52 - Amarah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading!

WARNING!! DIBERITAHUKAN KEPADA PEMBACA UNTUK TIDAK SILENT READERS!

Kuy dukung cerita aku dengan vote dan komen kalian, karna cukup dgn itu aku sangat berterima kasih 🤗❣️

Semoga sehat dan lancar rejeki semuanyaa, sukses slluu😘❤️

...

"Lo yang kasih dia harapan, bangsat!"

*****

Hari ini hari rabu, pelajaran olahraga terakhir di minggu ini sebelum memasuki minggu depan yang akan dilaksanakan Ujian Akhir Semester 1. Kemudian dilanjutkan dengan classmeeting yang puncaknya diadakan pensi tahunan.

Materi hari ini praktek permainan bola voli. Olahraga itu cukup Fathan kuasai meski ia terampil di bidang basket dan silat. Kedua hal itu memang ahlinya, tetapi tidak berarti ia tidak bisa melakukan permainan olahraga yang lainnya.

Usai pelajaran olahraga yang benar-benar sedikit menguras keringat, Fathan, Deon, dan Gilang kini sedang berjalan menuju kantin. Baju olahraga masih melekat di badan ketiganya. Rambut yang sedikit acak-acakan dan berkeringat membuat karisma ketiganya semakin bertambah.

Terlebih saat ini memang jam istirahat, hampir di sepanjang koridor tatapan mata tak lepas dari mereka.

Fathan tersenyum lebar melangkahkan kakinya menuju kantin, ini adalah keadaan yang sudah biasa ia dapatkan. Berjalan di koridor dengan tatapan penuh memuja dari para gadis ialah suatu kebanggaan pada diri cowok itu.

Menyugar rambutnya dengan senyum songong khasnya, Fathan menyapa adik kelas yang berada di koridor kelas sepuluh.

"Hei! Jangan bengong aja, gue tau gue ganteng!" seru Fathan mengedipkan sebelah matanya hingga membuat gadis itu berjengkit histeris di tempat.

Gilang melihat tingkah Fathan yang tak berubah itu memutar bola matanya malas. "Sok ganteng banget lo! Ditolak Nasya aja bangga!"

Deon terbahak keras lalu menabok kepala Fathan yang berada di sebelahnya. "Ganteng doang, dapetin Nasya kagak bisa!"

"Lo juga nggak ada bedanya! Deketin cewek aja kagak bisa!" seru Gilang pedas yang mampu membuat Deon kicep.

Gilang tertawa keras melihat muka suram Fathan dan Deon yang menatapnya seolah ingin melahap hidup-hidup.

"Anjir! Kena banget!"

"Kampret!"

Gilang tertawa lalu merubah posisinya menjadi di tengah antara Deon dan Fathan seraya merangkul keduanya.

"Sabar, ya. Mungkin ini ujian," tuturnya penuh prihatin lalu setelahnya gelak tawa kembali terdengar dari mulut Gilang yang sudah pergi mendahului keduanya.

"Anjir! Mentang-mentang si doi udah punya doi, jadi ngata-ngatain seenak udel gini. AWAS YE LU, LANG!!"

Setelahnya Deon berlari mengejar Gilang yang sudah tak terlihat. Meninggalkan Fathan yang masih conge di tempat.

Ia mengumpat pelan setelahnya begitu kepalanya mengulang kalimat yang Gilang ucapkan tadi.

'Ganteng doang, dapetin Nasya kagak bisa!'

"Shit!"

Berniat ingin berlari menyusul Gilang untuk sekedar membalas perkataan cowok itu dengan memukulnya, tiba-tiba saja ia mengurungkan niatnya kala melihat seseorang memasuki lapangan indoor.

Sontak langkah kaki yang tadinya ingin menuju kantin, kini berbalik menuju lapangan indoor, tempat sosok tersebut berada.

Brak!

"ANJING LO!!"

Fathan langsung melayangkan bogeman mentah ke seorang pria yang tadi sudah menjadi targetnya.

"Lo kenapa sih? Anjir!"

Cowok itu meringis pelan, mengusap kasar darah segar yang keluar dari hidungnya. Fathan memukul tepat di tulang hidung Aldi hingga berdarah.

Gemuruh napas Fathan terlihat tak terkontrol. Bahunya naik turun menahan emosinya selama ini. Cukup ia memendamnya guna menjaga perasaan Nasya. Tapi kali ini, sungguh sudah tidak bisa lagi ia tahan.

"Brengsek banget lo! Emang Nasya punya salah apa sampe lo buat dia nangis? Dia cewek, Di! Lo anti banget buat nyakitin cewek! Tapi apa yang gue tau sekarang? Lo berubah! Lo bukan lagi Aldi yang gue kenal! Lo—BANGSAT, BEGO!"

BUG!

Fathan kembali menyerang Aldi membabi buta hingga membuat cowok itu terhuyung ke belakang sebab pukulan Fathan yang terbilang sangat kuat.

Tak pernah lupa dirinya mengingat tangis pilu Nasya di rooftop kemarin yang begitu menyayat dan menyakitinya secara tak langsung. Mencintai lelaki brengsek di depannya memang tak pantas bagi Nasya.

"BAJINGAN! MATI LO!"

"FATHAN! ASTAGA LO NGAPA BONYOKIN ABANG LO SENDIRI, OGEB!"

Pekikan Deon yang melengking serta suara pukulan begitu keras yang terdengar mampu membuat siswa-siswi berhamburan memasuki lapangan indoor dengan penuh penasaran.

"Goblog! Lu lerai mereka dulu! Bukannya malah teriak histeris kek Mimi peri yang ketauan hamil!"

Gilang menampol kepala Deon lalu mendengkus keras. Setelahnya cowok itu menyeret kerah belakang Deon menuju Fathan dan Aldi yang masih berkelahi.

Aldi berhasil menangkis pukulan Fathan lalu segera melayangkan bogeman telaknya pada cowok itu yang mampu membuat Fathan mundur beberapa langkah.

Ia terkekeh kecil sembari memegangi sudut bibirnya yang robek. Cowok itu menatap Fathan yang juga menatapnya tajam. "Seharusnya lo seneng gue putus. Bukannya ini yang lo mau biar bisa deketin dia? Lo naksir 'kan?"

"BANGSAT, SIALAN LO!!" Mata Fathan memerah tajam, deru napasnya naik turun tak terkontrol.

Deon dan Gilang segera menahan tubuh Fathan yang ingin kembali menyerang Aldi di depan sana. "Anjay, Than! Lo jangan gila, dong! Cukup Gilang aja yang gila," cengir Deon tak tau tempat yang dibalas pelototan tajam dari Gilang yang menyuruhnya untuk berhenti berjulid.

"Lepas, anjir!!" Fathan menggeram ke arah Deon dan Gilang yang berada di sisi kanan kirinya.

Deon meringis pelan. Ia sendiri takut dengan Fathan yang sekarang, namun ia juga tidak bisa melepaskan cowok itu. Bisa-bisa Fathan kembali memukul Aldi terus-menerus.

Aura Fathan kali ini sangat berbeda, cowok itu benar-benar terlihat marah. Dari matanya yang memerah dan juga tatapan tajamnya. Fathan tidak pernah semarah ini, sekalinya marah, bumi bergoncang karenanya.

"Sadar, anjirr! Lo boleh emosi tapi bukan berarti lo bisa nyerang dia gitu aja!" Ucapan Gilang mampu membuat gerakan Fathan melemah walau tatapan tajam tak pernah lepas dari Aldi dan deru napasnya masih terasa panas di sekitar.

Aldi tersenyum miring. "Salah dia sendiri yang baperan sama perlakuan gue," ujarnya santai.

"LO YANG NGASIH HARAPAN, BRENGSEK!"

Bugh!!

Deon dan Gilang terkejut ketika Fathan terlepas dari cekalan keduanya. Cowok itu yang tadi sempet melemah seketika kembali menyerang Aldi semakin ganas dari sebelumnya, membuat keduanya bertambah panik.

"Gila! Fathan nggak pernah segila ini! Bisa abis tuh abangnya!" Deon meremas rambutnya frustasi. "THAN, UDAH DONG!"

Rasanya Deon ingin menangis sekarang juga, ANAK ORANG MAU MATI!

*****

Saat ini Bianca dan Nasya asik memakan bakso Mang Aji di kantin usai pelajaran olahraga yang lumayan menguras tenaga.

"Kok tumben, ya, kantin nggak serame biasanya?" heran Bianca.

Nasya menolehkan kepalanya ke sekeliling. Benar juga apa yang dikatakan Bianca, kantin memang masih tetap ramai, tetapi tidak seramai biasanya yang benar-benar padat sekali.

Bahkan kali ini ada beberapa meja yang kosong, padahal biasanya meja di sini selalu terisi penuh. Dan ... kemana perginya Fathan dan kedua cengunguk itu? Biasanya merekalah orang pertama yang menuju kantin. Namun, hingga detik ini Nasya tidak melihat mereka semua.

Brak!

"Astaga, Sya! LO NGAPA MASIH DI SINI?"

Bianca menyemburkan minumnya ketika gebrakan meja dan suara cempreng milik Deon mengagetkan keduanya. Untung semburannya tidak terlalu kuat hingga tidak mengenai wajah Nasya yang berada di depannya.

Sementara Nasya tersedak kuah bakso hingga membuat tenggorokannya terasa perih. Dengan cepat ia mengambil dan meminum rakus es teh miliknya.

"NAPA SIH LO?! NGAGETIN AJA!" Bianca berteriak histeris menatap Deon sebal.

Deon gelagapan di tempatnya. "I-itu ... naon arana?" Mendadak otaknya tak bekerja hingga membuat Bianca gemas lalu menarik keras rambut Deon yang sedikit panjang.

"Nah loh! Udah gue tarik tuh pala biar bener, napa lo?!" cecar Bianca penasaran.

Deon meringis pelan lalu mencibir. "Najis lo, Bi!"

"CEPET NGOMONG! LO NAPA NGAGETIN GUE SAMA BIANCA?!"

Kini giliran Nasya geregetan sendiri melihat Deon yang tak kunjung berbicara. Kesabarannya pada cowok itu sudah habis. Setelah mendapat tamparan tangan pedas Nasya di mulutnya, Deon lalu berbicara ogah-ogahan.

"Fathan berantem sama Aldi di lapangan indoor."

"WHAT?!"

"ANJIR LO, DEON!"

Dengan cepat keduanya berlari tergesa-gesa keluar, meninggalkan Deon yang tampak ngos-ngosan sebab berlari hingga kemari. Menegak asal es teh milik Nasya dilanjut dengan meminum botol air mineral Bianca yang masih tersisa.

Ia lelah, berlari dari gedung lapangan indoor menuju kemari bukanlah jarak yang dekat. "Capek gue ngurusin idup orang mulu, anjir!"

*****

Jantung Nasya berdetak kencang di setiap langkah yang ia tempuh. Pikirannya melalang buana membuatnya tak fokus berlari hingga beberapakali menabrak siswa-siswi yang dilewatinya.

Fathan. Aldi.

Nama itu yang terus muncul dalam benaknya. Bertanya-tanya apa yang terjadi pada mereka benar-benar membuatnya frustasi bukan main!

Napasnya tercekat seolah pasokan udara yang masuk ke paru-parunya berkurang ketika melihat Fathan dengan kesetanan memukul Aldi di bawah sana yang sudah tak berdaya.

Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat lebam kebiruan memenuhi wajah tampan Aldi. Sudut bibir cowok itu pecah serta hidung yang mengeluarkan darah segar. Bila ini dibiarkan terus, bisa-bisa Aldi akan pingsan di tempat!

Sebelum guru datang dan mengetahui hal ini, dengan tekat kuat serta tak peduli dengan kerumunan yang menghalanginya, Nasya meneboros begitu saja dan berdiri tepat di belakang Fathan yang masih melempar bogemannya pada Aldi.

Netra legam cowok itu seolah memercikan api pada Aldi yang berada di kukungannya. Tampak kebencian dan kekecewaan tersorot jelas di mata tajamnya.

"STOP, FATHAN!"

Teriakan Nasya yang menggema di ruangan ini masih belum mampu membuat Fathan menghentikan aksinya. Membuat mata Nasya memerah menahan amarah yang tiba-tiba saja menyerangnya. Fathan terlihat menakutkan dengan wajah bringasnya saat ini.

"Fathan, stop!"

Sentakan dan tarikan kuat dari kedua tangan mungil pada lengannya membuat Fathan berhenti melayangkan bogemannya pada pipi Aldi. Ia menatap terkejut Nasya yang telah berada di sampingnya dengan mata berkaca-kaca.

Lelaki itu lantas berdiri di hadapan Nasya, menjauh dari tubuh Aldi yang sudah terkapar tak berdaya di bawah sana.

"Lo apa-apaan sih?!" hardik Nasya keras mengabaikan beberapa siswa-siswi yang menatap keduanya penuh penasaran.

"Sya ...," panggil Fathan lirih.

Nasya mendengkus kasar lalu segera membantu Aldi yang tergeletak lemah di lantai, mengabaikan Fathan yang berdiri kaku di tempat.

Gadis itu tampak kesusahan memapah tubuh Aldi yang berusaha berdiri. "Pelan-pelan," ucapnya ketika mendengar ringisan Aldi keluar.

Dilihat sedekat ini, tubuh cowok itu benar-benar babak belur. Tampak jelas wajahnya ruam kebiruan di sekitar pipi, dagu, dan bibirnya. Lelaki itu begitu tak berdaya sekarang.

Fathan tercekat melihat Nasya membantu Aldi berdiri, ia menatap Nasya dengan tatapan tak terbaca. "Sya, lepas," geram Fathan menahan amarah.

Nasya tak menghiraukan perkataan Fathan, ia sudah berhasil memapah Aldi berdiri lalu berjalan melewati Fathan.

"Gue bilang lepas, Sya!"

"Nasya!"

"Dia udah nyakitin lo, tapi lo masih bantuin dia?!" pekik Fathan tak habis pikir menatap Nasya yang berdiri tak jauh darinya. "Gila lo!"

Nasya berhenti lalu mendongak menatap Fathan tajam. "Than, dia kakak lo! Nggak seharusnya lo mukulin dia segini parahnya! Dia hampir pingsan gara-gara lo!"

Fathan terkekeh miris. "Bahkan setelah dia buat lo kecewa, lo masih mau nolongin dia? Dia udah jahat sama lo! Otak lo di mana, Sya?!" murka Fathan menaikan nadanya satu oktaf.

Gadis itu tersentak kecil, ia menggeleng-gelengkan kepalanya menatap Fathan dengan sirat kekecewaan. "Lo yang jahat, Than. Lo yang jahat!" tukas Nasya kesal.

Setelahnya Nasya kembali memapah Aldi dan berjalan keluar ruangan, melewati beberapa siswa-siswi yang masih mengerumuni mereka. Mengabaikan Fathan yang merunduk mengusap wajahnya kasar, mengabaikan perih di bibirnya yang sangat kentara.

Bianca mematung di tempatnya, kejadian ini benar-benar tak pernah ia pikirkan sebelumnya.

"ANJIR, LO PADA NGAPAIN MASIH BERDIRI DI SINI?! BUBAR LO SEMUA. NGGAK ADA LAGI TONTONAN GRATIS!"

Deon berteriak keras dan mengumpati mereka semua yang hanya menonton tanpa membantu, bahkan ada yang terang-terangan mengangkat ponselnya demi merekam adegan langka mantan waketos mereka yang terlibat baku hantam.

Bianca mendesis kesal ketika menatap Nasya yang tertatih membawa Aldi menuju UKS. Ia tak habis pikir dengan pikiran Nasya. Benar kata Fathan, Nasya bego memilih menolong seseorang yang sudah berkali-kali menyakitinya.

Jauh di dalam hatinya, ia bersorak mendukung Fathan untuk menghabisi cowok yang telah menyakiti Nasya selama ini. Sejauh ini pula ia terus menahan kekesalannya terhadap Aldi yang terlihat semena-mena pada Nasya.

Ia heran, mengapa Nasya masih saja membantu Aldi yang tak berperasaan? Lelaki tak punya hati dan suka berselingkuh itu!

Apakah gadis itu masih mencintai lelaki bajingan seperti Aldi?

*****

"Sakit shh," lirih Aldi meringis.

Nasya hanya diam sembari mengobati luka Aldi. Menatap datar luka lebam Aldi yang disebabkan oleh Fathan. Ia sempat tak menyangka melihat cowok itu yang sangat berambisi ingin membuat Aldi terkapar saat itu juga.

Aldi tersenyum kecil menatap wajah Nasya sedekat ini yang tak pernah ia rasakan saat mereka berpacaran dulu.

Wajah mungilnya, mata indah dengan iris berwarna coklat terang yang fokus mengobati lukanya, hidung mancung, bibir tipis merona, serta pipi mulus dengan tahi lalat di sana. Tak dapat ia pungkiri, bahwa Nasya ... terlihat sangat—

"Cantik," gumam Aldi tanpa sadar.

Nasya membola, ia menatap lurus mata hazel yang berjarak satu jengkal darinya. Entah apa arti tatapan Aldi padanya saat ini. Hatinya seolah berkata bahwa Aldi memiliki perasaan terhadapnya. Namun ..., perkataan menyakitkan yang diterimanya kemarin membuatnya menguburkan harapannya dalam-dalam.

Gadis itu abai dengan tatapan Aldi lalu kembali melanjutkan aktifitasnya yang tertunda. Lama tak bersuara, akhirnya Nasya berbicara. "Baru tau gue cantik?" sinisnya.

Brak!

"Heh, bitch! Jauh-jauh lo dari pacar gue!"

Nasya mendongak, ia dapat menangkap Amel yang berdiri di ambang pintu dengan muka yang memerah menahan marah.

Menatapnya datar lalu mengangkat bahu acuh, Nasya meninggalkan obat merah dan kapas untuk mengobati Aldi tadi ke atas brangkar, tepat di samping cowok itu.

"Tuh! Gue juga nggak sudi bantuin cowok lo kalo bukan gara-gara Fathan!" cetusnya telak lalu segera melenggang pergi meninggalkan Amel yang menatap sinis ke arahnya.

Ya, memang benar. Jika bukan karena Fathan yang tak ingin terkena masalah, Nasya tak ingin mengobati Aldi saat itu juga.

Tanpa diberitahu apa permasalahan keduanya, Nasya sudah mengetahui itu semua. Fathan hanya membelanya. Sementara ia memilih mengobati Aldi hanya tidak ingin guru mengetahui bila Aldi dipukuli oleh Fathan dan berakhir dengan Fathan yang terlibat hukuman.

Lagi pula, Aldi pasti mengerti Fathan dan tak mungkin cowok itu melaporkan adiknya ke pihak sekolah. Terlebih alasan mereka bertengkar pun hanya karena gadis bodoh dan menyusahkan sepertinya. Sangat tidak masuk akal sekali untuk mencari keadilan sekolah.

Ah ya, jangan lupakan Bianca yang pasti sekarang gadis itu akan memarahinya sebab lebih memilih Aldi daripada Fathan yang telah membelanya.

Biarkan saja teman sebangkunya berspekulasi hal demikian tentangnya untuk sementara ini. Yang harus ia lakukan sekarang ialah bertemu dengan Fathan, si cowok menyebalkan yang entah mengapa kini berhasil membuatnya risau.

...

Tbc.

TEROS GULET TROSS!!

Ada yg sefrekuensi sama Bianca dan Fathan yg pgn bgt Aldi ditonjok?? Wkkwk.

See you next babayy!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro