28th

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Apa sih maunya Aras?

Setelah kemarin malam bersikap menyebalkan, pagi ini kelakuannya semakin parah.

Dan soal aturan apalah itu namanya, ia pun memutuskan sendiri tanpa meminta persetujuan.

Jika Aras berpikir bisa mengatur-aturnya, ia salah besar!

"Masih belum mau buat sarapan juga?"

Aras kembali muncul, bersandar di ambang pintu dapur sambil melipat tangan di depan dada. Agaknya itu kebiasaan baru Aras yang membuat siapapun akan semakin kesal.

"Aku nggak pernah bilang mau buatin kamu sarapan. Nggak usah GR!"

Lalu untuk apa ia berada di dapur?

"Gue awasi dari sini."

Widya menggeram dalam hati.

Jika Aras menginginkan sarapan, sekalipun disertai ucapan tolong dan terimakasih, ia tidak akan membuatkannya. Ia punya tangan untuk bekerja, bukan malah menyusahkan orang lain.

"Minggir," bentak Widya.

Aras bergeming.

"Minggir nggak!!" Widya mengeraskan suara.

"Gue udah bilang, nggak ada gunanya ngelawan gue."

Kali ini Widya mulai mendorong tubuh Aras. Dorongan itu sempat membuat Aras mundur, tapi tindakannya itu tidak begitu saja bisa memberikan ruang bagi Widya untuk meloloskan diri.

"Lo mau ditemani buat sarapan?"

Aras memutar tubuh Widya, mengunci tangannya di belakang punggung dan setengah memaksa Widya kembali masuk ke dalam dapur.

Tidak hanya itu, karena dengan tangan kanan, Aras mulai mengambil sebungkus roti tawar dari dalam lemari.

Sementara Widya masih terus berontak.

"Kamu gila ya? Lepas!"

"Gue mau sandwich lengkap dengan isian daging dan sayur."

Aras kembali menyeretnya menuju kulkas. Pergelangan tangan Widya mulai perih karena cekalan Aras. Sepertinya seluruh energi laki-laki itu terpusat pada tangannya. Sekali lagi ia mencoba berontak, mungkin tangannya sendiri yang akan patah.

Aras mengeluarkan tiga butir telur ayam, lalu kembali mengambil beef bacon. Ia melirik Widya dan menunjukkan seringai seperti sebuah ledekan.

"Fine! Aku menyerah!"

Mendengar teriakan Widya, Aras berpaling melihat pergelangan tangan Widya. Bekas lingkaran tangannya memunculkan warna merah seolah menggambarkan rasa perih di permukaan kulitnya.

Mungkin untuk alasan itu, Widya menyerah.

"Sakit," keluh Widya sambil mengusap pergelangan tangannya. Ia mulai meniup-niup permukaan kulit yang berhias semburat kemerahan.

Aras ikut melihat hasil karyanya.

"Biasa aja."

"Ini perih banget tau nggak? Makanya jangan main kasar!"

"Lo kan yang mau? Lo jadiin aja peringatan." Aras sudah menutup kulkas. "Tapi sarapannya tetap gue tunggu."

"Mimpi aja lo!"

Aras tersenyum.

"Nggak pake lama."

***

Widya masih terus meniup kulit lengannya yang kemerahan. Ia bersikukuh tidak membuatkan Aras sarapan. Alhasil, sandwich yang kini dimakan Aras murni buatan Aras sendiri.

Mengenal Aras selama beberapa bulan ini cukup menularkan kekeras hatian pada Widya. Aras hanya harus diberi tahu bahwa titah raja dan sikap sok bossy-nya tidak berlaku di sini.

"Buat lo."

Aras meletakkan piring berisi setangkup sandwich di meja depan Widya. Tatapan tajam Widya tidak membuatnya urung meletakkan piring tersebut.

"Kali ini gue ngalah. Tapi nggak tau besoknya." Aras menuding rotinya. "Makan,"

"Kamu pikir aku mau makan makanan itu?" Widya mengucapkan dengan napas memburu. Ia rasanya ingin mencakar-cakar wajah Aras saat itu juga.

"Lo semakin ngeyel ya?"

Aras merendahkan badan. "Makan,"

Widya mengunci bibir.

"Lo makan atau gue suapin pake cara gue."

Cara dia?

"Mau ngapain kamu?"

Aras mengurung pergerakan tangan Widya menggunakan teknik yang sama dengan di dapur.

Dengan satu tangan, Aras mengambil sandwich, menggigit ujungnya dan memaksa Widya membuka mulut dengan bantuan tangannya yang bebas.

Sepotong gigitan sandwich itu dipindahkan Aras dari permukaan bibirnya ke dalam mulut Widya. Gerakan cepat itu mau tidak mau menimbulkan sentuhan dan gesekan di bibir keduanya.

"Kunyah dan telan, atau gue ulangi cara yang sama sampai habis. Sampai lo lupa cara nyuap makanan pake tangan."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro