31 - Basket

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jadi orang jangan bermuka dua. Karena bingung simpennya
mau di mana."

- Bianca

*****

Aldi : Kamu pulang jam berapa?

Nasya tersenyum kecil ketika melihat pesan yang dikirimkan Aldi padanya. Hari ini ia dan Aldi memiliki jadwal ekskul yang sama. Nasya yang mengikuti ekstrakurikuler PMR sedangkan Aldi ekskul basket.

Kebetulan lelaki itu kini sedang latihan untuk turnamen basket terakhirnya dan setelahnya cowok itu akan fokus dengan ujian akhir.

Nasya : Jam setengah 4 keknya.

Nasya : Kamu udahan jam berapa?

Balasan kembali masuk dari seberang sana.

Aldi : Jam 5, nih. Kamu mau pulangnya bareng aku atau dijemput sama Pak Toni?

Nasya : Aku nunggu kamu di lapangan aja deh.

Nasya : Kapan lagi liat pacarku main basket hahaha.

Di seberang sana, Aldi terkekeh kecil membaca balasan sang kekasih. Hubungan mereka kini semakin lama semakin berjalan baik.

Nasya yang terkenal dengan sikap tegas dan juteknya, seketika luluh pada Aldi yang selalu menunjukkan sikap lembutnya. Gadis itu terkadang manja pada cowok itu akan apapun. Namun, hal itu bukan membuatnya ilfeel, melainkan ia semakin senang melihat tingkah menggemaskan kekasihnya.

Rasanya, Aldi seperti mimpi jika dirinya berhasil menaklukan perempuan itu. Dan entah mengapa, dirinya pun berani menjadikan Nasya sebagai first girlfriend-nya. Entahlah. Semudah itu hatinya tertuju pada gadis yang memiliki senyum manis itu.

Aldi : Yaudah tiap hari aja nemenin aku latihan.

Aldi terkekeh geli sembari mengelap keringatnya dengan handuk kecil yang selalu dibawanya saat latihan basket. Saat ini dirinya sedang beristirahat sejenak melepas lelah saat bermain basket tadi, sembari bertukar pesan dengan Nasya.

Nasya : Dasar!

Nasya : Maunya kamu itu sih.

Nasya : Eh tapi aku juga mau sih wkwkk.

Nasya : Jangan senyum bacanya! Aku tau ya kamu di sana senyum!

Aldi mengerut kening heran, terkekeh karena ketikan aneh yang Nasya kirimkan padanya.

Nasya : Udah mau mulai nih, kakk.

Nasya : Bye byeee, syaaanggg.

Aldi menggelengkan kepalanya, merasakan kedua pipinya memanas. Ah, gadis mungil itu selalu bisa membuat Aldi terus memikirkannya.

Aldi : ♥️

Nasya terperanjat di tempat, pekikannya tertahan ketika mendapati emot love yang dikirimkan Aldi. Ia mengakui, bila sudah sering mendapatkan balasan manis dari Aldi, tetapi tetap saja dirinya belum terbiasa dengan sikap manis pacarnya itu.

Dan untung saja ia bisa menahan suara yang mengejutkannya di dalam ruangan ini, bila tidak, mungkin dirinya sudah dimarahi oleh senior.

"Ngapain lo senyum-senyum?"

Nasya menoleh ke arah samping, di mana Bianca menatapnya penuh curiga sembari mencondongkan tubuhnya ke arah ponsel Nasya seolah ingin tau hal yang Nasya tersenyum sendiri. Namun, dengan cepat gadis itu menyembunyikan ponselnya ke dalam saku rok sehingga membuat Bianca mendengkus kesal.

"Kepo! Udah ah, yuk lanjut lagi!" ajak Nasya merangkul Bianca untuk segera bergabung bersama yang lainnya dan kembali melanjutkan kegiatan ekstrakurikuler mereka.

*****

"Sya!"

Nasya dan Bianca seketika menghentikan langkahnya lalu menoleh ke sumber suara—di mana terdapat seorang lelaki yang sedang berlari menuju mereka.

"Kenapa, Dik?" tanya Nasya pada Dicky yang sudah berada di depannya.

Dicky tersenyum. "Mau kemana?"

Dicky. Seorang pria yang berhasil menjadi kandidat calon ketua OSIS minggu lalu. Sayangnya, lelaki dengan ambisiusnya itu kalah dalam persaingan karena perhitungan suara yang paling rendah. Dan kini ia menjabat sebagai wakil ketua OSIS 2.

"Mau ke Kak Aldi."

Mendengar jawaban Bianca seketika membuat senyuman di wajah lelaki itu luntur hingga tergantikan dengan senyuman  paksa.

Bianca—yang melihat Dicky yang merubah ekspresinya—tersenyum geli.

"Ada apa?" tanya Nasya menghiraukan perubahan raut wajah lelaki di hadapannya.

Dicky kembali tersenyum, berusaha terlihat biasa lalu tangannya terulur memberikan tepak makanan berwarna hijau ke arah Nasya. "Buat lo. Isinya cuma roti coklat, sih. Tapi keknya enak kalo di makan pas mendung gini," jelas Dicky. "Apalagi kalo dimakan berdua," gumamnya yang masih dapat didengar Nasya dan Bianca.

Nasya hanya menganggukkan kepalanya singkat lalu mengambil tepak makan itu dari Dicky. Ia tersenyum kecil. "Thanks, ya."

Dicky ikut tersenyum lalu mengangguk menatap Nasya.

"Yaudah, gue duluan, ya."

Belum sempat Nasya dan Bianca melangkahkan kakinya, cowok itu kembali bersuara. "Kok nggak ngajak gue, Sya?"

Nasya menoleh terkejut. "Emang ngapain?"

"Makan berdua?" Dicky menunjuk tepak makannya yang berada di tangan Nasya dengan ragu.

"Iya makan berdua. Gue sama Bianca 'kan?" tanya Nasya tak berdosa.

Asem! Bukan gitu yang gue maksud, Maemunah!

Bianca yang ada di samping Nasya hanya mampu mengulum senyumnya ketika melihat wajah pias Dicky saat Nasya melontarkan kalimatnya.

Dicky menggaruk kepalanya bingung lalu dengan terpaksa menganggukkan kepalanya. "Yaudah."

Nasya mengangguk. "Gue duluan." Lalu ia meninggalkan Dicky dan Bianca berdua di koridor.

Dicky menatap punggung Nasya dengan tatapan sulit diartikan, sementara Bianca masih tersenyum manis. Gadis itu menepuk pelan pundak cowok berkacamata itu.

"Nggak usah sedih," hiburnya. "Lagian salah lo juga, suruh siapa ngasih makan ke Nasya doang, gue-nya nggak dikasih. Coba aja nih, ya, kalo lo juga kasih roti ke gue, mungkin lo bisa aja makan bareng dia. Secara dia nggak mau temennya kelaperan," kompor Bianca mengada-ngada.

Dicky tersenyum sinis. "Lo pikir gue bego? Itu sih maunya lo aja yang pengen dikasih roti." Detik berikutnya, Dicky meninggalkannya sendirian di koridor dengan acuh.

Bianca melongo di tempat, mulutnya terbuka lebar menatap punggung Dicky yang perlahan mengecil. Ia menggeram kesal di tempat. "AWAS LO, YA! MANIS DI DEPAN CEWEK YANG LO SUKA AJA, ASLINYA JUTEK PARAH. DASAR MUKA LIMA. IYA MUKA LIMA, KARNA MUKA DUA UDAH BIASA."

Pekikan Bianca tak dihiraukan Dicky, ia masih berjalan santai dengan sikap tak pedulinya.

*****

"Lama banget," keluh Bianca menatap ke arah lapangan di mana terdapat Aldi, Fathan, Deon, Gilang dan anggota basket lainnya yang masih mengoper bola. "Tapi gak apa-apa deh, selama apapun kalo disuguhin cogan-cogan SMA Pelita mah gue sanggup!"

Nasya berdecih menatap pandangan mata Bianca yang tak lepas dari para kaum Adam yang berlarian mengoper bola di lapangan basket. Mereka berada di sini sudah 10 menit lamanya.

"Lagian, lo juga, Sya. Ngapain ngasih ke gue nya cuma satu sih? 'Kan gue laper!" seru Bianca kesal sembari menunjuk tepak makan yang berisi roti dari Dicky tadi.

"Yeeuy! Ini buat Kak Aldi. Masih untung lo gue kasih, kalau nggak, ini buat Kak Aldi semuany," balas Nasya sinis.

Pasalnya, roti di dalamnya hanya berisi dua buah. Dan tentu, sisa roti untuk Aldi karena yang lainnya sudah diambil Bianca terlebih dahulu. Rupanya Dicky memang berniat untuk makan bersama dengannya.

Bianca menggerutu tak jelas. Alasan dirinya rela menemani Nasya di sini karena selain menatap pemandangan indah di lapangan sana, ia juga akan menginap di rumah Nasya. Sebab orangtuanya sedang tidak ada di rumah dan menitipkan dirinya ke Bunda Nasya.

Priitt!

Bunyi peluit terdengar sebagai tanda bahwa permainan sudah berakhir. Aldi tersenyum menatap juniornya yang semakin hari semakin hebat dan menguasai permainan.

Cowok itu mengajak yang lainnya untuk ber-high fun berusaha untuk menyemangati mereka semua. Pertandingan basket akan dilaksanakan tinggal beberapa minggu lagi, jadi mereka harus terus berlatih dan semangat hingga bisa mendapatkan posisi tertinggi, yaitu juara tingkat provinsi.

Senyumnya semakin mengembang ketika pandangannya tertuju pada bola mata cantik berwarna coklat di kursi penonton—dekat dengan tas miliknya. Lalu berlari kecil menghampiri gadisnya yang masih asik berbicara dengan Bianca.

"Hai," sapanya pada Nasya dan Bianca.

Nasya menoleh kaget ketika melihat Aldi yang sudah berdiri di hadapannya. Matanya terfokus pada wajah yang terpahat sempurna dengan senyum yang terukir indah, terlihat bulir keringat jatuh dari rambut hitamnya terus mengalir ke bawah mengikuti gravitasi hingga berhenti dan meresap ke jersey basketnya hingga basah di sana.

"Eh? Udah selesai, kak?" Matanya berkedip berkali-kali guna menyadarkan diri. Nasya dengan cekatan langsung memberikan botol air mineral kepada Aldi.

Aldi tersenyum mengangguk lalu tangannya menerima botol yang disodorkan Nasya padanya kemudian menegaknya habis setelah berhasil duduk di samping Nasya yang masih memandanginya.

Suara keributan dari segerombolan lelaki terdengar menuju ke arah Bianca, Nasya, dan Aldi. Nasya menoleh ke sumber suara, terdapat Fathan, Deon, dan Gilang yang berjalan mendekat ke arah mereka.

Fathan menoleh ke arah Nasya dan saat itu juga mata mereka bertubrukan satu sama lain.

"Gila! Akhirnya ... capek banget parah!" seru Deon setelah sampai duduk di samping Bianca.

"Lebay lo!" cibir Bianca sinis. Deon menatapnya jahil.

"Eh ada neng geulis. Sama saha ke sininya, neng?" tanyanya genit.

Wadaw!

Deon meringis kesakitan ketika Gilang menampol kepalanya pelan. "Sok-sokan pake bahasa Sunda, benernya kagak, campur-aduk iya," cibirnya menatap Deon lalu meneguk air mineralnya.

Lelaki yang ditampol itu berdecih pelan melihat Gilang di sampingnya.
Sementara Fathan, mengambil duduk di sebelah Gilang—tak menghiraukan teman-temannya yang berceloteh.

"Aku ganti baju duluan, ya?"

Nasya yang semula fokusnya pada tingkah Deon dan Gilang, seketika menoleh ke Aldi yang tadi berbicara. Ia mengangguk pelan.

Aldi berdiri dari tempatnya sembari mengangkat tasnya ke pundak lalu tangannya terulur mengelus puncak rambut hitam Nasya tersenyum lembut.

"Gue duluan, bro!" seru Aldi ke arah Fathan, Deon, dan Gilang lalu segera menjauh dari mereka.

"Eh gue ikut, kak!" teriak Gilang tiba-tiba lalu berlari mengejar Aldi setelah cowok itu mengambil tasnya.

"Gue ikut juga!" seru Deon kemudian mengikuti mereka yang sudah jauh di depan.

Fathan—yang sedari tadi melihat tingkah Aldi dari cowok itu mengelus lembut rambut Nasya—mendengkus lalu beranjak dari tempatnya dan segera pergi tanpa kata mengikuti teman-temannya, meninggalkan Nasya dan Bianca yang terdiam di sana.

Nasya menatap ke arah mereka yang sudah berjalan bersama. Sementara Bianca, matanya masih tak lepas dari para cowok yang kini menghilang lenyap di telan belokan tempat ruang ganti.

Cewek itu menahan napasnya. Sedari tadi ia tak bisa bernapas dengan normal hanya karena pemandangan yang sangat jarang ia dapatkan.

"Aduhai banget pacar lo, Sya," gumam Bianca tanpa sadar, matanya berbinar bak anak kecil yang menatap sebuah mainan yang disukainya.

Mendengar namanya disebut, dengan cepat Nasya menoleh sinis. "Apaan maksudnya?"

Bianca tersentak lalu menoleh ke arah Nasya yang menatapnya seolah ingin segera menerkamnya. Ia menyengir lebar. "Mereka semua ganteng, banget! Apalagi Kak Aldi, uhh nggak ada tandingannya!" pujinya mendamba. "Dan lo tau, Sya? Kenapa tingkat kegantengan lelaki itu semakin meningkat pas dia keluar keringet gitu sih?"

Nasya menatap Bianca sinis. Ia tak suka bila seseorang memuja Aldi dengan berlebihan seperti itu, apalagi yang berbicara adalah sahabatnya sendiri. Ia harus berjaga-jaga, karena mengingat sekarang Bianca sudah jomblo!

"Pacar siapa sih itu?" tanyanya menumpu dagunya dengan kedua tangan serta mata berbinar tak lepas dari belokan hilangnya keempat cowok tadi.

"PACAR GUE," pekik Nasya menyadarkan Bianca.

Cewek itu tersentak kaget mendengar pekikan Nasya lalu ia kembali menyengir tanpa dosa. "Santai, dong! Gue cuma muji, belum tahap mau nikung lo, kok," celetuk Bianca tanpa dosa dan mampu membuat Nasya melotot kesal.

Bianca tertawa senang lalu memeluk Nasya dari samping. "Nggak sih boongann! Tenang aja, gue tetep dukung lo sama Kak Aldi! Gue yang bakalan maju paling depan kalo dia sampe nyakitin lo!" ucapnya menggebu-gebu.

"Halah! Lo disakitin Ryan aja malah klepek, yang maju malah gue. Gimana nanti lo lawan kak Aldi? Bisa mati lo dengan sekali kedipannya," cibir Nasya.

Bianca menyengir. "Gue aja sekarang rasanya mau mati liat dia seganteng itu," ujarnya lagi dengan pandangan seolah sedang menghayal.

Bianca berdecak sinis ketika Nasya menoyornya tiba-tiba. Nasya terkekeh puas.

Sejujurnya, ia sependapat dengan Bianca mengenai ketampanan Aldi yang bertambah dengan rambut dan jerseynya yang basah itu serta senyum yang selalu terpatri di wajah tampannya semakin membuat kadar ketampanan cowok itu meningkat.

Bila dikatakan, apakah ia mencintai Aldi? Mungkin terlalu cepat untuk seseorang jatuh cinta. Sebagian orang beranggapan bahwa cinta tidak bisa dirasakan dengan begitu cepatnya.

Tetapi Nasya mempercayai bahwa cinta memang terkadang hadir di awal pertemuan, namun kita menyadarinya sering kali terlambat hingga berujung penyesalan.

Ya, ia mencintai sosok lelaki yang ia sendiri tidak pernah menyangka bahwa ia pun sangat dicintai oleh pria itu. Katakan bila ia adalah perempuan yang paling beruntung mendapatkan seorang Aldi yang begitu sempurna.

Lelaki seramah Aldi rasanya tidak pantas disandangkan dengan perempuan dengan segala keburukannya seperti Nasya. Namun, pernyataan itu seketika runtuh hanya karena ungkapan cinta yang diberikan cowok itu padanya.

Entah dengan kata apa lagi ia menjabarkan perasaan ini. Yang pasti, ia juga mencintainya.

"Cinta terkadang hadir di waktu yang tepat. Maka gunakan waktu itu untuk mengambil cintamu."

...

Tbc.

Welkambek yuhuu~

Lapaknya sepi, ya?:) Mau bantu ramein? Tunjukan diri kalian ke aku, dong:( biar aku semakin semangat kalo ada yg nungguin cerita ini:(

Keylah. Siyuuubaybayyyy!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro