17 - Terasa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Senyum memang terpantri di bibir. Namun hati tergores
dengan getir."

*****

Gadis cantik yang memakai dress berwarna putih selutut dengan polesan tipis di wajahnya sedang mematut dirinya dicermin. Ia tersenyum senang, ada letupan bahagia yang selalu ia rasakan bila moment seperti ini terulang. Misalnya, pergi bersama Ryan walau sudah sesering mungkin.

Kalian bebas mengatakan bila dirinya bodoh. Menerima kembali lelaki yang dengan mudahnya berselingkuh. Namun siapa yang peduli bila rasa itu masih ada dan tak pernah runtuh dari tempatnya? Bener kata Nasya, sungguh dirinya sudah terkena virus buchen.

Sudahlah, ia hanya ingin memberi kesempatan kedua untuk Ryan. Melupakan semua yang terjadi sebelumnya, lalu mengulang lagi kebersamaan mereka seperti dulu.

Alasan basi yang Ryan jelaskan padanya bukanlah alasan ia untuk menerima lagi kehadiran cowok itu. Tetapi, balik lagi yang di atas. Cinta sudah membutakannya, dan siapa yang tidak terhasut dengan api cinta?

Selesai dengan tampilannya, Bianca segera mengambil tas selempang yang berwarna senanda dengan dress dan juga sepatu flatnya. Ia berjalan santai menuju ruang keluarga—menunggu Ryan yang katanya sedang berada di jalan menuju kemari—sembari berbincang dengan keluarganya.

"Rapi banget anak Papa. Mau kemana?" tanya papanya ketika melihat tampilan putrinya seperti ingin pergi ke luar.

"Biasa, Pa. Mau jalan bareng Ryan, iya 'kan?" goda mamanya memastikan, membuat gadis itu tersenyum malu.

"Yah, Mama ... jangan kasih tau Papa, dong. Ssttt." Jari telunjuknya diletakkan di bibir dengan bercanda lalu tertawa kecil.

"Rahasia nih ceritanya? Oke, nggak Papa ijinin pergi kalo main rahasiaan," tegas papanya merajuk.

"Yah, Papa ... kok gituuu," rengek Bianca tak terima dan berhasil membuat papa dan mamanya tersenyum geli.

Ting nong!

Bianca berjengkit kaget lalu tersenyum dengan wajah yang berbinar.

"Kemarin aja murung terus, sekarang nyengir mulu," cibir papanya.

Ini Papa gue napa dah? Sensi amat. Ah bodo ah. Mau cus langsung ke depan, takut di depan Ryan nunggu hihi.

"Ya udah ah, Ma, Pa. Bianca berangkat dulu. Assalamualaikum," pamitnya lalu pergi dari hadapan orangtuanya.

Tok tok tok.

"Iya, sebentar!"

Bianca langsung membuka pintunya yang sempat diketuk tadi.

"Hallo, Yan!" sapanya riang. Namun wajahnya berubah menjadi kaku ketika bukan orang yang ia maksud di hadapannya saat ini. Melainkan Deon yang sudah rapi di depannya.

"Wuih lo udah tau aja kalo gue mau ajak lo jalan, Bi. Rapi lagi, tau aja mau jalan sama cogan," ujar Deon geli.

Bianca masih terbengong di tempat, Deon salah paham. Ia sedang menunggu Ryan, bukan menunggunya. Ah salahkan Deon yang memiliki tingkat kepedean di atas rata-rata. Tetapi otak? Jangan tanya!

"Eh? Lo ngapain kesini?" tanya Bianca heran.

"Lho, ya ngajak lo jalan lah! Tadi aja lo udah nyambut gue, berasa lo tau maksud gue Dateng kemari. Masa lo nanya lagi?"

"Hah? Hehe." Bianca kikuk di tempat merespon ucapan Deon. "Tapi gue gak mau ja—"

"Hai, Bi!"

Ucapannya terpotong ketika seorang pria datang dari arah belakang Deon, itu Ryan yang terlihat rapi dengan kemeja kotak-kotaknya yang tidak dikancing menampilkan kaos hitamnya.

"Oh hai!" serunya riang pada Ryan yang tersenyum manis ke arahnya.

Deon menatap ke arah di mana suara itu berasal. Tepat di sampingnya, ia melihat Ryan yang juga sedang menatapnya heran.

Seakan tau arti tatapan Ryan, Bianca tersenyum kiku. "Dia Deon, temen sekelas aku."

Ryan menatap Bianca yang tadi menjelaskannya lalu mengangguk paham. "Gue Ryan, pacar Bianca."

Deon terdiam, menatap tak minat tangan 'cowoknya Bianca' yang terulur ke arahnya. Lalu beralih menatap malas si cowok yang dalam sekejap berhasil membuat rasa senang itu bungkam.

Dengan ogah-ogahan, Deon membalas uluran tangan Ryan. "Gue Deon," balasnya singkat.

Bianca merasa tak enak di tempat, suasana di antara mereka kini tak mendukung serta seperti dirundung awan hitam. Terlebih lagi tatapan kedua cowok itu seakan sedang menghunus musuh satu sama lain.

Gadis itu berdeham pelan mencoba untuk mencairkan suasana. "Masih mau tatap-tatapan? Nggak takut tuh mata copot? Awas nanti saling suka lagi, berabe nanti yang ada."

Pernyataan sadis Bianca membuat Ryan tersadar lalu beralih menatap Bianca tersenyum. Sementara Deon kini melototkan matanya akibat terkejut akan ucapan Bianca yang kelewat seram.

"Yaudah, yuk berangkat!" ajak Ryan kepada Bianca lalu berbalik sembari memutar kunci mobilnya dengan satu jarinya.

"Lo udah balikan sama dia? Atau baikan?" Deon bertanya pada Bianca sembari menahan tangan gadis itu yang sempat melangkah.

Bianca berhenti lalu menyengir lebar menatap Deon. "Nggak tau gue. Mungkin balikan. Hihi." Bianca tertawa malu, oh lebih tepatnya tertawa genit.

Deon mendengus keras. "Yaudah sana, tuh cowok pasti udah nungguin lo," suruh Deon menahan kesal.

Seketika raut wajah Bianca murung, ditatapnya Deon dengan perasaannya yang tak karuan. Ia tak enak dengan Deon yang tiba-tiba datang, namun ia malah pergi meninggalkan.

"Yah, Yon. Jangan sedihlah. Lo sih ke sini nggak bilang gue dulu. Terus juga gue udah ada janji sama Ryan, apalagi di udah dateng 'kan? Mana mungkin gue batalin. Sorry ...," lirih Bianca menjelaskan.

"Santuy ae lah. Kek sama sapa aja lo. Gue ke sini cuma mau ajak lo jalan sebagai hadiah karena lo udah coba bujuk Nasya buat masuk band kemarin sampe dimarahin dia segala 'kan?" Deon terkekeh diakhir kalimatnya.

Bianca terdiam sebentar. "Oh ya?!" Mata Bianca berbinar. "Yaudah lain waktu aja. Gue pasti mau, kok," ucap gadis itu semangat. "Tapi lo harus bilang dulu ke gue. Lo 'kan tau gue orang penting. Jadi, ya gitu. Sibuk. Ahaha." Bianca tertawa senang. 

Deon tersenyum tulus melihat respon Bianca lalu menghela napas pelan.

"Eh? Nanti juga lo jangan lupa traktir gue. Nggak nerima penolakan! Ya?"

Deon hanya mengangguk canggung lalu menggaruk tengkuknya. Melihat itu, Bianca semakin dibuat tergelak.

Tin tin

Tawanya berhenti lalu ia memutuskan untuk pamit pada Deon lalu segera menyusul Ryan di mobilnya.

Deon yang menatap miris kepergian mobil Ryan yang telah meninggalkan perkara gan rumah Bianca dan membawa gadis cerewet itu pergi entah kemana.

Ia menghela napas lelah. "Nasib-nasib. Niat mau pdkt malah jadi bete. Apes banget hidup gue," gumamnya frustasi. "Udah ganteng-ganteng gini, malah ditinggalin. Awas aja lo, Bi."

*****

Tampak gadis yang kini sudah memakai piyama dengan bergambar Doraemon itu berbinar dengan senyum terukir di wajahnya.

Ia berjalan menuju kasur sembari menggigit bibir bawahnya seperti mencoba menahan sesuatu. Lalu setelah dirasa jaraknya dengan kasur semakin dekat, ia berlari kecil lalu membanting tubuhnya ke kasur dengan posisi tengkurap.

"Argh!" teriak Nasya terendam oleh bantal di bawahnya. Dirinya hari ini begitu senang.

Mengingat kejadian tadi sore benar-benar membuatnya bahagia. Perjalanan yang lumayan jauh itu tak dapat melunturkan keceriaannya kali ini, melainkan ia semakin dibuat berteriak tertahan.

Nasya membalikkan tubuhnya menjadi terlentang menatap langit-langit kamarnya. Ia menarik napas lelah, letupan itu terlalu memburu hingga membuatnya seperti kehabisan oksigen.

Ia menggigit bibir bawahnya sembari memejamkan kedua matanya erat—yang sepertinya cewek itu ingin berteriak lagi karena tak sanggup menahan letupan bahagia di dalam hatinya ketika kembali mengingat kejadian di mana Aldi memberikannya sebuah boneka.

Ah! Boneka!

Seperti teringat sesuatu, gadis itu segera beranjak dari posisinya lalu berjalan tergesa-gesa menuju meja belajarnya yang di atasnya tergeletak sebuah tas sekolah berwarna cream. Dengan cepat ia membukanya dan langsung menemukan boneka doraemon yang diberikan Aldi untuknya saat mereka mengunjungi istana boneka.

Boneka Doraemon lengkap dengan pakaian wisuda dan toga yang melekat di atas kepalanya. Ia tersenyum geli ketika ia sempat menolak boneka Doraemon ini karena pemberian boneka ini memang sepertinya cocok bila diberikan pada mereka yang sedang pada masa 'graduation'.

Tetapi akhirnya ia menurut dan menerimanya saja dari pada perdebatan semakin panjang hanya karena sebuah boneka.

Ia berjalan pelan sembari memandangi boneka berukuran sedang yang semakin terlihat lucu karena sebuah tabung kecil berwarna putih yang dihiasi pita merah dan Nasya yakin, di dalam tabung itu sebenarnya adalah busa.

"Argh! Bunda Nasya bapeeerrrr!" pekik Nasya tertahan sembari memeluk bonekanya lalu berloncat-loncat senang.

Meledaklah semua rasa yang ia pendam sedari tadi. Gemuruh di perut sangat terasa, letupan bahagia itu nyata, jeritan itu tak lagi tertahan.

"Arrghh! Sumpah demi apapun gue belum pernah ngerasa seseneng ini sama cowok yang cuma ngasih sebiji boneka! Mana kecil lagi bonekanya. Tapi nggak apa-apa kecil, yang penting rasa cinta dia besaarrrr ke gue."

"Suka?" tanya Aldi ketika mereka keluar dari istana boneka lalu menatap Nasya yang kini tampak berbinar senang.

Dengan malu Nasya mengangguk cepat. "Suka."

Aldi terkekeh geli mendengarnya. "Itu dulu yang lo peluk, ya. Anggep aja itu gue, lain kali bisa peluk langsung."

Arrghh!

"Stop it, please!"

"Astaga! Kenapa gue jadi bucin gini sih kek Bianca?! Gila gila gilaaa!! Lo gila, Nasya!"

Nasya berteriak keras ketika bayang-bayang itu muncul. Sesungguhnya Nasya tak kuat untuk menahannya. Kemudian ia membanting kembali tubuhnya ke kasur lalu menghela napas pelan.

"Cape ternyata teriak-teriak mulu," cibirnya ketika merasa lelah dengan aksi loncatan serta teriakannya itu.

"Nasya?! Kenapa teriak-teriak terus?! Mau nyalonin diri di hutan biar nemenin Tarzan?" ujar Bunda sarkas yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu.

Sedangkan gadis yang ditegur itu hanya meringis malu. "Maaf, Bunda."

Nasya menghela napas lega setelah Bundanya pergi dari hadapannya. Ia lalu berdiri dan mengunci pintu kamarnya.

Tiba-tiba rautnya berubah kembali menjadi sumringah. "Telpon Bianca ah," gumamnya senang lalu berjalan cepat menuju arah nakas di mana benda persegi panjang itu berada.

Mendial nama Bianca di kontaknya beberapa kali, namun tak kunjung diangkat oleh si pemilik nomor.

"Tuh anak napa sih? Biasanya juga gampang kalo gue telpon," gerutu Nasya kesal. "Eh? Gue coba telpon nomor rumahnya aja deh, barangkali dia ada di ruang keluarga," pikir Nasya.

Lalu kini jarinya bergerak lincah di atas touch screen ponsel.

"Yes," serunya tertahan ketika saluran telepon darinya tersambung di ujung sana. "Hallo?"

"Hallo, dengan siapa?"

"Ini Nasya, Tan. Biancanya ada nggak, Tan?"

"Owalah Nasya. Bianca barusan aja pergi keluar."

"Keluar, Tan? Sama siapa emang, Tan?"

"Pergi sama Ryan, Sya. Ada apa?"

Nasya terdiam sebentar, berfikir dalam hati.

Bianca jalan sama Ryan? Bukannya mereka udah putus?

"Oh gitu, ya Tan? Nggak apa-apa, yaudah deh. Makasih, Tan, hehe," kekehnya di akhir kalimat.

Setelahnya telepon ditutup, gadis itu menghela napas berat. Kemudian berfikir kemungkinan-kemungkinan Bianca kembali pergi bersama Ryan.

"Bodo ah. Nggak peduli gue, urusan mereka ini. Tapi pokoknya gue harus tau besok!" seru menggebu-gebu.

Setelahnya gadis itu terlelap dengan tangannya memeluk boneka pemberian Aldi. Selalu berharap, semoga mimpi indah. Apalagi dengan ditemani boneka ini, semakin membuatnya mudah untuk bergabung di alam mimpi.

Dan tepat di sana, terlihat wajah Aldi yang tersenyum ke arahnya.

Tampan.

Tenggelam sudah gadis itu ke dalam mimpi, hingga tak menyadari ada pesan masuk di ponsel yang masih di genggamannya.

Fathan : Sya, lo masih idup? Gue pengen telpon bentar, oy!

*****

Two years ago.

"Bagaimana? Apa perkembangannya semakin membaik?"

"Tidak, Pak. Jauh dari kata baik, perusahaan kita semakin di bawah Arjuna Group. Galaxy Group sedang di masa kritis. Bahkan grafik yang bekerja sama dengan kami semakin menurun. Galaxy Group bisa terancam bangkrut jika terus seperti ini. Terlebih lagi dengan Arjuna Group yang berhasil mendahului kami."

Bodoh.

Umpatan-umpatan terdengar berasal dari mulut pria yang berusia kepala empat itu. Beliau bingung memikirkan semua kekacauan yang terjadi di perusahaannya.

Terlebih lagi dengan putrinya yang sengaja ia bawa ke negri Singa ini—sejak kematian istrinya beberapa tahun silam. Dan itu semua ia lakukan demi keselamatan psikis putrinya yang dapat saja menjadi boomerang baginya dan putri tercintanya. Sejak kematian ibunya, gadis kecil itu semakin terlihat kacau dan tak terkendali.

Pula sejak kepergian mereka dari Indonesia, Hasan semakin mengeluarkan tenaga ekstra untuk pulang-pergi antara Indonesia dan Singapura. Hanya sekadar memantau dan mengurus Galaxy Group dan juga berusaha memerhatikan putri cantiknya.

Tetapi kali ini, ia mendapat informasi tentang perusahaannya yang terancam bangkrut bila tidak segera diatasi. Semakin membuatnya sulit, ia harus membuat keputusan yang tepat.

Hasan juga tak ingin putrinya ditinggal sendirian dalam kurun waktu yang kemungkinan cukup lama untuk memulihkan keadaan dan kondisi perusahaannya. Jadi ia harus berpikir lebih dan memutuskan dengan secepatnya.

*****

"Apa, Pah? Kita mau ke Indo lagi?" seru gadis yang duduk di ruang keluarga bersama Sang Ayah yang kini tersenyum melihat reaksi anaknya yang sangat bersemangat.

Hasan mengangguk. "Iya, sayang. Tapi kamu nggak apa-apa?" Ia bertanya sembari mengelus rambut putrinya dengan penuh kasih sayang.

Gadis—yang duduk di samping Papanya sembari memeluk manja pria berumur itu—cemberut mendengar pertanyaan Ayahnya. "Memang aku kenapa, Pah? Aku sehat, kok."

Tiba-tiba cewek itu berdiri, melepas rangkulan Papanya. "Lihat? Aku udah jadi seorang gadis. Aku bukan anak kecil lagi yang selalu dikurung di rumah, Pah. Lagi pula, aku juga kangen sama temen-temen aku di sana. Aku bosan di sini terus, Pah."

"Iya, sayang ...."

"Pokoknya, kita harus jadi ke sana. Aku udah cukup lamaaa banget, nggak ketemu temen-temen aku. Apalagi ...,"

Ucapannya terputus ketika ia membayangkan bagaimana nanti bertemu dengan teman masa kecilnya. Pasti lelaki itu sudah tumbuh dewasa sekarang, memiliki teman banyak tentunya. Mengingat sikap ramah yang selalu ditujukan lelaki kecil itu.

Ah sepertinya lelaki kecil itu sudah berubah menjadi pria remaja yang sangat tampan? Ia jadi tak sabar untuk segera pulang di tanah kelahirannya. Meskipun ia tau dan tentunya ingat, tanah kelahirannya mampu melenyapkan orang yang ia sayangi.

Selama gue di sana, gue bakalan coba cari tau semuanya yang udah bokap simpen rapat-rapat, batinnya bersuara.

...

Hollaa!! Ketemu egen with me!

Sengaja update lagi. Karena Senin depan acu PAT!! Wkwkk:v

Kasian Deon yang potek, Nasya yang girang cuma karena dapet boneka dari someone, Fathan yang nunggu balesan chat, hingga ... apa tu??

Konflik mulai nongol kedaratan, guys.

Eh iya ... ada hadiah nih

Ekspresi Deon pas liat Ryan. Gak nyanteee:v

Bianca yang gak bosen nularin virus bucin ke Nasya:v

Segitu dulu, yaw. Bubayyyy!!!


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro