31st

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jangan."

"Aku nggak punya cara lain lagi. Gimanapun juga, nenek harus tahu tentang masalah kita."

Aras tetap menolak. Menurutnya, ia sudah mati-matian menjaga perasaan nenek dan Widya tidak bisa begitu saja menghancurkan usahanya. Nenek tidak boleh tahu sama sekali tentang masalah mereka. Lagipula ia sudah bertekad untuk meninggalkan Kalya. Bukan hal mudah tapi paling tidak ia telah berani mengambil sebuah keputusan besar dalam hidupnya.

Jadi soal perceraian itu, tidak akan terjadi. Selama nenek masih sehat-sehat saja. Dan selama nenek masih menginginkan mereka bersama.

"Nenek pasti bisa mengerti."

"Nggak bisa. Jangan sampai lo coba-coba kasih tau nenek." Aras menegaskan.

"Kamu bakal ngelakuin apa aja untuk ngebahagian nenek, sementara permintaannya bukan hal yang kamu inginkan. Aku salut sama kamu."

"Gue sayang banget sama nenek."

Sama aku, nggak, Ras? Nggak sama sekali? Kamu selalu beralasan pengorbanan kamu hanya karena nenek. Lalu aku harus bagaimana? Melanjutkan hidup aku sama kamu demi motivasi kamu untuk membahagiakan nenek?

Kamu memang benar-benar egois, Ras. Kamu nggak pernah mikirin perasaan aku. Aku nggak heran kenapa aku benar-benar benci sama kamu.

"Baik. Tapi aku punya satu permintaan." Widya ingin mengambil langkah menjauhi Aras untuk sementara waktu. "Aku mau kita pisah ranjang."

Mereka memang tidak saling menyukai di awal pernikahan, namun sejak menikah mereka selalu tidur di tempat tidur yang sama. Kesepakatan itu tercipta tanpa pernah mereka rencanakan. Berjalan selama berbulan-bulan tanpa ada komplain dari masing-masing pihak.

Dan saat keinginan berpisah ranjang itu diutarakan, rasanya ada semacam kebimbangan.

Aras berpikir beberapa saat sebelum menyanggupi.

"Baik. Biar gue yang pindah."

***

Pisah ranjang yang mereka sepakati, dimulai malam ini. Aras memutuskan pindah tidur ke kamar sebelah yang biasanya digunakan jika ada kerabat dekat yang hendak menginap. Bantal yang biasa ia gunakan pun dibawa serta. Kecuali selimut. Aras mengambil selimut lain dari lemari.

Tinggal seorang diri di kamar, Widya mendapati dirinya tengah merenung.

Mengapa ia harus terjebak dalam kehidupan seperti ini? Ia sudah tidak memiliki orangtua, dan ia masih harus menerima perjodohan dengan laki-laki seperti Aras. Si keras hati yang tidak pernah bisa ia pahami keinginannya sekaligus laki-laki yang tidak pernah mencintainya. Ia tidak pernah bermaksud menyalahkan takdir. Namun jika datang bertubi-tubi seperti ini, bolehkah ia meminta sedikit saja kompromi dari Tuhan?

Widya  mendesah kuat-kuat.

Memang tidak ada yang perlu ditangisi. Ia harus kuat.

Tidak ada pilihan lain.

Perlahan bangun dan duduk di tepi tempat tidur.

Seharusnya ia menghubungi Elang untuk berkeluh kesah karena hanya Elang yang bisa memahaminya.

Namun, jangankan bisa menghubunginya, ponselnya saja masih disandera Aras. Kenyataan itu semakin menambah rasa sakit secara berlipat ganda.

Belum lagi, ia tidak bisa sering memantau perkembangan usahanya. Dhea, ia pasti sudah memberi kabar tentang penjualan online shop tapi ia tidak bisa balas menghubunginya.

Ia terpikir. Mungkin besok ia bisa mendapatkan kembali ponselnya dengan cara baik-baik atau tidak.

***

Aras membuka kedua mata yang sempat terpejam. Suara pintu terbuka  memaksanya melihat siapa yang sedang masuk.

"Mau ngapain?" Ia mendengar suara berat dan serak.

"Aku mau minta balikin ponselku."

Aras kembali menutup mata dan mengambil posisi telungkup.

"Nanti."

"Aku butuhnya sekarang."

Aras menarik napas pendek. "Lo siapin sarapan dulu baru gue kasih."

"Udah siap. Bukannya kamu harus ngantor?"

"Jam berapa ini?"

"Jam setengah tujuh."

Aras pasti salah dengar. Ia menjangkau weker. Ternyata jam itu dalam keadaan mati.

"Kenapa lo nggak bangunin gue."

"Kamu nggak minta dibangunin."

Aras segera bangun, menyibak selimut dan bergegas berpindah ke kamar mereka untuk mandi dan berpakaian.

Widya mulai merapikan tempat tidur.  Bantal-bantal yang berserakan di atas karpet diambil kemudian disusun rapi. Sambil ia melihat-lihat di mana Aras menyimpan ponselnya.

Sebuah benda persegi panjang berwarna merah menyembul di bawah selimut.

Itu ponselnya Aras.

***

Aras baru saja kembali dari kamar sebelah. Pasti ia teringat ponsel yang ketinggalan.

"Ada sama aku." Widya memberitahu lebih cepat. "Jadi balikin ponselku  dan aku balikin ponsel kamu."

Aras mengerutkan kening. Ia menyadari bahwa ia baru saja kecolongan.

"Punya lo ada di dalam nakas." Aras memberitahu lebih awal sementara ia masih ingin menyimpan ponsel itu. Ia belum sempat melihat-lihat isi SMS di dalamnya.

Tunggu sebentar. Ia masih bisa mengambil kesempatan untuk menyelesaikan stalking di ponsel Widya.

"Biar gue yang ambil." Aras beranjak dari kursi sebelum Widya sempat meninggalkan ruang makan.

Tiba di dalam kamar, Aras menarik laci nakas dan mengulurkan tangan meraih ponsel. Ia sudah melihat-lihat galeri foto, log telepon masuk dan keluar, beberapa kali dari nomer Elang.

Tiba di fitur SMS, ia membuka kotak masuk.

Dy, angkat tlp.

Dy, kamu marah? I miss u

Mau dijemput gak besok pagi?

Aras menggeser jempolnya ke aplikasi Whatsapp.

Dy, kapan ada waktu lihat2 rumah?

Senin sore bisa kok

Aku jemput di basecamp? 😊😊

Boleh. Tp misscall dulu kalo mw dtg 😁

Minta hugsnya dong

😋😋😋😋

Cium?

😋😋😋

Ya udah nih 😙😙😙😙

Apaan sih lang? 😏

***

"Nih."

Secara bersamaan dengan ucapan, Aras meletakkan ponsel Widya di atas meja makan.

Aras kembali melanjutkan sarapan setelah Widya menyerahkan ponselnya. Widya sudah sibuk melihat ponsel dan terlihat sedang mengetik sesuatu.

Membalas chat dari Elang?

"Hampir aja lupa," gumamnya.

Soal menemani Elang melihat-lihat rumah?

Rumah untuk siapa?

Apakah mereka telah merencanakan masa depan dengan membeli sebuah rumah yang kelak akan mereka tempati bersama?

"Mau beli rumah?" tanya Aras. Sebenarnya pertanyaan itu tidak benar-benar ditujukan kepada Widya. Pertanyaan itu lebih mirip sebuah pertanyaan terbuka. Atau katakanlah sekadar pancingan.

"Siapa yang mau beli rumah?" Widya balik bertanya, masih sambil mengetik.

"Ada teman yang jadi agen properti," jawab Aras. Bukan jawaban sekenanya, karena ia memang punya relasi yang menjadi agen properti rumah kalangan menengah ke bawah.

"Bukan aku yang mau beli." Widya mungkin menjawab tanpa sadar. "Elang yang mau beli."

Widya menutup mulut dengan telapak tangan.

Terlambat. Aras sudah tahu.

"Cuma lihat-lihat aja."

Ya, dan dia ngajak lo. Gue terjemahin hal itu sebagai rencana kalian berdua.

Aras segera menuntaskan sarapan dan beralih mengambil tas kerja. Ponsel dimasukkan ke saku dalam jasnya.

"Gue berangkat."

Widya masih sibuk mengetik.

"Gue mau berangkat." Aras mengeraskan suara. Dengan kesal, ia menghampiri Widya.

Widya menurunkan ponsel, diraihnya tangan Aras dan menciumnya.

"Be careful."

Aras menarik tangannya dan berbalik kembali menuju pintu.

***

"Kal, kamu di mana? Aku mau ketemu."

***

Cuplikan chapter 32

"Aku nggak mau putus, Ras."

"Harus."

"Tapi kenapa? Kamu udah janji kamu bakal sama aku. Apa kamu mencintai Widya?

"Bukan karena Widya, tapi karena nenek."

"Aku akan nunggu kamu, sampai kapanpun."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro