Lima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ada yang nungguin cerita ini? Aku PD banget, ya? Hahahaha... Dunia nyata sedang sibuk sih, jadi nggak nemu waktu untuk nulis. Nanti akan balik aktif lagi kalo udah mulai senggang. Buat yang kekurangan bacaan, boleh deh mampir  di di lapak @androsluvena dan @AnsarSiri, mungkin cocok dengan selera. Hehehe... bantuin promo nggak apa-apa, kan?

Oh ya, aku belum  sempat ngedit, jadi kalau ada typo dan kalimat aneh, harap maklum. Daannn... aku berencana mengganti judul, karena ceritanya nggak akan murni fokus pada Double B aja, kali aja mereka nggak jodoh. Eh?? Hehehehe.... Tapi lagi nyari yang cocok. Happy reading, Gaess...

**

"Pak Riyas turun tangan sendiri untuk kasus Prita?" Ben meletakkan sendoknya kembali ke piring. "Waduh, padahal aku harap aku yang akan pegang kalau kasusnya masuk kantor kita."

"Pak Riyas nggak akan menyerahkan kasus Prita Salim mentah-mentah kepada kita, Ben."Adhi terus mengunyah tanpa peduli. "Kita mungkin akan masuk dalam tim untuk Prita, tapi jelas nggak akan menjadi ketua tim. Man, itu Prita Salim. Ayahnya punya cukup uang untuk membeli kantor kita, termasuk kita, kalau dia mau."

"Aku nggak menjual diri, jadi sekaya apa pun Johny Salim, dia nggak akan bisa membeliku," kata Ben sebal. "Kapan diputuskan kalau Pak Riyas yang akan mendampingi Prita?" Dia masih penasaran soal itu.

Prita Salim adalah kasus yang menggemparkan. Kejadiannya baru kemarin. Tepatnya belum sepuluh jam yang lalu, saat polisi menemukan Prita Salim tertidur nyenyak di dalam presidential suite hotel, dengan kekasihnya yang bersimbah darah dan tidak bernyawa lagi di tempat yang sama.

Peristiwa itu langsung meledak setelah tercium pers. Prita Salim adalah putri Johny Salim, taipan yang punya bisnis real estate terbesar di negeri ini. Riyas Hadinoto dan Partner adalah firma hukum yang mewakili Salim Grup, sehingga Pak Riyas langsung dihubungi setelah Prita digelandang ke kantor polisi.

Ben mendengar berita itu tadi pagi saat masuk kantor, tetapi dia tidak bisa tinggal lama untuk mengikuti perkembangannya karena harus ke pengadilan.

"Pak Riyas tadi sudah memberikan keterangan pers dan mengatakan kalau dia akan memimpin tim pengacara untuk Prita." Adhi kembali melanjutkan suapan. "Cek saja di berita online."

Ben tidak berniat melakukannya. Dia buru-buru menghabiskan makanan. Dia hanya memikirkan satu hal, membujuk Pak Riyas untuk memasukkan dirinya ke dalam tim Prita. Ini kasus besar yang mendapatkan perhatian publik. Apalagi kekasih Prita yang ditemukan tewas tak bernyawa tersebut adalah seorang artis papan atas yang sedang naik daun. Ikut menangani kasus ini bisa menjadi lompatan besar untuk karirnya. Ben tidak berencana tinggal di Riyas Hadinoto dan Partner untuk selamanya. Namun, untuk memulai firma hukum sendiri bukan perkara mudah. Dia terlebih dulu harus punya nama yang bisa mengundang klien datang. Ini kesempatan untuk stand out. Memulai usaha sendiri bukan masalah. Gedung dan peralatan bisa diadakan dengan bantuan ayahnya, tetapi Ben tahu dia harus mencari nama sendiri untuk membuat klien antre di depan kantornya. Dan itu tidak bisa dilakukan dengan mengerjakan kasus remeh-temeh seperti mengurus perceraian. Dia butuh disorot dalam kasus besar. Menyebalkan, tetapi mau bilang apa lagi? Pengacara memang menyambung hidup dari masalah orang lain.

**

Becca mengetuk pintu ruangan manajernya pelan. Dia masuk setelah suara bosnya mempersilakan.

"Duduk, Rebecca," bosnya mendahului sebelum Becca mengucap salam basa-basi. Hanya dia satu-satunya orang di lingkungan kantor yang memanggil Becca dengan nama depan lengkap. Becca tidak terlalu suka namanya, karena terdengar kebarat-baratan, tetapi dia harus menerimanya. Neneknya yang memberi nama itu, dan mustahil berharap mendapat nama Jawa dari perempuan Nordik.

"Iya, Pak." Becca menarik kursi di depan meja bosnya dan duduk. Kepala laki-laki itu tidak terangkat dari laptop, seolah benda itu menghisap perhatiannya. Rautnya serius, seolah sedang memecahkan kode rahasia untuk meluncurkan misil nuklir.

Becca mengambil kesempatan memperhatikan laki-laki itu. Sudah beberapa hari penampilan bosnya tampak berantakan. Rahang dan dagunya tampak gelap, menandakan dia melewatkan jadwal bercukur.

Namun bosnya yang dulu selalu rampak rapi dan menawan memang kerap terlihat berantakan hampir setahun terakhir. Memang tidak setiap hari dia terlihat seperti orang yang kekurangan waktu mempersiapkan diri ke kantor, tetapi penampilannya jelas jauh di bawah standar yang biasa Becca lihat.

Ini membuktikan betapa pentingnya peran seorang wanita dalam kehidupan seorang laki-laki. Istri bosnya meninggal saat melahirkan anak kedua mereka. Sejak saat itulah bosnya terlihat tidak serapi biasa.

Dia masih tetap tampan, menurut Becca, tetapi jauh berbeda dengan penampilan yang Becca lihat sejak dia pertama kali masuk di kantor ini, saat istri bosnya masih hidup.

Becca berdeham, dan kepala bosnya langsung terangkat. Laki-laki itu seperti baru menyadari kehadirannya, padahal Becca datang ke ruangan ini karena dipanggil. Dia menggerutu dalam hati. Ini susahnya kalau berurusan dengan orang yang selalu serius seperti bosnya.

"Oh, Rebecca," akhirnya laki-laki di depan Becca mendorong laptopnya sedikit menjauh. "Persiapan pameran minggu depan bagaimana? Kamu yang bertanggung jawab, kan?"

Yang bosnya maksud adalah pameran produk mereka yang akan diadakan di JCC. Pameran besar berskala internasional.

. Becca bekerja sebagai supervisor divisi marketing di perusahaan furniture dan kerajinan yang terbuat dari jati, rotan, dan bambu. Kebanyakan untuk diekspor. Hanya sebagian kecil yang dijual di dalam negeri untuk kalangan terbatas. Perusahaannya memang mengambil segmen menengah ke atas dengan desain eksklusif yang tidak diproduksi massal. Ada golongan tertentu yang bersedia mengeluarkan uang untuk eksklusivitas. Jenis orang yang menghindari memiliki benda yang modelnya sama dengan orang lain. Kalaupun memang sama, mereka tahu si pemilik benda kembar itu datang dari strata ekonomi yang sama. Ya, memang ada jenis orang seperti itu. Orang-orang yang membuat pemasukan uang dalam perusahaan tempat Becca bekerja sangat sehat.

"Sudah siap, Pak." Becca mengulurkan barang yang ikut dibawanya masuk ke ruangan bosnya. "Ini contoh katalog yang sudah dicetak, Pak. Produk dan desain terbaru yang akan dipamerkan sudah ada di gudang, siap dipilih dan diangkut."

Pak Bagas, laki-laki itu, meraih katalog yang diulurkan Becca. Dia membolak-balik katalog itu sambil mengangguk-angguk, tampak puas. "Layout dan fotonya bagus-bagus."

Becca tersenyum senang. Usahanya tidak sia-sia. "Memang harus bagus, Pak. Biayanya juga mahal. Ada uang, ada barang."

Pak Bagas ikut tersenyum. "Maaf, saya hampir membebankan semuanya padamu untuk pekerjaan ini. Keadaan anak saya tidak terlalu baik akhir-akhir ini."

"Saya mengerti, Pak." Becca sudah mendengar dari teman-temannya kalau anak kedua Pak Bagas menderita penyakit jantung bawaan. Anak yang dilahirkan istrinya sebelum akhirnya meninggal dunia.

"Seharusnya kehidupan pribadi tidak berpengaruh pada kinerja di kantor." Suara Pak Bagas terdengar biasa saja di telinga Becca. Laki-laki itu tidak seperti hendak mengeluh. Nadanya sama datar seperti saat membicarakan pekerjaan. "Hanya saja, menjadi orangtua tunggal ternyata tidak mudah."

Becca diam saja. Dia tidak tahu harus mengatakan apa. Dia juga tidak yakin Pak Bagas butuh pendapatnya. Bosnya itu hanya menyampaikan fakta, tidak terlihat ingin dikasihani. Lagi pula, Becca tidak tahu apa-apa tentang menjadi orangtua. Dia tidak berencana menikah dalam waktu dekat. Boro-boro menikah, pacar saja belum kelihatan wujudnya. Memiliki anak jelas tidak ada dalam rencana jangka pendeknya.

"Berapa luas booth kita nanti?" Pak Bagas melanjutkan pembicaraan soal pameran. "Sudah diputuskan barang yang akan dipamerkan? Sulit memutuskan kalau melihat katalog ini."

Becca masih tinggal selama lima belas menit berikutnya di ruangan Pak Bagas untuk mendiskusikan barang-barang yang akan dibawa ke pameran. Ketika kembali ke kubikelnya, dia melihat teman-temannya sedang berkumpul.

"Ada apa?" tanyanya. "Seru banget."

"Bernard Christian dibunuh pacar psikopatnya," salah seorang temannya menjawab.

"Bernard siapa?" Becca mengerutkan dahi, mencoba mengingat-ingat. "Memangnya di kantor kita ada yang namanya Bernard?"

"Ya ampun, Becca!" Ratri, tetangga kubikel Becca, yang sekarang sedang menjadi host acara gosip itu memutar bola mata. "Bernard itu artis terkenal. Sinetron dia ratingnya tinggi banget. Cakepnya nggak ketulungan. Dia juga main film. Film terakhirnya yang Arwah Gentayangan itu kan hits banget."

Becca tidak pernah nonton sinetron, dan film yang melibatkan dunia gaib tidak masuk dalam radarnya. Dia lantas tertawa. "Memang kalau cakep umurnya harus panjang? Nggak ada hubungan antara ketampanan dan umur kali, Rat."

Ratri cemberut. "Seenggaknya matinya nggak sesadis itu juga kali, Becca. Ceweknya pasti punya kelainan jiwa deh, sampai tega nusuk Bernard puluhan kali gitu."

"Orang kaya kan biasanya aneh-aneh," timpal teman Becca yang lain. "Hobi nunggangin singa di Afrika sudah mainstream kali, jadi pengin coba yang adrenalinnya lebih gila."

"Bunuhin orang?" Giliran Becca mengarahkan bola mata ke atas. "Manusia itu bukan nyamuk yang sekali tepuk bisa langsung mati tiga. Apalagi bunuh laki-laki. Butuh usaha, lho."

"Cewek itu sial saja sih karena ketahuan sebelum membereskan TKP. Untuk orang sekaya dia, apa yang nggak bisa dilakukan? Palingan tinggal menelepon orang-orang untuk membersihkan sisa kerjaannya."

"Katanya dia anak tunggal, ya?" Yang lain menambahkan.

"Gimana rasanya jadi anak tunggal Johny Salim, ya? Raja properti gitu, lho."

"Yang pasti dia nggak perlu bangun pagi-pagi buat ngejar kereta untuk ke kantor kayak kita."

Percakapan itu makin deras. Becca sebenarnya tidak mau ikut membicarakan orang yang tidak dikenalnya. Namun dia buru-buru memotong setelah mendengar nama Johny Salim disebut.

"Cewek itu namanya Prita?" Dia berharap semoga dia salah.

"Iya, Prita Salim," jawab Ratri.

"Sial!" Becca menjauh dari kubikelnya dan buru-buru mengeluarkan ponsel dan membuka situs berita online.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro