Cupid Shanum

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Shanum keluar dari ruangan Ganesa dengan senyum merekah. Ia akhirnya sukses membujuk sang ayah untuk membelikan kamera mirorless sebagai bekal bergabung dengan Foclub--klub fotografi di kampus. Benda mungil berwarna putih itu sudah ada dalam genggamannya sekarang.

"Kalau kamu nggak bisa bagi waktu antara kuliah dan organisasi, Papa bakal sita kamera itu," ancam Ganesa yang berjalan di samping Shanum. Ia sedang buru-buru, kelasnya akan dimulai lima menit lagi.

"Iya, Pa. Janji." Shanum manggut-manggut sambil memainkan kamera barunya. "Bentar, jangan pergi dulu, Pa. Nih, aku mau buktikan kemampuan fotografiku. Biar Papa nggak nyesel udah belikan kamera mahal ini."

Ganesa mendesah pelan. Ia menurut saja saat sang putri memintanya berdiri di dekat pot besar dengan bunga Monstera di dalamnya.

"Eonni, bisa bantu aku sebentar?" pinta Shanum pada Luvina yang duduk tidak jauh dari posisinya berdiri. Perempuan yang mengenakan blouse berwarna biru dongker itu segera menghampiri Shanum.

"Aku mau ngetes kamera ini. Kurang seru kalau objeknya cuma satu. Eonni, tolong berdiri di sebelah Papa, ya."

Ganesa terkesiap mendengar permintaan Shanum. Sikap tubuhnya tegak dengan raut wajah datar  tanpa ekspresi.

"Oh, oke, Num." Luvina dengan santai berdiri di sebelah Ganesa.

"Agak ke kiri dikit, Eonni."

Luvina menggeser langkah mendekat ke arah Ganesa. "Gini?"

Shanum mengacungkan ibu jari. Ia mulai memberi aba-aba untuk mulai pengambilan gambar. Namun, saat sudah mencapai angka tiga, Shanum menurunkan kameranya.

"Pa, tegang amat wajahnya. Kayak mau foto KTP aja. Senyum dikit gitu."

Luvina menoleh ke arah Ganesa. Ia berusaha menahan tawa melihat ekspresi atasannya yang tersenyum kaku.

Pengambilan gambar pun sukses dilakukan. Ganesa segera berlalu dari ruangan. Laki-laki itu membuka kancing kemeja urutan kedua dari atas. Ia mendadak merasa gerah.

Shanum dengan bangga menunjukkan hasil foto pada Luvina. "Bagus, ya, Eonni?"

Luvina manggut-manggut setelah melihat tangkapan gambar tersebut. "Kamu ada kuliah hari ini?"

"Iya. Tapi nanti siang. Pagi ini ada rapat di Foclub." Shanum memasukkan kamera ke dalam tas punggung. " Ya, udah, aku berangkat dulu, Eonni." Shanum meraih tangan Luvina, lalu menempelkannya pada pipi.

"Ish, ngapain, sih, Num?" Luvina sontak menarik tangannya karena terkejut dengan sikap tiba-tiba gadis yang mengenakan kemeja denim tersebut.

"Latihan, Eonni," ujar Shanum sambil mengedipkan sebelah mata.

Luvina menautkan kedua alisnya. Ia tidak mengerti dengan maksud Shanum. Namun, belum sempat bertanya, gadis riang itu sudah berlalu dari ruangan yang dipenuhi dengan jajaran rak-rak buku tersebut.

"Shanum lucu banget, Luv," celetuk Vindi yang sedari tadi terkikik melihat tingkah tiga orang yang berdiri di depan tanaman dengan daun yang permukaannya berlubang membentuk jari itu.
"Lucu apanya? Aneh hari ini dia."

"Peka dikit, dong, Luvina Septia Sari," ucap Vindi lirih dengan pandangan tetap fokus di depan layar.

"Hah? Apa-an, Vin?"

Vindi menggelengkan kepala cepat. Ia tidak ingin mengulangi ucapannya.  Ibu dua anak itu malah memberikan senyum yang mencurigakan.

***

Suasana di dalam gedung berwarna putih dengan empat lantai itu cukup ramai. Termasuk di ruangan yang berada di pojok sebelah timur dekat tangga menuju lantai dua. Pagi ini akan ada pemaparan tentang diklat yang akan dilaksanakan dua minggu lagi. Shanum merupakan salah satu anggota baru yang akan turut serta dalam acara tersebut. Ia memilih shift pagi. Dirinya sudah tidak tahan untuk segera bertemu dengan seseorang yang juga bergabung dalam Klub Fotografi.

Shanum terus mengamati pintu ruangan yang terbuka. Berharap sosok yang dirindukannya itu segera hadir.

"Oppa Kim Bum mana, sih?" gerutu Shanum. Kedua alisnya saling bertaut dan bibir mengerucut. Sudah sepuluh menit berlalu sejak acara dimulai, tetapi Pratama belum juga menampakkan batang hidungnya. Pemuda itu menjabat sebagai dewan penasihat di organisasi minat bakat tersebut.

Hingga acara selesai, Pratama belum juga muncul. Shanum mendengkus kesal. Ia ingin memamerkan kamera barunya pada mahasiswa tingkat akhir tersebut. Alasannya ikut dalam klub ini, tidak lain karena Pratama. Obrolan mereka saat bertemu di Kedai Alhamdulillah sempat membahas tentang Foclub. Saat itu, Shanum meminta pendapat tentang unit kegiatan mahasiswa yang bagus. Tentu saja, Pratama menawarkan klub yang selama dua tahun pernah dipimpinnya itu.

"Pratama! Nggak kurang siang datangnya?" Suara di luar ruangan membuat Shanum tersentak. Ada debar tidak biasa saat orang lain menyebut nama pemuda yang memikat hatinya sejak pertama bertemu itu.

Shanum bergegas bangkit dari duduknya. Ia lalu memakai sneakers berwarna putih  yang ia letakkan di depan pintu saat masuk tadi. Gadis itu lalu merapikan pasmina sebelum menemui Pratama.

"Loh?" Shanum mengamati orang-orang yang ada di sekitarnya. Tidak ada Pratama di sana. Padahal, jelas sekali tadi terdengar nama pemuda itu dipanggil. Shanum memainkan tali tas punggungnya naik turun, sembari mendesah kecewa. Ia lalu menuruni anak tangga dengan langkah gontai.

Sementara itu di ruang sebelah kantor Foclub, Pratama memandangi punggung Shanum seraya menghela napas penuh kelegaan. Ia bisa terhindar dari pertemuan dengan gadis yang kerap membuatnya risi oleh gaya berbicaranya yang manja.

"Anak itu beneran nekat masuk Foclub." Pratama berdecak lirih dengan mata menyipit.

***

Pancaran cahaya berwarna orange keemasan menghiasi langit sore kota Malang. Luvina menyusuri jalanan kampus yang lengang dengan pikiran berkecamuk. Setidaknya, menikmati senja yang sering diartikan sebagai suasana hangat dan romantis itu dapat sedikit meningkatkan suasana hatinya menjadi lebih baik.

Besok, adalah hari pernikahan Dita. Luvina sudah berjanji akan pulang ke kampung halamannya. Namun, kecemasan mulai menghinggapi. Luvina sedang menerka-nerka pertanyaan yang akan keluar dari mulut keluarga besar dan tetangganya.

"Pasti, deh. Aku jamin mereka akan tetap kepo maksimal dengan jodohku." Luvina mulai bersenandika. Ia lalu berdecak kesal. "Ish, emang mereka rugi kalau aku nggak nikah-nikah?"

Luvina menggelengkan kepala cepat. Ia bisa stress jika terus memikirkan ucapan orang-orang itu. Baginya, jodoh dan pernikahan itu masalah takdir. Seperti gelapnya malam yang pekat, tidak bisa diterka dan diraba. Keyakinan Luvina masih tetap sama. Ia percaya jika Allah telah menyediakan pasangan hidup untuknya.

Ponsel Luvina berdering. Ia berdecak kesal, lalu menggeser ke atas tombol berwarna hijau. "Apalagi, Fan? Aku pasti pulang. Nggak percayaan amat sama Mbaknya, nih."

"Bukan itu, Mbak. Aku jengkel banget sama Bulek Nur. Dia tadi baru dari rumah Ibu cuma buat ngapain coba?"

Luvina mengernyit. Ia penasaran juga dengan cerita Fanisa. Bulek Nur adalah salah satu kerabat yang kerap nyinyir tentang kesendirian Luvina. "Ngapain emang?"

"Cuma mau pamer kalau anaknya yang baru masuk kuliah itu pulang bawa pacarnya dan bakal dibawa ke nikahan Dita besok. Kata Bulek, besok pasti anaknya yang dipuji saudara-saudara karena udah punya calon. Nyindirnya kelewatan, 'kan?"

Luvina menghela napas panjang lalu tertawa sinis. "Cuma bawa gandengan aja? Aku juga bisa."

"Siapa, Mbak?" Nada bicara Fanisa terdengar antusias. Sudah bertahun-tahun Luvina menjomlo. Sungguh kabar baik jika besok kakaknya pulang bersama seorang laki-laki.

"Nizar," jawab Luvina seraya terbahak.

Di seberang telepon, Fanisa kecewa mendengar nama yang disebut. Bukan karena tidak menyukai sahabat Luvina itu. Namun, karena tidak ada celah untuk mengharapkan mereka bersatu. Hubungan Luvina dan Nizar bagai adik kakak yang saling menyayangi satu sama lain.

Luvina pun mengakhiri perbincangan dengan Fanisa. Ia lalu menelepon Nizar untuk mengingatkan rencana besok. Hanya butuh satu kali nada tersambung, Nizar sudah mengangkatnya. Suara sapaan salam laki-laki yang gemar bermain gitar itu terdengar tidak bersemangat.

"Ndel, duniaku kiamat."

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro