Bab 11 Fakultas Sains dan Teknik

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Halo readers, aku kembali lagi, nih.
Selamat membaca, ya.
Jangan lupa vote dan comment, lhooo. ♥️🔥

Hari Senin selalu menjadi tolok ukur hari yang penuh kesibukan, kecuali untuk Refami. Karena dia telah resmi menjadi tunakarya per hari ini. Perempuan malang itu tengah termenung sendirian sejak salat subuh tadi. Dia tenggelam memandangi foto-foto Joel di dalam ponsel.

Bibirnya tersenyum tatkala melihat sebuah video yang direkam oleh sepupunya saat dia dipasangkan cincin di jari manis oleh Bu Khadijah ketika acara lamaran dua tahun silam. Video diputar berulang kali, hingga Refami kembali merasakan debaran-debaran bahagia dan masuk dalam kenangan.

"Aku ceritain kamu ke keluarga, lho," ucap Joel tiba-tiba saat Refami tengah menikmati nasi uduk di pinggir jalan sebelum bimbingan ke kampus--kenangan dalam ingatan Refami dimulai. Purwokerto, 2015.

Refami menoleh dengan tatapan bingung, bola matanya berputar perlahan, meminta penjelasan lebih banyak. Mmmmm?

“Lalu?”

“Aku kan, jomblo udah lama banget. Kamu aja pacar pertama aku,” cerita Joel terjeda karena dia tertawa sendiri di tengah percakapan, "sekarang aku udah nggak dicurigain homo lagi, syukur," pungkasnya sambil mengibaskan poni dengan menggoyangkan kepala ke kanan.

Laki-laki itu kembali memerhatikan komponen nasi uduk seperti nasi putih beraroma daun salam, bihun, orek tempe dengan bumbu kecap disertai irisan cabe merah dan sambal yang cenderung manis--tidak ada sambal pedas di daerah Jawa. Ponsel samsung hitam sebesar lima koma lima inci, keluaran 2014 terbaru dengan wallpaper wajah Refami sebesar satu layar dimasukkan ke dalam saku kemeja ungunya, setelah sejak awal kedatangan setia telentang di atas meja.

"HP kamu baru lagi?" Refami mendelik lewat ujung mata, memerhatikan sekilas sambil mengunyah, dia ingat HP terakhir Joel berwarna abu-abu muda dan tak sebesar itu. Hanya empat sampai empat koma lima inci. 

“Kemaren ada paket dari Jakarta." Mulut Joel penuh dengan bihun dan nasi, "isinya ternyata HP. Kata ayah biar semangat ngerjain skripsi," jawab Joel sambil melayangkan senyum dan mengelus kepala Refami lembut. Ayah Joel sangat peka, berbeda dengan Pak Abdullah. Batin Refami berontak.

Hari ini adalah hari pertama mereka berdua bimbingan skripsi di kampus. Meski Joel adalah kakak tingkat Refami, tapi laki-laki tampan itu rela mengundur satu semester agar bisa skripsi bersama. Joel membantu apa pun kesulitan yang dialami Refami sebelum memulai skripsi, seperti PKL. Dimulai dari pemetaan lapangan, pengerjaan laporan, membuat peta, analisis sample batuan sampai sidang akhir PKL.

Joel bagi Refami adalah kakak, ayah, sahabat dan kekasih. Bagi perempuan barbar sepertinya, mendapatkan Joel seperti ketiban durian runtuh. Akan dipertahankan sampai titik minum penghabisan.

Matahari mulai beringsut naik, Refami dan Joel sengaja berjalan kaki ke kampus dari warung nasi uduk. Warung nasi itu sendiri berada di seberang kos Refami. Jarak antara kos dan kampus tidaklah terlalu jauh, hanya sekitar tiga ratus sampai empat ratus meter saja. Plang putih besar kokoh berdiri dengan bahan besi yang sudah agak berkarat menyambut kedatangan mereka. Tulisannya sudah mulai usang terguyur hujan, panas dan zaman. Namun masih bisa terbaca dengan jelas, Fakultas Sains dan Teknologi. 

Deretan motor mulai berdesakan mengantre masuk melewati pos satpam. Semua didominasi oleh laki-laki. Karena kampus teknik dan sains terpisah dari delapan fakultas lainnya. Tidak aneh pemandangan di gedung ini para laki-laki dari berbagai planet. Di sini terdapat jurusan teknik informatika, teknik geologi, teknik sipil, teknik elektro, teknik ilmu kelautan dan teknik industri. Refami dan Joel adalah salah dua mahasiswa teknik geologi angkatan pertengahan, yakni 2010 dan 2011--jurusan ini berdiri tahun 2006.

Kampus ini begitu gersang, pepohonan masih jarang. Bahkan rumput yang baru saja tumbuh, sudah dimakan kambing. Peternak di sini entah bagaimana caranya bisa masuk ke kampus untuk membiarkan peliharaannya memakan rumput-rumput liar di pinggiran gedung. Kampus ini baru berdiri tahun 2010, tak aneh jika pembangunan masih terus berlangsung.

***

Kaum adam berbagai macam jenis ada di fakultas ini. Pertama, jenis yang selalu rapi. Dia akan mandi teratur sebelum melangkahkan kaki ke area kampus, memakai parfum, mengenakan kemeja anti kusut dan harum penatu. Contoh laki-laki ini adalah Joel Slim. Idaman perempuan yang sulit ditaklukan karena agak pemilih.

Jenis kedua, laki-laki ini akan ke kampus dengan penuh ambisi, memakai baju rapih dan super wangi--karena menumpahkan sebotol parfum, tapi anti air saking sibuknya. Menurut mereka mandi adalah hal yang sia-sia dan menguras waktu.

Jenis ketiga, laki-laki hobi mandi karena cinta kebersihan, tapi cuek masalah penampilan. Terkadang, mata akan sakit melihat penampilan makhluk jenis ini. Atasan memakai kemeja kotak-kotak yang keren dan bawahannya memakai celana training merah terang. Ditambah membawa payung kapan saja untuk antisipasi jika hujan datang.

Jenis keempat adalah jenis kehancuran. Dia tidak mandi, tidak rapi, apalagi harum. Rambut bisa tidak disisir dua minggu sampai menjadi sarang Periplaneta americana atau masyhur disebut kecoak. Sedihnya, ini adalah Refami. Tapi, sepertinya dia bangga dengan hal tersebut. Menghemat air untuk persediaan generasi selanjutnya. Moto hidup Refami.

Joel dan Refami sudah sampai di lantai dua setelah berwindu-windu menaiki anak tangga. Lorong di depan ruang dosen sudah penuh mahasiswa terlantar yang menunggu giliran bimbingan skripsi, PKL, permohonan pembicara di dalam seminar, permohonan pengajuan menjadi pembimbing dan lain-lain.

"Kita kurang pagi, Mi," cetus Joel sambil mengambil napas dalam-dalam setelah sampai di anak tangga paling atas. Kesepakatan mereka berdua tak memanggil kekasihnya dengan sebutan sayang atau ayang, menggelikan. 

Terlihat pemandangan memilukan di lantai dua. Mahasiswa-mahasiswa tingkat akhir tergeletak tak beraturan di atas teras di depan ruang dosen. Bahkan ada yang tengah terlelap, saking lamanya dia menunggu hilal akan dipanggil. Refami dan Joel sepertinya mengikuti jejak mereka. Mengambil kuda-kuda duduk lesehan di dekat pagar yang terbuat dari semen sambil memeluk proposal skripsi. 

"Akhirnya lu skripsi juga, Joel." Seorang pria bertubuh pendek, kecil dan berambut gondrong kriting sebahu menepuk pundak Joel agak kencang. Dia salah satu kakak angkatan Refami karena sedikit gila. Misalnya naik Gunung Slamet dengan ketinggian 3.428 mdpl sendirian. Atau kemarin baru saja mengayuh sepeda dari Kuningan--tempat asalnya, ke Purwokerto memakai sepeda. Gila bukan?

Azan zuhur berkumandang, dosen yang diharapkan menjadi pembimbing skripsi tak kunjung terlihat daun telinganya. Refami dan Joel menghabiskan waktu lima jam sia-sia. 

Alah, baru hari pertama udah lemah!” teriak laki-laki gila itu yang sekarang tengah memakai belangkon khas Jawa.

Eh, A. Kamu kan, orang Sunda?” hardik Refami.

“Di mana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Gimana sih, kamu, ah,” jawab laki-laki itu tanpa beban. Padahal nasibnya seiras, terlunta-lunta, korban dosen.

Refami hanya memajukan bibir sekilas, tanda sebal.

"Udah kirim pesan belom ke dosennya?" tanyanya lagi memerhatikan kegelisahan mereka berdua.

Joel menoleh bingung, "Emang harus kayak gitu?"

Pipi laki-laki berambut keriting itu sedikit mengembung menahan tawa, "Haruslah," jawabnya singkat. “Bodoh!” Laki-laki sedikit berteriak, membuat korban dosen lainnya yang sedang terlelap terjaga seketika. Sadar mereka ada di lorong kampus, bukan di hotel bintang tujuh.

Refami dan Joel saling bertatapan dua detik, tersenyum meski sedang tidak bahagia.

Dari ujung mata memandang, terdengar suara sepatu dengan ketukan cepat beradu dengan keramik. Mata-mata mahasiswa tingkat akhir dengan cepat menangkap sinyal untuk menoleh serempak tanpa aba-aba. Sebagian bangkit dari duduknya sambil menenteng tas yang sejak tadi tergeletak di lantai, sebagian lain mengambil napas panjang karena dosen tersebut bukan targetnya. Kecewa.

Refami dengan cepat berdiri dan berjalan ke arah pintu ruang dosen, dia sudah memasang senyum dan wajah paling ramah untuk menyambut dosen pria berwajah garang, berkulit sawo matang, memiliki tinggi sekitar seratus tujuh puluh lima sentimeter dan rahang kotak khas Indonesia Timur.

"Bapak," panggil Refami seperti kucing yang meminta makan pada pemiliknya.

Dosen itu menoleh dengan tak santai. Terlihat di tangannya ada beberapa buku dan berkas yang dia jinjing.

"Pak, saya dan Joel ingin mengajukan permohonan Bapak menjadi pembimbing satu kami untuk skripsi. Apakah masih ada kuota, Pak?" jelas Refami dengan hati berdebar, takut jika ditolak.

"Sudah kirim pesan ke saya?" Wajahnya makin sangar.

"Belum, Pak," jawab Refami merinding.

"Belajar antre ya, Mbak," jawab dosen itu ketus.

Pintu tertutup lagi.

Tak apa, dosenku tengah datang bulan, moodnya sedang kacau. Redam hatinya menenangkan diri.

Semakin siang, matahari di Purwokerto makin tak umum panasnya. Sebagian mahasiswa menyerah dengan wajah pasrah dan bertolak pulang ke kos untuk tidur siang saja. Sebagian lagi melaksanakan salat untuk mendapatkan hidayah. Sedang Refami terlihat murung menuruni anak tangga sambil memegang railing.

"Semangat, ini belum ada apa-apanya," tutur Joel yang wajahnya mulai pucat. Benar, laki-laki ini tak pernah terlihat kesal atau pun mengeluh. Berbeda sekali denganku. Pikiran Refami meracau.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro