Unprooted Chapter 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Papa!"

Seorang anak laki-laki dan gadis kecil berlari sembari berteriak ke arahku dengan tangan terentang. Aku berjongkok dan balas merentangkan tangan. Mereka langsung melompat ke pelukanku, kemudian tertawa-tawa. Mereka memeluk leherku yang kubalas tak kalah erat. Rongga dadaku mengembang dipenuhi rasa cinta. Segala rasa lelah akibat padatnya jadwal pekerjaan seketika sirna.

"Berbahaya lari-lari di tempat ramai seperti ini, Sayang," tegurku sembari mengecup pipi mereka berdua secara bergantian.

Kami sedang berada di bandara. Aku baru tiba dari Jerman setelah melakukan perjalanan bisnis sebulan lamanya. Kondisi di sini sangat ramai. Banyak orang berlalu-lalang dan aku khawatir putra-putriku terluka. Aku memang memutuskan untuk bekerja di perusahaan Bang Nico setelah mereka berdua lahir. Menggunakan ilmu yang kudapat semasa kuliah.

Mereka nyengir lebar, menampakkan barisan gigi yang rapi.

"Maaf. Soalnya Yara kangen banget sama Papa," kata gadis kecilku sembari memegang telinga dan memasang ekspresi menyesal. Kemudian, dia mengecup pipiku.

"Ya. Kenapa Papa lama banget? Papa nggak kangen sama aku?" tanya Yesa. Dengan wajah memberengut dan bibir mengerucut. Kedua tangannya disilangkan di depan dada. Dia memalingkan wajahnya, tanda kalau ia benar-benar kesal.

Aku mencubit pipinya pelan, membuat Yesa memekik kesal. "Kau ngambek, Jagoan? Oh, ya sudah. Kalau Abang Yesa marah, hadiahnya buat Yara saja," ujarku yang disambut anggukan antusias oleh Yara. Rambutnya yang dikucir dua berayun-ayun.

Yesa langsung menoleh sembari memelototiku. "Enggak boleh," katanya ketus.

"Kalau begitu, jangan ngambek lagi, Jagoan. Kita sudah lama nggak ketemu, apa kamu tidak merindukan Papa?" tanyaku sambil pura-pura memasang raut wajah sedih.

"Ya. Abang nggak boleh begitu. Kasihan Papa jadi sedih," Yara menimpali.

Tangan kecil itu membingkai kedua sisi wajahku. "Maaf, Papa. Aku nggak berniat bikin Papa sedih," kata Yesa, kemudian mengecup pipiku.

Aku balas mengecup pipinya, kemudian mengangkat kedua anakku. Yaraline Minerva Maheswari dan Yesaya Andromeda Maheswara. Mereka kembar tidak identik, lahir lima tahun yang lalu. Sejak pertama kali melihat mereka, Yara dan Yesa langsung membuatku jatuh cinta.

"Biar Yara dan Yesa bersamaku saja. Kau pasti sangat lelah," ujar Bang Nico, kemudian mengulurkan tangan kepada Yara dan Yesa.

Yara dan Yesa kompak menggeleng sembari memeluk erat leherku.

"Enggak mau!" tolak Yesa.

"Aku mau sama Papa," sahut Yara.

Aku tergelak, kembali mencium pipi kedua malaikat kecilku ini.

"Baiklah. Baiklah. Biarkan mereka bersamaku. Aku baik-baik saja," kataku.

Bang Nico hanya menghela napas, kemudian mengambil alih troli berisi koper-koperku. Yara dan Yesa tak henti-hentinya berceloteh sepanjang perjalanan kami ke mobil.

***

"Mama sakit lagi," kata Yara.

Aku menoleh ke kursi belakang, di mana Yara dan Yesa duduk di car seat mereka. Mereka, terutama Yara memang sangat dekat dengan ibunya, jadi wajar saja kalau dia tampak sangat sedih.

Yesa meraih tangan Yara, kemudian berkata. "Jangan sedih. Mama 'kan sudah bilang kalau dia akan baik-baik saja ketika bangun nanti. Lagi pula, kita sudah memberinya obat. Mama pasti akan segera sembuh," ujar Yesa berusaha menghibur adiknya.

"Benarkah? Aku takut Mama kenapa-kenapa," ujar Yara dengan mata berkaca-kaca.

"Tentu saja," sahut Yesa yakin.

Aku hanya bisa tersenyum melihat interaksi mereka berdua. Di usia yang baru menginjak lima tahun, mereka termasuk lebih dewasa dari yang seharusnya. Aku tak lagi terkejut ketika melihat mereka saling menghibur satu sama lain. Meskipun, Yara dan Yesa tak jarang membuatku pusing ketika sedang bertengkar.

"Mereka anak-anak yang baik," gumam Bang Nico.

"Ya," kataku pelan. "Seperti biasa?" tanyaku.

Bang Nico mengangguk muram. "Aku harus menjemputnya karena dia sudah tidak sadarkan diri di tempat Gara," jawab Bang Nico.

Aku mendesah pelan. Tiba-tiba saja tubuhku terasa begitu lelah, seolah ada yang menimpakan berton-ton beban di pundakku. "Sampai kapan dia akan seperti itu?" gumamku sembari memijit pelipis.

Bang Nico memintaku untuk tetap bersabar sembari menepuk bahuku pelan. Kemudian, dia kembali memfokuskan perhatiannya ke jalan raya.

***

"Mama? Kau masih sakit?" tanya Yara sembari merangkak naik ke tempat tidur. Kemudian, berbaring di sebelah kanan ibunya yang masih bergelung dengan selimut, lalu memeluknya.

Yesa ikut naik dan duduk di sebelah kiri Tangannya meraba kening sang ibu. Ekspresinya tampak khawatir.

"Papa, Mama masih demam. Bolehkah kita membawanya ke rumah sakit?" tanya Yesa dengan raut wajah khawatir. Dia ikut berbaring dan memeluk ibunya—Siena.

Aku meraba keningnya lalu mengernyit. Dia memang demam. Yara dan Yesa mulai menangis.

"Sayang? Kenapa kalian menangis? Mama baik-baik saja," kata Siena pelan. Dia menarik Yara dan Yesa ke pelukannya, lalu mengecup kening mereka secara bergantian.

"Mama sudah tidak sakit?" tanya Yara.

"Ayo kita ke rumah sakit, Ma," pinta Yesa.

Dia tertawa kecil. Tawa yang hanya ia tunjukkan di depan Yara dan Yesa.

"Mama baik-baik saja, Sayang. Kalian tidak perlu khawatir. Mama hanya kelelahan. Sekarang, beri aku ciuman dan Mama akan segera sembuh," katanya, berusaha agar terdengar ceria.

"Benarkah?" tanya mereka dengan mata berbinar.

"Ya. Tentu saja, Sayang. Cinta dan kasih sayang dari kalian akan memberi Mama kekuatan," sahut Siena.

Yara dan Yesa mencium pipi Siena, kemudian mereka bertiga tertawa-tawa. Hatiku menghangat juga terharu melihat mereka bahagia, terutama ketika melihat Siena. Meskipun bukan aku alasan kebahagiaannya, dan bukan untukku pula senyuman itu ia tujukan.

"Papa, ayo!"

Aku tersentak ketika tiba-tiba Yara berada di sampingku dan tengah mengguncang-guncang tanganku. Dia menarikku ke arah tempat tidur, kemudian kembali merangkak naik ke ranjang. Ia menolak ketika aku menawarinya bantuan.

"Papa, ayo cium Mama. Pasti Mama akan lebih cepat sembuh jika Papa yang cium," ujar Yesa penuh semangat.

"Iya. Bang Yesa benar. Cepat cium Mama, Pa," Yara menimpali dengan tak kalah antusias.

Mata kami bersirobok. Kehangatan yang tadi terpancar seketika sirna. Sudut bibirnya terangkat, tetapi tatapannya begitu dingin. Dia berkata, "Sayang, Papa pasti sangat lelah. Biarkan dia membersihkan diri dan beristirahat. Kalian jangan terus menerus mengganggu Papa."

"Sebentar saja, Pa. Ayo cepat. Setelah ini kami tidak akan mengganggu lagi. Uncle Juna akan datang menjemput. Aku dan Yara akan di rumah Nenek seharian," kata Yesa memaksa.

"Oh, kalian sudah membuat janji dengan Uncle Juna ketika Papa pulang? Kalian tidak merindukan Papa?" tanyaku dengan ekspresi tersinggung yang dibuat-buat.

"Rindu," sahut Yara cepat. "Rinduuu ... sekali. Tapi kami sudah berjanji sejak minggu lalu. Kata Mama, kita tidak boleh mengingkari janji. Itu perbuatan tercela. Benar 'kan, Ma?" Dia menoleh pada ibunya.

"Tentu saja, Sayang," jawab Siena. Entah bagaimana, suara dan tatapan matanya selalu melembut ketika berbicara kepada Yara dan Yesa. "Kita harus selalu menepati setiap perkataan dan janji yang kita buat. Atau, Tuhan akan memberikan hukuman atas dosa yang kita lakukan," sindirnya sembari melirikku tajam.

Kata-katanya menghujam tepat ke jantungku. Meskipun sudah lebih dari lima tahun aku mendengar segala sindiran, kutukan, dan sumpah serapahnya, tetapi kata-katanya masih saja mampu melukaiku.

"Ayo, Pa, cium Mama. Papa tidak dengar apa yang Mama katakan? Dia akan cepat sembuh dengan cinta dan kasih sayang dari kita. Papa mencintai Mama, 'kan?"

Papa masih sangat mencintai Mama kalian, Nak. Meskipun setelah bertahun-tahun menikah, dia terus saja membenciku. Papa tidak bisa balas membencinya. Kehadiran kalian juga salah satu alasan kami bertahan.

"Tentu saja Papa mencintai Mama kalian," sahutku.

Kulihat ekspresi Siena menegang. Dia menatapku dingin, matanya menggelap ketika aku mulai mendekatkan wajahku. Aku tahu dia sama sekali tak sudi untuk kusentuh, tetapi dia bergeming—demi menyenangkan hati anak-anak. Kukecup pipinya, kemudian berbisik, "Sebenci apa pun kau padaku, setidaknya jangan pernah tunjukkan kebencianmu padaku di hadapan mereka."

Mereka berjingkrak-jingkrak kegirangan. Bahkan, menghadapi amukan Siena terasa setimpal asal bisa melihat mereka bahagia dan tertawa lepas seperti sekarang. Yara dan Yesa segalanya bagiku.

***

Saat aku kembali ke kamar setelah mengantar Yara dan Yesa keluar menemui Juna, Siena baru saja keluar dari kamar mandi dengan wajah dan sebagian rambutnya basah. Aku tahu dia sama sekali tak sudi kusentuh dan langsung mencuci muka ketika aku mengantar anak-anak keluar. Jangankan sampai kucium, ketika kami saling bersentuhan atau bersenggolan tanpa sengaja, pasti Siena langsung mencucinya berkali-kali. Seakan-akan aku mengidap penyakit yang menular dan sangat berbahaya. Dari matanya yang agak merah, kuduga ia juga habis menangis. Entah sampai kapan keadaan kami akan terus seperti ini.

Ketika melihatku masuk, dia menatapku penuh kebencian. "Masih saja mencari-cari kesempatan untuk bisa menyentuhku? Menjijikan!" cemoohnya.

Aku menghela napas, berusaha menelan kata-kata kasar yang baru saja ia lontarkan. "Bukankah tadi kau lihat kalau anak-anak yang memaksaku?" tukasku.

"Jangan pernah jadikan anak-anakku sebagai tamengmu," geramnya.

"Kau yang mencetuskan ide mencium bisa menyembuhkanmu. Dan kau tahu pola pikir anak-anak," jawabku telak.

Dia terdiam. Wajahnya merah padam. Bibirnya mengatup rapat. Ia menatapku tajam dan penuh kebencian. Siena mendekat padaku, kemudian mendongak.

"Apa kau lupa? Kau bukanlah siapa-siapa. Baik bagiku ataupun untuk Yara dan Yesa. Kau-tidak-ada-artinya. Jadi, berhentilah bersikap berlebihan, karena status kita tak lebih dari hitam di atas putih. Sampai kau mati pun, hatiku takkan pernah menerimamu sebagai suamiku. Dan ingatlah, apa pun yang kau lakukan, Yara dan Yesa tetaplah bukan anakmu," ujarnya lambat-lambat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro