35 - Dia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Dia datang dan merubah segalanya."

~ Nasya ~

*****

"Halo?"

Nasya mengangkat telepon rumah yang tadi berbunyi nyaring terletak di ruang tamu.

"Hello! Good morning, my only baby.

You look so beautiful just like this.

Don't have make up tiap hari.

Kau paling lengkap macam bidadari."

"Hah?" Nasya cengo di tempat. Setelahnya, tertawa ngakak mendengar suara nyanyian merdu di seberang sana menyapanya.

Hanya dengan mendengar suara nyanyiannya, ia sudah menebak bahwa sosok di sana ialah Fathan—yang entah mengapa cowok itu menyapanya dengan bernyanyi.

Terlebih lirik dan nyanyiannya yang sengaja cowok itu buat romantis, membuatnya tak bisa menahan tawa.

"Lo kenapa sih? Pagi-pagi udah konslet aja," balas Nasya tertawa, tak habis pikir.

"Parah lo. Seharusnya lo bersyukur gue nelpon lo dengan riang gembira gini. Bukannya malah dinistain gitu. Beruntung gue nggak marah sama lo."

Nasya kembali tertawa mendengar gerutuan Fathan di seberang sana.

"Iya-iya maaf, tapi emang kenapa lo marah sama gue?" Tersirat nada penasaran di kalimatnya.

"Hape lo kemana sih? Gue telpon nggak diangkat-angkat." Terdengar di ujung telepon, suara kekesalan milik Fathan.

Nasya meringis pelan, baru menyadari Fathan menelponnya dengan telepon rumah, bukan pada ponselnya. "Sorry. Gue lupa charge tadi malem, jadi sekarang mati, belum gue charge."

Fathan berdecak sinis. "Kebiasaan. Yaudah, buruan ke sini gue. Kita udah lama nih nungguin lo."

Dahi Nasya berkerut mendengarnya, mata menyipit berusaha berpikir apa yang sudah ia lupakan. "Apaan sih?"

"Hari ini latihan Olim, woy!"

"Astaga, gue lupa!" Telapak tangannya refleks memukul dahinya keras. "Yaudah gue mandi dulu. Tunggu, yaa! Bye!"

Nasya dengan cepat menutup telepon sepihak lalu berlari menuju kamarnya untuk mandi.

Hari ini ialah tanggal merah—yang seharusnya ia gunakan untuk bersantai di kamarnya, tetapi harus kembali mengorbankan hari liburnya untuk latihan olimpiade bersama Aldi.

Ah ya, perihal Aldi. Cowok itu tidak mengabarinya atau sekedar mengingatkannya jika hari ini mereka latihan—seperti hari-hari sebelumnya. Padahal biasanya, pria itu selalu mengingatkannya. Entah di group chat mereka, ataupun di private chat-nya.

Lelaki itu kini seolah sibuk dengan dunianya. Bahkan sekarang, ia jarang berkomunikasi dengan Aldi lantaran cowok itu sering melupakan ponselnya. Padahal dulu, sekalipun Aldi sibuk dengan urusan pria itu, ia tetap bersapa kabar dengan Nasya.

Lalu kini ia melupakan latihan mereka hari ini, sebab tak ada yang mengungkit bila hari ini mereka latihan olimpiade.

Nasya, gadis yang selalu melupakan suatu hal bila tak diingatkan. Yah, begitulah.

Salahkan saja Aldi yang sibuk mengurusi Amel hingga melupakan tentang dirinya yang pelupa ini.

Oh ya ... dan sekarang? Aldi yang biasanya selalu menjemput Nasya—entah itu latihan di rumah cowok itu atau di mana pun—kini tidak lagi. Bahkan ketika jarak rumahnya dengan tempat latihan mereka lumayan jauh, cowok itu tidak lagi menjemputnya.

Tak ada lagi sapaan pagi yang manis untuknya. Semua itu terjadi setelah Amel datang dan merubah segalanya, salah satunya sikap Aldi padanya.

Ddrtt.

Aldi : Kamu di mana?

Aldi : Cepet, ya, aku tunggu.

Nasya menghela napas berat. Benar bukan apa katanya? Aldi tak menjemputnya, melainkan cowok itu hanya mengirimkan pesan. Aldi tak lagi seperti biasanya.

Bukan. Bukan perihal Nasya yang posesif, tetapi ini perihal Aldi yang benar-benar berubah. Dan Naysa tidak tau apa maksud dari sikap pria itu.

Nasya : Sebentar lagi sampe.

Setelahnya Nasya mematikan ponselnya untuk menghemat daya ponsel yang kini sedang ia charge di power bank.

"Yang cepet, ya, Pak," pinta Nasya pada supir pribadinya.

*****

Ting!

Bunyi bel di pintu cafe terdengar bersamaan dengan munculnya seorang gadis berpenampilan kasual dan rambut yang dicepol.

Matanya bergerak liar ke penjuru cafe, mencari keberadaan seseorang yang ia kenal.

Ketemu!

Di sana! Tepat di samping meja bar, terdapat teman-temannya yang sudah menunggu. Ia tersenyum melihat Aldi, seolah menyapa lelaki itu dari jauh.

Namun, senyumnya memudar seketika, saat matanya bertubrukan dengan mata seseorang di samping Aldi.

Menghela napas berat dan memejamkan matanya sebentar, ia lalu melangkahkan kakinya berjalan menuju meja Fathan, Tiara, Aldi, dan ... Amel.

"Maaf semua. Maaf, ya, Kak."

Nasya tersenyum kaku, merasa bersalah lalu menarik kursi di samping Fathan—tepat di depan Aldi.

Aldi hanya mengangguk singkat sembari tersenyum pada Nasya.

"Oke, kita bisa mu—"

"Lo yang namanya Nasya?" tanya gadis yang berada di seberang Fathan, menatapnya penuh keingintahuan.

Nasya tersenyum lalu mengangguk.

"Kita belum kenalan, padahal udah ketemu dari hari lalu." Amel terkekeh pelan. "Gue Amel," ujarnya tersenyum sembari mengulurkan tangannya ke arah Nasya.

Nasya tersenyum canggung lalu membalas jabatan tangan Amel. "Nasya."

Not bad, pikirnya.

Amel melepas tautan tangan mereka lalu tangannya saling berpangku di meja. "Lo kenapa terlambat?" Ia menatap Nasya mengintimidasi.

Nasya terdiam, melirik sekilas ke arah Aldi lalu kembali menatap Amel. "Gue ... gue lupa," ucapnya ragu.

"Lupa? Ini 'kan latihan buat olim sekolah lo juga. Senior yang ngajarin lo aja tepat waktu, masa juniornya ngaret?" ujar Amel tak suka.

Nasya mengerjap bingung. "Ah ... maaf. Ini emang salah gue," balasnya tak enak.

"Yaiyalah salah lo. Dan lo tau nggak? Di sini kita udah nungguin lo lebih dari tiga—"

"Udah, woy! Sekarang kita mulai aja. Nggak usah nyari ribut," desis Fathan sinis pada Amel.

Amel yang perkataannya dipotong oleh Fathan, menyimpitkan matanya kesal lalu berdecak, menatap Fathan tak suka.

Nasya berdeham, ia mendadak canggung di meja ini. Nasya menatap Fathan yang kini sudah membuka bukunya. "Sorry, Than," gumamnya merasa bersalah.

Fathan menoleh lalu tersenyum menggeleng pelan, seolah mengatakan hal ini terjadi bukan salahnya. "Nggak apa-apa."

"Sorry, Ra," ujar Nasya pada Tiara yang duduk di sisi lain Fathan.

Tiara tersenyum lalu mengangguk pelan. "Sans, Sya."

Setelahnya Nasya, Fathan, Tiara, dan Aldi larut dalam pembahasan mereka. Tak lagi mempedulikan Amel yang masih menggerutu kesal.

Lain lagi dengan Nasya, pikirannya berkecamuk memikirkan segala hal yang mungkin terjadi. Padahal, seharusnya ia hanya fokus memikirkan soal yang ada di depannya. Bukan memikirkan yang tidak-tidak.

Sedari tadi yang ia lakukan hanya memijat pelipisnya. Tangannya selalu berusaha ia ayunkan untuk mencari jawaban walaupun otak dan hati tidak dapat disatukan saat ini.

Pikiran aneh yang berkelibat di pikirannya mengenai Amel yang berada di sini bersama mereka, membuatnya berasumsi bahwa gadis itu datang kemari bersama Aldi.

Sebenarnya hubungan mereka apa sih?

"Sya? Lo kenapa?" Fathan bertanya cemas pada Nasya yang terlihat tidak fokus.

Nasya menoleh kaget ketika Fathan bertanya. Ia tersenyum kecil menatap Fathan lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Nggak apa-apa, kok. Gue okay."

Fathan hanya mampu mengangguk lalu kembali melanjutkan kegiatannya untuk fokus pada pekerjaannya.

Aldi yang menatap Nasya tak seperti biasanya, seketika merasa bersalah. Perbedaan raut wajah gadis itu dengan biasanya sangatlah kentara di matanya. Gadis manis, cantik, dan yang biasanya selalu riang itu kini mendadak menjadi pendiam.

Sementara Nasya, menghela napas panjang. Memejamkan matanya erat, lalu kembali membuka matanya dan berusaha fokus pada tugasnya.

Fokus, Nasya! Fokus-fokus trulala!

*****

"Oke. Pembahasan kali ini udah selesai, tugas dari gue jangan lupa dikerjain. Kalian bisa pulang."

Nasya menghela napas lega. Akhirnya selesai juga setelah melewati waktu yang cukup lambat hari ini. Terlebih lagi, dengan adanya Amel yang selalu menatapnya intens, membuatnya tak bisa bergerak bebas.

Jangan lupakan selama ia latihan, Amel selalu bergelayut manja di samping Aldi—yang sukses membuat dirinya mati-matian menahan rasa kesalnya. Sementara Aldi yang diperlakukan oleh Amel demikian, hanya bersikap santai. Seolah itu semua tak berpengaruh untuk Nasya ataupun hubungan mereka.

Sudahlah. Nasya lelah. Ia igin segera pergi dari tempat ini sekarang juga.

"Sya. Kamu pulang bareng aku, ya," ajak Aldi pada Nasya yang masih membereskan bukunya.

Nasya mendongaok, menatap Aldi terkejut. Mengerjakan matanya berusaha bersikap biasa lalu ia tersenyum miris.

Udah inget lagi sama pacar lo?

"Loh, 'kan kamu janji mau anterin aku ke acara Mama. Gimana sih?" rajuk Amel menatap Aldi sembari melipat kedua tangannya.

"Kan bisa bareng Nasya, masih ada kursi kosong kok di belakang," bela Aldi.

Di belakang?

Sejak kapan posisinya telah berubah saat bersama Aldi? Bahkan, Aldi mengatakan itu seolah Amel lah yang berhak duduk di samping cowok itu ketimbang dirinya.

"Ya tetep nggak bisa, dong. Aku berangkat bareng kamu. Ya pulangnya juga bareng kamu, cuma berdua,. Nggak ada yang lain," ucap Amel penuh penekanan.

Nasya tersenyum miring mendengarnya.

"Gue berangkat sendiri berarti gue juga harus pulang sendiri." Nasya berbicara tegas tanpa menatap kedua orang yang sedari tadi berdebat.

Setelah selesai membereskan alat-alatnya, Nasya mendongak—menatap Aldi. "Gue bisa pulang sendiri, Kak. Makasih ajakannya."

Setelah berucap demikian, Nasya bangkit dari duduknya. Namun sebelum itu terjadi, Fathan menahan tangannya untuk tetap di tempat.

"Lo pulang bareng gue aja."

Nasya mengerutkan keningnya menatap Fathan. "Tapi Tiara?"

"Gue udah dijemput kok sama nyokap. Lo bareng Fathan aja nggak apa-apa. Gue duluan, ya. Bye, semua!" pamit Tiara yang sedari tadi hanya menyimak pertikaian kecil mereka.

Tanpa kata, Tiara berdiri lalu pergi keluar kafe meninggalkan mereka berempat.

Nasya berjengkit kaget ketika derit kursi terdengar di sebelahnya. Fathan bangkit lalu menggenggam tangannya untuk segera keluar dari cafe tanpa menatap dua orang yang masih duduk di tempatnya menatap mereka.

Gadis itu segera mengikuti Fathan, tetapi sebelum ia benar-benar pergi, matanya menyempatkan terlebih dahulu untuk menoleh ke arah Aldi yang masih diam di tempat—tanpa pergerakan sama sekali yang mengisyaratkan bahwa ia akan bertindak menahannya.

Nasya menghela napas lalu menunduk menatap tangannya yang digenggam erat oleh Fathan. Kemudian, ia balik menggenggam erat tangan hangat Fathan.

Nyatanya Amel memang segalanya untuk pria yang ia sendiri tak tau hatinya untuk siapa. Dan entah bagaimana lagi kelanjutan hubungannya kini. Mungkin, ia akan tetap terus bertahan untuk waktu yang belum pasti ia tentukan.

*****

"Lho? Ngapain kesini?"

Nasya mengerjap bingung menatap kedai es krim dekat sekolahnya.

"Lo harus tepati janji lo."

Dahinya berkerut bingung, menatap Fathan yang membawanya ke tempat ini. "Janji?"

Fathan hanya diam tak membalas perkataan Nasya lalu cowok itu keluar dari mobil diikuti Nasya.

"Janji apa sih?" tanya Nasya lagi setelah mereka duduk di kurs yang saling berhadapan.

"Traktir gue es krim."

Nasya mengerjap bingung mendengar perkataan Fathan yang mendadak.

"Tapi gue—"

"Ohya! Sini gue minta jatah pulpen satu," pinta Fathan menyodorkan tangannya tak berdosa—yang mampu membuat Nasya membuka mulutnya lebar-lebar.

Nasya menatap Fathan bengis. "Heh! Enak aja lo minta-minta. Sekarang 'kan hari libur, perjanjiannya kalo hari libur itu semua ini nggak berlaku! Kenapa sekarang berubah? Dasar plin-plan!"

Fathan memandang Nasya sembari melipat kedua tangannya di meja. "Heh! Perjanjian yang kemarin itu, hari libur yang dimaksud adalah hari minggu, bukan tanggal merah. Hari ini emang hari libur, tapi sekarang bukan hari minggu. Jadi perjanjian itu masih berlaku. Dasar plin-plan!" balas Fathan mengikuti perkataan Nasya.

Nasya melongo di tempat menatap Fathan dengan jengkel. Setelahnya ia memutar bola matanya malas.

"Terserah lo."

Fathan tersenyum lebar. "Nah gitu, dong. Kalo gitu 'kan cantik," pujinya menggoda Nasya.

Nasya hanya mampu berdecih sinis menatap Fathan. "Yaudah sana cepetan pesen!" perintahnya bersidekap.

Fathan dengan semangat menuruti perkataan Nasya. "Mbak! Saya pesen es krim coklat satu, ya!" teriaknya dari jauh.

"Ngapain teriak-teriak sih? Kan bisa panggil mbaknya dari sini."

"Kalo ada yang lebih praktis dan cepet, kenapa nggak digunain? Lagian, kasian nanti mbaknya bolak-balik," ucapnya tersenyum. "Eh sama satu lagi, takutnya si mbak malah jatuh cinta sama gue karena liat gue yang tamvan ini." Fathan tersenyum miring.

Nasya memutar bola matanya, berbicara dengan Fathan memang tiada habisnya. Selalu membuatnya kesal tanpa sadar.

Gadis itu kembali terkejut ketika telapak tangan Fathan disodorkan ke depannya. Ia terdiam menatap Fathan bingung.

"Mana?"

"Apa?"

"Pulpen."

"Nanti!"

"Sekarang aja, yang ada lo lupa kalo nanti."

"Nanti aja."

"Sekarang aja."

Nasya mengdengkus sinis lalu tangannya merogoh pulpen satu yang ia bawa di dalam tas. Kemudian ditaruhnya dengan kasar ke telapak tangan Fathan.

Cowok itu terkekeh senang. "Ini pulpen bekas lo 'kan? Masih baru nggak nih? Gue nggak mau kalo isinya sedikit."

Nasya berdesis.

Ngelunjak!

"Masih banyak itu, gue baru ambil."

Fathan hanya mengangguk-
anggukkan kepalanya. Lalu terkekeh kecil menatap Nasya yang dirundung kesal karenanya.


Fathan. Sosok yang jahil dan selalu membuatnya kesal. Namun, dibalik itu semua, Fathan ialah sosok yang tau bagaimana caranya untuk melindungi, tentunya dengan caranya sendiri.

Nasya tau bahwa inilah cara Fathan untuk menghiburnya, walaupun cara itu tidak sepenuhnya membuat suasana hatinya membaik karena pria itu yang menggodanya hingga membuatnya kesal. Tetapi, dengan itu, perasaan kesalnya pada sosok Aldi menguap dan berubah karena Fathan.

Sekalipun ia tetap merasakan kesal, tetapi ia bisa bernapas lega karena pikirannya tak lagi melayang memikirkan cowok yang entah sedang apa di sana.


Fathan. Sosok tengil di luar, tetapi perhatian di dalam. Sederhana, namun berkesan. Begitulah sosoknya, pria tampan dengan sejuta warnanya.

...

Tbc.

Happy 2,5k view yeay!

Thankyou so much for all, guys!!

See you and bye!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro