Terluka

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sudah lewat beberapa hari sejak Fanisa memberitahu tentang Indeks Prestasi terbaru dari Daniya, Luvina masih juga belum bisa menelepon adiknya. Daniya enggan mengangkat panggilan kakaknya itu. Gadis yang kuliah di jurusan Agribisnis itu hanya membalas pesan Luvina.

"Ish, anak ini kenapa, sih? Bikin kepikiran terus." Luvina terus menggerutu. Apalagi saat membaca balasan pesan dari Daniya yang cukup singkat. Tidak biasaanya sang adik bersikap seperti itu.

"Kenapa, Luv?" Vindi merasa ada hal serius yang sedang dihadapi Luvina.

"IP Daniya turun. Kayaknya dia paham kalau aku mau marah-marah."

"Sabar, nggak selalu IP itu konsisten angkanya. Masih di angka tiga, 'kan?"

Luvina mengangguk. "Tapi, drastis turunnya."

"Dia sama sekali nggak mau angkat telepon?"

Luvina manggut-manggut. "Ah, entahlah."

"Jangan terlalu emosi. Apalagi lewat chat. Bisa makin memperkeruh suasana. Bukannya dapat solusi malah menambah masalah."

"Enggak, Vin. Aku cuma nyuruh dia angkat telepon. Nggak mungkin aku nyelesain masalah penting lewat chat aja."

Vindi mengiyakan ucapan Luvina. Suasana di kantor kembali hening. Para karyawan sedang sibuk di depan tugas masing-masing.

Tidak lama keheningan itu terusik oleh derap langkah kaki yang tergesa. Vindi dan Luvina saling berpandangan seolah mereka saling mengucap "Akan ada masalaah apa yang datang?"

"Bu Vindi! Apa pengumuman seminar sudah dikirim ke kantor jurusan?"

"Sudah, Pak," jawab Vindi cepat.

Wajah Ganesa semakin terlihat gusar.
"Nggak salah tanggal sama hari lagi, 'kan?"

Luvina menundukkan kepala lalu mengusap kening sebelah kiri. Ia merasa tersindir.

Vindi segera membuka file di komputer. "Tidak, Pak. Tanggal 14 hari Kamis."

Ganesa berdecak kesal. Ia kecewa karena tidak mendapati mahasiswa yang mengikuti mata kuliahnya,  hadir di seminar yang diadakan BEM fakultas dengan dirinya sebagai keynote speaker. Ganesa melangkah menuju ruangannya. Namun, saat melewati meja Luvina, kakinya terhenti.

"Skripsi yang sudah saya revisi sudah diambil di meja?"

Luvina sontak berdiri. Ia bergegas ke ruangan Ganesa untuk mengambil tumpukan skripsi yang akan diambil mahasiswa bimbingan pada sore ini.

Ganesa menghela napas pendek. Ia lalu menyusul Luvina.

"Lain kali jangan lupa lagi."

"Baik, Pak. Saya minta maaf."

Ganesa manggut-manggut. Luvina bernapas lega. Ganesa tidak marah-marah seperti sebelumnya.

Selepas Luvina berlalu dari ruangannya, Ganesa merenung. Ia masih kepikiran dengan ucapan spontan Shanum yang ingin dirinya menikah kembali. Ganesa bukan tidak ingin melakukannya. Ia hanya takut tidak mampu lagi mempertahankan rumah tangga untuk kedua kalinya. Dua puluh tahun bukanlah waktu singkat. Namun, kapal yang dinahkodainya harus karam. Padahal, Ia dan Yanis membangun rumah tangga dari kondisi perekonomian yang memprihatinkan. Mereka menikah setelah lulus kuliah dan belum punya pekerjaan tetap. Semua kekacauan itu berawal dari pengkianatan sang mantan istri.

Lamunan Ganesa terhenti saat ponselnya bergetar. Ada pesan dari Shanum.

'Papa jangan coba-coba cari ibu baru di Supi atau Bukatoko.'

Pesan Shanum yang diikuti dengan emotikon berbentuk wajah merah membuat Ganesa tergelak saat membacanya. Gadis itu alasan terkuat untuk dirinya melanjutkan hidup yang lebih baik.

***

'Iya, Mbak. Telepon aja sekarang'

Satu pesan datang dari Daniya. Luvina langsung memencet simbol telepon pada aplikasi WhatsApp tanpa membalas pesannya. Ia tetap duduk di kursi. Kebetulan sore ini di kantor hanya ada dirinya yang masih bertugas. Luvina masih menunggu beberapa mahasiswa yang masih belum mengambil hasil revisi.

Hanya satu kali saja terdengar nada tersambung, Daniya langsung mengangkat telepon Luvina. Sapaan salam pun mulai saling terdengar.

"Iya, Mbak."

"Dek, apa aku minta kamu kerja?" Luvina langsung menembak dengan dugaan seperti foto yang diterimanya.

"Maksud Mbak apa?"

"Udahlah, Dek. Kamu nggak perlu nyembunyiin kalau kamu di Jogja kerja, 'kan? Memangnya Mbak nggak ngerti? IP kamu itu buktinya. Kenapa bisa sampai turun gitu, Dek?"

Hening, tidak ada respon dari Daniya.

"Aku di sini kerja sampai malam nggak kamu hargai, Dek. Aku cuma minta kamu bejar, beajar, belajar!"

Nada bicara Luvina yang meninggi sudah mulai parau. Dadanya pun terasa sesak. Ia benar-benar kecewa dengan adik yang sangat dibanggakannya itu. Daniya tidak pernah mengecewakan sejak duduk di bangku sekolah. Ia selalu mendapat peringkat tiga besar di sekolahnya. Hal itu juga yang membuat Luvina membulatkan tekad untuk membiayai sekolah Daniya dan Adisti hingga jadi sarjana. Ia tidak ingin menghentikan impian mereka karena sang ayah yang sudah meninggal. Luvina berubah menjadi perempuan pekerja keras demi keluarganya.

"Mbak, aku kerja karena nggak mau nyusahin lagi. Aku mau bertanggung jawab atas masa depanku."

Luvina memegang kepalanya. Air mata terus keluar. Ia tidak sanggup lagi menjawab ucapan Daniya.

"Jangan karena pendidikanku Mbak jadi nggak nikah-nikah."

Luvina terkejut mendapati ucapan Daniya. Matanya mengerjap dengan bibir sedikit terbuka.

"Dek, nggak usah ngurusin hidupku. Sekarang yang terpenting itu pendidikanmu. Setelah kamu lulus, bebas mau kerja di mana, terserah! Tapi, nggak usah kerja sambil kuliah, Dek. Kamu bakal lama lulusnya."

"Makanya, Mbak. Aku kerja biar Mbak nggak mikirin aku lagi. Aku bisa biayai kuliahku sendiri. "

"Kamu ini kenapa nggak mau manut sama orang tua, sih? Aku bilang jangan kerja ya, jangan kerja! Nggak ada ruginya buat ngelakuin itu, Dek. Aku masih sanggup biayain kamu, kok."

Helaan napas berat terdengar dari seberang telepon.

"Mbak, aku mohon jangan terbebani biaya hidupku. Mbak fokus sama masa depanmu saja. Mbak apa nggak sakit hati dibilang jadi perawan tua? Aku nggak bisa terima saudaraku dikatakan seperti itu, Mbak. Aku jadi dihantui perasaan bersalah. Aku merasa jadi penyebab Mbak jadi seperti ini. Mbak gagal nikah sama Mas Redi karena aku." Daniya akhirnya bisa meluapkan perasaan terpendamnya. Isakan dari bibirnya pun terdengar semakin keras.

Luvina menyeka air mata yang terus luruh saat mendengar curahan hati adiknya itu.

"Daniya, dengarkan ucapanku ini. Kamu nggak usah khawatir dengan masa depanku. Mbakmu ini nggak pernah lelah berdoa. Memang, saat ini aku ditakdirkan untuk berjuang demi keluarga. Tapi, nanti aku yakin Allah akan mendatangkan laki-laki yang akan memperjuangkan kebahagiaanku. Jadi, jangan khawatir lagi, Dek. Aku sama sekali nggak tergaggu dengan ucapan orang-orang di luar."

"Kalau memang begitu, buktikan dengan hadir di pernikahan Dita, Mbak."

Luvina memijit pelipisnya. Daniya ternyata paham dengan kebiasaan barunya yang enggan hadir di acara keluarga.

"Insya Allah, aku akan pulang. Kamu juga harus janji fokus kuliah."

"Aku usahakan dulu, Mbak. Kontrak masih tersisa dua bulan lagi."

Luvina pun mengakhiri sambungan telepon setelah mendengar komitmen Daniya untuk fokus menyelesaikan kuliah dan skripsinya. Rencana lulus 3,5 thun sepertinya akan sullit terlaksana .

Luvina meletakkan ponsel di meja. Ia lalu melipat tangan di atas meja. Kepalanya bertumpu pada tangan. Ia kembali terisak. Dirinya tersentuh dengan kekhawatiran Daniya perihal masa depannya. Bersikap seolah tegar, adalah senjatanya untuk menutupi hati yang rapuh.

Luvina ternyata lupa jika di laboratorium bukan tersisa dirinya saja. Ada Ganesa yang masih sibuk di ruangannya. Laki-laki itu hendak mengambil air minum di kulkas kantor. Namun, ia mengurungkan niat karena mendengar pembicaraan serius antara Luvina dan adiknya. Ganesa tidak bermaksud menguping. Kalimat-kalimat yang keluar dari bibir Luvina tadi membuatnya tersentuh. Ia baru menyadari tentang kisah hidup asistennya yang penuh beban tanggung jawab.

Bersambung ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro