Namanya Riski

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Suara berisik dan barang-barang terjatuh membuat tidurnya terusik. Ia perlahan membuka matanya walaupun masih terasa berat, terang saja, ia baru bisa tidur jam satu sehabis menyelesaikan tugas-tugasnya. Karena semakin ribut,  Riski—nama lelaki itu—membuka keduanya mata dan langsung terduduk.

Ia merasa ada yang tidak beres, pasalnya tidak pernah sepagi ini ada keributan, pun tidak ada keributan yang benar-benar ribut di rumahnya. Menyibak selimutnya, ia segera berdiri dan berjalan dengan gontai untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi pagi ini.

Kamar Riski berada di lantai dua, yang mengharuskan lelaki itu harus menuruni tangga untuk sampai pada titik keributan. Namun, pada anak tangga yang baru beberapa ia jejaki, ia berhenti. Tubuhnya menegang tak kala satu kalimat teriakan begitu menamparnya.

"Dia bukan anakku!"

Riski seolah membeku. Kalimat itu terlontar oleh suara yang amat ia kenali, Ayahnya. Pikirannya kalut. Bagaimana mungkin? Ayahnya adalah sosok yang begitu hangat dan baik di padanya. Itu tidak bisa dipercaya, bahkan bila ini hanya sebuah mimpi, Riski tetap memilih untuk tidak mempercayainya.

"Mas gila? Jelas-jelas dia anak kita. Tolong jangan libatkan dia dalam masalah ini." Suara wanita paruh baya terdengar tidak terima atas pendapat barusan.

"Kalau saja dulu kau melakukan apa yang kuminta mungkin sekarang aku tidak akan terjebak dalam kehidupan gila ini."

"Brengsek kau Mas! Aku benci. Kau ... kau yang menyebabkan semua ini, kau pula yang merasa jadi korban."

"Jangan sok suci, kalau dulu kau menolak tidak akan seperti ini."

Mira mendesah frustasi, ia tidak akan mungkin kuat lagi berdebat dengan suaminya, Beni. Kalaupun perdebatan itu tetap berlanjut mungkin akan banyak barang yang akan ia rusak, maka ia memilih untuk diam, membiarkan Beni berucap sesuka hatinya. Dan benar saja setelah mengucapkan semua kalimat yang begitu menyakitkan, akhirnya pria itu pergi. Mira sempat melihat Beni mengumpat kesal sambil membanting pintu dengan kasar lalu deru mobil beranjak menjauh ia dengar.

Saat ia tahu ia benar-benar sudah ditinggal, perlahan lelehan air matanya menganak sungai. Isaknya lolos begitu saja, kendati ia sudah menahan sebisanya.

Beranjak melangkah mundur, di sisi lain Riski perlahan kembali ke kamarnya. Pertengkaran itu baru pertama kali ia ketahui. Riski tidak tahu ternyata kedua orang tuanya memiliki sebuah masalah yang pelik, dan paling membuat ia gusar adalah ini ada sangkut pautnya dengan dirinya.

Baiklah ia memang sudah empat belas tahun, ia seorang laki-laki dan ini masih terlalu pagi. Namun, dengan semua yang ia dengar, ia menangis. Ia berusaha untuk menghentikannya, tetapi ucapan sang ayah terlalu menohok, belum lagi tangis ibunya yang membuat ia semakin tak bisa menahan sedih.

Ia kembali meringkuk naik ke atas kasur. Menyelimuti seluruh tubuhnya dengan selimut dan menangis dalam diam.

...

"Riski!"

Riski batal membuka pintu saat namanya dipanggil. Ia berbalik menemukan Beni, ayahnya, berjalan ke arahnya. Tidak biasa. Well, sejak pagi Riski sudah merasa ada yang aneh dengan ayahnya. Mulai dari ia menemukan Beni di meja makan saat hendak sarapan dan tiba-tiba saja sikap hangat pria yang genap empat puluh tahun dua Minggu yang lalu itu muncul kembali. Sejak pertengkaran hari itu, Beni banyak berubah. Berubah yang benar-benar signifikan. Riski berusaha sekuat tenaga untuk memahami kondisi tersebut tanpa banyak bertanya. Namun, kembalinya sifat sang ayah yang dulu sempat hilang membuat ia berpikir. Ada masalah apa kali ini?

"Kau lupa sesuatu tentang hari ini?"

Kening Riski mengernyit. Selain tidak mengerjakan tugas biologi, ia rasa tidak ada yang salah, begitu pun ia akan segera mengerjakannya itu sebabnya ia ingin berangkat cepat-cepat.

"Aku merasa tidak ada kelupaan apa pun, Yah."

"Ini tanggal 24 Maret, Ki."

Riski menelengkan kepalanya, mencoba mencari tahu apa maksud dari Beni. Keanehan pagi ini sudah cukup membingungkan dirinya, sekarang pria itu malah membuat tebak-tebakan dengannya.

"Kau ulang tahun, sayang."

Riski menoleh ke samping, jawaban itu bukan dari ayahnya melainkan dari Mira, ibunya. Wanita itu tersenyum sangat lebar dan kedua tangannya membawa sebuah kue lengkap dengan lilin di atasnya.

"Selamat ulang tahun, Riski." Mira menyodorkan kue itu ke depan Riski. Tidak begitu besar, tetapi tetap dapat membuat Riski begitu bahagia.

"Kau melupakan ulang tahunmu, boy." Beni mengacak-acak rambut putranya gemas.

"Ayo tiup lilinnya dulu, sebelum berangkat sekolah." Riski tidak banyak berkomentar, selain patuh dan memejamkan mata untuk mengucap wish, dan beberapa detik kemudian membuka mata dengan segera meniup lilin berbentuk satu dan tujuh itu.

"Ayah akan berangkat ke luar kota hari ini, maka Ayah pikir kalau merayakan sebentar di pagi ini tidak lebih baik daripada tidak sama sekali."


Riski terkesima dengan penuturan itu. Barangkali terdengar begitu kasar, tetapi pria itu bahkan sudah melewati tiga tahun tanpa mengingatnya, lalu mengapa hari ini ia tampak seperti seorang ayah yang perhatian?

"Semoga kau sehat selalu, nak. Makam sepotong kue mu dan kau boleh segera berangkat."

Perayaan sederhana itu cukup membawa mood baik baginya. Sehingga walaupun sudah dapat dipastikan ia akan tergesa-gesa mengerjakan tugasnya, ia tidak masalah.

...

Derap langkah beradu dengan lantai, begitu cepat ia membawa kaki jenjangnya berjalan sehingga tidak bisa dielakkan ia menabrak seorang yang muncul dari simpang. Yang di tabrak terjatuh dengan buku bawaannya terjatuh berserakan.

"Aw.... Punya mata nggak, sih?!"

Riski menoleh sebentar kepada orang yang ditabraknya. "Maaf, gue buru-buru," ucapnya dan tanpa menunggu balasan ia melanjutkan langkah cepatnya.

"Aish! Benar-benar kurang ajar. Masih pagi ada aja yang bikin emosi."

Orang itu memunguti buku-bukunya, sambil tetap mengumpati si penabrak yang tidak bertanggung jawab itu.

"Jatoh beneran, kan?"

Orang itu mendesis, menyipitkan mata tak suka pada pada ucapan gadis yang sekarang membantunya memungut buku-buku itu.

"Sudah dibilangin, gue bantu bawa sebagian. Kan, jatuh bikin repot."

"Rifka, masih pagi ini loh."

"Juna gue gak ngajak ribut, cuma mencemooh kebodohan lo."

"Dia yang salah, udah tahu ini pagi. Pasti masih banyak orang, malah lari-larian di lorong. Mana nggak nolongin gue."

Rifka menyerahkan sekumpulan buku pada Juna dan memasang muka tidak peduli. "Lo juga, bawak semua ini sendiri."

"Tuh, cowok emang selalu nyari masalah sama gue."

"Siapa?"

"Riski."

....

Aing, back. Sudah lama tidak menyentuh work ini. Berdebu sekali hingga aku gatal ingin membersihkannya

Versi baru. Sedikit banyak tak ubah, hmm setidaknya garis besarnya masih sama.
Sangat berharap yang kali ini bisa bagus.

Salam


Sarinaava

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro