Bab 20 Tiga Bulan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Halo, Berkah Rambut Bondol update tiap jam enam pagi, ya.
Terima kasih pada teman-teman yang sudah setia membaca 😍
Salam hangat dari aku, Fitria 💜

Siang ini terik sekali, Refami sudah mondar-mandir sejak pagi tadi mencari lowongan pekerjaan ke Ciamis kota. Satu demi satu kantor yang berderet dia masuki. Bertanya apakah ada lowongan pekerjaan atau tidak. Meski jawabannya selalu tidak, gadis itu tidak pantang menyerah. Dari pada berdiam diri di rumah dengan sindiran ibunya yang terus-menerus menyuruhnya menikah, mendingan gosong di jalanan seharian.

"Nggak ada, Neng," jawaban satpam di kantor BPJS. Ini adalah kantor ke delapan yang dia datangi.

Kaki Refami yang kerasnya melebihi talas Bogor mulai kelelahan. Perutnya tengah bersenandung sendu minta diisi. Tetapi dia tidak mau menyerah begitu saja. Dia akhirnya berniat menaiki motor sport putih yang sejak tadi diparkir di dekat penjual cimol depan SD. Semakin dekat, tekadnya memudar karena godaan cimol lebih menggoda. Cimol for life! Decaknya dalam hati.

"Mang, cimol dong lima rebu," ujar Refami sambil memandang cimol lekat-lekat.

Cimol yang sedang diaduk-aduk di dalam wajan berisikan minyak dingin itu mengingatkan Refami pada Joel, karena kulit mantannya itu seputih tepung tapioka, bahan dasar cimol. Hatinya sedikit mengiba, mengasihani diri sendiri. Sudahlah baru putus cinta, dipecat dari pekerjaan, berkeliling mencari nasib baik di bidang lain pun tak kunjung datang.

"Neng, lagi kegiatan apa bawa-bawa map gitu? petugas sensus atau mau minta sumbangan?" Tukang cimol membuka pembicaraan sambil mengangkat cimol dari wajan ke saringan.

"Abis minta izin bupati, Mang, buat ngadain konser Raisa featuring saya besok Minggu di alun-alun kota," jawab Refami sangat meyakinkan.

Tukang cimol itu berhenti dari kegiatannya sebentar, memandangi Refami dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke atas lagi. Kemudian mengitari Refami sebelas kali.

"Yang bener, Neng? Duh, saya ngefans banget sama Raisa. Apa lagi yang lagunya jaran goyang, aduh," jelas tukang cimol berbinar-binar seperti minyak panas bertemu wajah, mengilat.

Refami menyesal menipu tukang cimol, karena dia percaya pada mulut sampahnya seratus persen.

Setelah selesai bertransaksi, Refami melihat kertas hvs putih berukuran F4 menempel di dekat gerbang SD yang sejak tadi dia belakangi. Di dalam kertas itu terdapat tulisan, "Loker guru bintang pelajar untuk guru eksak, bahasa indonesia dan bahasa inggris."

Tanpa pikir panjang, map yang sejak pagi dibawa berkeliling dunia akhirnya diajak masuk ke sekolahan SD. Refami berjalan menyusuri lorong sekolah, mencari ruangan guru atau tata usaha.

"Permisi," ucap Refami setelah menemukan ruangan besar yang berisikan orang-orang berseragam batik sedang bercanda sambil makan siang.

Mereka serempak melihat ke arahnya, tiba-tiba hening. 

"Kenapa, Neng?" tanya salah seorang pria berbadan sekal, berkulit hitam dan tinggi sekitar 162 sentimeter, seraya menghampiri dengan ramah.

"Apa di sini sedang membuka lowongan pekerjaan, Pak?" tanya Refami dengan wajah ragu-ragu dan malu.

Pria seperti berpikir sejenak.

"Oh, iya. Guru eksak, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris," jawab beliau riang setelah mengingatnya beberapa detik. "Kamu mau daftar, Neng? Mari-mari," ajaknya.

Refami membuka sepatu di antara batas pintu masuk dan hanya mengenakan kaus kaki hitam saja, mengikuti pria itu masuk ke dalam ruangan yang dibatasi oleh lemari panjang nan besar yang berisikan piala dan dokumen-dokumen.

"Silakan duduk." Pria itu mempersilakan Refami duduk di atas sofa berwarna hijau emeral. 

Refami duduk dengan canggung, agak sungkan.

"Coba saya lihat dokumen-dokumennya, ya," pinta pria tadi--yang sepertinya kepala sekolah.

Refami masih duduk manis, dia memberikan dokumen demi dokumen yang diminta, terkadang perempuan ini menjelaskan beberapa hal jika diperlukan.

"Sebentar ya, kita atur jadwal dulu." Pria tadi seperti memanggil seseorang dengan agak keras, kemudian muncul seorang laki-laki dengan setengah berlari membawa catatan kecil di tangannya.

"Semua sudah terisi sih, Pak. Hvs di depan lupa saya copot. Tapi, lowongan wali kelas ada yang kosong karena wali kelas bersangkutan cuti melahirkan. Paling jadi lowongan sementara, gimana?" terang si pembawa catatan.

"Gimana, Neng?" Pria berbadan gempal meneruskan bahasa.

Refami tampak berpikir. Dia terdiam selama dua menit dua puluh detik.

"Cuti melahirkan itu berapa lama, ya, Pak?" tanya Refami sebagai bahan pertimbangan.

"Sekitar tiga bulanan kalo nggak salah, ya," jawab beliau sambil melihat laki-laki kurus yang memakai kacamata di sampingnya.

Laki-laki kurus berkacamata itu mengangguk yakin.

"Ya udah deh, Pak, nggak apa-apa. Saya ingin mengembangkan potensi diri. Semoga tiga bulan ini menjadi bulan yang berkesan dan bermanfaat bagi banyak pihak," jawab Refami sok bijak. Dia sudah belajar kalimat ini sejak lama dari berbagai video di media sosial. Semoga manjur. Pikirnya.

"Gini aja, kalo kamu masih berminat, ini ada nomor HP yang bisa kamu hubungi." Kepala sekolah memberikan solusi.

Refami tersenyum sambil izin undur diri dari sana.

***

Pagi-pagi sekali Refami sudah berangkat ke sekolah, hendak mengajar--menjadi wali kelas satu. Dia memakai baju resmi seperti saat berangkat ke kantor di penerbit buku dahulu. Atasan kerudung hitam, kemeja kotak-kotak kuning, rok rimpel dan sepatu kets hitam.

Saat berjalan pertama kali di lingkungan sekolah, rasanya bersemangat dan mendapatkan banyak energi positif. Apa lagi anak-anak SD ini memiliki tubuh mini dan wajah imut-imut. Dengan diantar oleh laki-laki kurus berkacamata tempo hari, Refami melangkah pertama kali ke dalam kelas. Di sana tengah berdiri seorang laki-laki berbadan tinggi, putih dan mancung tengah memeriksa kuku anak-anak.

"Oh, wali kelas pengganti kalian telah datang!" ucapnya ceria dan seperti berteriak.

Anak-anak bersahutan seperti anak ayam yang tengah diberi pakan saat lapar-laparnya.

"Selamat pagi semuanya, perkenalkan nama ibu adalah Refami. Panggil saja Bu Refami, ya," sapa Refami dengan senyum lebar.

Perjalanan hari itu dimulai.

"Bu, hari ini kita mau gambar. Kita semua udah bawa crayon sama pensil warna," ucap gadis berkerudung dengan tali kecil di belakang kepalanya. Suaranya melengking sambil berteriak riang.

"Oke, silakan keluarkan buku gambarnya masing-masing, ya," timpal Refami tak kalah ceria.

"Gambar apa, Bu?" tanya anak laki-laki berbadan gendut dengan kulit sawo matang.

"Bebas, apa aja boleh, ya," jawab Refami lagi.

"Kalo bunga boleh, Bu?" tanya anak perempuan berbulu mata lentik.

"Boleh," jawab Refami masih tersenyum.

"Kalo mobil boleh, Bu?" tanya bocah laki-laki kurus dengan hidung pesek.

"Boleh," jawab Refami sambil berdiri dari tempat duduknya.

"Kalo truk boleh, Bu?" tanya anak laki-laki yang lain.

Refami mulai ingin menangis.

"Semua boleh, ya. Kalau sudah selesai, diwarnain yang rapih, oke?" Refami tengah mengumpulkan kesabaran yang sudah sebesar biji jagung.

"Kalo warna kuning dan hijau aja, boleh nggak, Bu? Soalnya yang lain belum diserut," timbrung anak lain.

Kepala Refami seperti sedang diaduk-aduk dalam wajan cimol.

Sekarang dia hanya mampu mengangguk dan terkadang tersenyum sekilas. Tak lama, perempuan yang mulai tak tahan dengan anak-anak bau ingusan itu keluar ruangan, mencari udara segar.

"Bu, saya pesan es teh, ya." Refami berjalan ke kantin, duduk di kursi panjang yang terbuat dari kayu. Di sana banyak jajanan khas untuk anak-anak seperti gula-gula, cimol yang sudah dingin, makanan ringan kemasan, agar-agar dan masih banyak lagi.

"Ibu guru baru, ya?" tanya ibu kantin sambil menyapa halus.

"Iya, Bu, baru masuk hari ini. Jadi guru pengganti wali kelas satu selama tiga bulan. Saya kira enteng, ternyata baru setengah jam aja kepala jadi lunak semua," jelas Refami, seperti menumpahkan sedikit kekesalan pada orang baru.

"Namanya juga anak-anak, Bu, wajar. Nanti kalo punya anak juga kerasa, kok." Ibu kantin membalas cuitan kesalnya dengan bijak.

"Ibu udah nikah belum?" Tiba-tiba suara asing datang dari samping. Laki-laki tampan yang tengah memeriksa kuku anak-anak kelas satu tadi tersenyum menghadap Refami.

Refami membalasnya dengan senyuman singkat. Tak mungkin dia bercerita tentang kegagalan pernikahannya pada dua orang asing di kantin sekolah.

“Doakan aja, ya,” jawabnya sendu sambil memandangi gelas teh yang masih mengepul.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro