Bab 26 Mampir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Abi, lo jadi ke Purwokerto bareng kita?" Seorang kakak angkatan berjalan meninggalkan mobilnya di ujung sana untuk menghampiri Abi.

Abi melihat Refami, Marco dan Si Jangkung bergantian lalu dia tampak memikirkan langkah selanjutnya.

"Gue mau nganterin Refami pulang dulu sih, Mas. Tadi gue dianterin dia soalnya," jawab Abi mantap, sambil tetap melihat Marco dan Si Jangkung bergantian, melihat respons mereka.

Kakak angkatan yang mengajak Abi seperti mengangguk-angguk sambil berpikir sebelum berkata, "Oh, ya udah. Gue cabut, ya."

Marco, Abi dan Si Jangkung sepakat untuk mengantarkan Refami bersama-sama. Dua sepeda motor saling kejar-mengejar. Marco sudah dua bulanan ini mengontrak rumah kecil di Purwokerto, membuka usaha kuliner seperti camilan, sedang Si Jangkung memang asli orang sana, sehingga dengan ikhlas hadir di pernikahan kakak angkatan mereka.

"Nggak enak, kan, kalo nggak dateng. Soalnya dia chat langsung ke gue suruh dateng." Marco berteriak dari atas motor kepada Abi yang sedang membonceng Refami.

Perbincangan gaduh mereka dimulai saat berada di atas kendaraan yang tengah melaju. Sesekali Si Jangkung menimpali atau sekadar tertawa melihat perbincangan antara Abi dan Marco. Sedang Refami bersikap pasrah jika terkadang Marco berteriak tepat di samping telinganya dengan sengaja.

Ah, laki-laki gila ini. Batinnya tak tahan.

"Sama," jawab Abi singkat.

Refami melihat mereka bertiga seakan terbayang saat masa-masa kuliah dulu. Perempuan yang memang berjumlah sangat sedikit di jurusan teknik geologi, sangat dilindungi oleh semua teman laki-lakinya tanpa pengecualian. 

"Kalian repot-repot banget, sih. Padahal aku pulang sendirian juga enggak apa-apa, kok." Refami berteriak pada mereka bertiga. Lebih tepatnya persis di samping telinga Marco. Membalas dendam.

"Lah, emang dari dulu kamu tukang repotin, sih," jawab Marco sambil nyengir kuda.

Refami hanya sedikit cemberut mendengar komentar Marco barusan. 

Dua motor itu melaju dengan mulus dan riang sampai akhirnya tiba di depan kediaman Pak Abdullah dan Bu Dina.

"Ma." Refami berteriak mencari di mana keberadaan Bu Dina.

"Ma," teriaknya sekali lagi.

Sebetulnya rumah tidak terkunci sama sekali. Pun Refami bisa saja langsung mengajak teman-temannya masuk. Tapi, memanggil ibunya dengan cara berteriak di depan pintu adalah kebiasaannya sejak Refami masih duduk di bangku TK.

Ketiga teman-temannya duduk di atas teras sambil celingak-celinguk menunggu dinosaurus melintas.

"Eh, siapa ini tampan-tampan sekali? Masuk, yuk." Bu Dina datang membukakan pintu sambil mengajak mereka semua masuk.

Dari mana tampannya, sih? Dua orang kayak tukang pukul, satu lagi kayak pohon bambu santapan panda. Batin Refami tak terima.

Marco berdiri sambil menyalami Bu Dina ramah. Dia memakai celana jeans biru dan batik merah--pemberian pacarnya. Sedang Abi memakai batik panjang berwarna hijau dengan celana kain hitam. Terakhir, Si Jangkung memakai jeans ukuran empat meter dengan batik hitam panjang dan kacamata minus.

Mereka bertiga masuk ke dalam rumah sambil menundukkan kepala, karena baik pangkal kepala Abi, Marco dan Si Jangkung, beradu dengan ambang atas pintu. 

Refami hanya menggeleng-gelengkan kepala. Rumah ini bagaikan kedatangan segerombolan gapura selamat datang saat lomba dekorasi Agustusan.

"Mau makan, A?" tanya ibunya sangat ramah, berbeda sekali dengan biasanya. Sepertinya harus dirukiah lagi.

Mereka bertiga hanya tersenyum malu-malu, apa lagi Marco, dia memukul-mukul paha Si Jangkung manja tanpa alasan. Bahkan, sekilas seperti waria di pinggir jalan yang tengah mangkal jam sepuluh malam. Cukup membuat orang di sekitarnya mengelus dada.

Karena sampai hitungan lima mereka tak menjawab, Bu Dina merasa lelah menunggu. Beliau masuk ke ruangan lain meninggalkan ruang tamu.

"Makan, enggak? Ditanyain meneng bae koh, kayak gantungan kunci." Refami bertanya sekali lagi dengan nada agak kesal, mewakili mamanya.

"Ahahaha, boleh deh, kalo maksa," jawab Marco sambil cengengesan.

Dengan gelagat kesal, Refami menggiring tiga orang itu ke maja makan. Di sana sudah ada sayur asem, ayam penyet, sambal bawang, tempe dan tahu goreng, serta jeruk yang di susun rapi dalam keranjang kecil.

"Langsung cus makan aja, ya. Nggak usah ragu-ragu," ucap Refami lantang seperti pemimpin regu.

Baru tarikan napas pertama. Mereka sudah sibuk dengan hidangan ibunya. Sudahlah.

Bayangan Refami tentang masa kuliah menghampiri.

Pagi sekali pukul setengah enam, Refami sudah keluar dari kosan bersama lima teman-teman perempuannya. Pakaian mereka lengkap dari sepatu boots atau tracking--yang berat sebelahnya saja bisa dua kilogram, tas daypack dua puluh liter sampai empat puluh liter, palu batuan sedimen atau palu batuan beku, kemudian kompas azimuth. Dalam tas mereka lengkap alat salat, air minum, plastik untuk sample batuan, jas hujan, papan kerani dan buku lapangan.

"Cepet, yuk," ajak salah seorang dari mereka sambil setengah berlari ke arah parkiran motor.

Dengan kecepatan sedang, ketiga motor itu melaju pelan ke halaman Fakultas Sains dan Teknik tahun 2012. Angkatan Refami berjumlah tujuh puluh satu orang. Perempuan hanya ada tiga belas orang, sisanya laki-laki yang rata-rata bertubuh tinggi besar seperti gapura selamat datang atau gorila raksasa.

Jaket lapangan Teknik Geologi setiap angkatan pasti berwarna jingga, hanya berbeda atribut di lengan kanan bagian atasnya saja. Refami angkatan 2011. Semua orang di sana sudah bersiap dengan jaket jingga mereka masing-masing.

"Saya beri waktu kalian untuk sarapan sepuluh menit!" Dosen fieldtrip yang berdiri tegak di barisan paling depan berteriak dengan lantang memakai bantuan megafon. Di sebelahnya asisten praktikum berjumlah enam orang yang siap memandu jalannya kegiatan lapangan hari ini.

Refami sejak kecil terbiasa makan dua jam saking menikmatinya, sekarang hanya angan-angan. Makan pun tak dia kunyah, langsung telan saja. 

Saat semua orang sudah duduk lesehan di atas tanah di depan gedung A, dua orang yang bertugas membeli sarapan untuk satu angkatan berkeliling membagikan nasi bungkus. Refami pernah ada di posisi itu, diam di warung nasi sejak pukul lima pagi. Dia ikut menyendok lauk dan nasi ke setiap bungkusan.

Belum sepuluh menit, hampir semua anak laki-laki sudah selesai sarapan. Hanya tinggal Refami dan dua anak perempuan lainnya.

"Yuk cepat, anak lelet!" Marco berteriak persis di samping telinga.

Marco terkenal anak laki-laki paling iseng di angkatannya.

Semua anak-anak siap berangkat fieldtrip dengan memakai motornya masing-masing, termasuk Refami.

"Mundur!" Seorang anak laki-laki menyuruhnya mundur--tidak membawa motor seorang diri--apa lagi jika perempuan.

"Bisa kok, tenang aja," jawab Refami cuek.

"Banyak laki-laki kok, mundur!" Sekali lagi temannya berteriak, membuat teman-temannya yang lain menoleh ke arah mereka.

"Cepetlah, Mi. Banyak laki-laki di sini, terus kamu mau bawa motor sendiri?" Temannya mulai kesal.

Refami beringsut mundur.

Begitulah posisi seorang perempuan di dalam kawasan teknik geologi, sangat dilindungi seperti satwa langka.

"Mi." Marco menepuk pundak Refami lumayan kencang.

Refami tersadar dari lamunan dua menitnya.

"Apaan?" jawab Refami singkat.

"Kita mau pamit ke Purwokerto." Abi menyahuti dari belakang Marco.

"Makannya udah kelar emang?" Refami melihat ke semua sudut meja makan mencari piring kotor.

"Udah dicuciin sama A Marco dan A Abi, Mi," jawab ibunya yang tiba-tiba muncul seperti komedo.

"Oh, emang gitu harusnya sih," jawab Refami datar sambil memasang wajah mengejek tiga temannya.

"Yuk, aku anter sampai stasiun, Bi." Refami beranjak dari kursi, berjalan lurus ke arah ruang tamu dan menyambar jaket yang tadi dia pakai.

Sebagai anak teknik, Refami selalu bangga. Karena pertemanan mereka melebihi hubungan antar rekan mahasiswa satu angkatan, tapi sangat dekat seperti keluarga.

"Mi, temen-temen kamu baik, ya?" Bu Dina menghampiri Refami saat dia baru datang lagi ke rumah usai mengantar Abi ke stasiun.

"Baiklah, namanya juga temen-temen aku. Emang temennya Mama?" Refami menjawab asal.

"Temen Mama yang mana?" Ibunya mulai kesal karena jawaban anaknya tak sesuai harapan.

"Tuh, temen Mama yang kalo ketemu di kondangan nanyain kapan nikah terus. Dia mah kampungan. Sekarang zamannya nikah usia tiga puluh tahun kali. Ini baru aja dua puluh lima ke atas udah kebakaran jenglot kayak umur empat puluh lima tahun." Refami semakin menggila.

Alis Bu Dina naik ke atas sebelah, napasnya mendengkus kesal.

"Ya kalo jodohnya ada, terus kenapa harus nunggu tiga puluh tahun?" Bu Dina menaikkan nada bicaranya lagi.

"Kan kalo ada. Aku nggak ada. Mau nikah sama siapa? Bihun?" jawab Refami tidak kalah tinggi dari ibunya.

Refami memulai percikan perang dunia keempat dengan ibunya--Bu Dina.

***

Halo, terima kasih telah setia membaca, ya.
Ikuti terus kisah Refami setiap pukul 06.00 WIB di Wattpad dan Karya Karsa (⁠◍⁠•⁠ᴗ⁠•⁠◍⁠)⁠❤

Author,

Fitria A. Noormala

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro