33 - Cemburu? (2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Perbedaan tipis selain
cinta dan benci adalah
cinta dan obsesi."

*****

Alunan musik piano terdengar di sebuah ruangan. Nasya mengerjapkan kedua matanya melihat sosok di ujung sana yang masih menikmati permainan pianonya tanpa sadar ada seseorang yang mengintip di celah pintu.

Sosok itu ....

Pria yang akhir-akhir ini membuat dirinya tak nyaman, hanya karena tatapan cowok itu yang terus menatapnya tajam dan penuh keingintahuan.

Perlahan tapi pasti, melodi yang dikeluarkan dari piano itu menghilang, bersamaan dengan Nasya yang tersadar bahwa ia kini sudah masuk ke dalam ruang musik tanpa ia ketahui. Kakinya melangkah masuk tanpa persetujuannya.

Ah, bodoh!

Mata mereka bertubrukan dalam satu garis lurus.

Lelaki di ujung sana tersenyum kecil melihat Nasya yang meringis salah tingkah. Hal itu tidak lama, karena dengan tiba-tiba kaki mungil itu berbalik dan berlari menjauhinya.

Dengan cepat, Gabriel beranjak dari duduknya lalu mengejar gadis itu dengan langkah lebar.

Sebelum Nasya berhasil keluar dari pintu, Gabriel berhasil menarik tangannya hingga sepenuhnya berbalik menatap cowok itu.

"Lo kenapa kalo liat gue selalu kabur? Emang gue hantu? Atau gue bikin lo takut?"

Nasya hanya diam, menatap cowok di depannya.

"Btw, tadi permainan piano gue bagus, ya, sampe lo terpesona gitu," kekehnya senang.

Gadis itu mendelik tak terima, tetapi tak membalas dan menyalahkan pendapat cowok itu. Tetap diam dan tak bersuara. Karena tidak sepenuhnya apa yang dikatakan cowok itu salah.

"Oh! Gue baru inget!" ujarnya bersemangat. "Katanya lo jago main biola? Bener? Mau ikut main sama gue? Lo biola, gue piano. Bagus tuh. Gimana?"

Nasya mengernyit. Cowok di hadapannya ini menganggapnya seolah teman yang benar-benar akrab dengannya. Sok friendly banget.

Namun, jika dipikir-pikir perihal piano dan biola, pikirannya tak jauh-jauh dari teman masa kecilnya yang selalu berbicara,

"Nanti kalau udah besar, kita main bareng, yuk! Piano sama biola, pasti seru!"

"Gimana? Kok diem aja? Gue lagi nggak ngomong sama mayat, ya!"

Nasya melotot lalu refleks tangannya memukul lengan cowok itu. "Mulut lo asal ceplos aja."

"Suruh sapa lo diem mulu," ujarnya sembari meringis mengusap lengannya. Pukulan Nasya itu kecil tapi pedas. "Gimana? Mau, nggak?"

"Nggak," tolaknya mentah-mentah tanpa tedeng-aling.

Gabriel terkejut ketika Nasya sudah pergi keluar dari ruang musik. Ia berlari mengejar gadis itu. "Yakin?"

Nasya tetap berjalan, mengabaikan hama yang berada di sampingnya.

"Awas loh nyesel. Mumpung gue belum terkenal, lo bebas duet sama gue. Nanti kalo gue udah famous, lo sendiri yang susah. Awas sampe nyari pas gue udah jadi pianist terkenal," ocehnya mengancam.

Gabriel tersenyum cerah kala melihat gadis itu berhenti lalu berbalik menghadapnya.

"Terus? Gue peduli?"

Pudar sudah senyum dan harapannya.

"Lagian lo siapa sih? Kenal juga nggak," lanjutnya sengit.

"Gue? Siapa? Gue Gabriel! Mantan ketua kelas sebelas," cercanya penuh percaya diri.

Nasya menahan tawanya. "Mantan ketua kelas aja udah sombong? Gimana nanti udah jadi pianist terkenal? Songong tingkat dewa kali," ujar Nasya lalu kembali melanjutkan langkahnya pergi ke loker kelas XI IPA.

Gabriel tergelak. "Wah, lo adik kelas ngajak berantem, ya! Sini lo, maju!" tantangnya tiba-tiba lalu disisingkan lengan kemejanya dan mengambil kuda-kuda untuk siap berkelahi.

Nasya kembali berhenti untuk kesekian kalinya, menatap lurus pada kakak kelasnya yang bertingkah konyol di koridor kelas X.

Beruntungnya kali ini semua anak kelas, termasuk kelas X sedang beristirahat dan makan di kantin, jadi koridor tidak terlalu ramai dan Gabriel tidak menjadi tontonan adik kelasnya sendiri.

"Lo kenapa sih? Gila?" ucapnya enteng.

Gabriel melongo di tempat, menatap Nasya tak percaya. "Gue ngajak lo berantem. Malah dikatain gila," cibirnya.

Nasya menatap Gabriel tanpa minat. "Terus? Emang kenyataannya, kok. Lo bersikap konyol dengan usia lo yang udah tua ini. Nggak malu?" tandasnya.

Gabriel kembali dibuat congek di depan Nasya. Gadis ini pintar sekali membalas setiap perkataan lawannya, mempertahankan argumennya untuk mengalahkan sang lawan.

Setelahnya Nasya pergi tanpa kata meninggalkan Gabriel yang sudah mencak-mencak kesal di tempatnya.

Sinting!

*****

"Heh lo cupu!"

Nasya tersentak ketika tangannya ditarik kasar oleh seorang gadis yang ia sendiri tidak mengenalnya. Ia meringis memegangi tangannya yang terasa perih setelah terlepas dari cengkraman kuku tajam si pelaku.

"Lo anak kelas sebelas yang belagu itu, ya?"

Nasya mengerutkan keningnya heran dengan apa yang dikatakan cewek di depannya. "Maksud lo?"

"Lo cewek kecentilan yang godain Aldi 'kan?" tuduh cewek lainnya sembari menunjuk wajah Nasya.

"Cewek songong yang ngaku-ngaku jadi pacarnya Aldi," cibir cewek yang lainnya juga.

"A—apa?" Nasya mendadak linglung di tempat. "Maksudnya apa sih?"

Nasya menatap bingung ketiga cewek di depannya. Bagaimana tidak, saat ia sedang berjalan ingin pergi ke kantin menyusul Bianca di sana, tiba-tiba saja ia dicegat dan diberi pertanyaan berbondong-bondong oleh tiga orang tak dikenalnya.

"Nggak usah sok polos lo! Mending lo ngaku aja sekarang daripada gue bertindak kasar!" sengit cewek yang berada di tengah cewek lainnya, dan Nasya yakin bahwa cewek itulah yang menjadi ratu iblis di antara kedua dayangnya.

"Wait, deh. Lo semua nuduh gue godain Aldi?" Nasya tertawa hambar meremehkan. "Lucu lo pada."

"Lagian gue mau ngaku apa? Semua orang udah pada tau kalo Aldi, pacar gue. Terus masalahnya mbak-mbak ini tuh apa? Kenapa ngoceh-ngoceh nggak jelas ke gue? Lo dihphin Aldi emang?" tanya Nasya santai sembari melipat kedua tangannya.

Perempuan—dengan rok yang sedikit naik dari semestinya anak SMA itu— geram dengan muka memerah menatap Nasya nyakang.

"Bawa!" perintahnya pada yang lainnya. Seketika kedua cewek di sebelahnya itu menarik kasar lengan Nasya.

"Apa-apaan sih? Lepasin gue!"

Nasya terus berontak dan berusaha melepaskan cengkraman kasar dari kedua cewek yang di sisi kanan dan kirinya. Sedangkan cewek berambut keriting yang tampak sangat kesal itu berjalan memimpin di depan.

"Aw!"

Nasya meringis ketika tubuhnya dilempar kasar di lantai toilet. Toilet dekat belakang sekolah, jarang sekali dilalui murid lain dan jarang digunakan.

Perempuan berambut kriting itu berjongkok di depan Nasya sembari tersenyum miring. "Lo berurusan sama orang yang salah. Sekalipun sekarang lo pacaran sama Aldi, tetep gue yang bakal jadi pemenangnya," bisik cewek itu tajam.

"Lo nggak bisa dapetin Aldi semudah itu," balas Nasya tetap di tempatnya penuh penekanan.

Cewek ber-name tag Marline itu mencengkram kedua pipinya dengan cepat, sampai-sampai Nasya tak sempat menghindarinya.

"Lo aja bisa, kenapa gue harus nggak bisa? Lagian udah jelas, kalo gue cinta sama dia," ujarnya tajam menghunus tepat di mata Nasya.

Nasya menatapnya tanpa takut sembari terkekeh pelan. "Lo cuma cewek narsis yang mau diperhatiin lebih sama Aldi dan mau banget jadi pacarnya. Ohya ... lo bilang, cinta? Itu bukan cinta," ujarnya balik menatap nyalang Marline walaupun kesulitan berbicara karena cengkraman Marline yang sangat kuat.  "melainkan obsesi semata," lanjutnya penuh penekanan.

"Kurang ajar lo!"

Tiba-tiba saja Marline melayangkan tangannya ke arah Nasya. Namun sebelum itu terjadi, tangan seseorang dengan cepat menangkap pergelangan Marline dan mendorongnya sebelum tangan itu berhasil menampar pipi Nasya.

"Fa—Fathan?" gumam Nasya kaget.

Kemunculan Fathan yang tiba-tiba, mengundang tatapan bertanya dari berbagai macam pasang mata yang berada di ruangan ini.

Cowok itu menoleh ke arah Nasya lalu mengulurkan tangannya untuk membantu Nasya berdiri. Gadis itu menurut, menyambut tangan Fathan pelan.

Fathan membantu Nasya berdiri lalu kembali menatap ketiga cewek di depannya.

"Ngapain lo semua?" tegasnya bertanya. Suara bass milik Fathan menggelegar di seluruh penjuru toilet. Wajahnya mengeras serta rahang yang tegang seperti menahan amarah.

Marline bersorak meledek sembari bertepuk tangan, setelah tadi sempat terdiam kaku. "So sweet banget sih. Ternyata pahlawan kesiangan lo itu adik cowok lo sendiri?" tanyanya bersedekap menatap Nasya.

Nasya hanya diam di tempat, tak membalas perkataan cewek itu.

"Lo tadi mau ngapain dia?" geram Fathan melangkah maju mendekati ketiga cewek itu. Namun, langkahnya ditahan dengan Nasya yang menarik pelan tangan Fathan sebagai pertanda untuk tidak memperpanjang masalah.

Marline tertawa sinis. "Gue nggak nyangka, belum sebulan lo pacaran sama Aldi, tapi lo udah selingkuh aja sama adiknya," ujarnya berdecak.

"Bacot lo! Pergi lo semua!"

Merasa situasi sudah tak lagi bagus, dengan cepat ketiga cewek itu pergi dari hadapan mereka.

"Awas lo!" ancam Marline sebelum benar-benar pergi.

Fathan menghela napas kasar lalu membalikkan tubuhnya untuk berhadapan dengan Nasya. "Lo nggak apa-apa?"

Nasya yang fokusnya masih mengikuti ketiga punggung cewek itu seketika menoleh ke arah Fathan yang tadi bertanya.

Gadis itu tersenyum lega menatap Fathan. "Nggak apa-apa, kok."

Mata cowok itu menyimpit ketika menatap bekas kemerahan di sekitar kedua pipi Nasya. "Ini lo diapain?"

Nasya mengerjap. Tangan Fathan tiba-tiba menyentuh pelan rahangnya yang memerah akibat cengkraman dari Marline tadi. Sedikit ia meringis perih karena terdapat luka yang disebabkan kuku Marline yang tajam.

Cewek itu melepas tangan Fathan dari pipinya lalu kembali tersenyum menenangkan. "Gue nggak apa-apa. Lo tenang aja. Ohya, makasih. Lo udah nolongin gue," ucapnya ikhlas.

Fathan menatap gadis itu tak percaya ketika Nasya berbicara lembut padanya. Ini pertama kalinya Nasya berkata selembut dan seringan ini, ditambah senyuman cerahnya yang mewarnai wajah cantik Nasya.

Fathan terkekeh kecil. "Nggak salah nih?"

Nasya mengerutkan keningnya bingung. "Salah?"

"Lo bilang makasih ke gue?"

Nasya memutar bola matanya malas.

"Lo pikir gue nggak tau terimakasih abis ditolongin?" ujarnya sinis.

Fathan tertawa lalu manggut-manggut mengerti. "Emang tadi lo mau ke—"

"Fathan!"

Ucapan Fathan terputus karena tiba-tiba saja sesosok perempuan muncul dari pintu toilet. "Eh?"

Nasya menatap Tiara yang terbengong di tempatnya. Sadar posisinya di toilet dan bersama Fathan, seketika ia mengerjap salah tingkah.

"Ka—kalian berdua ngapain di sini? Lo juga, Than, ini toilet perempuan loh," ujar Tiara menatap mereka horor.

"Gue cuma nolongin Nasya tadi."

"Nolongin? Emang Nasya kenapa?" Tersirat nada tak suka di kalimatnya.

"Dia—"

"Ada tikus tadi," alibi Nasya cepat.

Tiara melotot jijik. "Serius?!"

Fathan mengangguk kaku.

"Yaudah kita keluar aja." Tiara mengangguk setuju pada ajakan Fathan.

"Ah iya, lo nggak lupa 'kan kalo abis istirahat ke perpus buat latihan?" tanya Tiara setelah keluar dari toilet sembari menatap Nasya.

Nasya terdiam lalu tersenyum mengangguk paksa. Senyumnya memudar sejak kedatangan Tiara yang tiba-tiba. "Inget, kok."

"Yaudah, gue sama Fathan duluan, ya! Ada hal yang harus kita urus. Bye, Sya!"

Tiara menarik tangan Fathan setelahnya. "Ayo, Than!"

Fathan menatap Nasya yang masih terdiam di tempat tanpa melangkah sembari menatap matanya lurus.

Setelahnya mereka pergi, meninggalkan Nasya yang berdiri di depan toilet sendirian. Ia menghela napas. Entah mengapa perasaan asing yang menyerangnya hingga membuat dadanya sesak seringkali muncul ketika Fathan pergi dan berlalu bersama Tiara?

Apakah semua ini? Jenis perasaan apa yang seringkali menyergapnya? Apakah yang dikatakan Marline benar akan terjadi?

Nasya menggelengkan kepalanya keras seolah sedang menampik apa yang barusaja ia pikirkan.

"Nggak! Gue nggak suka Fathan," gumamnya memejamkan matanya erat-erat.

"Kenapa nggak suka gue?"

Mata gadis itu seketika melebar menatap wajah tengil Fathan yang sudah berada tepat di depan wajahnya.

"Fathan ...."

...

Tbc.

Nah gimana tuh.

Okee, see youu!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro