16th

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jika bisa setia, mengapa harus selingkuh?

Widya membaca judul artikel majalah online yang muncul saat ia tengah membuka-buka halaman Facebook.

Iya, jika bisa setia mengapa harus selingkuh?

Awalnya ia enggan membaca artikel tersebut, tapi secara berlawanan jarinya mengklik judul artikel tersebut. Butuh waktu beberapa detik untuk loading ke artikelnya. Saat deretan kata penyusun artikel muncul, ia langsung membaca.

Selingkuh itu ibarat tindak kriminal yang muncul karena ada kesempatan. Waspadalah.

Dan bermula dari keisengan, berakhir malapetaka.

Suami-suami di luar sana, pamit bekerja, tau-tau punya sambilan sama perempuan lain.

Isteri-isteri di rumah, jaga keharmonisan rumah tangga jika tidak ingin suami berpaling. Sekarang banyak wanita predator, pemangsa laki-laki berduit.

Isteri juga banyak yang selingkuh. Apa nggak takut azab neraka?

Widya menutup artikel tersebut dan meletakkan ponselnya begitu saja di atas meja. Ternyata artikel tersebut berisi kumpulan curahan hati para isteri yang diselingkuhi suaminya.

Ia hanya membaca beberapa komentar dan karena tidak tahan, ia memilih menyudahi browsing.

Ia tidak harus membaca apa yang tidak ingin dibaca, bukan?

"Dy, kamu udah boleh pulang. Tuh Aras sudah datang."

Widya bersiap mengemasi barang-barang yang belum sempat masuk tas seperti bedak dan peralatan mandi. Aras sudah terlihat di ambang pintu kamar. Ia memakai jaket bertudung yang ia lepaskan setelah masuk ke dalam kamar.

Semua bermula dari Aras. Coba saja jika Aras tidak main-main, ia pun tidak akan main-main.

"Pulang dulu." Widya berpamitan kemudian mencium tangan Aras.

Aras menarik tangannya dengan canggung, cukup bagi Widya merasakan setengah penolakan. Aras tidak pernah nyaman dengan interaksi semacam ini.

"Kunci mobilnya." Aras mengulurkan kunci yang diambil dari dalam saku.

"Aku naik taksi aja," tolak Widya.

"Dy, pake mobil Mbak aja."

Widya berbalik melihat Sera yang juga mengeluarkan kunci mobil dari dalam tas.

"Pake mobilku," Aras memaksa Widya menerimanya dengan menarik tangan Widya dan menyelipkan kunci  ke dalam genggaman tangannya.

Widya gelagapan. Tapi diterimanya juga kunci itu. Ia tidak mau Aras menatapnya tajam sepanjang waktu hanya karena persoalan kunci mobil.

Sera urung berdiri menyerahkan kunci yang sudah dipegang. Widya melemparkan senyum dan bergegas keluar.

***

Widya mengempaskan bokong ke jok kursi kemudi dan bersiap menutup pintu. Ia meletakkan tas ke kursi di sebelahnya. Ia memperbaiki duduk dan mulai memutar kunci mobil.

Matanya terpaku pada wadah Tupperware di kursi tempat ia meletakkan tas.

Urung menyalakan mesin, Widya memilih memeriksa wadah makanan berwarna hijau tersebut.

Isinya lasagna masih dalam keadaan hangat.

Mungkin Aras singgah membeli? Tapi mengapa harus memakai wadah Tupperware? Dan seingatnya, di rumah tidak ada wadah dengan bentuk seperti itu.

Widya mengaduk tas dan mengambil ponsel. Ia tidak bisa menemukan jawaban mengapa lasagna hangat itu ada di dalam mobil Aras.

"Ras. Ada wadah makanan di mobil kamu."

Aras hanya menjawab jika lasagna itu diberikan oleh temannya yang kebetulan bertamu ke rumah. Aras mengatakan ia yang akan mengambilnya ke tempat parkir.

Teman? Teman yang mana?

***

Aras berjalan tergesa menyusuri koridor menuju tempat parkir.

Hanya demi wadah Tupperware yang ditemukan Widya di mobilnya.

Ia bisa saja mengatakan makanan itu pemberian Kalya, tapi ia memilih mengatakan jika makanan itu dari temannya.

Mobil Audi-nya belum bergeser sedikitpun dari tempatnya terparkir. Saat semakin dekat, pintu penumpang terbuka untuknya. Widya  masih duduk di belakang kemudi.

"Lasagnanya enak," ucap Widya.

"Seharusnya lo nggak nyicip." Aras merunduk untuk mengambil Tupperware di atas kursi.

"Dari siapa sih, Ras?"

Aras tidak menjawab. Ia memilih mengabaikan ucapan Widya dan kembali menutup pintu.

Aras tidak menjawab dan sepertinya ia sudah bisa menebak dari mana asal lasagna yang sudah dicicipinya tadi.

Widya menyalakan mesin mobil.

Tiba-tiba saja rasa lasagna yang semula enak berubah rasa menjadi sesuatu yang ingin dimuntahkan saat itu juga.

***

Widya mungkin tahu arti diamnya.

"Enak. Beli di mana, Ras?" tanya Sera setelah selesai menelan sepotong lasagna yang dibawa Aras.

"Dari teman. Tapi dia beli juga."

"Oo." Sera kembali melanjutkan makan.

Kalau saja kakaknya tahu dari mana asal lasagna itu...

"Oh ya. Besok kamu masuk kerja aja. Udah bolos tiga hari kan kamu?"

"Rencananya juga gitu, Mbak." Aras menoleh melihat nenek.

Keluar dari rumah sakit, nenek akan dirawat di mana?

"Mbak, kalau udah bisa pulang, perawatan nenek di rumah ayah kan?"

"Iya. Kenapa?"

"Nggak. Nenek minta aku sama Widya buat jagain. Aku kerja kan, Mbak. Jadi nggak mungkin tinggal di sana?"

"Nanti bakal dipanggilin perawat kok." Sera mengelap mulut dengan tissue. "Jadi nenek bilang gitu?"

"Iya, Mbak."

"Mungkin biar kalian tambah dekat." Sera tersenyum. "Jangan terlalu dipikirin. Kita kan bisa gantian jaga? Lagian aku juga nggak masalah kalau butiknya ditinggal-tinggal. Dan Mbak rasa Widya juga nggak masalah karena kerjaannya bukan kerja kantoran. Nanti diatur aja."

"Iya, Mbak."

"Kamu kenapa, Ras?"

"Aku kenapa, Mbak?"

Sera menghela napas. "Entahlah. Kayak lagi mikirin apa gitu. Kamu lagi nggak ada masalah kan sama Widya?"

"Nggak. Kami baik-baik saja,"

Sera menatap Aras. "Kamu baik-baik ya sama Widya? Dia isteri yang sangat  baik."

Aras hanya mengangguk sekenanya.

"Iya, Mbak."

***

Widya membungkus rambutnya yang basah dengan handuk. Saat mandi, ia langsung keramas setelah membaui rambutnya yang beraroma wewangian bercampur keringat. Ia tidak akan bisa tidur jika belum mengeramas rambut.

Setelah memakai terusan kaus sebatas lutut, ia memutuskan memasak mie instant sebagai pengganjal perut selain nasi. Mendung di luar sana membuatnya membayangkan makan makanan berkuah panas dan pedas.

Widya membuka lemari bahan makanan dan mengambil sebungkus mie instant rasa soto. Lalu ke kulkas untuk mengeluarkan telur ayam, kornet, sawi, rawit dan jeruk nipis.

Sambil menunggu air di panci mendidih, ia menyiapkan mangkuk dan sendok.

Di bak cuci piring, mug bekas kopi Aras tergeletak begitu saja.

Mau tidak mau ia kembali memikirkan Aras dan kotak Tupperware itu.

Apakah Kalya dan Aras bertemu di rumah itu?

Atau malah di tempat lain?

Ah, mengapa ia jadi memusingkan hal itu? Apapun yang ingin Aras lakukan bukan menjadi urusannya. Sekalipun hal seperti ini menyisakan tanda tanya besar. Dan menimbulkan gejolak kemarahan dalam dirinya.

Ia harus melakukan pembalasan!

***





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro