ia bukan anak menye-menye yang meributkan dan menggalaukan masalah itu.

Masalahnya, sejak Rifka SMA sang ayah jari sering berada di rumah. Rifka sempat bahagia, sebelum semua kekacauan itu hadir. Pria yang jarang di rumah itu mulai sering marah-marah. Dari perkara besar sampai perkara remeh temeh.

Ketidakhadiran pria itu bisa ditoleransi oleh Rifka, tetapi justru kehadirannya yang Rifka benci.

Rifka benci melihat barang-barang berjatuhan dan rusak di mana-mana ketika orang tuanya mulai bertengkar. Ia benci harus melihat ibunya menangis lagi karena ditinggal pergi sehabis suaminya marah-marah.

Oke, baiklah. Rifka ralat tentang ia bukan gadis menye-menye, karena kenyataannya ia tetap menangis mengahadapi semua itu.

Perempuan kelas tiga SMA itu muak dengan kata makian, yang perlahan mulai ia ikuti. Ia tidak pernah suka tidurnya terganggu karena suara bising atau tangisan. Seandainya ia bisa memilih bagaimana keadaan hidupnya. Ia akan memilih untuk hidup berdua saja dengan sang Ibu.

"Kerjamu cuma di rumah aja, sibuk sekali mengatur aku!"

"Kau menghamburkan uang, ingat anakmu bentar lagi kuliah. Butuh uang juga!"

"Yang cari duit aku! Yang banting tulang juga aku, suka-suka akulah mau ngapain aja! Soal anakmu, biar dia kawin saja setelah SMA."

Suara teriakan itu membuat aliran bening menelusuri wajahnya Rifka. Angin malam dan riuh kendaraan sudah cukup bagi Rifka untuk bersembunyi.

Tidak menyadari seseorang melihat kesedihannya dari kaca spion.

Motor itu melaju membelah jalan, entah ke mana. Yang jelas, Rifka ingin melarikan diri sejauh-jauhnya sekarang. Ia ingin sejenak tidak memikirkan pertengkaran yang memuakkan itu.

"Rif, kalau kamu sudah ingin pulang bilang ya," kata Riski sedikit berteriak agar gadis itu dengar.

***

"Anak cewek pulang selarut ini ke mana aja?"

Padahal Rifka sudah berhati-hati sekali ketika memasuki rumahnya. Namun, wanita itu tetap dapat memergoki dirinya. Rifka menggaruk tengkuknya, "Habis pulang kerja kelompok."

"Mana ada kerja kelompok jam segini."

Rifka benci berbohong, juga tidak suka untuk jujur masalah ini. Namun, hatinya sedang tak baik, belum lagi tubuhnya yang lelah mudah sekali terpancing emosi.

"Jangan berbohong, Rifka."

"Jadi Rifka harus bilang apa?" Frustrasi Rifka. "Bilang kalau Rifka enggak suka dengar Ibu berantem sama Ayah. Bilang kalau Rifka nggak suka lihat Ayah marahi Ibu?"

"Rifka harus jujur tentang itu?" Rifka kembali menangis walau ia mencoba untuk kuat kali ini.

Wajah Hana pias, tidak menyangka bahwa Rifka akan sefrontal itu padanya. Bukan itu yang ingin Hana dengar. Rifka benar, seharusnya anaknya itu berbohong saja.

"Kalau gitu sebaiknya kamu cepat mandi, sudah malam. Makan dulu sebelum tidur."

"Kenapa, Bu? Kenapa Ibu betah banget sama Ayah, padahal udah nyakitin Ibu?"

"Jangan bicara lagi. Ibu juga lelah hari ini."

Hana bangkit dari sofa, menepuk pundak Rifka beberapa kali lalu masuk ke kamarnya.

"Bahkan Ibu begitu pengecut untuk sekadar membahasnya. Enggak capek apa dengan semua ini? Rifka aja capek, Bu."

Rifka tidak menyadari, perkataannya melukai perasaan Hana yang mendengar perkataan itu balik pintu. Hana juga capai kalau membahas tentang itu.

Hana tidak punya pilihan lain, meskipun banyak option di hadapannya. Ia hanya boleh memilih rasa sakit itu walaupun ada cara lebih indah hanya karena satu alasan.

"Cerai aja, Bu. Cerai! Rifka enggak apa-apa."

Rifka kembali bersuara, lalu ia masuk kamarnya juga. Kali ini ia melepaskan sesaknya di sana dengan lebih keras.

Apa yang menyenangkan dari seorang yang dipanggil 'ayah'? Rifka tidak mengerti. Ayah baginya hanya segumpal daging menyebalkan yang mengaku memiliki status sebagai suami dari ibunya.

Tidak ada senyuman, pelukan, canda, atau apa pun yang teman-temannya dulu ceritakan tersemat pada pria itu. Jika anak-anak kebanyakan mengharapkan keutuhan keluarga, Rifka sendiri merasa cukup memiliki ibu saja. Karena lebih baik tanpanya.

Setidaknya walau kadang sepi karena hanya ada mereka berdua, tetapi aman damai. Rifka tidak akan kekurangan kasih sayang hanya karena tidak memiliki orang tua lengkap, ia punya seluruh kasih yang diberikan sang ibu.

Kamar Rifka dipenuhi foto-foto yang dibingkai indah dan menggantung memenuhi sebagian besar dinding di kamar itu.

Foto ia dengan ibunya mendominasi, sisanya dengan temannya, mantan pacar, guru, dan sahabatnya Dina. Dari banyaknya foto, wajah ayahnya tidak ada di sana. Lalu dengan begitu, alasan apa yang membuat ibunya bertahan dengan pria seperti itu?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro