Sepuluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Haiiii... aku mau ngasih tahu kalau sedang ngerjain revisian untuk Midnight Prince yang rencananya akan terbit awal tahun. Hasil revisi awal aku posting ulang setelah unpublish semua part di naskah lama. Daannn... Mengejar Cintamu akan bukan PO akhir bulan ini. Buat yang pengen ikutan, coba ke @belibuku.wattpad, ya.

Oke, selamat baca Ben dan Beca. Buat yang pengin adegan manis manjaahh, tunggu beberapa part ke depan, ya, sengaja ditahan, karena nggak seperti sebelumnya, naskah ini kayaknya akan lebih panjang.

**

"Terima kasih sudah menemani dan mengajak Elsa makan," kata Bagas begitu bertemu Becca. Dia mengeluarkan dompet. "Maaf banget sudah merepotkan."

Becca yang tahu maksudnya buru-buru menolak. "Nggak usah, Pak. Lagian, tadi bukan saya yang bayar kok."

"Tadi aku dan Tante Becca Becca makan sama Om Ben," lapor Elsa yang sekarang sudah memegang erat tangan ayahnya. "Om Ben itu lucu banget. Dia juga cakep sih, tapi karena nggak suka makan sayur, kata Tante Becca cakepnya kurang. Sayangnya Om Ben nanti akan masuk neraka. Kasihan banget."

"Apa?" Bagas sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan Elsa. Sejujurnya dia agak terkejut saat menerima pesan Becca yang meminta izin untuk keluar bersama Elsa tadi. Dia tidak menitipkan Elsa kepada Becca.

Becca tidak seperti staf lain yang memiliki keramahan di atas rata-rata, yang siap memamerkan senyum kapan saja. Becca ramah, tetapi tidak berlebihan. Sikap profesional yang ditunjukkannya berkesan membuat jarak.

"Kata Tante Becca, Om Ben suka bohong. Dia kerjanya bikin acara. Nggak tahu acara apa, tapi acara itu nanti bikin Om Ben masuk neraka." Elsa mengoyang-goyangkan tangan ayahnya. "Berarti nanti Om Ben hangus dong di neraka?"

Bagas menghela napas panjang sebelum menatap Becca memohon pemakluman. "Dia suka sekali bicara. Maaf kalau dia sudah mengganggu acara makan siang kalian."

"Aku nggak ganggu, Pa," protes Elsa tidak terima. "Tanya Tante Becca deh. Aku malah makan sayur. Beneran."

"Kamu makan sayur?" Bagas menatap anaknya keheranan. Biasanya butuh usaha ekstra untuk membuat Elsa memasukkan sayur ke dalam mulutnya.

"Iya dong. Kata Tante Becca, aku nanti sama cantik dengan dia kalau rajin makan sayur."

"Itu bagus, Elsa. Maksud Papa, makan sayur itu bagus. Sekarang kamu main di ruangan Papa saja, ya." Bagas tadi tidak punya pilihan selain membawa Elsa ke kantor, karena Mbak Tami yang menjaga Elsa sedang izin pulang kampung. Ibunya ada, tetapi berjaga di rumah sakit menunggui Pipi, adik Elsa yang sedang dirawat. Elsa tidak mungkin dibiarkan ikut ke sana. Rumah sakit bukan taman bermain anak-anak.

"Nggak boleh main sama Tante Becca aja?" Elsa menawar.

"Tante Rebecca-nya mau kerja." Bagas tidak akan membiarkan Elsa mengganggu Becca lebih lama.

"Ya...." Elsa langsung cemberut.

Becca mengusap kepala Elsa. "Ini nih, Tante Becca mau kerja. Kapan-kapan kita main lagi, ya."

"Sama Om Ben juga?"

Becca tertawa. "Iya sama Om Ben juga kalau dia lagi nggak sibuk."

"Bikin acara kayak Om Ben sibuk ya, Tante?"

"Iya, sibuk banget." Becca tidak ingin memperbaiki apa yang dimaksud Elsa dengan pekerjaan Ben yang disebutnya bikin acara. Anak itu toh belum mengerti.

"Kasihan Om Ben. Kata Miss Pia, kalau orang yang rajin berdoa bisa masuk surga. Nanti Elsa bilangin Om Ben supaya rajin berdoa."

Becca tidak bisa menahan tawa. "Om Ben pasti senang dengar nasehat Elsa."

Bagas menarik tangan anaknya. Elsa sulit dihentikan kalau sedang bersemangat. Dia tersenyum kepada Becca. "Sekali lagi, terima kasih ya, Rebecca ."

"Sama-sama, Pak." Becca mengawasi Elsa dan ayahnya sampai menghilang di balik pintu ruang kantor Bagas.

**

Becca menatap Prita prihatin. Memang tidak ada raut kesedihan yang berlebihan di wajah temannya itu, tetapi dia tahu ditahan seperti ini pasti berat untuknya. Prita sudah terbiasa sebebas burung yang terbang ke sana ke mari. Terkurung di satu tempat pasti menyesakkan. Becca yakin Prita terlihat tenang karena sudah terbiasa tidak mengumbar ekspresi berlebihan di wajah. Itulah yang sering membuat orang mengatakan kalau Prita sombong.

Becca tahu Prita tidak sombong, dia hanya melindungi dirinya sendiri. Menjadi orang kaya itu tidak mudah. Saat mereka masih sekolah dulu, banyak teman yang mendekat, bukan karena ingin berteman dengan tulus, tetapi hanya untuk ikutan terkenal atau menumpang fasilitas.

"Sori aku baru bisa datang." Becca menggenggam tangan Prita.

"Memang susah cari jadwalnya, Bec. Aku juga sibuk sama para pengacara." Prita memandang Ben yang datang bersama Becca. "Dan mereka seperti nggak percaya aku nggak bunuh orang."

"Kamu nggak mungkin bisa bunuh orang," ujar Becca cepat. "Aku percaya."

Prita tersenyum. "Sayangnya kamu bukan polisi, jaksa, atau hakim yang nanti kerjain kasus ini." Dia kembali melihat Ben. "Aku mau bicara berdua saja dengan Bec. Kamu bisa keluar sebentar? Nggak lama kok."

Ben sebenarnya enggan pergi. Mengamati interaksi Becca dan Prita bisa saja membuatnya mendapatkan petunjuk baru. Namun dia tidak mungkin memaksa tinggal. Semoga Becca berbaik hati mau berbagi informasi yang didapatnya dari Prita. Hanya saja, Becca termasuk orang yang teguh memegang rahasia, meskipun kalau bicara suka sembarangan. "Oke." Ben berdiri dan keluar ruangan.

Prita mengawasi sampai Ben menjauh sebelum kembali menatap Becca. "Kamu beneran nggak pacaran sama dia? Kelihatannya dia lumayan."

Becca buru-buru menggeleng. "Dia bisa jadi mimpi buruk dan sumber air mata abadi kalau dijadiin pacar." Dia menepuk tangan Prita. "Kamu nyuruh Ben pergi bukan supaya bisa gosipin dia, kan?"

Prita tersenyum. "Kamu beneran percaya aku nggak bunuh Bernard, kan?"

Kali ini Becca mengangguk. "Tentu saja aku percaya. Aku kenal kamu."

"Sepertinya aku dijebak." Prita merendahkan suaranya. "Dan aku bisa menduga siapa orangnya."

"Dijebak?" Becca ikut berbisik. Dia mencondongkan tubuh kepada Prita. "Sama siapa? Mengapa?"

"Aku baca Agatha Cristie dan Mary Higgins Clark, Bec. Semua seri CSI juga aku tonton. Kalau mau bunuh orang, aku nggak akan tinggal di ruangan yang sama dengan dia, tidur nyenyak setelah menusuk dia berkali-kali, dan meninggalkan sidik jari di mana-mana. Itu namanya tolol."

"Aku juga mikirnya gitu." Becca setuju. Sejak awal dia sudah menganggap bukti yang memberatkan Prita itu terlalu mudah. "Tapi siapa yang tega menjebak kamu seperti ini?"

"Mungkin, aku belum pasti sih, tapi hanya dia orang yang kupikir bisa dan akan melakukan ini sama aku."

"Siapa?" potong Becca cepat.

"Erlan."

"Erlan?" ulang Becca. Sejenak kemudian matanya melebar, mulutnya terbuka. "Orang yang Papa kamu jodohkan dengan kamu itu?"

Prita mengarahkan bola mata ke atas. "Iya, itu dia."

Becca mengembuskan napas kuat-kuat. "Aku tahu ini bukan urusanku sih, tapi kenapa kamu berani main api seperti ini? Sudah punya tunangan tapi malah check in sama orang lain. Itu memang pilihan hidup kamu, dan aku nggak berhak nge-judge atau gimana, hanya saja, kalau akhirnya jadi kayak gini kan malah repot."

"Yang mau aku tunangan sama Erlan itu Papa. Aku nggak punya perasaan apa-apa sama dia."

"Trus kenapa kamu mau terima dia kalau nggak suka?" Becca tahu persis Prita bukan tipe penurut yang akan melakukan apa pun perintah orangtua kalau itu bertentangan dengan keinginannya.

Prita ganti mengembuskan napas. "Kamu kayak nggak tahu papaku saja. Yang bikin dia jadi pengusaha sukses itu adalah kemampuan dia mengendalikan orang-orang. Aku terima Erlan karena kupikir dia baik, dan kami beneran bisa dekat walaupun nggak saling cinta di awal."

"Tapi?" Becca merasa ada kata tetapi yang mengikuti penjelasan Prita.

"Hubungan kami sudah lumayan lama, tapi aku beneran nggak tahu Erlan itu orang macam apa."

"Maksud kamu?" Becca tahu Prita bisa membaca karakter orang. Dia sudah terbiasa melakukannya untuk menyeleksi orang-orang yang sungguh-sungguh ingin berteman dengan dia, atau hanya memanfaatkan kekayaannya.

"Erlan itu anak asuh Papa." Prita diam sejenak. "Gimana cara jelasinnya, ya? Kamu tahu kan, kalau mamaku punya yayasan untuk urusan sosial? Nah, panti asuhan tempat tinggal Erlan itu adalah salah satu panti yang ada di bawah yayasan Mama. Dan dari pengurus panti itu Mama dikasih tahu kalau di panti itu ada anak yang pintar banget yang namanya Erlan. Mama ngomong ke papaku, dan Papa lantas setuju saat Mama minta supaya Erlan masuk dalam daftar anak asuh yayasan."

"Kayak diadopsi?" potong Becca. "Kok aku nggak pernah tahu? Kamu juga nggak pernah cerita, kan?"

Prita menggeleng. "Bukan, hanya orangtua asuh. Yayasan Mama punya program itu. Mereka membiayai sekolah anak-anak pintar yang nggak punya duit untuk melanjutkan pendidikan. Hanya bantu duit saja sih, karena Mama dan Papa juga hampir nggak kenal mereka. Erlan jadi beda karena dia lantas magang di kantor Papa waktu kuliah. Waktu itu Papa baru tahu kalau Erlan itu anak asuhnya. Papa sangat terkesan sama kerjaan dia, jadi Erlan nggak dilepas lagi. Sejak itu dia jadi kesayangan Papa. Orang kepercayaannya. Aku sendiri baru kenal Erlan waktu pulang liburan, karena dikenalin Papa. Kayaknya sejak awal Papa memang berniat menjodohkan Erlan dengan aku."

"Mengapa kamu mengira dia yang mungkin saja bunuh Bernard?" tanya Becca lagi.

"Erlan orang paling dekat dengan Papa sekarang. Kalau aku menikah dengan dia, otomatis dia yang akan memegang semua usaha Papa, karena kemampuanku nggak ada apa-apanya dibandingkan dia. Kalau aku nggak nikah dengan dia, perusahaan Papa akan jadi milik aku, meskipun Erlan yang mungkin akan menjalankannya, tetapi semua keputusan harus melalui aku."

"Kecuali kalau kamu masuk penjara dalam waktu yang lama, dan Erlan bebas melakukan apa pun kalau papamu menyerahkan usahanya sama dia," Becca melanjutkan.

"Bener, kan?" Prita tampak senang Becca mengerti maksudnya.

Becca menggeleng. "Kedengarannya berlubang juga. Papa kamu masih sehat dan kuat gitu. Belum ada tanda-tanda akan pensiun."

"Tapi kalau aku nggak masuk penjara sekarang, aku bisa menikah dengan orang lain, dan kesempatan Erlan untuk menguasai usaha Papa bisa terhambat, kan?" Prita mengembuskan napas melalui mulut. "Analisis aku sinetron banget, ya?"

"Kamu serius sama Bernard?" Becca mengalihkan percakapan.

Prita menggeleng. "Nggak, seru-seruan saja sih."

"Seru-seruan kok sampai check in?"

Prita menatap Becca tidak berdaya. "Kamu tahu kan kalau aku nggak bisa diajakin taruhan? Aku ketemu teman yang sama-sama kuliah di luar waktu jalan sama Bernard. Dia bilang kalau dia kenal Bernard, dan Bernard itu gay."

Becca melongo. "Jadi kamu ngambil taruhan yang teman kamu bilang untuk membuktikan Bernard itu beneran bukan gay dengan check in?"

"Temanku nawarin Lana Marks Cleopatra Clutch, Bec. Itu tawaran yang sulit."

Becca mengarahkan bola mata ke atas. "Dan kamu mau bilang nggak bisa beli tas bodoh itu pakai duit sendiri?"

Prita menelungkup di atas meja. "Kurasa aku memang bodoh."

"Jadi gimana, Bernard beneran gay?"

"Nggak. Pedangnya bisa dipakai bikin anak."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro