Berbagi Payung [Oneshot]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Berbagi Payung / untuk event Mad March LGBTQ+ ID.
Tema yang diusung; coming out.


-


Aku sangat membenci hujan, terutama bila itu ada di bulan tanggung seperti Maret. Maret masuk dalam musim pancaroba ketika semua hal bisa terjadi; bisa badai angin ribut, bisa hujan rintik-rintik yang tiba-tiba akan berhenti, bisa panas benderang tiada ampun.

Hari ini, rasanya prakiraan cuaca sudah mengelabuiku dengan sempurna. Mereka bilang cuaca cerah berawan dengan tutupan awan sedang, yang aku dapat malah hujan deras hingga sisi seberang lobi kantor tidak kelihatan. Rasanya aku ingin mengutuk langit dan derasnya kucuran air dari dalam pintu kaca lobi kantor. Padahal, ingin cepat-cepat aku pulang dan menghempaskan diri ke empuknya kasur. Ada keinginanku untuk menerobos sampai stasiun, tapi sayangnya aku hanya membawa payung lipat kecil, yang tentu akan cepat kandas dilanda dahsyatnya air.

Aku hanya bisa mendecak, cukup kencang menggema di lobi yang kosong. Tidak banyak yang menggunakan pintu masuk selatan kecuali mereka yang ingin naik bus atau kereta untuk pulang.

"Lisa?"

Altina - aku tidak perlu menoleh untuk mengetahui pemilik suara itu. Aku melihat pantulan sosoknya yang mendekat melalui kaca yang semakin memburam karena titik-titik air. Wanita itu seperti biasa mengikat rambut hitamnya dengan satu ikat poni, kacamata berbingkai hitam menambah apik parasnya yang manis. Tubuhnya dibalut cardigan abu-abu misty yang tampak kebesaran, menutupi kemeja putih yang dikenakannya hari ini. Berbeda denganku yang memakai blus dan celana pensil, Altina memakai rok panjang sepia kotak-kotak sebetis. Selop yang ia kenakan hari ini berhak rendah sehingga aku yang memakai wedges tampak sedikit lebih tinggi.

Aku menelan ludah ketika Altina berdiri di sampingku, menengadah memperhatikan hujan yang meredakan segalanya, termasuk mungkin bunyi nafasku atau degup jantungku yang perlahan menderu.

"Tumben, Tin," ucapku, berusaha memecah suara hujan yang kubenci. "Biasanya kamu bakal OT."

Ia tersenyum tipis. "Nggak selalu, toh laporan pajak tahunan sudah selesai lebih awal."

"Congrats. Nggak revisi?"

"Revisi bukan bagianku." ia mengedikkan bahu.

Aku kenal Altina sejak awal-awal masa training di kantor. Sejak itu, entah kenapa kami selalu ketemu di pantry lantai dasar, walaupun divisi kami berbeda lantai. Altina ada di lantai dua bersama kubu-kubu perpajakan dan keuangan, aku ada di lantai dasar mengurusi gudang dan logistik. Bisa dibilang, aneh kita dapat bertemu di lantai dasar ketika lantai dua pun punya pantry sendiri. Memang, tidak setiap hari kita akan bertemu karena aku sering ke luar kantor untuk logistik, tapi ada saja saat-saat kita duduk di pantry saat jam istirahat siang, biasanya dia akan berbagi kopi yang dia buat beberapa gelas untuk teman melawan huruf dan angka klausa pajak.

Hampir-hampir aku melupakan hujan di hadapanku ketika mataku mulai melirik ke arah Altina lagi.

Ya, gadis ini adalah tipeku. Aku sudah merasa klik dengannya dari awal pertemuan kita. Gadis yang sekilas terlihat serba serius padahal orangnya santai dan asyik diajak ngobrol. Bahkan untuk debat. Bahkan untuk gosip.

"Denger-denger, Cakra dapat gebetan anak gudang, ya?" Altina menyebut salah satu nama teman satu masa training kami. Aku mulai memutar otak mengingat anak gudang yang pacaran dengan Cakra.

"Rani, kalo gak salah?" Altina mengangguk. "Mereka sering tuh pacaran di pojokan gudang, sampai pernah mau disambit Pak Boss."

Wanita muda itu tertawa, riak halus yang membuat hatiku mendesir. "Sambit aja orang kayak gitu."

Hujan terasa semakin deras di telinga, tetapi pertanyaan berikutnya tidak lolos dari perhatianku pada Altina.

"Kamu ada tertarik sama orang?"

"Hah, pertanyaan dari mana itu?" nadaku naik, tawaku nyaring walau terasa sakit untuk telingaku sendiri dengar.

"Kepo aja, kebetulan setopik." balasnya kalem.

Aku menengadah, tatapanku gamang ke langit hujan bulan Maret. "Aku ... ada suka sama orang."

"Oh?" Altina menelengkan kepala.

"Anak Sales." ucapku asal, menyebut divisi yang tepat di sebelah wilayah perpajakan.

"Hmm, Sales emang pada eye-catching, sih." Altina menahan dagunya, berpikir. "Pak Raka? Atau Mas Muni?"

Ah, tentu saja Altina akan menyebut nama laki-laki. Tentu saja. Orang-orang 'normal' pasti akan tertarik dengan lawan jenisnya. Pasti. Itu sudah lumrah. Itu merupakan hal terwajar di dunia ini. Lidahku terasa makin getir. Hatiku yang semula mencelos kini reda dan hampa.

Aku menggaruk tengkuk, menarik pandanganku dari bingkai kacamata Altina. "Ngg, nggak. Aku ... suka cewek. Hehe."

Kalimat itu meluncur dan rasanya aku siap untuk menerobos hujan saat ini juga sebelum Altina sadar dan melangkah mundur dari pengakuanku yang tiba-tiba. Aku ingin menyalahkan hujan bulan Maret lagi, fluktuasi emosiku, juga segala rasa yang mendadak muncul begitu saja tanpa permisi. Aku mengulum bibir, menatap lurus ke arah pintu, melakukan kalkulasi singkat antara kecepatan berlariku versus seberapa kuyup nanti aku akan menggeram karena dibasahi hujan.

Sunyi menjelang bagai akar benalu yang merambat, perlahan menyiksa. Altina tidak menyuarakan respon apa-apa, air mukanya netral di pantulan kaca.

"Terus, kamu? Kamu nggak punya orang yang disuka?" aku memberanikan diri, membalas api dengan api. Membunuh hening sebelum hujan yang kubenci menyakiti telinga lebih lama lagi.

Altina menggeleng, aku tertegun. Ia kemudian menepuk pundakku, alih-alih ingin membuatku menoleh. Aku pun menyahut, dan membelalak ketika bibir kami bertaut. Singkat, lagi aku mengecap jejak manis permen, bukan pahit kopi espresso yang biasa menemaninya mengerjakan laporan pajak.

"Kamu." ia membuang nafas lega, sementara giliranku menahan nafas. "Aku suka kamu, Lisa," Pipinya bersemu merah. "Karena kamu bilang kamu suka cewek, aku merasa punya kesempatan."

Aku menangkap kedua tangan Altina sebelum dia yang duluan permisi.

"... Lisa?"

"Jangan pergi, Tin."

Untuk pertama kalinya, aku bersyukur bahwa hanya hadir suara berisik hujan mengisi jeda di antara kami sesaat aku bergerak membalas cumbu yang datang tanpa permisi, kuar harum lavender dari cardigan abu-abu misty, dan Altina yang dalam ciuman kami tersenyum penuh arti.

"Oh." desahnya rendah. Kacamatanya sampai melorot turun. Aku tak pelak dari tawa.

"Aku merasa bodoh sudah berbohong."

"Apa ini artinya, 'ya'?" Altina yang kini tercenung. Aku menepuk kedua pipinya sekali.

"Kalau kamu nggak keberatan aku cium lagi sebagai jawaban, boleh aja."

Dan untuk pertama kalinya, aku tidak lagi marah-marah dengan bulan Maret dan hujan tanggungnya. Aku yakin Altina-lah yang akan membuatku lupa akan hal-hal itu.

"Omong-omong, aku bawa payung besar. Mau jalan bareng ke stasiun?" tanyanya, jemari kami kini bersilangan.

"Kenapa kamu nggak bilang dari tadi?" seruku seraya menyenggol lengannya.

Altina menunduk, "Maaf. Kebawa suasana."

"Ya udah, ayo pulang?"

Aku tak menyangka kalau hujan ternyata bisa sehangat ini. [ ]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro