Bab 17 Uji Nyali

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Mbak, tolong jangan tidur di sini." Kasir mini market membangunkan Refami yang tengah terlelap sambil duduk berjongkok di depan rak sabun mandi, seperti di dalam wc jongkok. Nyaman, pikirnya.

Mata Refami terbuka dengan malas, "Aku lagi nunggu jemputan Bapak aku, Mas," jawab Refami seperti idiot.

"Mbak, di luar ada kursi yang telah kami sediakan, kok," terang laki-laki dengan aksen Jawa.

Refami memasang wajah bloon dengan mengeriting-ngeritingkan ujung bibirnya yang sudah bau tampungan sampah.

"Ta-tapi, Mas. Kalo boleh jujur saya takut," ujar Refami mengiba.

Kasir mini market itu sedang diuji keimanannya oleh tingkah laku Refami di tengah malam seperti ini.

"Takut karena apa, Mbak?" tanya kasir yang mulai ikut berjongkok. Ikut-ikutan gaya Refami.

"Karena cerita tadilah, Mas," jawab Refami dengan cepat. Cerita mengenai kecelakaan maut yang terjadi isya tadi.

Tak lama kemudian ponsel Refami berbunyi, sebuah pesan masuk dari Pak Abdullah. Beliau memberitahu bahwa laki-laki tampan itu tengah bertengger di dekat pohon mangga di samping lampu alun-alun yang berkelap-kelip. Akhirnya, penantian panjangku berbuah manis. Bapak datang. Ucap Refami senang dalam batin.

Setelah berpamitan pada kasir mini market, Refami berjalan melewati beberapa toko yang sudah tutup, kemudian menghampiri bapaknya pelan.

"Bapak pake motor?" tanya Refami setelah melihat pria hampir tua itu tengah menunggu putrinya seorang diri. Perempuan itu mengira Pak Abdullah akan menjemputnya dengan menggunakan mobil. Mengingat waktu sudah larut dan perjalanan lumayan jauh. Tapi, pria setengah baya itu hanya termenung tak menjawab apa-apa. Mungkin Bapak capek, pikirnya.

Pak Abdullah mengangguk kemudian memutarkan motornya ke arah seharusnya mereka melaju.

"Aku kira Bapak naik mobil," protes Refami. Dia berharap malam ini tak begitu sunyi. Karena Pak Abdullah yang sangat cerewet, berubah menjadi pendiam. Apa aku toyor aja kepala Bapakku ini, biar beliau ngamuk? Pikirnya beberapa detik.

Refami kemudian naik naik ke jok belakang hati-hati. Motor pun melaju perlahan menuju Ciamis. Pak Abdullah diam seribu bahasa, mungkin menikmati perjalanan malamnya. Mungkin.

"Pak, tadi nunggu lama ya di terminal?" Refami membuka pembicaraan.

Pak Abdullah diam saja tak menjawab apa pun. Beliau fokus melihat jalanan, terlebih sedang melewati aspal berbelok dan tak rata. Di atas aspal hitam itu terdapat sedikit sobek-sobekan kain berwarna merah dan bau anyir menyeruak.

Refami memejamkan mata kuat-kuat sambil membaca doa makan sebelas kali. Dia benar-benar tak ingat doa apa pun selain doa makan.

"Aduh!" Refami terpental ke atas aspal kemudian menggelinding masuk ke dalam selokan.

Motor yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan, ban depan kendaraan itu terlepas sendiri lalu menggelinding cepat meninggalkan badan motor di belakangnya. Bisa-bisanya.

Refami mengaduh sendirian di dalam selokan, kemudian bangkit dan berjalan mencari Pak Abdullah serta motor yang tadi dia tumpangi. Kosong. Jalanan ini begitu sepi. Jam di ponselnya menunjukkan pukul setengah dua. Tambahannya bulu tengkuk perempuan itu meremang hebat. Kalo di film horor, kayak gini-gini tuh ada dedemitnya! Apa aku pingsan sekarang aja, ya? Refami tak bisa berpikir jernih.

"Bapak!" Sesekali Refami berteriak sangat hebat, mengarahkan senter dari ponselnya ke berbagai arah.

"Bapak!" Refami berteriak semakin kencang dengan kaki lecet dan memar. Dia kini hampir saja menangis.

Tak lama terdengar suara klakson mobil berkali-kali.

"Ami, ayo naik!" Pak Abdullah berteriak di balik kaca mobil berwarna putih.

Tanpa pikir panjang Refami berlari sekuat tenaga dan naik ke dalam mobil dengan kondisi badan bergetar hebat.

"Kamu ngapain sih, jalan sejauh itu sendirian, Mi? Bapak kan, udah bilang mau jemput kamu," tanya Pak Abdullah sambil menggelengkan kepala tanda tak paham dengan putrinya.

"Ta-tadi Bapak udah jemput aku naik motor, kok!" Refami tak bisa menurunkan nada suaranya, persis seperti chain saw sedang memotong kayu tak henti.

Pak Abdullah menyodorkan botol air minum pada anak itu, "Minum ya, jangan lupa baca basmallah," ujar beliau.

Refami tak mengeluarkan suara sedikit pun, begitu juga dengan Pak Abdullah.

Mereka berdua hanya melihat jalanan sepi sampai mobil itu terparkir di garasi rumah.

***

Mendung menghiasi pagi di Ciamis, meneruskan gerimis semalam. Refami masih berlindung di bawah selimut tebal seperti lontong isi sayur.

"Ami! kamu liat jam, nggak?" Suara yang dibenci Refami terdengar kembali. Bu Dina berteriak dengan lantang di depan pintu.

"Liat, Ma. Masih bulet, kan?" jawab Refami dengan suara serak.

"Bangun kamu," perintah ibunya.

Bu Dina seperti tentara yang menjaga perbatasan negara. Berkeliling di dalam kamar Refami.

"Ngapain semalem jalan sendirian pake senter di Majenang jam dua? Ikutan uji bakat, iya?" Belum terkumpul semua kesadaran, Refami harus mendengarkan ceramah sepuluh menit dengan volume maksimal di kamarnya.

"Uji nyali kali, Ma. Bukan uji bakat, emangnya acara Indonesian Got Talent uji bakat?" Refami mengambil guling di samping, kemudian menumpukkan benda itu di atas telinga, dia berdoa kuat-kuat agar makhluk satu itu segera berpindah tempat.

"Ma, coba jadi perempuan yang lembut sedikitlah." Pak Abdullah dan Elma masuk berbarengan ke dalam kamar Refami.

"Mi, kamu ngapain kemaren malem sendirian jalan pake senter di Majenang?" Pak Abdullah mengulangi pertanyaan istrinya.

Refami bangkit dari kegiatan malasnya. Duduk bersila di samping jendela, kemudian mulut menganga memulai kisah.

"Assalamualaikum," teriak seseorang di depan pintu ruang tamu. "Bu, ada tempe bacem, ayam bakar, ayam goreng, pepes tahu, sayur bening, mau?" lanjutnya tanpa ragu. Ibu penjual lauk pauk yang sudah biasa berkeliling di pagi hari.

"Ke sini aja, Bu," balas Bu Dina.

Tanpa jeda waktu yang lama, ibu penjual lauk-pauk masuk juga ke kamar Refami, ikut mendengarkan kisahnya semalam.

Refami merasa menjadi satwa langka di taman safari, diperhatikan betul-betul oleh semua orang.

"Udah ah, bubar," pinta Refami.

"Untung bapak nanya-nanya ke orang di sekitar sana. Katanya kamu jalan aja sendirian pake senter HP. Harusnya sih, biarin aja jalan sampe Ciamis. Itung-itung ngetes keberanian diri," ejek Pak Abdullah diikuti dengan tawa renyah dari semua orang.

Refami agak manyun seperti ikan yang terkait di kail pancing, "Aku inget banget, Pak. Kemaren Bapak naik motor kok, nungguin di samping alun-alun," tampik Refami.

"Udah-udah-udah." Pak Abdullah mengakhiri cerita mengenai Refami yang uji nyali.

Matahari mulai naik perlahan, sorotnya mulai menyilaukan mata melewati bening kaca kamar. Ponsel Refami berdering beberapa kali, panggilan dari Joel.

"Mi, nomor jari kamu berapa?" tanya Joel saat telepon diangkat.

"Ini Joel, ya? Ini mamanya. Sebentar ya, Refami bolak-balik wc terus nih, biasalah dia lagi menceret karena kesambet setan belokan di Majenang," jelas Bu Dina yang mengangkat telepon dari HP Refami.

Kemudian mereka tenggelam dalam cerita kusut malam itu lagi. Di bagian toilet sana, Refami tengah berjuang karena masuk angin. Ditambah dua botol kopi yang harusnya diminum oleh Pak Abdullah, dihabiskan satu tegukan oleh Refami saat menyusur jalan sendirian tanpa sadar. Lambungnya sekarang sedang berdemo ria.

"Kenapa Joel, kamu nanyain nomor cincin Refami?" Bu Dina menanyakan lagi awal kalimat lelaki itu.

"Ini, Bu ... Ibu sama Ayah nyuruh aku buat lamar Refami secepatnya. Nanti kalo udah lulus dan dapet kerja katanya nikah aja, mereka udah pengen punya cucu," jelas Joel ragu sekaligus malu-malu.

Bu Dina diam beberapa detik, mencerna kalimat Joel Slim barusan.

"Kamu yakin Joel sama Refami? Dia kan anaknya kayak ayam broiler, udah kagetan, eh nggak bisa diem juga. Nggak apa-apa?" tanya Bu Dina dengan jeli.

"Insyaallah yakin, Bu," tukas Joel.

Panggilan berakhir.

Refami keluar dari toilet setelah satu jam setengah berlalu. Duburnya terasa panas, wajahnya pucat dan kakinya keram. Nahas, perempuan ini tak tahu apa-apa mengenai perbincangan antara ibunya dan Joel. Bahwa dia akan segera memiliki tunangan.

***

Halo semua, terima kasih sudah setia membaca setiap bab dari novel ini, ya.

Hm, btw, novel tentang Berkah Rambut Bondol ini juga terbit di Karya Karsa lho, sudah sampai Bab 28.
Kalian bisa membaca 3 bab sekaligus hanya dengan 2000! 😍🙏

Ikuti terus kisah Refami dan Joel, ya ♥️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro