Bab 14 Dari Pelosok

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hai pembaca, aku update lagi, nih.
Jangan lupa tinggalkan vote dan komen, ya.
Happy reading ♥️

Pagi sudah menjelang, jam menunjukkan pukul setengah enam. Asap tebal masuk ke lantai dua rumah Joel lewat ventilasi jendela. Refami duduk termenung di kamar kecil berukuran dua meter setengah kali dua meter dengan kipas besar menyala sangat kencang menghadap ke arahnya. Kali ini Refami benar-benar masuk angin.

Serba salah memikirkan kipas angin. Dinyalakan membuat perut kembung, dimatikan keringat mengalir deras bagai hujatan tetangga. Belum lagi bau asap yang semakin lama semakin menusuk hidung.

Terdengar suara pintu kamar samping terbuka, mungkin adik dari Joel--Jane Slim. Langkahnya begitu terasa, bahkan lantai saja sedikit bergetar. Kamar Jane dan kamar yang dia tempati sekarang, jaraknya hanya sepuluh sentimeter. Dua kamar ini terletak di lantai dua. Refami jelas beristirahat di kamar milik Joel. Sedang laki-laki itu tidur di lantai satu dengan adik bungsunya--Jian Slim.

"Ah, bau banget," teriak Jane sangat keras. Mungkin maksudnya bau asap dari luar yang sudah menguasai udara di dalam ruangan lantai dua. 

Refami membuka pintu, kepalanya sedikit maju ke depan kamar. Terlihat Jane bersungut-sungut sambil memangku laptop hendak turun ke lantai satu.

Hari ini Refami dan Joel hendak pergi ke kantor Remigas, mengajukan proposal skripsi serta mencari pembimbing dua.

"Refami udah bangun?" Terdengar suara perempuan setengah baya memanggil namanya di balik pintu.

Dengan segera Refami meraih kerudung bergo hitam yang terkulai lemas di kapstok atas kepalanya.

"Udah, Bu," jawabnya singkat sambil membuka pintu malu-malu.

"Gimana tidurnya, nyenyak?" Bu Khadijah dengan aksen medoknya bertanya sangat lembut.

Refami berpikir sejenak, "Bangun terus sih, Bu. Jakarta panas soalnya," jawab perempuan itu sambil terus mengumbar senyum sampai keram bibir.

Bu Khadijah tertawa beberapa saat, mengerti apa yang dirasakan gadis itu.

"Sekarang kamu mandi, gih. Jadi kan, ke Remigas sama Joel?" tanya Bu Khadijah memastikan.

Refami mengangguk tanda paham.

"Kalo airnya kurang puter aja keran, nanti air ngalir dari sana. Beda ya, sama Ciamis masih nimba air dari sumur. Tapi, semoga kamu ngerti apa yang ibu jelasin barusan," papar Bu Khadijah cukup panjang.

Kening Refami mengerut mencoba mencerna kalimat demi kalimat yang dilontarkan Bu Khadijah. Ternyata dalam pikiran beliau, Refami berasal dari wilayah pelosok yang belum terjamah modernisasi.

"Di sana juga udah pakai keran kok, Bu," jawab Refami menahan dongkol.

Suara tawa terbahak-bahak keluar dari mulut Bu Khadijah. 

"Kirain masih sama dengan kampung ibu di Jawa. Maaf, ya," timpal Bu Khadijah sambil menahan tawa.

Sesuatu yang menurut beliau lucu itu membuat Refami sedikit tersinggung. 

"Refami mau sarapan apa, Nak? ibu mau ke depan beli nasi uduk sama bubur ayam. Kamu suka yang mana?" tanya beliau lagi dengan memberi pilihan.

"Nasi uduk aja, Bu," jawab Refami mencoba biasa.

Setelah itu Bu Khadijah berbalik badan sambil bersenandung, beliau dengan hati-hati menuruni anak tangga. Ibunya Joel benar-benar wanita lembut dan perhatian. Berbeda dengan ibuku, setiap hari seperti reog Ponorogo.

***

"Udah siap, Mi?" Seseorang memanggil namanya di balik pintu kamar sambil mengetuk beberapa kali.

Dengan gerakan buru-buru Refami membuka pintu perlahan. Nampak Joel tengah berdiri di depannya dengan kemeja biru langit dan celana denim berwarna khaki. Rapi serta tampan seperti biasa. Apa lagi poni yang sudah dia susun tiga puluh menit, melambai percaya diri bertengger di samping alis tebalnya. 

"Iya aku udah siap," jawabnya sambil menyambar tas ransel berisikan laptop dan proposal.

Refami berjalan perlahan di belakang Joel dengan memakai rok hitam, kaos polos putih dan untuk luaran memakai blazer usang berwarna abu-abu.

"Joel, kerudung aku cocok enggak, ya?" sempat-sempatnya Refami bertanya saat masih menuruni anak tangga.

Joel berhenti sebentar, menoleh ke arah perempuan yang memakai kerudung kuning bercorak bunga-bunga hitam.

"Cocok-cocok ajalah, yang penting itu kamu percaya diri," jawabnya penuh motivasi.

Refami percaya sepenuhnya pada Joel. Dia adalah laki-laki yang tak pernah protes tentang tampilannya yang seperti kue pelangi. Bagi Joel yang terpenting adalah poninya yang badai. 

Bahkan Joel rela mencampur sampo dan sabun agar mencapai struktur maksimal untuk rambut lurus nan indahnya, agar tak begitu jatuh dan agak kaku jika berpapasan dengan angin ganas.

"Aku berangkat, Bu," teriak Joel sambil meraih helm di rak samping pintu utama. Tak lupa dia becermin lima menit, menyesuaikan poni agar tak terjepit pelindung kepala. Gemas.

Bu Khadijah berjalan cepat menghampiri anaknya setelah mendengar Joel berteriak.

"Hati-hati, Joel. Bensin sudah ayah isikan penuh tadi pagi. Jadi kamu nggak usah isi bensin lagi," jelas Bu Khadijah lembut. 

Joel mengangguk, kemudian mencari helm lain di rak.

"Aku sama Ami berangkat dulu ya, Bu," pungkas Joel sambil memberikan helm berwarna putih pada Refami. Laki-laki itu memencet starter sampai motor matiknya menyala.

Dari kejauhan masih terlihat Bu Khadijah melambaikan tangan pada Refami dan Joel. Meski sempat sebal, tapi ada kehangatan di hati Refami. Dia menoleh dan membalas lambaian tangan Bu Khadijah.

Baru saja keluar dari gang rumah, kepulan asap tebal sudah bergulung-gulung di atas kepala. Suara klakson sahut-menyahut membuat bising telinga. Keringat mulai menetes ke area punggung, ketiak, dahi dan hidung. Joel berusaha mengendalikan motor matiknya agar tak menabrak kendaraan lain. Untuk menjamah jarak seratus meter, Refami bisa menyelesaikan lima puluh lagu saking macetnya.

"Remigas tuh jauh enggak sih, Joel?" tanya Refami berteriak pada supir.

"Deket, kok," jawab Joel sambil membelokan setang ke kiri dan ke kanan, menghindari pejalan kaki yang merambah ke jalan raya.

Refami menarik napas sangat panjang, tangannya sudah lengket karena keringat bercampur debu jalanan. Sudah tiga puluh menit mereka mengarungi jalan di Jakarta Selatan pagi ini. 

"Nah, itu Remigas." Joel sedikit berteriak pada Refami yang mulai sakit leher karena terus melihat pemandangan ke kiri dan ke kanan secara bergantian dari tadi.

Wajah Refami mulai bersemangat kembali. Apa lagi setelah memerhatikan beberapa gedung tinggi yang berderet dalam satu kurungan pagar besi dengan plang Remigas.

Refami dan Joel memasuki salah satu gedung dengan wajah polos tak berdosa, mencari seseorang yang dapat diajukan pertanyaan.

"Mbak, permisi." Joel menghentikan langkah perempuan tinggi dan berhidung mancung khas timur tengah dengan tiba-tiba.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya spontan.

"Kami mahasiswa yang ingin mengolah data skripsi di sini, Bu. Kebetulan kami juga sedang mencari pembimbing dua dari sini jika diperkenankan," jelas Refami karena Joel malah terus menganga sambil memandang perempuan cantik itu tanpa berkedip.

"Oh, baik. Kalian tunggu di sini dulu, ya," perintah bidadari cantik itu.

Dia berjalan indah meninggalkan Refami dan Joel yang berdiri mematung di depan ruang administrasi. Tak lama terdengar suara teriakan dan lambaian tangan darinya. Secepat kilat, mahasiswa pejuang skripsi itu berlari menghampiri.

"Mana coba saya lihat proposalnya," ucap seorang laki-laki muda berusia sekitar tiga puluh lima tahun pada Refami dan Joel.

Tanpa banyak bertanya, mereka berdua merogoh tas penuh debu jalanan mengeluarkan proposal skripsi yang sudah dilaminating biru.

Laki-laki berbadan atletis dengan gaya rambut dibelah dua itu membolak-balik dua proposal milik Refami dan Joel.

"Saya cuma terima satu mahasiswa, sih. Mau siapa?" tanyanya cepat.

Refami dan Joel saling menatap satu sama lain.

"Dia aja, Pak," sahut Joel menunjuk Refami.

Laki-laki gagah itu mengangguk, "Oke."

Refami kebingungan dengan putusan Joel yang tiba-tiba tanpa diskusi.

"Nggak usah khawatir. Kalian bisa cari pembimbing lain di lantai dua, tiga, empat dan lima di gedung ini. Pasti ada yang mau, kok. Kalo mereka nggak sibuk," jelas laki-laki yang kini menjadi pembimbing dua Refami.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro