46 - Undangan (?)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Cinta yang salah dapat menyebabkan hati yang patah."

*****

"Udah terima undangan sweet seventeen gue?"

Nasya terkejut mendengar suara seseorang yang tiba-tiba saja sudah bersandar di samping lokernya dengan tangan dilipat.

Amel tergelak. "Ohh ... ternyata belum," gumamnya menebak ekspresi Nasya yang mengisyaratkan demikian.

Nasya menatap Amel dengan kening berkerut bingung lalu setelahnya ia tersenyum manis begitu ingat beberapa saat sebelumnya ia sempat mendengar celetukkan dari siswi mengenai undangan party Amel.

"Sorry ... gue nggak minat," balasnya tak peduli kemudian segera mengunci lokernya mengabaikan Amel.

Setelahnya ia segera berbalik dan berlalu meninggalkan cewek itu. Namun, belum sempat ia melangkah, Amel menghadangnya tepat selangkah di depan Nasya.

Amel tertawa sinis. "Lo nggak minat dateng karena takut ngeliat keromantisan gue sama Aldi di party nanti?"

Nasya terhenyak, tatapan gadis itu sulit didefinisikan di mata Amel. Yang jelas, cewek itu sedikit terkejut dengan ucapannya. Yash! Sesuai dugaannya.

Amel kembali tertawa remeh melihat mimik wajah Nasya. "Kenapa? Itu 'kan alasan lo nggak mau ke party gue? Lo nggak mau ngeliat kalo Aldi lebih milih gue daripada lo?"

Nasya menatap Amel diam. Memikirkan segala hal yang berkecamuk di kepalanya mengenai ucapan cewek itu yang sama sekali tak dimengerti. Meski ia berusaha mati-matian untuk tidak terpengaruh dengan perkataan Amel.

Meski nyatanya, ucapan Amel mampu membuat pertahanannya hampir goyah. Bahkan semenjak kejadian kemarin, Aldi sama sekali tidak menghubunginya. Seolah kejadian kemarin ialah berakhirnya hubungan mereka.

Amel mendengkus geli lalu berjalan ke samping gadis itu. Setelahnya ia berucap di telinga Nasya sebelum benar-benar pergi dari hadapan Nasya.

"Gue nggak nyangka, ternyata lo beneran pengecut."

*****

"Sya! Lo dapet undangan dari Amel?"

Seruan Bianca dari tempat duduknya menyambut Nasya usai kembali dari ruang loker. Gadis itu tidak menanggapi, ia masih fokus membuka lembar demi lembar buku paket yang dibawanya.

"Gila! Tuh nenek lampir ngundang seluruh angkatan di sekolah ini. Sebesar apa coba rumahnya?" Bianca berdecak kagum, tetapi tersirat ejekan di dalam kalimatnya.

"Sebesar lubang idung lo!" celetuk Deon tertawa di belakang tempat duduk Bianca.

"Rumah lo kali itu mah," balas Bianca memutar bolamata, disambut gelak tawa menghina Fathan dan Gilang yang sedari tadi menyimak obrolan sembari bermain game.

"Jahat amat lu sama pacar, Bi," sedihnya tak terima.

"What? Lo jadian sama curut satu ini, Bi?" Fathan berjengkit dengan berlebihan.

"Kagaklah! Gila aja. Lo nggak tau apa, tuh orang ngarepnya emang setinggi langit!"

"Bangke lu."

Sad boy.

BUAHHAHA.

Gelak tawa mereka terdengar keras di kelas. Namun, hal itu tak mampu menarik perhatian Nasya yang sudah sibuk mengerjakan tugas. Bel masuk barusaja berbunyi, tetapi tak sebagian dari kelasnya mengerjakan tugas yang diberikan guru.

Bianca melirik Nasya lalu menggesar bangkunya mendekati cewek itu perlahan. "Ngapain sih?" tanyanya kepo.

"Ngerjain tugas dari Pak Yono? Yaelah, santai aja kali. Lagian Pak Yono nggak masuk. Paling-paling juga kalo ada yang belum selesai buat pr." Ia diam sejenak, lalu setelahnya Bianca menyengir kuda kala berhasil mengintip tugas yang sedang Nasya kerjakan. "Bagi-bagi, ya!" serunya senang tanpa dosa.

Nasya tak membalas, masih diam tanpa merespon apa yang sudah Bianca lontarkan padanya. Hal itu sukses membuat Bianca berdecak kesal.

Setelahnya Bianca terdiam terkesiap, baru menyadari perubahan sikap Nasya sejak tadi pagi.

Tak dapat dipungkiri, bahwa ia pun mendengar seluruh penghuni sekolah membahas kejadian kemarin. Awalnya ia mengira Nasya dihukum sebab lupa membawa buku, tetapi ternyata lebih dari itu.

Terlebih ia mengetahui kejadian yang menimpa Nasya dari video yang di share di grup kelas mereka. Memperlihatkan Nasya dan Amel yang bertengkar, serta Aldi yang ....

Brengsek!

Bianca mengambil asal buku tulis milik Nasya tepat di sebelah gadis itu. Keningnya berkerut bingung lalu berjerit heboh setelah melihat benda yang terselip di buku Nasya. "Oh God! Demi apa lo diundang nenek lampir itu, Sya?!"

Mendengar pekikan tertahan Bianca membuatnya menoleh terkejut. Lalu matanya menangkap amplop berwarna silver dengan pita emas yang digenggam Bianca.

Secara tiba-tiba, Nasya merebut kasar amplop dari tangan Bianca lalu membukanya cepat, penasaran apakah benar itu undangan untuknya atau tidak.

"Gila. Mau ngapain tuh nenek lampir ngundang lo? Mau berantem di sana? Nggak-nggak-nggak! Lo nggak boleh berantem lagi, Sya. Eh tapi ...," jeda sejenak. "kalo ada Amel, pasti nggak jauh-jauh dari Kak Aldi dong?" serunya Bianca berprasangka.

Nasya diam mendengar ocehan Bianca. Ada Aldi?

"Fix! Lo harus ikut, Sya!"

"Hah?" beo Nasya tak percaya menatap Bianca.

"Lo harus ikut! Pastinya sebagian orang di sana bakalan ngira lo nggak ikut karna lo takut sama Amel! Mereka ngira, lo yang rebut Aldi dari dia! Secara Aldi sama Amel itu sahabatan dari kecil! Jadi ya wajar mereka-"

"Sahabatan?" Nasya tak lagi memedulikan alat tulis dan juga tugasnya, ia menatap Bianca sepenuhnya.

Bianca mengangguk ekstrim membuat kuncirannya bergerak kesana-kemari. "Lo nggak tau? Semuanya udah nyebar, Sya! Mereka semua nyalahin lo. Padahal lo nggak tau apa-apa. Nggak habis pikir gue sama otak dangkal macam mereka."

Gadis berkuncir satu itu terdiam di tempat, pikirannya melalang buana. Semuanya terasa cepat dan tak dapat membuatnya berpikir jernih.

Perlahan otaknya berputar pada saat ia melihat snapgram Aldi yang bersama Fathan kala di pantai saat itu. Perkataan Fathan di video itu terngiang dalam pikirannya.

"Temen kecil lo yang dulu kemana, Bang?"

Nasya tersenyum miris. Nyatanya Aldi berhasil bertemu lagi dengan teman masalalunya. Seharusnya dari awal ia tidak terperangkap di dalamnya. Lantas jika sudah begini, siapa yang akan mengeluarkannya dari lingkaran merah yang secara tak sadar ia buat sendiri?

Gadis itu terkesiap begitu mengingat kembali ukiran pasir pantai yang dibuat Aldi. Dengan cepat tangannya mengambil ponsel lalu membuka aplikasi Instagram, tak lagi mendengar ocehan Bianca yang terus berlanjut.

Matanya bergerak liar ketika sudah berhasil menemukan apa yang ia cari di profil seseorang.

I & A

Nasya mengerut bingung melihat 2 huruf di sana. Jika A untuk Amel, lalu I untuk siapa? Lantas Aldi?

Apakah huruf itu ada hubungannya dengan seseorang di masa lalu Aldi? Seperti teman masa kecilnya? Lalu bila benar, siapa sebenarnya pemilik huruf I?

Ataukah seseorang yang kini hadir di hidup Aldi? Tapi ... siapa?

"Menurut rumor nih, ya, Aldi suka sama temen kecilnya. Jadi maksud gue—"

"Maksud lo Aldi suka sama Amel?" potong Nasya menatap Bianca.

*****

"Dor!"

Nasya terkejut di tempat ketika tiba-tiba saja seseorang datang dari arah belakang mengagetkannya.

Ia menoleh ke arah pelaku yang tak diundang lalu berdesis sinis. "Apaan sih?" ujarnya jutek.

Gabriel tertawa lalu mengacak pelan rambut dikuncirnya, yang segera ditampis kasar oleh cewek itu. "Galak banget lo," komentarnya terkekeh.

"Gue masih kesel sama lo. Kemarin ngapain sok-sokan jadi pahlawan nangkep gue kalo ujung-ujungnya lo malah buat jatoh?" sentak Nasya melipat kedua tangannya di depan dada. Berhenti sejenak memandang Gabriel di pintu utama.

Cowok itu menunjukkan deretan giginya. "Ya sorry, tadi refleks gue lepas gara-gara suara Bu Ria yang mirip Tarzan!" celetuk Gabriel asal.

"Shut! Asal ngomong aja lo! Kalo Bu Ria denger gimana?" seru Nasya was-was menatap sekitar.

"Ya gue kabur."

Nasya melongo di tempat kala Gabriel menjawab dengan santainya lalu berjalan meninggalkan dirinya yang masih berdiri di pintu utama sekolah.

Bel pulang sudah berbunyi membuat hampir sebagian siswa masih berada di area parkir sana. Tidak terlalu ramai sebab bel pulang sudah berbunyi lebih dari 30 menit yang lalu.

Nasya berlari kecil menyusul Gabriel yang sudah menaiki motornya. Ia lalu menyengir tanda sesuatu menatap Gabriel. Mengingat dirinya tidak dijemput supir pribadi.

"Iyeell .... Aku boleh ikut pulang bareng kamu?" ucap Nasya lucu sembari menunjukkan puppy eyes-nya pada Gabriel.

Cewek itu terkejut ketika tiba-tiba Gabriel meraut wajahnya kasar. "Jijik tau nggak?"

Ihh!!

Nasya menggerutu. "Jahat banget lo!"

Setelahnya Gabriel terkekeh lalu mengangkat helm berwarna cream ke arah Nasya. "Nih."

Nasya tersenyum ceria lalu segera menyambut helm yang disodorkan Gabriel. Lalu setelahnya mereka melaju keluar gerbang sekolah.

Tanpa keduanya sadari, nyatanya di balik kaca mobil, seseorang mengamati keduanya. Tersenyum miris menatap kepergian mereka, terutama menatap punggung kekasihnya yang perlahan menghilang di telan gerbang sekolah.

*****

"Yel. Ke taman yang dulu kita pernah main, yuk! Gue udah lama nggak kesana."

Gabriel menoleh lalu menyerngit tanda bingung. "Taman mana?"

Nasya berdecak. "Itu loh, taman deket les musik kita dulu. Kita 'kan biasa main ayunan di sana. Masa lo lupa?"

"Ayunan?" beonya kebingungan lalu setelahnya ia menggelengkan kepalanya sembari mengerjap berulangkali. "Nggak ah. Lain kali aja napa. Males gue."

"Dih jahat banget."

Setelahnya Nasya kembali melahap baksonya yang sempat ia dan Gabriel pesan di pinggir jalan sebelum benar-benar pulang ke rumah.

Nasya bergumam. "Lo masih main piano, ya? Kenapa masih? Nggak bosen emang?"

Gabriel menatap Nasya yang sedang melahap bakso dengan kuahnya yang berwarna merah menyorot. Ia sendiri tidak kuat membayangkan pedasnya kuah bakso itu. Namun, melihat wajah Nasya yang biasa saja tanpa kepedasan, membuatnya bergidik ngeri.

"Emang lo kenapa masih main biola? Nggak sengklek tuh leher?"

Nasya memukul pelan tangan Gabriel yang berada di atas meja. "Sembarangan!" sebalnya. Cewek itu menatap sepenuhnya pada Gabriel yang berada di seberang meja. "Lo tau? Menurut gue, biola itu kek cinta."

Gabriel mengangguk-anggukan kepalanya. "Kenapa?"

"Karena kalo di dunia nggak ada cinta, kerasa hampa banget. Sama kek biola. Kalo di dalam musik nggak ada si pengiring harmonis kek biola, ya nggak bakal tuh musik enak didenger! Nggak seru!"

Gabriel melahap satu bakso kecil ke dalam mulutnya. "Kan ada piano sebagai gantinya, nggak harus biola!"

Nasya memutar bola mata malas mendengarnya. "Biola juga penting! Selain dia musik harmonis, dia juga punya bentuk yang unik."

"Gitar juga unik."

"Bentuk mereka emang sama. Tapi biola paling istimewa. Selain bentuknya yang unik, dia juga kecil dan bisa dibawa kemana-mana. Nggak repot juga!" seru Nasya.

"Tapi kalo dimainin terus, bisa sengklek lehernya."

"Ya nggaklah! Emang lo liat leher gue sengklek?"

"Nanti juga sengklek!"

"IH!! JAWAB MULU! KESEL GUE!" teriak Nasya kesal sembari melempar kerupuk yang ada di meja ke arah cowok itu.

Gabriel tertawa ngakak mendengar semprotan Nasya padanya. Gadis itu kembali melahap baksonya dengan rakus, tanpa memedulikan Gabriel yang masih menertawakannya.

"Ngeselin banget lo!"

Gabriel berusaha meredakan tawanya. "Ya lo abisnya, bahasa lo kejauhan. Segala nyambungin biola sama cinta. Emangnya lo tau arti cinta? Pacaran aja masih sering berantem."

Nasya tersentak tak menjawab.

Lama tak ada balasan dari gadis itu membuat Gabriel meringis kecil. Ia sadar barusan sedikit menyentil hati cewek itu. "Cinta itu terkadang emang buat sakit, Sya. Tapi lo jangan salah persepsi. Lo bakalan ngerasain cinta itu menyenangkan ketika lo ngerasa semua berjalan normal, tepat pada posisinya. Beda lagi kalo lo naruh arti cinta bukan di posisinya, itu malah jadi boomerang buat lo sendiri karena nggak hati-hati."

Gabriel menatap Nasya yang masih diam menatapnya dalam, seolah sedang meresapi perkataannya. Ia tersenyum manis, menunjukkan binar ketulusan di mata cowok itu.

"Kata orang, cinta sepaket sama luka. Persepsi itu menunjukkan 'benar' kalo lo nggak nemuin cinta yang tepat. Lo bakalan terluka kalo lo mencintai seseorang yang bukan buat lo. Tapi kalo lo mencintai seseorang yang juga mencintai balik, itu namanya bukan luka, but that's a happiness."

Nasya menatap cowok yang biasa dengan tampilan sedikit urakan itu. Berbanding terbalik dengan Aldi yang selalu tampil rapi.

Namun, ia akui. Meskipun tampilan Gabriel jauh dari kata rapi, tetap terlihat kesan tampan dengan rambut panjang berantakan serta kemeja yang semua kancingnya dilepas—menampilkan kaos putih di dalam sana.

"Jadi maksud lo, Aldi nggak cinta sama gue?"

Gabriel menyengir santai. "Gue nggak bilang gitu loh, ya. Lo sendiri yang bilang." Cowok itu menggeser mangkoknya ke samping, pertanda ia sudah selesai makannya. "Gue cuma bilang, cinta yang dibumbui luka itu nggak tepat."

Nasya menghela napas gusar. "Jadi menurut lo siapa yang tepat?"

"Gue."

Ukhuk-ukhuk!

Nasya mengerjap perih, tenggorokannya terasa sakit akibat tersedak kuah pedas miliknya. Gabriel yang melihat, segera menyodorkan air mineralnya pada Nasya. Ia panik sendiri akan ulah cewek itu.

Nasya menegaknya guna mengurangi rasa sakit. Ia memejamkan matanya sebentar lalu membukanya dan terlihat mata coklat itu berkaca-kaca.

"Makanya kalo ambil sambel jangan banyak-banyak!"

Nasya menggerutu pelan.

Setelahnya dirasa selesai dengan makannya, mereka bergegas pergi dari sana. Nasya menatap Gabriel yang memakai helm fullface di samping kuda besinya.

"Iyel," panggilnya iseng.

Cowok itu mendelik sinis pada Nasya yang sedang memeluk helm birunya. "Stop manggil gue itu, geli gue."

Nasya tertawa. "Geli kenapa? Lucu tau." Gadis itu tersenyum manis menatap Gabriel yang sudah manaiki motornya. "Iyel, Iyel, Iyel, Iyel, Iyel! IYELLL!!"

Nasya tergelak senang mengganggu Gabriel. Cowok itu berdecak kesal lalu bersiap menancap gas tanpa memerdulikan Nasya yang belum naik ke motornya.

"IHH GABRIEL! JANGAN TINGGALIN GUE!"

Pekikan Nasya dan juga tarikan mendadak dari gadis itu pada tasnya membuat Gabriel seketika berhenti untuk melajukan motornya. Ia menatap sinis Nasya yang sudah duduk di jok belakang sembari cemberut lucu. "Jahat banget lo. Gue baru nemuin orang jahat kek lo gini."

Selanjutnya roda Gabriel berputar meninggalkan tempat pedagang kaki lima di sekitarnya. Masa bodo dengan gerutuan dan umpatan yang dilontarkan Nasya padanya.

"Eh tapi kok lo nggak ngejek nama gue balik gitu?" tanya Nasya keras sebab suaranya yang terbawa angin.

"Ngejek apaan? Nama lo gitu-gitu aja! Nggak ada panggilan spesial!" seru Gabriel di balik helmnya.

Nasya menoyor helm cowok itu kesal. "Ada, tau! Bahkan lo sendiri yang ngasih nama itu buat gue!"

"Dih kapan gue ngasih lo nama? Nyokap bokap lo itu mah!"

"Dih, bukan! Lo sendiri dulu yang-" Gadis itu terdiam berpikir sejenak.

"Dulu apaan? Kita aja baru ketemu kemarin!"

Nasya tersentak kaget. "Maksud lo baru ketemu kemarin?"

Lama tak ada jawaban dari Gabriel, membuat Nasya semakin penasaran. Ia melihat spion, mencoba menatap mata cowok itu di sana. Terlihat Gabriel menggeleng keras dengan mata yang bergerak liar.

"Nggak! Bukan gitu maksud gue! Udah lah, nggak usah dibahas lagi!"

Gadis itu semakin bingung di tempatnya. Perkataan Gabriel membuatnya sulit menebak apa maksud cowok itu. Perasaannya terasa ada yang mengganjal.

"Pegangan! Gue mau ngebut!"

Nasya melotot seketika, membuang seluruh pikirannya lalu segera mencengkram jaket yang digunakan Gabriel sebagai pegangan. Detik berikutnya, mereka melesat jauh membelah jalanan di sore hari.

...

Tbc.

Hai, guys!

Terungkap kalo tmn kecil Amel itu Aldi? Lalu apa Aldi suka Amel? Lalu ukiran di pasir itu inisial nama atau pertanda lain?

Part Gabriel sma Nasya uwu gak? Dhlah. Nasya sma iyel aja, aku sma Fathan🤣

Gabriel mau nyapa kalian nih
hihi🙈

Lanjottt, gaskeunn!

Janlup, vote, comment, and share!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro